Perda AIDS Kabupaten Batang, Prov Jawa Tengah
Media Watch (8/9-2012) - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Batang, Prov Jawa Tengah, rupanya tidak mau ketinggalan dari Pemprov Jateng dan Pemkab Semarang untuk membuat perda penanggulangan HIV/AIDS. Tanggal 22 Juni 2011 disahkan Perda No 3 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Batang. Perda ini merupakan yang ke-54 dari 57 perda sejenis yang sudah ada di Indonesia. Di Jateng perda ini yang ke-4 setelah Kota Surakarta, Prov Jawa Tengah, dan Kab Semarang.
Sama seperti perda-perda yang sudah duluan terbit, perda ini pun hanya sebatascopy-paste dari perda yang sudah ada.
Juga bandingkan dengan Perwalkot Surakarta (Lihat:http://www.aidsindonesia.com/2012/08/peraturan-walikota-surakarta-solo.html), Perda AIDS Prov Jawa Tengah (Lihat:http://www.aidsindonesia.com/2012/08/perda-aids-provinsi-jawa-tengah.html), dan Perda AIDS Kab Semrang (Lihat: http://www.aidsindonesia.com/2012/09/perda-aids-kab-semarang-prov-jawa-tengah.html).
Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS dari tahun 2007 – Februari 2012 tercatat 177 yang terdiri atas 125 HIV dan 52 AIDS dengan 27 kematian Pemkab Batang sudah harus menjalankan langkah-langkah konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Tapi, seperti perda-perda lain sama dalam perda ini pun sama sekali tidak ada cara yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS. Langkah yang ditawarkan hanya bersifat normatif, sedangkan penanggulangan HIV/AIDS membutuhkan cara yang konkret.
Penanggulangan yang diperlukan adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks di lokasi pelacuran atau tempat-tempat lain yang menyediakan layanan jasa seks. Thailand berhasil menurunkan isiden infeksi baru melalui program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.
Perda-perda AIDS di Indonesia sebenarnya ’mengekor’ ke program Thailand, tapi diadopsi dengan setengah hati. Semangatnya dipakai, tapi penerapannya nol besar!
Lihat saja di pasal 3. Disebutkan: Tujuan penanggulangan HIV dan AIDS adalah (a) Melindungi masyarakat dari resiko HIV dan AIDS, (b) mencegah dan mengurangi penularan HIV.
Persoalannya adalah: Bagaimana cara untuk melindungi masyarakat,b agan bagaimana pula cara untuk mencegah dan mengurangi penularan HIV?
Tidak ada langkah yang konkret. Di pasal 8 disebutkan: Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui upaya: (a) Melakukan sosialisasi dan pendidikan tentang informasi HIV dan AIDS kepada seluruh masyarakat, (b) membudayakan perilaku seksual yang aman, setiap pada pasangan, menggunakan kondom pada setiap hubungan seks yang tidak aman.
Terkait dengan (a) yang perlu dipertanyakan adalah: Apakah informasi bahas sosialisasi diberikan secara akurat? Soalnya, dalam berbagai brosur, leaflet, dll. informasi yang disampaikan selalu dibumbui dengan moral sehingga fakta medis HIV/AIDS hilang. Yang ditangkap masyarakat hanyalah mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Langkah-langkah yang ditawarkan agamawan sama sekali tidak memberikan cara yang konkret untuk mencegah penularan HIV.
Penularan HIV, terutama melalui hubungan seksual, selalu dikaitkan dengan moral. Misalnya, disebutkan penularan HIV terjadi karena hubungan seks pranikah, di luar nikah, zina, melacur, ’jajan’, seks anal, waria, dll. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual), bukan karena seks pranikah, di luar nikah, zina, melacur, ’jajan’, seks anal, waria, dll. Kalau satu pasangan dua-duanya tidak mengidap HIV maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, melacur, dll.
Terkait dengan langkah (b) yaitu membudayakan perilaku seksual yang aman, setiap pada pasangan, menggunakan kondom pada setiap hubungan seks yang tidak aman, maka diperlukan mekanisme yang konkret. Sayang, dalam perda tidak ada mekanisme yang konkret untuk menerapkan ayat (b) itu.
Di wilayah Kab Batang terdapat lokasi pelacuran. Kalau saja perda itu meregulasi pelacuran tentulah upaya menurunan insiden infeksi HIV baru bisa diturunkan seperti yang dilakukan oleh Thailand. Germo diberikan semacam izin usaha agar mereka berada dalam genggaman hukum agar bisa diberikan sanksi.
Nah, Thailand ’memegang’ germo sehingga peraturan efektif. Di Indonesia yang dijadikan ’sasaran tembak’ justru pekerja seks.Padahal, posisi tawar pekerja seks untuk memaksa laki-laki memakai kondom sangat rendah. Seperti yang sudah diterapkan di Kab Merauke, Prov Papua, sudah ada beberapa pekerja seks yang masuk bui. Tapi, ’posisi’ pekerja seks itu akan digantikan oleh pekerja seks ’baru’.
Thailand menjalankan pemantauan yang konkret. Secara rutin pekerja seks mengikuti survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, jengger ayam, hepatitis B, dll.). Kalau ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS, maka germo akan kena sanksi. Hal ini membuat posisi tawar pekerja seks kuat sehingga laki-laki pun tidak bisa lagi memakai tangah germo untuk memaksa pekerja seks meladeninya tanpa kondom.
Di ayat (b) disebutkan ’menggunakan kondom pada setiap hubungan seks yang tidak aman’ ini tidak tepat. Yang dianjurkan memakai kondom adalah laki-laki yang melakukan hubungan seksual berisiko, yaitu:
(1) dilakukan dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah.
(2) dilakukan dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, waria, dan perempuan pelaku kawin-cerai di dalam dan di luar nikah.
(3) dilakukan dengan laki-laki dalam kaitan Laki-laki Suka (Seks) Laki-laki/LSL melalui seks anal.
Perda ini justru lebih condong pada penanggulangan di hilir. Artinya, yang ditangani adalah penduduk yang sudah tertular HIV, seperti pengobatan, dukungan dll. Padahal, yang diperlukan adalah pencegahan HIV di hilir, misalnya, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks.
Melalui kebijakan dan strategi penanggulangan yang ditawakan perda ini menunjukkan penanggulangan di hilir. Lihat saja di pasal 5 dan 6 tentang strategi penanggulangan, yaitu: (a) Meningkatkan dan memperluas program penemuan penderita HIV-AIDS, perawatan, dukungan maupun pengobatan, (b) Mengembangkan program Pencegahan Penularan Melalui Transmisi Seksual, Penularan dari Ibu kepada bayi, dan program pengurangan dampak buruk.
Ayat (a) jelas harus ada dulu penduduk yang mengidap HIV. Lagi pula, dalam perda tidak ada cara yang konkret untuk menemukan penduduk yang sudah mengidap HIV/AIDS. Tidak ada cara yang sistematis. Bandingkan dengan Malaysia yang menjalankan survailans tes HIV rutin, berkala dan khusus terhadap beberapa kalangan masyarakat (Lihat Tabel).
Begitu pula dengan langkah (b) yaitu mencegah HIV melalui hubungan seksual dan dari ibu-ke-bayi yang dikandungya tidak pula ada langkah yang konkret.
Salah satu yang mendorong penyebaran HIV adalah laki-laki ’hidung belang’ melalui hubungan seksual dengan pekerja seks. Tapi, di lokasi pelacuran yang ada di wilayah Kab Batang tidak ada regulasi yang ketat untuk memaksa laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom ketika sanggama dengan pekerja seks.
Begitu pula dengan upaya mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Tidak ada cara yang sistematis untuk mendeteksi HIV pada perempuan hamil. Maka, yang dilakukan adalah menunggu perempuan berobat atau kontrol ketika hendak melahirkan di sarana kesehatan pemerintah saja.
Cara-cara penanggulangan yang ditawarkan dalam perda ini pun kian sumar-samar karena berpijak pada moral. Lihat saja di pasal 8 ayat f disebutkan: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui upaya pengaturan, pembinaan, dan pengendalian pada tempat-tempat yang berisiko terjadi penularan.”
Pasal ini bermuatan moral sehingga tidak konkret. Apa, sih, yang dimaksud dengan ’tempat-tempat yang berisiko terjadi penularan’? Penularan HIV bisa terjadi di sembarang tempat kalau ada hubungan seksual berisiko. Di penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang, rumah, kos-kosan, apartemen, taman, hutan belantara, dll. Pasal ini menggambarkan kemunafikan.
Soalnya, yang dimaksud dengan ’tempat-tempat yang berisiko terjadi penularan’ tentulah lokasi pelacuran. Kemunafikan kian kental, seperti yang terjadi di Kab Cirebon, Jabar. Pejabat dan pemuka agama di sana akan gusar kalau wartawan menulis tempat atau lokasi pelacuran. Mereka tidak marah kalau disebut ’tempat esek-esek’.
Risiko tertular HIV terkait langsung dengan perilaku orang per orang (kecuali ibu-ibu rumah tangga dan bayi), tapi di Indonesia perilaku disamaratakan sehingga muncullah jargon ’peran serta masyarakat’.
Di pasal 22 ayat 1 disebutkan: Masyarakat bertanggung jawab untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan OHIDHA dengan cara: (a) berperilaku hidup sehat, (b) meningkatkan ketahanan keluarga.
Cara-cara yang dianjurkan perda ini hanya mitos. Apa yang dimaksud dengan ’berperilaku hidup sehat’? Orang yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, adalah menunjukkan kesehatan secara biologis. Begitu pula dengan ’ketahanan keluarga’, apa, sih, yang dimaksud dengan ’ketahanan keluarga’ yang bisa mencegah penularan HIV?
