Liputan


“Selangit”, Tarif PSK di Kota Kendari, Sultra


Liputan (9/9-2012) – Dengan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS yang ‘kecil’ di Prov Sulawesi Tenggara (Sultra) terkesan dianggap remeh. Dari tahun 2004 sampai April 2012  kasus kumulatif HIV/AIDS di Sultra dilaporkan 196. Angka ini tidak menggambarkan kasus ril di masyarakat.


Hasil survai Lembaga Advokasi HIV-AIDS (LAHA) Sultra tahun 2004 sampai 2010 menyebutkan ada 127 kasus kumulatif HIV/AIDS di Sultra, yang terdiri atas 77 pria dan 50 wanita. Di Kota Kendari dilaporkan 38, Kab Muna 24, Wakatobi 13, Buton dan Kolaka masing-masing 8, Baubau 6, Bombana 5, Konawe Selatan 4, Konawe 3, dan Konawe Utara 2 (www.jpnn.com,  8/6-2011).

Mobilitas ke wilayah Sultra mulai meningkat tajam sejak perkebunan sawit dan kakao serta tambang dikembangkan. Penerbangan regular berjadwal dari Makassar ke Kota Kendari pun sudah dilayani beberapa perusahaan penerbangan, seperti Garuda dan Lion Air. Kegiatan perkebunan dan pertambangan  membutuhkan tenaga kerja yang tidak sedikit dan membuka peluang untuk ‘bisnis seks’.

Di Kota Kendari kafe dan karaoke tenda di sepanjang pantai, penduduk menyebutnya Kendari Beach, menjadi hiburan murah bagi masyarakat. ‘Cewek-cewek’ di kafe dan karaoke bisa diajak jadi teman ngobrol dan bernyanyi. 
Praktek pelacuran memang tidak terbuka di Kota Kendari, tapi dengan bantuan sopir taksi pekerja seks komersial (PSK) amat mudah dipesan. “Tinggal kasi tau kita ke hotel mana, Pak,” kata seorang sopir taksi menawarkan ‘cewek’ yang kata sopir taksi itu bohay.

Tarifnya? Nah, jangan kaget kalau disebut angka Rp 500.000. Ini belum termasuk kamar hotel. Memang, ada losmen dan hotel melati tapi tentu tidak aman dari razia Satpol PP dan polisi. Maka, kalangan berduit dan penggede menunggu atau menemui ‘cewek’ di hotel berbintang yang aman dari razia. Hotel berbintang mematok tarif seputaran Rp 1 juta. Tentu sudah bisa ditebak siapa saja laki-laki yang ‘memesan’ cewek ke hotel berbintang.

Kota sekecil Kendari ternyata banyak taksi. Siapa penumpangnya? “Ya, dengan punya dua atau tiga cewek saja setoran saya sudah lunas, Pak,” kata sopir taksi tadi. Artinya, kalau setiap malam dia membawa tiga ‘cewek’ ke laki-laki ‘hidung belang’, maka dia mengantongi uang antara Rp 300.000 – Rp 450.000. Setoran taksi Rp 200.000 per hari.

Masih menurut sopir taksi tadi, kalau sudah beberapa kali ‘mem-booking’ ‘cewek’ yang sama tarif sekali kencan bisa Rp 350.000.

Tarif sebesar itu tentulah mencegangkan karena di beberapa lokasi pelacuran di P. Jawa atau ‘cewek’ panggilan tarifnya antara Rp 70.000 – Rp 250.000. Itu terjadi karena pendapatan sebagian penduduk di Kota Kendari khususnya bertambah dari hasil perkebunan dan pertambangan. 

Kalau pegawai negeri atau karyawan mempunyai kebun sawit atau kakao tentulah pendapatan mereka setiap bulan bertambah dari gaji sehingga penghasilan ril kian besar. Dengan tarif Rp 500.000 tidak ada artinya bagi mereka karena harga kelapa sawit dan kakao yang tinggi.

Biar pun praktek pelacuran tidak kasat maka, tapi Pemkot Kendari khususnya dan Pemprov Sultra sudah harus membuka mata bahwa ada kegiatan yang berisiko menjadi pemicu penyebaran IMS (infeksi menular seksual, seperti GO/kencing nanah, sifilis/raja singa, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, herpes genitalis, dll.) dan HIV/AIDS.

PSK yang datang ke Kota Kendari dan daerah lain di Sultra tentulah ada yang mengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus. Maka, kalau ada laki-laki