Di sisi lain dua hal itu pun akan mendorong masyarakat memberikan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (membedakan perlakuan) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena dikesankan mereka adalah orang yang tidak sehat perilakunya dan keluarganya tidak mempunyai ketahanan.
Lagi-lagi pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS sebagai fakta medis dengan cara-cara yang tidak faktual. Maka, perda ini pun tidak bermanfaat dalam menanggulangi HIV/AIDS di Kab Batang.
Kasus-kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga menujukkan suami mereka melakukan hubungan seksual yang berisiko tertular HIV. Sayang, dalam perda tidak ada interventi untuk mencegah penularan HIV dari suami ke istri. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Perda AIDS Kota Sorong, Papua Barat
Media Watch - Kota Sorong di Prov Papua Barat menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No 41 Tahun 2006 tanggal 12 Juli 2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS. Perda ini yang kedelapan dari 55 perda yang sudah ada, dan yang pertama di Papua Barat.
Sampai pertengahan 2011 kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Sorong mencapai 1.117 (www.aldp-papua.com, 1/8-2012).
Apakah Perda ini menukik ke akar persoalan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS?
Tentu saja tidak, karena cara-cara penanggulangan yang ditawarkan dalam Perda tidak konkret tapi hanya normatif.
Di pasal 1 ayat 7 disebutkan: Pencegahan adalah upaya-upaya agar masyarakat tidak tertular IMS dan HIV/AIDS.
Sedangkan di pasal 1 ayat 8 disebutkan: Penanggulangan adalah upaya-upaya agar wabah IMS dan HIV/AIDS tidak meluas di masyarakat.
Apa langkah konkret untuk mencapai tujuan pasal 1 ayat 7 dan 8 itu, terutama melalui faktor risiko hubungan seksual?
Pada pasal 7 ayat a disebutkan: Program pencegahan penularan IMS/AIDS dilaksanakan dengan memperhatikan dan mengenali kelompok-kelompok sasaran yang terkait kelompok berisiko tertular melalui jalur seksual yaitu upaya membatasi perluasan penularan IMS dan HIV/AIDS dilaksankan melalui:
(1) Program penggunaan kondom 100% bagi para kelompok risiko tinggi.
Dalam perda yang disebut kelompok risiko tinggi dijelaskan di pasal 1 ayat 9 disebutkan, yaitu: Kelompok beresiko tertular adalah kelompok masyarakat yang berprilaku risiko tinggi untuk tertular dan menularkan IMS dan HIV, seperti misalnya penjaja seks serta untuk pelanggannya dan para penyalahgunaan Napza suntik.
Perilaku yang berisiko tertular dan menularkan IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus bukan karena (ber)-kelompok, tapi tergantung pada perilaku seksual orang per orang.
Penggunaan kata ‘penjaja seks’ juga tidak akurat karena kalau ‘penjaja seks’ adalah pekerja seks komersial (PSK), maka PSK tidak pernah menjajakan ‘barang dagangannya’ yang berkeliaran mencari PSK justru laki-laki ‘hidung belang’ yang di masyarakat bisa sebagai seorang suami. Penggunaan kata ‘penjaja seks’ juga tidak manusiawi (Lihat: Materi KIE HIV/AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/materi-kie-hivaids-yang-merendahkan.html).
Kelompok masyarakat yang rentan terhadap HIV/AIDS adalah kelompok yang: (a) lebih mudah behubungan dengan kelompok risiko tinggi; (b) kurang mendapat dukungan keluarga; (c) kurang perlindungan terhadap wanita usia muda; (d) kurang mampu mengakses pelayanan kesehatan.
Pernyataan terkait dengan (a) jika yang dimaksud dengan kelompok risiko tinggi adalah PSK, maka tidak semua orang yang berhubungan dengan PSK berisiko tertular HIV. Di lokasi atau lokalisasi pelacuran serta tempat-tempat yang menyediakan transaksi seks banyak yang mudah berhubungan (secara sosial) dengan PSK, seperti germo, kasir, pedagang asongan, dll., tapi mereka tidak berisiko tertular HIV sepanjang mereka tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom.
Begitu juga dengan pernyataan kurang mendapat dukungan keluarga. Ini mendiskreditkan keluarga karena banyak kepala keluarga yang justru sering melacur. Mereka dari berbagai kalangan di masyarakat, mulai dari pegawai karyawan, dll.
Maka, pelaksanaan ’Program penggunaan kondom 100% bagi para kelompok risiko tinggi’ tidak jelas dalam perda ini karena tidak dirinci. Kalau saja perancang perda ini tidak memakai pijakan moral tapi memakai fakta, maka pasal 7 ayat a angka 1 berbunyi: “Setiap laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokasi dan lokalisasi pelacuran serta tempat-tempat yang menyediakan transaksi seks wajib memakai kondom.”
Konsekuensinya adalah pelacuran dilokalisir melalui regulasi dalam bentuk peraturan sehingga hukum bisa menjangkau kegiatan pelacuran. Germo diberikan izin usaha agar mereka bisa dijerat dengan hukum. Ini sudah dilakukan Thailand dan berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa dengan faktor risiko hubungan seksual dengan PSK.
Pasal 7 ayat a angka 2 disebutkan: Program pencegahan penularan IMS/AIDS dilaksanakan dengan memperhatikan dan mengenali kelompok-kelompok sasaran yang terkait kelompok berisiko tertular melalui jalur seksual, upaya membatasi perluasan penularan IMS dan HIV/AIDS dilaksankan melalui program pengendalian transaksi seksual komersial.
Transaksi seksual komersial tidak bisa dikendalikan kalau pelacran tidak dilokalisir. Soalnya, praktek pelacuran (komersial) terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Lain halnya kalau dilokalisir, maka semua kegiatan bisa diatur melalui peraturan dengan sanksi hukum.
Mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah yang konkret adalah laki-laki memakai kondom setiap kali melacur dengan PSK. Maka, di perda ini pun ada pasal yang menyasar penggunaan kondom pada pelanggan PSK.
Di pasal 13 ayat (1) “Untuk mencegah penyebaran penularan IMS dan HIV/AIDS di masyarakat, pemakai kondom 100% bagi para pelanggan wanita penjaja seks masih merupakan cara pencegahan yang efektif”, ayat (2) “Kondom wajib digunakan pada setiap melakukan hubungan seksual antara para wanita penjaja seks dengan para pelanggannya untuk mencegah penyebaran penulara IMS dan HIV/AIDS di masyarakat.”
Persoalannya adalah tidak ada mekanisme yang sistematis untuk memaksa laki-laki ‘hidung belang’ yang melacur dengan PSK memakai kondom. Di Kab Merauke, Papua, yang diberikan sanksi hukum ternyata hanya PSK, sedangkan laki-laki yang menularkan IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus ke PSK serta laki-laki yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus dari PSK tidak dijerat. Di masyarakat mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV (Lihat: Di Merauke, Papua, PSK yang Tertular IMS Dihukum Denda Rp 1,1 Juta - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/di-merauke-papua-psk-yang-tertular-ims.html).
Kalau cara yang diterapkan Thailand dipakai dalam perda ini, maka insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Celakanya, dalam perda ini sama sekali tidak disebutkan lokalisasi pelacuran.
Lokalisasi pelacuran yang merupakan regulasi diikat dengan hukum melalui izin usaha bagi germo. Nah, setiap pekan dilakukan survailans tes IMS kepada PSK. Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu artinya terjadi hubungan seksual tanpa kondom. Maka, yang diberikan sanksi bukan PSK tapi germo.
Sayang, perda ini dirancang dengan pijakan moral sehingga fakta, seperti keberhasilan Thailand, luput dari perhatian. Ya, Pemkot Sorong tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Perda AIDS Kab Semarang, Prov Jawa Tengah
Media Watch – Pemerintah Kab Semarang, Prov Jawa Tengah, membuat peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS yaitu Perda No 3 Tahun 2010 tanggal 23 Maret 2010 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Semarang.
Sebelumnya Pemprov Jawa Tengah sudah menerbitkan Perda No. 5 Tahun 2009 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Perda AIDS Prov Jateng merupakan perda ke-36, sedangkan Perwalkot ADIS Surakarta merupakan yang ke-28, dan Perda AIDS Kab Semarang yang ke-45 dari 55 perda pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota serta 1 peraturan gubernur (pergub), dan 1 peraturan walikota (perwalkot).
Apakah Perda AIDS Kab Semarang ini bisa menanggulangi epidemi HIV di Kab Semarang?
Sampai Desember 2011 kasus HIV/AIDS yang tercatat di Dinas Kesehatan Kab Semarang yaitu 237 HIV, dan 43 AIDS dengan 29 kematian. Bandingkan dengan data per November 2010 sudah terdeteksi 158 HIV dan 35 AIDS dengan 23 kematian. Kasus-kasus tsb. terdeteksi di wilayah Kab Semarang yang tersebar merata di 19 kecamatan.
Kondom 100 Persen
Dalam Perda AIDS Kab Semarang ini pada pasal 5 ayat c angka 1 disebutkan: “Kebijakan meliputi pencegahan yang efektif melalui penggunaan kondom 100% (seratus persen) pada setiap perilaku seksual tidak aman untuk memutus rantai penularan HIV dan AIDS”.
Pasal ini menyisakan serangkaian pertanyaan, yaitu:
Pertama, siapa yang menjadi sasaran penggunaan kondom 100 persen? Soalnya, di pasal 7 ayat 2 disebutkan: Pencegahan yang dilakukan untuk kelompok rawan meliputi menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seks. Pada pasal 1 ayat 21 disebutkan: Kelompok rawan adalah kelompok yang mempunyai perilaku beresiko tinggi terhadap penularan HIV dan AIDS meliputi Pekerja Seks, pelanggan pekerja seks, orang yang berganti-ganti pasangan seksual, pria berhubungan seks dengan pria, waria, narapidana, anak jalanan, pengguna napza suntik beserta pasangannya.
Kedua, di mana terjadi perilaku seksual yang tidak aman sebagai sasaran penggunaan kondom 100 persen? Jika dikaitkan dengan pasal 1 ayat 21 sebagai sasaran maka dalam perda ini sama sekali tidak ada penjelasan tentang tempat kegiatan berisiko tersebut terjadi.
Ketiga, bagaimana mengawasi penggunaan kondom? Jika pengguaan kondom ditujukan kepada kelompok rawan, bagaimana cara mengawasi penggunaan kondom di kalangan tsb.? Lagi-lagi tidak ada penjelasan yang konkret dalam perda ini.
Tiga pertanyaan ini erat kaitannya dengan penerapan pemakaian kondom. Dalam perda ini sama sekali tidak ada pasal yang terkait dengan program pemakaian kondom yaitu: (a) lokalisasi atau lokasi pelacuran, (b) PSK, (c) laki-laki ‘hidung belang’, (d) izin usaha, (e) monitoring pemakaian kondom, dan (d) sanksi bagi germo.
Di perda-perda lain ada pasal terkait kewajiban memakai kondom pada hubungan seksual berisiko, tapi di Indonesia tidak ada kegiatan pelacuran yang berizin sehingga tidak mungkin memberikan sanksi kepada germo.
Perda AIDS ini kian tidak konkret karena pada pasal 5 ayat a tentang kebijakan disebutkan: penanggulangan HIV dan AIDS harus memperhatikan nilai-nilai agama dan budaya/norma kemasyarakatan, yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, LSM, ODHA serta OHIDHA dimana kegiatannya diarahkan untuk mempertahankan dan memperkokoh ketahanan serta kesejahteraan keluarga yang diselaraskan dengan Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS.
Tes IMS dan HIV
Apa yang dimaksud dengan nilai-nilai agama dan budaya/norma kemasyarakatan yang terakit dengan penularan dan pencegahan HIV sebagai fakta medis?
Penularan HIV tidak ada kaitannya secara langsung dnegan nilai-nilai agama dan budaya/norma kemasyarakatan karena HIV juga bisa menular melalui cara-cara yang tidak melanggar atau bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya/norma kemasyarakatan. Buktinya, ribuan ibu rumah tangga (baca: istri) mengidap HIV. Ini menunjukkan ibu rumah tangga tertular HIV dari suami melalui hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan yang sah secara agama dan negara. Di Kab Semarang terdeteksi sembilan ibu rumah tangga yang mengidap HIV (Harian “Suara Merdeka”, 16/12-2008).
Tidak pula ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Sebagai virus HIV tidak ‘melihat’ kondisi ketahanan dan kesejahteraan keluarga pada penularan melalui hubungan seksual, tapi tergantung pada perilaku seksual orang per orang. Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama (kondisi hubungan seksual).
Upaya-upaya penggulangan epidemi HIV kian tidak konkret dalam perda ini. Di pasal 7 ayat 1 tentang langkah-langakah penanggulagan disebutkan: Pencegahan yang dilakukan oleh dan untuk kelompok ODHA dan OHIDHA meliputi: (a) tidak melakukan hubungan seks diluar perkawinan yang sah, (b) melakukan hubungan seks dengan kondom, (c) saling setia kepada pasangannya atau tidak berganti-ganti pasangan seks.
Bunyi huruf a tidak akurat. Ini mitos (anggapan yang salah) karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dan hubungan seksual di luar nikah. Sedangkan yang tertera pada huruf b sudah disepakati ketika terjadi kesepakatan tes melaluiinformed consent setelah konseling sebelum tes HIV. Demikian pula pada hufur c kalau salah satu atau kedua-dua pasangan yang saling setia mengidap HIV maka mereka tetap harus memakai kondom karena penularan HIV melalui hubungan seksual tidak bisa dicegah dengan kesetiaan.
Pada pasal 7 ayat 3 tentang Pencegahan bagi kelompok rentan meliputi: (a) sosialisasi tentang dampak negatif HIV dan AIDS, (b) tidak melakukan hubungan seks diluar perkawinan yang sah. Pada pasal 1 ayat 20 disebutkan: Kelompok rentan adalah mereka yang karena lingkup pekerjaannya, lingkungan sosial, rendahnya status kesehatan, daya tahan dan kesejahteraan keluarga akan mempunyai potensi melakukan perilaku beresiko terinfeksi HIV dan AIDS. Bunyi pada huruf b merupakan mitos karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan hubungan seksual di dalam atau di luar nikah.
Di pasal 7 ayat 4 disebutkan: Pencegahan yang dapat dilakukan melalui masyarakat meliputi: (a) meningkatkan iman dan taqwa, (b) memeriksakan diri secara dini dan berkala terhadap penyakit IMS, (c) melakukan perilaku seksual secara sehat.
Lagi-lagi pasal ini hanya mitos. (1) Apa alat ukur iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV? (2) Siapa yang berwewenang mengukur keimanan dan ketaqwaan yang bisa mencegah penularan HIV? Bunyi pada huruf a tsb. mendorong masyarakat melakukan stigmatisasi (pemberian cap buruk atau negative) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang mengidap HIV karena pasal tsb. mengesankan orang-orang yang tertular HIV tidak beriman dan tidak pula bertaqwa.
Bunyi huruf b pun tidak pas karena tidak semua orang harus memeriksakan diri terkait dengan IMS. Pasal ini mengesanan semua orang perilaku seksualnya berisko. Ini menyesatkan. Lalu, siapa saja, sih, yang harus menjalani tes IMS dan HIV? Sayang, dalam perda tidak ada penjelasan yang konkret.
Jika disimak dari aspek epidemilogi HIV maka yang dianjurkan menjalani tes IMS dan HIV adalah orang-orang yang perilaku seksualnya berisiko yaitu; “Setiap orang yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, tanpa kondom di wilayah Kabupaten Semarang atau di luar Kabupaten Semarang serta di luar negeri dengan pasangan yang bergati-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSKdi lokasi dan lokalisasi pelacuran), PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, PIL dan WIL, dll.) serta pelaku kawin cerai.”
Tanpa Disadari
Bunyi huruf c juga tidak jelas karena semua hubungan seksual (hanya) bisa terjadi pada kondisi sehat.
Langkah-langkah penanggulangan berupa pencegahan oleh Pemerintah Daerah pada pasal 7 ayat 5 huruf I meliputi: meningkatkan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Di pasal 1 ayat 27 disebutkan: Prevention Mother to Child Transmisionyang disingkat PMTCT adalah pencegahan penularan HIV dan AIDS dari ibu kepada bayinya. Tapi, dalam perda ini tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV pada ibu-ibu rumah tangga yang hamil.
Pasal 6 tentang strategi penanggulangan AIDS pada ayat c disebutkan meningkatkan dan memperluas upaya pencegahan yang efektif dan efisien. Lagi-lagi tidak ada langkah konkret yang ditawarkan dalam perda ini untuk menjalankan ayat c tsb.
Salah satu faktor risiko (mode of transmission) penularan HIV adalah hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Maka, jika ingin perda bisa diandalkan untuk menanggulangi epidemi HIV maka yang perlu diperhatiakan adalah perilaku seksual yang berisiko. Di pasal 1 ayat 40 disebutkan: Perilaku Seksual Tidak Aman adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom.
Pertanyaannya adalah: Apakah Pemkab Semarang bisa menjamin bahwa tidak ada penduduk laki-laki dewasa di Kab Semarang yang melacur tanpa kondom di wilayah Kab Semarang atau di luar Kab Semarang?
Kalau jawabannya BISA, maka tidak ada persoalan risiko penyebaran HIV melalui hugungan seksual.
Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA maka ada persoalan besar yang dihadapi Pemkab Semarang yaitu ada penduduk laki-laki dewasa yang berisiko tertular HIV karena melakukan perilaku seksual yang tidak aman. Kasus-kasus HIV yang tidak terdeteksi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS.
Nah, yang perlu ‘dijerat’ dengan perda adalah orang-orang yang melakukan perilaku seksual yang tidak aman yaitu mewajibkan setiap penduduk, terutama laki-laki dewasa, untuk memakai kondom jika melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan dengan pasangan yang bergati-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di lokasi dan lokalisasi pelacuran), PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, PIL dan WIL, dll.) serta pelaku kawin cerai.
Sanksi pidana yang ada dalam perda ini adalah pelanggaran terhadap pasal 5 huruf e yaitu setiap perusahaan diwajibkan melakukan program pencegahan HIV dan AIDS, dan pasal 17 huruf c tentang peran dan tanggung jawab ODHA yaitu berkewajiban tidak melakukan tindakan berisiko yang dapat menularkan HIV dan AIDS kepada orang lain.
Terkait dengan perihal menularkan HIV dengan sengaja kepada orang lain fakta menunjukkan justru lebih dari 90 persen kasus infeksi HIV melalui hubungan seksual terjadi tanpa disadari. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Perda AIDS Provinsi Jawa Tengah Mengabaikan (Lokalisasi) Pelacuran

Apakah perda ini menyentuh akar persoalan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS?
Tentu saja tidak!
Soalnya, perda ini yang merupakan salah satu dari 55 perda, 1 peraturan gubernur, dan 1 peraturan walikota, yang sudah ada di Indonesia sama seperti perda lain yaitu copy-paste. Perda ini pun bagaikan ‘macan kertas’ karena tidak menukik ke akar masalah dan pasal-pasal penanggulangan dan pencegahan pun tidak konkret.
Coba simak pasal 5 tentang pencegahan tidak ada pasal yang ekplisit terkait dengan pencegahan melalui hubungan seksual.
Padahal, fakta menunjukkan faktor risiko (mode of transmission) penularan HIV paling banyak melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Di pasal 5 ayat a (2) disebutkan: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui upaya peningkatan penggunaan kondom pada setiap hubungan seks berisiko.”
Penggunaan kondom yang yang dimaksud mengacu ke program di Thailand, yaitu ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki dewasa pada hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran dan rumah border.
Tapi, bunyi pasal 5 ayat a (2) tsb. tidak konkret karena dalam perda ini tidak jelas siapa sasarannya dan di mana perilaku berisiko tsb. dilakukan. Ini menunjukkan ambiguitas karena HIV/AIDS dilihat dari sudut pandang moral sehingga tidak dikaitkan dengan realitas sosial terkait dengan praktek pelacuran yang ada di Jawa Tengah. Lagi pula biar pun di Jawa Tengah tidak ada lokalisasi penduduk Jawa Tengah bisa saja melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom di luar Jawa Tengah atau di luar negeri.
Kasus HIV/AIDS mulai banyak terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Mereka tertular HIV dari suaminya. Ini membuktikan bahwa suami mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain, seperti PSK. Terkait dengan hal ini pada pasal 5 ayat c disebutkan: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui upaya pengurangan risiko penularan dari ibu yang positif HIV ke bayi yang dikandungnya.”
Persoalan yang sangat mendasar adalah: Bagaimana mendeteksi ibu-ibu rumah tangga yang sudah tertular HIV?
Dalam perda ini tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV pada ibi-ibu hamil. Karena tidak ada mekanisme yang konkret, maka kasus HIV pada ibu hamil tidak akan banyak terdeteksi. Akibatnya, akan banyak bayi lahir dengan HIV. Ini akan menambah beban karena akan banyak bayi dengan HIV yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
Di pasal 5 ayat g disebutkan: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui upaya pemberian materi kesehatan reproduksi termasuk di dalamnya tentang IMS dan HIV bagi peserta didik.”
Lagi-lagi pasal ini menyasar remaja padahal fakta menunjukkan mata rantai penyebaran HIV dilakukan oleh kalangan dewasa, terutama laki-laki, yang dibuktikan dengan kasus HIV pada ibu-ibu rumah tangga.
Selain itu perlu pula dipertanyakan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS yang akan diberikan.
Apakah materi KIE kelak akan diberikan secara akurat atau dibalut dengan norma, moral dan agama?
Kalau materi dibalut dengan norma, moral dan agama maka informasi yang akurat tentang HIV/AIDS tidak akan pernah sampai ke kalangan remaja. Ini lagi-lagi membuat perilaku remaja berada pada posisi yang rawan tertular HIV karena mereka tidak memahami cara-cara pencegahan yang konkret.
Pada bagian perlindungan terhadap Odha dan masyarakat di pasal 10 ayat 6 disebutkan: “Setiap calon pasangan berisiko tinggi yang akan menikah disarankan untuk melakukan pemeriksaan di klinik VCT.” Ini sangart rancu karena: (a) siapa (saja) yang dikategorikan sebagai pasangan yang berisiko tinggi, (b) klinik VCT bukan untuk memeriksakan kesehatan (umum) tapi tempat tes HIV melalui konseling sebelum dan sesudah tes HIV. Lagi pula tes HIV sebelum menikah dalam kaitan penanggulangan HIV/AIDS adalah usaha yang sia-sia (Lihat: Sia-sia, Tes HIV Sebelum Menikah - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/sia-sia-tes-hiv-sebelum-menikah_30.html).
Pada pasal 12 ayat 5 disebutkan: “Petugas kesehatan mendorong setiap orang yang berisiko terhadap penularan HIV dan IMS untuk memeriksakan kesehatannya ke klinik VCT.”
Bukan orang yang berisiko tapi pasien yang berobat ke sarana kesehatan dengan keluhan penyakit terkait HIV/AIDS dengan latar belakang perilaku berisiko tertular HIV untuk menjalani tes HIV di klinik VCT.
Di pasal 12 ayat 6 disebutkan: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS wajib berobat. melindungi dirinya dan pasangannya.”
Yang menular adalah HIV bukan AIDS. Seseorang terdeteksi HIV bisa sebelum dan pada masa AIDS. Persoalan besar justru banyak orang yang tidak menydari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka. Tapi, mereka bisa menularkan HIV kepada orang lain, terutama melalaui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah tanpa mereka sadari.
Pasal 12 ayat 7 disebutkan: “Setiap orang yang berhubungan seksual dengan seseorang yang diketahui atau patut diduga bahwa dirinya atau pasangannya terinfeksi HIV dan AIDS wajib melindungi pasangan dan dirinya dengan menggunakan kondom.” Seperti diketahui tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) sehingga tidak bisa menduga-duga apakah seseorang sudah tertular HIV.
Pasal ini menunjukkan pengabaian terhadap perilaku berisiko yaitu hubungan seksual dengan PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran yang ada di Jawa Tengah. Pasal ini menampik fakta tentang keberadaan lokasi dan lokalisasi pelacuran di Jawa Tengah. Padahal, di Kota Semarang saja ada lokalisasi pelacuran ‘Sunan Kuning’ (Lihat: Mudik, 2.000 PSK di Kota Semarang, Jateng, yang Terindikasi Mengidap HIV/AIDS - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/mudik-2000-psk-di-kota-semarang-jateng.html).
Jika perda ini tidak dibalut dengan moral maka pasal 12 ayat 7 berbunyi: “Setiap laki-laki wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung (PSK di lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang), dan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.) serta pelaku kawin cerai di dalam atau di luar wilayah Provinsi Jawa Tengah.”
Biar pun HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga penanggulangannya dapat dilakukan dengan cara yang realistis, tapi dalam perda ini tidak ada cara-cara konkret untuk menanggulangi epidemi HIV.
Pada pasal 12 ayat 11 disebutkan: “Setiap pemilik dan atau pengelola tempat hiburan, atau sejenisnya yang menjadi tempat berisiko tinggi, wajib memberika informasi atau penyuluhan secra berkala mengenai pencegahan HIV dan AIDS kepada semua pekerjanya.” Lagi-lagi ini menunjukkan kemunafikan. Apa, sih, tempat hiburan yang menjadi tempat berisiko (penularan HIV)? Apa iya bioskop, karaoke, pantai, kebun binatang, dll. menyediakan PSK?
Sedangkan di pasal 12 ayat 12 disebutkan: “Setiap pemilik dan atau pengelola tempat hiburan, atau sejenisnya yang menjadi tempat berisiko tinggi, wajib mendata pekerja yang menjadi tanggungjawabanya.” Apa pula yang dimaksud dengan tepat hiburan yang berisiko tinggi (penularan HIV) pada pasal ini?
Kalau saja pasal pasal 12 ayat 11 dan 12 tidak dibalut dengan moral maka yang dituju adalah lokasi atau lokalisasi pelacuran serta tempat yang menyediakan PSK. Tapi, perda ini menafikan lokasi dan lokalisasi pelacuran di Jawa Tengah sehingga semua serba samar-samar.
Pasal 13 ayat 4 disebutkan: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS dilarang dengan sengaja menularkan infeksinya kepada orang lain.” Ini pun menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terkait dengan HIV/AIDS sebagai fakta medis. Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen orang yang tertular HIV justru tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV sehingga penyebaran HIV terjadi tanpa mereka sadari. Yang ditulakan bukan ‘infeksinya’ dan AIDS, tapi HIV.
Pada bab IV yaitu bagian peran serta masyarakat juga tidak memberikan cara yang konkret justru mendorong masyarakat melakukan stigma (cap buruk) dan diskrimnasi (perlakuan yang berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Pasal 14 ayat 1 disebutkan: “Masyarakat bertanggungjawab untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap Odha dan Ohida dengan cara (a) berperilaku hidup sehat, dan (b) meningkatkan ketahanan keluarga.”
Tidak ada kaitan langsung antara hidup sehat dengan penularan HIV dan ketahanan keluarga. Ini mengesakan Odha sebagai orang yang tidak hidup sehat dan tidak mempunyai ketahanan keluarga. Ini menyesatkan.
Pada 14 ayat 3 disebutkan: “Masyarakat mendorong setiap orang yang berisiko terhadap penularan HIV dan IMS untuk memeriksakan kesehatannya ke klinikVCT.” Ini bisa menimbulkan fitnah karena tidak ada ukuran objektif yang bisa menetapkan perilaku setiap orang apakah berisiko atau tidak.
Perda ini pun akan sama nasibnya dengan perda-perda yang sudah ada terkait dengan penanggulangan epidemi HIV yaitu mubazir karena tidak menukik ke akar persoalan secara konkret. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***
Materi KIE HIV/AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia
Media Watch. Penggunaan kata yang merendahkan harkat dan martabat manusia terdapat dalam beberapa material KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) terkait HIV/AIDS.

Di halaman iii disebutkan: penjaja seks (PS), pelanggan penjaja seks (PPS).
Di halaman x pada Daftar Singkatan disebutkan:
- PPS: Pelanggan Penjaja Seks
- WPS: Wanita Penjaja Seks
Di halaman 1 disebutkan wanita penjaja seks (WPS)
Di halaman 11 disebutkan: penjaja seks (PS), wanita penjaja seks (langsung dan tidak langsung), lelaki seks dengan lelaki (LSL), pelanggan penjaja seks (PPS)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud-Balai Pustaka, Cet I, 1988, disebutkan:
- jaja-berjaja-menjaja: pergi berkeliling membawa dan menawarkan barang dagangan (supaya dibeli orang)
- menjajakan: menjual barang dagangan (dengan dibawa berkeliling)
- jaja-jajaan: barang dagangan yang dijajakan
- penjaja: orang yang menjajakan
Bertolak dari makna kata jaja tentulah penggunaan kata penjaja seks tidak pas karena pekerja seks tidak pernah menjajakan ‘barang dagangannya’. Tidak ada pekerja seks yang berkeliling menunjukkan ‘barang dagangannya’. Ini fakta empiris.
Yang terjadi adalah justru laki-laki yang mendatangi, mencari atau ’memesan’ PSK. Ini juga fakta empiris. Sayang, laki-laki yang melacur tidak dijuluki dengan istilah yang bernuansa moral. Yang ada hanya sebutan ’hidung belang’, tapi ini pun tidak menyentuh ranah moral karena tidak menggambarkan kondisi yang ril tentang perilaku (laki-laki).
Pemakaian kata pejaja seks kepada pekerja seks merendahkan harkat dan martabat orang-orang yang (memilih) atau menjadi PSK (baca: perempuan) sebagai manusia.
Pemakaian kata penjaja pada penjaja seks atau wanita penjaja seks menunjukkan tidak ada cita rasa bahasa. Ini terjadi karena penyebutan berpijak pada moralitas sepihak yang menempatkan PSK di posisi tidak bermoral dan pemberi istilah pada kedudukan yang bermoral walaupun ada sebagian yang justru laki-laki ’hidung belang’ dan perempuan peselingkuh.
Penggunaan kata penjaja menyuburkan stigma terhadap PSK dan mendorong masyarakat melakukan diskriminasi terhadap PSK karena mereka sudah ditempatkan pada posisi yang tidak bermoral.
Istilah lelaki seks dengan lelaki (LSL) juga tidak pas karena tidak ada gambaran proses atau kegiatan dalam kata ini. Seks adalah jenis kelamin sehingga kalau diartikan maka kata itu menjadi ‘lelaki jenis kelamin dengan lelaki’. LSL dipakai sebagai padanan istilah ‘man having sex with man‘ (MSM). Pada MSM ada kegiatan yaitu laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki atau laki-laki suka seks laki-laki, sedangkan pada LSL tidak ada kegiatan (seks).
Selain itu Odha bukan singkatan atau akronim tapi kata yang mengacu kepada Orang dengan HIV/AIDS sehingga tidak semua hurufnya kapital. Istilah ini sendiri dianjurkan oleh (alm.) Prof Dr Anton M. Moeliono, ketika itu Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, kepada aktivis YPI al. Husein Habsyi dan alm. Suzana Murni (16/11-1995). Menurut Prof Anton pemakaian kata Odha lebih netral dan dinamis daripada menyebut penderita, pengidap, korban, dll.(Syaiful W. Harahap, Pers Meliput AIDS, Penerbit PT Sinar Kasih/Ford Foundation, Jakarta, 2000).
Dalam KIE saja kita sudah membuat jarak dan merendahkan harkat dan martabat manusia. Ini juga akan membuat orang melihat PSK sebagai bidang keladi epidemi HIV. Pada akhirnya hal itu akan mendorong masyarakat melakukan stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap PSK dan akan bermuara pada Odha.
Memojokkan PSK dalam kaitannya dengan pelacuran hanyalah menunjukan kemunafikan karena sama sekali mengabaikan peranan laki-laki (’hidung belang’) dalam pelacuran. ***[AIDS Watch Indonesia/ Syaiful W. Harahap]***
“Menembak” PSK di Perda AIDS Kab Merauke, Papua
* Perda yang diskriminatif berpotensi melanggar HAM

Laporan terakhir, Juni 2012, menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Merauke mencapai 1.464, yang terdiri atas perempuan 713 atau 48,5 persen, laki-laki 705 (48,2%) dan tidak diketahui 46 atau 3,3 persen. Sedangkan kasus pada anak usia di bawah lima tahun tercatat 38 (id.berita.yahoo.com, 13/8-2012).
Perda ini merupakan ‘turunan’ dari ‘Program 100 Persen Kondom’ di Thailand karena hanya mengatur penggunaan kondom. Program ini berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan pelanggan pekerja seks komersial (PSK) di Thailand karena dijalankan dengan cara yang konkret dan sistematis.
‘Penjaja Seks’
Dalam Perda AIDS Merauke PSK disebut sebagai ‘penjaja seks komersial’. Penggunaan kata ‘penjaja’ kepada pekerja seks pada kata ‘penjaja seks komersial’ tidak objektif karena PSK tidak menjajakan seks (diri). Menjajakan berarti berkeliling untuk menjual barang dagangan dengan cara menawar-nawarkan. Yang sudah baku adalah PSK yang merupakan terjemahan dari commercial sex worker yang dikenal secara internasional. Pemakaian istilah PSK tidak mengacu ke ranah moral, tapi realitas sosial terkait dengan (pilihan) pekerjaan.
Apakah pekerja seks berkeliling menawar-nawarkan ‘barang dagangan’-nya? Tentu saja tidak. Lagi pula yang ‘dijual’ PSK bukan barang tapi pelayanan (jasa). Pelanggan tidak membawa pulang ‘barang’ PSK biar pun pelanggan sudah membayarnya. Yang mendatangi PSK adalah laki-laki sehingga kata penjaja tidak tepat diberikan kepada PSK (Lihat: Materi KIE HIV/AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/materi-kie-hivaids-yang-merendahkan.html).
Penggunaan kata ‘penjaja seks’ merupakan salah satu bentuk pemberian cap buruk (stigmatisasi) terhadap pekerja seks dan merendahkan harkat martabat sebagai manusia. Kata ‘penjaja seks komersial’ mengesankan PSK berkeliling menggoda laki-laki dengan menawar-nawarkan ‘barang’nya. Hal ini menyudutkan dan memojokkan PSK (baca: perempuan) dan bias gender. Yang terjadi justru laki-laki yang mendatangi PSK.
Pada pasal 1 ayat l disebutkan ‘Penjaja seks adalah seorang laki-laki, perempuan atau waria yang menyediakan dirinya untuk melakukan hubungan seks dengan mendapat imbalan’. Rumusan ini pun merendahkan martabat pekerja seks. Apakah semudah itu mendapatkan (seks) dari mereka?
Pada pasal 4 ayat a disebutkan “Setiap penjaja seks komersial wajib menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual.”
Kalau penjaja seksnya laki-laki tentu saja masuk akal.
Nah, kalau penjaja seksnya perempuan? Apakah di Merauke sudah tersedia kondom (untuk) perempuan? Kalau ada ya tidak masalah. Tapi, kalau tidak ada tentulah persoalan besar bagi PSK perempuan.
Kalau perda ini dirancang dengan pijakan fakta, maka pasal 4 ayat a itu berbunyi: “Setiap laki-laki wajib memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.”
Nah, itu baru faktual dan bisa diterapkan dengan konkret.
Pada pasal 4 ayat b disebutkan: “Memeriksakan diri sekurang-kurangnya satu kali dalam 1 (satu) bulan terhadap penyakit Human Imunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada klinik reproduksi Merauke, Puskesmas, RSUD atau tempat lain yang ditetapkan oleh Pemerintah.”
Ada beberapa hal yang luput dari perhatian yang merancang pasal ini, yaitu:
Pertama, kapan seorang PSK (harus) memeriksakan diri terhadap infeksi HIV? Pertanyaan ini erat kaitannya dengan pemahaman yang komprehensif terhadap HIV/AIDS. Jika tes HIV dilakukan dengan rapid test atau dengan reagen ELISA, maka ada masa jendela yaitu antara tertular HIV sampai dengan tiga bulan. Pada masa jendela ini rapid test dan ELISA tidak bisa mendeteksi antibody HIV karena belum terbentuk di dalam darah. Maka, hasilnya bisa negatif palsu (HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi karena masa jendela) atau positif palsu (HIV tidak ada dalam darah tapi hasil tes reaktif).
Positif palsu menimbulkan dampak buruk bagi PSK. Mereka dilarang bekerja dan akan mendapat perlakuan yang tidak adil, stigmatitasi dan diskriminasi serta sanksi hukum. Padahal, bisa jadi mereka tidak tertular. Bahkan, bisa jadi mereka dikucilkan atau dibuang mucikari.
Sedangkan negatif palsu menimbulkan bencana bagi pelanggan laki-laki yang tidak mau memakai kondom karena ada kemungkinan yang terdeteksi negatif palsu justru sudah tertular HIV. Laki-laki pun enggan memakai kondom karena PSK dinyatakan HIV-negatif (palsu).
Yang jadi persoalan besar justru laki-laki karena ada kemungkinan yang menularkan HIV dan IMS atau dua-duanya ke PSK adalah laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom.
Sanksi dan Denda
Kedua, dalam kurun waktu satu bulan seorang PSK yang sudah tertular HIV tentulah sudah menularkannya kepada banyak laki-laki yang mengencaninya tanpa kondom. Andaikan satu bulan seorang PSK bekerja 20 hari dan setiap malam melayani 3 (tiga) laki-laki maka ada 60 laki-laki yang berisiko tertular HIV.
Celakanya, dalam perda tdak ada pasal yang memberikan langkah konkret secara sistematis untuk mendeteksi IMS dan HIV pada kalangan tertentu yang menjadi pelanggan PSK.
Sanksi hukum terhadap PSK yang terdeteksi HIV-positif (palsu) dan dan mengidap IMS merupakan salah satu bentuk diskriminasi karena bisa saja mereka ditulari oleh laki-laki.
Terkait dengan sanksi pidana pada pasal 12 ayat (1) disebutkan: ”Setiap Penjaja Seks Komersial, Pelanggan, Mucikari, Pengelola Bar dan Pramuria yang dengan sengaja melanggar Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan dan denda paling banyak Rp 5.000.000,- ( Lima juta rupiah).”
Tapi, dalam prakteknya yang sudah diseret ke meja hijau hanya PSK, sedangkan laki-laki yang justru menulakan IMS kepada PSK lolos dari jeratan hukum. Pemkab Merauke dan laki-laki yang menularkan IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus kepada PSK boleh saja membusungkan dada, tapi tanpa disadari mereka akan menyebarkan HIV secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga dan anak-anak menunjukkan yang menularkan IMS dan HIV kepada ibu-ibu rumah tangga itu adalah laki-laki yang lolos dari jeratan hukum.
Maka, kalau ada PSK yang terdeteksi HIV-positif atau mengidap IMS atau dua-duanya sekaligus maka yang perlu diperhatikan adalah laki-laki lokal, asli atau pendatang, karena merekalah pelanggan utama PSK. Terkait dengan hal ini ada dua kemungkinan, yaitu:
(1) Kemungkinan laki-laki lokallah, asli atau pendatang, yang menularkan HIV dan IMS kepada PSK. Ini menunjukkan di masyarakat Merauke ada laki-laki lokal, asli atau pendatang, yang mengidap IMS atau HIV atau dua-duanya. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus kepada PSK menjadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
(2) Kemungkinan PSK baru (tapi stok lama) yang beroperasi di Merauke sudah tertular IMS dan HIV ketika tiba di Merauke. Maka, laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom berisiko tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus dari PSK menjadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kedua kemungkinan ini sama-sama berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat lokal, terutama ibu-ibu rumah tangga, karena ada risiko tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus dari suaminya dalam ikatan pernikahan yang sah.
Memakai kondom untuk melindungi diri merupakan suatu sikap yang bertolak dari pemahaman yang komprehensif terhadap risiko tertular HIV. Pemakaian kondom dipaksakan melalui peraturan tanpa mekanisme yang sistematis akan menimbulkan pelanggaran karena cara pengawasan yang tidak mudah.
Dalam perda disebutkan bahwa pengawasan dilakukan melalui “ …. sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sekali mengawasi program penggunaan kondom melalui kotak monitor penggunaan kondom dan pemasaran kondom.”
Apakah cara ini efektif? Tentu saja tidak. Soalnya, bisa saja bungkus kondom berserakan tapi kondomnya tidak dipakai oleh laki-laki ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Posisi tawar PSK yang sangat lemah juga membuat mereka tidak bisa menolak ajakan laki-laki untuk melakukan hubungan seksual tanpa kondom karena diiming-imingi dengan tambahan uang dari tarif resmi. Ada juga laki-laki yang memakai tangan germo untuk memaksa PSK meladeninya tanpa kondom. Hal ini tidak muncul dalam perda sehingga yang menjadi korban hanya PSK.
Jika pemberian sanksi yang hanya dilakukan terhadap PSK merupakan diskriminasi (perlakuan berbeda) yang merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).
Kondom Berpori
Ada asumsi (moral) yang salah yaitu anggapan bahwa kondom akan mendorong orang untuk berzina. Ini ngawur karena pezina dan laki-laki ‘hidung belang’ enggan memakai kondom karena repot, tidak nyaman dan tidak nikmat. Maka, upaya untuk memaksa laki-laki memakai kondom bukanlah pekerjaan yang mudah.
Biar pun ada ancaman hukuman jika tidak memakai kondom, tapi laki-laki akan mencari cara untuk menghindar dari peraturan karena berkencan dengan PSK adalah untuk bersenang-senang. Memakai kondom mengurangi kenikmatan. Maka, mereka pun tidak memakai kondom agar bisa bersenang-senang. Ini terjadi karena pemahanan terhadap HIV/AIDS tidak komprehensif sehingga mereka mengababaikan keselamatan.

Celakanya, media massa pun ikut menyuburkan mitos ini dengan menggiring masyarakat melalui pernyataan yang dikutip wartawan dari pakar yang membalut lidahnya dengan norma, moral dan agama. Padahal, HIV/AIDS dan kondom adalah fakta medis artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran.
Tapi, karena mitos kondom berpori sudah subur di masyarakat maka semua upaya untuk memberikan fakta tentang kondom pun buyar.
Kondom berpori memang ada tapi yang terbuat dari usus binatang. Kondom jenis ini tidak ada di Indonesia. Harga kondom ini di Amerika Serikat, misalnya, sekitar 3 dolar atau Rp 27.000. Harga ini tentu saja mahal bagi sebagian besar pelanggan PSK.
Kondom yang ada di Indonesia adalah kondom yang terbuat dari lateks sehingga tidak berpori-pori. Pembuktiannya sangat mudah. Kondom ditiup,. Biar kan berapa hari. Ternyata kondom tidak kempes. Tapi, karena sudah ada mitos kon-dom berpori maka sa-ngat sulit untuk mem-berikan fakta tentang kondom lateks yang tidak berpori.
Menjadikan kondom sebagai salah satu alat untuk melindungi ma-syarakat pun lagi-lagi buyar karena kondom dibenturkan ke norma, moral dan agama dengan mengatakan bahwa kondom mendorong orang untuk berzina atau melacur.
Ada anggapan di segelintir orang bahwa kegiatan yang ‘merangkul’ PSK sebagai kegiatan untuk melindungi mereka. Ini salah karena dalam kaitan penyebaran IMS dan HIV yang dapat ‘dipegang’ adalah PSK. Sedangkan para ‘hidung belang’ sulit ditangani.
Apakah asumsi yang mengatakan kondom mendorong orang untuk berzina atau melacur terbukti secara empiris? Tentu saja tidak karena para pezina justru enggan memakai kondom karena mengurangi kenikmatan. Sayang, fakta ini tidak pernah muncul sehingga tidak ada perimbangan informasi.
Karena mitos kondom sudah memasyarakat maka orang pun enggan untuk berurusan dengan kondom. Coba lihat wajah karyawan apotek kalau kita membeli kondom. Mereka langsung senyum-senyum. Padahal, orang yang membeli kondom tidak otomatis dipakai untuk berzina atau melacur. Entah apa yang ada di benak mereka. Akibatnya, banyak orang yang enggan membeli kondom.
Ada upaya untuk mendekatkan kondom kepada orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV dan IMS dengan memasang mesin kondom (di masyarakat dikenal sebagai ‘ATM Kondom’). Tapi, lagi-lagi protes atas nama moral dan agama menentang ‘ATM Kondom’ datang bertubi-tubi.
Memasyarakatkan kondom bagi orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus merupakan upaya untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV ke masyarakat. Laki-laki pelanggan PSK, yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, PIL (pria idaman lain), remaja atau duda bisa menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Kalau ‘hidung belang’ enggan memakai kondom ketika kencan dengan PSK dianjurkan agar memakai kondom jika melakukan hubungan seks dengan istri, pacar atau WIL (wanita idaman lain). Ini untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV. ***[AIDS Watch Indonesia/ Syaiful W. Harahap]***
Peraturan Walikota Surakarta (Solo) tentang Penanggulangan HIV dan AIDS
Media Watch. Pemkot Surakarta, juga dikenal sebagai Kota Solo, Jawa Tengah, menelurkan Peraturan Walikota Surakarta No. 4-A Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS tanggal 15 Mei 2008. Peraturan walikota (perwalkot) ini merupakan perwalkot pertama. Sedangkan peraturan daerah (perda) tentang AIDS sudah ada 55, serta satu peraturan gubenur (pergub). Jika diurut, maka Perwalkot Surakarta ini ada di urutan 28 dari peraturan AIDS yang ada di Indonesia.
Ketika perwalkot itu disahkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Solo dilaporkan tahun 2008, tercatat ada 107 kasus penyakit HIV/AIDS (www.solopos.com, 01/12-2010).
Jika bertolak dari kasus HIV/AIDS yang ada tentulah maksud perwalkot itu untuk ‘menghambat’ penyebaran HIV/AIDS di Kota Solo. Apalagi di Kota Solo dikenal ada lokalisasi pelacuran Silir.
Kota Surakarta, yang juga dikenal sebagai Kota Solo, Jawa Tengah, rupanya tidak mau ketinggalan kereta dalam ‘perlombaan’ membuat peraturan tentang penanggulangan AIDS. Sama seperti perda-perda lain sebelum dan sesudah peraturan walikota ini ada ‘nafsu’ dan ‘hasrat’ menanggulangi penyebaran HIV melalui hubungan seksual berisiko dengan kewajiban memakai kondom.
Celakanya, program yang meniru ke Thailand itu tidak dipakai utuh, tapi diadopsi dengan setengah hati. Data KPA menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS sampai April 2011 mencapai 552 dengan 176 kematian. Angka ini menempatkan Surakarta menempati peringakt kedua jumlah kasus HIV/AIDS se Jawa Tengah.

Terkait dengan penanggulangan seperti judul peraturan ini di pasal 1 ayat 17 disebutkan: “Penanggulangan adalah upaya-upaya agar tidak terjadi penyebarluasan HIV-AIDS di masyarakat.”
Celakanya, tidak ada pasal yang menjelaskan cara-cara yang konkret dalam menanggulangi epidemi HIV.
Yang ada justru pasal yang normatif yaitu di pasal 4 ayat 3 disebutkan: “Penanggulangan HIV dan AIDS di dasari kepada nilai luhur kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat hidup manusia.”
Pasal ini sama sekali tidak memberikan penjelasan tentang cara yang konkret dalam menanggulangi penyebaran HIV.
Kalau saja Pemkot Surakarta melihat program di Thailand secara utuh tentulah pasal-pasal dalam peraturan ini akan realistis. Thailand mengembangkan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir dengan skala nasional. Sedangkan di Indonesia program hanya disebutkan secara normatif di beberapa perda.
Maka, laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Surakarta, misalnya, yang wajib memakai kondom jika sanggama dengan PSK tinggal ‘melangkah’ ke daerah lain agar lolos dari sanksi hukum jika tidak memakai kondom.
Lagi pula kewajiban memakai kondom dalam peraturan walikota ini pun tidak konkret.
Lihatlah pasal 8 ayat d: “Pengembangan jejaring dilakukan untuk mendukung pelaksana kegiatan-kegiatan penggunaan kondom 100% dan alat suntik steril di lingkungan kelompok perilaku resiko tinggi.”
Pasal ini tidak jelas tempat yang masuk dalam pasal ini karena risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di mana saja jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom.
Di pasal 10 ayat c: “Pemerintah berkewajiban melaksanakan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) secara terpadu dan berkala di tempat-tempat perilaku beresiko tinggi, termasuk didalamya keharusan penggunaaan kondom 100%.”
Namun, tidak ada satu pun pasal yang menjelaskan cara pemantauan keharusan memakai kondom.
Di pasal 1 ayat 8 disebutkan: “Kelompok resiko tinggi adalah kelompok yang mempunyai perilaku beresiko tinggi tertular HIV dan AIDS yaitu penjaja seks, pelanggan penjaja seks, pasangan tetap dari penjaja seks dan pasangan tetapnya, penyalahgunaan Napsa suntik, narapidana, anak jalanan, laki-laki pelaku hubungan seks dengan pasangan sejenis, termasuk waria.”
Yang menjadi persoalan adalah dalam peraturan tidak ada intervensi yang konkret terhadap ‘kelompok risiko tinggi’ agar tidak terjadi penyebaran HIV.
Yang ditonjolkan justru kelompok kerja pencegahan. Di pasal 17 ayat b disebutkan: Tugas Kelompok Kerja Pencegahan meningkatkan penyediaan, pengendalian mutu, dan pemakaian kondom 100%.”
Tapi, tidak jelas kaitannya dengan intervensi terhadap kalangan yang perilakunya berisiko tinggi.
Dalam tiga pasal di atas sama sekali tidak tergambar cara konkret untuk menerapkan penggunaan kondom pada hubungan seksual berisiko. Maka, pasal-pasal itu pun tidak berguna untuk memastikan pemakaian kondom pada hubungan seksual berisiko.
Di pasal 17 ayat e disebutkan: “Tugas Kelompok Kerja Pencegahan melaksanakan upaya pencegahan penularan dari ibu pengidap HIV kepada bayinya.” Masalahnya adalah tidak ada mekanisme yang sistematis untuk mendeteksi HIV pdaa perempuan hamil. Banyak perempuan hamil tidak menyadari dirinya tertular HIV karena mereka merasa perilakunya tidak berisiko tertular HIV. Malaysia menjalankan survailans tes HIV rutin terhadap perempuan hamil.
Pada pasal 12 ayat a disebutkan: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV tidak melakukan hubungan seksual secara tidak aman.” Sedangkan di pasal 12 ayat d disebutkan: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV tidak melakukan tindakan apa saja yang patut diketahui dapat menularkan atau menyebarkan infeksi HIV kepada orang lain baik dengan sengaja bujuk rayu atau kekerasan.”
Masalahnya adalah lebih dari 90 persen orang yang terdeteksi HIV tidak menyadari diri mereka sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Sejak lokalisasi pelacuran ‘Selir’ ditutup, maka praktek pelacuran tersebar luas. Akibatnya, dari aspek kesehatan masyarakat kondisi itu meningkatkan risiko penyebaran IMS dan HIV.
Maka, peraturan walikota ini sama sekali tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan penyebaran HIV sehingga Pemkot Solo tidak akan bisa menanggulangi penyebaran HIV. Pemkot Solo tinggal menunggu ‘panen AIDS’ karena penyebaran HIV terus terjadi. Kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***
Perda AIDS Prov Papua: Tidak Ada Lokalisasi Pelacuran (di Papua)
Mewujudkan Tema“Hari AIDS Sedunia 2012” Perlu Langkah Konkret
Brosur HIV/AIDS:Berisi Materi yang Menyesatkan
Informasi
tentang HIV/AIDS yang akurat merupakan “vaksin” (bibit penyakit yang sudah
dilemahkan yang dimasukkan ke tubuh untuk mencegah penyakit masuk) karena
dengan mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang konkret seseorang
bisa melindungi dirinya agar tidak tertular dan menularkan HIV.
Celakanya,
banyak brosur (1 bahan informasi tertulis mengenai suatu masalah yang disusun
secara bersistem; 2 cetakan yang
hanya terdiri atas beberapa halaman dan dilipat tanpa dijilid; 3 selebaran cetakan yang berisi
keterangan singkat, tetapi lengkap) yang memuat informasi HIV/AIDS yang tidak
akurat.
Maka,
tidaklah mengherankan kalau kemudian banyak orang yang “tersesat” sehingga
tertular HIV karena mereka tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan
HIV yang konkret.
Berikut
ini beberapa brosur yang berisi materi HIV/AIDS yang menyampaikan cara-cara
penularan dan pencegahan HIV yang tidak akurat sehingga bisa menyesatkan (misleading).
I.
Dalam brosur AIDS yang diterbitkan oleh KPA Kota Dumai, Prov. Riau,
disebutkan: Cara penularan HIV dan AIDS: Berhubungan seks berganti pasangan
dengan orang yang tidak tahu status HIV/AIDSnya. [Tanggapan: Penularan HIV
melalui hubungan seksual bisa tejadi di dalam dan di luar nikah dengan pasangan
tetap atau pasangan yang berganti-ganti (pekerja seks langsung yaitu pekerja
seks di lokasi atau lokalisasi atau pekerrja seks tidak langsung yaitu ‘cewek
bar’. ‘cewek di salon plus’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, perempuan pemijat dip
anti pijat plus, serta pelaku kawin-cerai) jika salah satu dari pasangan itu
HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama]. Yang
disebutkan dalam brosur itu adalah perilaku berisiko tinggi tertular HIV.
II.
Dalam brosur Fakta tentang HIV/AIDS (diterbitkan oleh
Depkes-ASA-FHI-KPAN-USAID) disebutkan: HIV/AIDS menular melalui hubungan seks
berganti-ganti pasangan tanpa kondom. [Tanggapan: penularan HIV melalui
hubungan seksual bukan karena dilakukan dengan berganti-ganti pasangan tanpa
kondom tapi karena salah satu dari pasangan itu HIV-positif. Biar pun
berganti-ganti pasangan kalau keduanya HIV-negatif maka tidak ada risiko
penularan HIV].
III.
Dalam brosur HIV/AIDS Torang Perlu Tahu (diterbitkan oleh USAID-FHI-Depkes-KPA-Concern
Indonesia) disebutkan: HIV bisa menular lewat “Baku nae sabarang tara pake
kondom”. [Tanggapan: penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena
dilakukan dengan sembarang orang tanpa kondom, tapi karena salah satu dari pasangan
itu HIV-positif. Hubungan seksual yang ‘sembarangan’ tanpa kondom adalah
perilaku berisiko tinggi tertular HIV].
IV.
Dalam brosur Stop AIDS (diterbitkan oleh Depkes-Hari AIDS Sedunia
2006-Media Centre Depkes) disebutkan: “melindungi diri dari penularan dengan
cara (1) Lakukan seks yang aman dengan tidak melakukan hubungan seks sebelum
waktunya, setia pada pasangan, dan selalu menggunakan kondom kalau berhubungan
seks bukan denganpasangan.” [Pertama, tidak melakukan hubungan seks
sebelum waktunya ini tidak akurat karena tidak ada kaitan langsung antara
penularan HIV dengan hubungan seks sebelum waktunya. Kedua, setia pada
pasangan juga tidak akurat karena kalau salah satu pasangan HIV-positif maka
ada risiko penularan biar pun setia. Ketiga, selalu menggunakan kondom
kalau berhubungan seks bukan dengan pasangan. Ini pun tidak akurat karena tidak
ada kaitan langsung antara penularan HIV melalui hubungan seksual dengan bukan
pasangan.]
V.
Dalam brosur “Kenali HIV & AIDS Pikir Bijak Perilaku Sehat” dari Kementerian
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia dan Komisi
Penanggulangan AIDS (tanpa tahun) disebutkan pada bagian Pencegahan penularan
HIV bahwa HIV dapat dicegah dengan melakukan:
A
- Anda berpuasa seks. Bila belum menikah atau jauh dari keluarga. [Tanggapan:
Pertama, mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual adalah dengan cara
tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah,
dengan yang mengidap HIV/AIDS. Kedua, tidak ada kaitan langsung antara penularan
HIV melalui hubungan seksual pada waktu belum menikah, selama menikah dan tidak
menikah. Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi karena salah satu
mengidap HIV/AIDS dan suami atau pasangan laki-laki tidak memakai kondom setiap
kali sanggama. Ketiga, risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan
karena dekat atau jauh dengan keluarga, tapi tergantung pada perilaku seksual
orang per orang dekat atau jauh dari keluarga].
Dari
cara A tersebut tidak ada penjelasan tentang cara mencegah penularan HIV pada
pasangan suami istri jika salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS. Manalah
mungkin sepanjang hidup mereka harus puasa seks.
B
– Bersikap saling setia dengan pasangan tetap [Tanggapan: Pertama, jika salah
satu dari pasangan tetap mengidap HIV/AIDS biar pun setia seumur hidup tetap
ada risiko penularan HIV kalau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama.
Kedua, bisa saja terjadi satu pasangan saling setia pada rentang waktu
tertentu, kemudian berpisah dan mencari pasangan setia berikutnya, seperti
pelaku kawin-cerai. Perilaku ini merupakan perilaku yang berisiko tertular dan
menularkan HIV].
Terkait
dengan cara B di atas jika dikaitkan dengan perilaku laki-laki ‘hidung belang’
akan berdampak buruk karena banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang mempunyai
pasangan tetap di kalangan pekerja seks komersial (PSK), ada dalam bentuk
‘suami’ atau ‘pacar’ (di P Jawa dikenal dengan sebutan kiwir-kiwir). Para
laki-laki ‘hidung belang’ merasa tidak berganti-ganti pasangan karena setiap
kali mereka melacur dengan PSK mereka melakukannya dengan ‘istri’ atau ‘pacar’.
C-
Cegah dengan menggunakan Kondom, yang merupakan alat bantu kesehatan untuk
Kelurga Berencana dan mencegah penularan berbagai penyakit seksual, termasuk
penularan HIV [Tanggapan: kapan dan siapa yang harus memakai kondom untuk
mencegah penularan HIV? Tidak ada penjelasan dalam brosur ini].
O
– Jauh penggunaan napza, terutama ATS dan napza suntik yang dapat mendorong
penularan HIV [Tanggapan: Pertama, istilah napza sudah tidak dipakai karena
tidak semua zat adiktif termasuk narkoba. Yang tepat adalah narkoba. Kedua,
risiko penularan HIV melalui narkoba hanya bisa terjadi kalau narkoba
dimasukkan ke dalam tubuh dengan jarum suntik yang dipakai bersama-sama dengan
bergiliran dan bergantian].
VI.
Dalam buklet “Mengenal dan Menanggulangi HIV/AIDS, Infeksi Menular Seksual dan
Narkoba” (tanpa tahun) yang diterbitkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Prov
Banten, di halaman 3 disebutkan: Pencegahan Penularan (maksudnya
HIV/AIDS-pen.), yaitu:
1.
Menghindari hubungan seks diluar nikah/berganti-ganti pasangan [Tanggapan:
Pertama, penularan HIV bisa terjadi di dalam dan di luar nikah. Ini terjadi
kalau salah satu mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai
kondom setiap kali sanggama. Kedua, berganti-ganti pasangan bukan penyebab
penularan HIV karena penularan HIV bisa terjadi pada ganti-ganti pasangan kalau
salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom].
5.
Perempuan dengan HIV positif agar tidak hamil dan bila hamil mengikuti program
pencegahan HIV dari ibu ke anak [Tanggapan: persoalannya adalah bagaimana
seorang perempuan mengetahui dirinya sudah tertular HIV?].
VII.
Dalam brosur “Remaja, Waspadai HIV dan AIDS ..!!!” yang diterbitkan oleh Komisi
Penanggulangan AIDS Provinsi Bangka Belitung (tanpa tahun) dipakai bahasa
‘gaul’ remaja. Bahasa gaul adalah bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dipakai
pada cetakan, seperti buku, brosur, surat, koran, majalah, dll. adalah bahasa
tulisan. Bahasa lisan, apalagi dalam bentuk slang (ragam bahasa tidak resmi dan
tidak baku yang sifatnya musiman, dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial
tertentu untuk komunikasi intern dengan maksud agar yang bukan anggota kelompok
tidak mengerti) tidak akan efektif karena tidak semua orang, dalam hal ini
remaja, memahami bahasa slang.
Dalam
brosur ini disebutkan: “WASPADA lah Friends … HIV DAPAT menular melalui:
Hubungan
seks diluar nikah/seks Bebas [Tanggapan: Pertama, penularan HIV bisa terjadi di
dalam dan di luar nikah. Kedua, kalau
seks bebas diartikan hubungan seks di luar nikah maka tidak ada kaitan langsung
antara seks bebas dan penularan HIV].
Ada
lagi pernyataan, masih dengan bahasa slang: Kau pasti pengin tidak tertular
kan, Guys? Ikuti tips berperilaku sehat berikut ya!
Kuatkan
Iman dan Taqwa! [Tanggapan: Pertama, apa alat ukur, takar, timbang dan
perlengkapan yang dipakai? Kedua, siapa yang berhak mengukur iman dan taqwa?
Ketiga, apa ukuran iman dan taqwa yang bisa mencegah HIV?]
Tips
di atas merupakan pukulan berat dan penghinaan bagi orang-orang yang tertular
HIV melalui transfusi darah, ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari
suaminya, dan bayi yang tertular HIV dari ibunya. Tips itu mengesankan mereka
ini tertular HIV karena iman dan taqwanya tidak kuat.
VIII.
Buklet “Informasi Dasar HIV & AIDS dan IMS” yang diterbitkan KPA Provinsi
Papua (tanpa tahun) di halaman 6 disebutkan: Untuk mencegah terinfeksi HIV ada
beberapa pilihan perilaku yang dapat dilakukan.
A
= (Abstinentia) = puasa seks, anda jauhi hubungan sex diluar nikah [Tanggapan: Pertama, penularan HIV melalui hubungan
seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah kalau salah satu dari pasangan
itu mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali
sanggama. Kedua, di dalam nikah pun
bisa terjadi penularan HIV kalau salah satu mengidap HIV/AIDS dan suami tidak
memakai kondom setiap kali sanggama].
B
= (Be faithful) Baku setia pada pasangan yang sah/satu pasangan saja
(istri/suami) [Tanggapan: Pertama, pada pasangan suami-istri yang setia pun bisa
terjadi penularan HIV kalau salah satu di antara mereka mengjdap HIV/AIDS
dengan kondisi suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Kedua, kalau
satu pasangan dua-duanya tidak mengjdap HIV maka tidak ada risiko penularan HIV
biar pun mereka pasangan di luar nikah, seperti ‘kumpul kebo’].
C
= (Condom) Cegah dengan kondom. Penggunaan kondom secara tepat dan konsisten
pada setiap kegiatan seksual berisiko dapat melindungi anda dari penularan HV
ataupun IMS [Tanggapan: tidak dijelaskan seperti apa kegiatan seksual
berisiko].
IX.
Dalam brosur “HIV/AIDS dan Program Penanggulangannya” yang diterbitkan oleh
Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat
(Padang, 2009) disebutkan:
-
Mengapa AIDS ditakuti? Sebab AIDS dapat menyerang semua orang tanpa pandang
bulu [Tanggapan: pernyataan ini sensasional sehingga mengabaikan fakta. Yang
menular adalah HIV, dan HIV tidak akan menyerang siapa saja. Risiko tertular
HIV tergantung kepada perilaku seksual orang per orang kecuali ibu-ibu rumah
tangga dan bayi].
-
Mengapa AIDS ditakuti? AIDS dapat mematikan [Tanggaan: yang mematikan pada Odha
(Orang dengan HIV/AIDS) bukan HIV atau AIDS, tapi penyakit yang muncul pada
masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC].
Bagaimana
cara mencegah penularan HIV/AIDS?
-
Hindarkan hubungan seks diluar nikah. Usahakan hanya berhubungan seks dengan 1
orang pasangan seks, tidak berhubungan seks dengan orang lain [Tanggapan: Pertama,
penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena dilakukan di luar nikah
(sifat hubungan seksual), tapi karena salah satu atau dua-duanya mengidap
HIV/AIDS dan suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Kedua, biar pun
hanya dilakukan dengan satu orang kalau pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS maka
ada risiko tertular HIV kalau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali
sanggama].
X.
Dalam brosur “Fakta tentang HIV & AIDS” diperbanyak oleh GF-AIDS Indonesia
HIV-AIDS Comprehensive Care Nusa Tenggara Barat, 2009, disebutkan:
-
HIV menular melalui Hubungan seks dengan orang yang HIV positif tanpa
menggunakan kondom [Tanggapan: persoalannya adalah orang-orang yang sudah
mengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya].
-
Cara Mencegah Penularan HIV: jauhi hubungan SEKS dengan orang yang HIV positif
tanpa menggunakan KONDOM [Tanggapan: orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS
tidak bisa dikenali dari fisiknya].
Satu
hal yang tidak dipaparkan dalam brosur dan buklet yang dibahas dalam tulisan
ini adalah tentang perilaku berisiko tertular HIV/AIDS karena yang disebutkan
hanya cara penularan HIV yaitu al. melalui hubungan seksual dengan yang
mengidap HIV/AIDS.
Persoalannya,
orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya.
Tentu saja tidak mungkin bertanya tentang status HIV kepada (calon) pasangan.
Juga tidak mungkin membawa-bawa alat (kit) tes HIV setiap kali mau melakukan
hubungan seksual.
Maka,
yang paling utama disampaikan dalam brosur dan buklet adalah perilaku seksual
yang berisiko tertular HIV/AIDS, yaitu:
1).
Laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar
nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti.
2).
Perempuan yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar
nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti.
3).
Laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan yang sering
berganti-gamti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan waria.
4).
Melakukan hubungan seksual tanpa kondom pada pasangan suami-istri pelaku
kawin-cerai.
5).
Melakukan hubungan seksual tanpa kondom pada hubungan seks anal Laki-laki Suka
Seks Laki-laki (LSL).
Sayang,
dalam banyak brosur dan buklet tidak ada penjelasan tentang cara melindungi
diri agar tidak tertular HIV secara komprehensif.
Brosur
dan buklet itu sudah disebarluaskan kepada masyarakat. Maka, tidaklah
mengherankan kalau sampai hari ini tetap saja ada yang tidak mengetahui
cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. Itu semua terjadi karena
informasi HIV/AIDS sebagai materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tidak
pernah sampai ke masyarakat dalam bentuk yang utuh dengan materi yang akurat.
***[Syaful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.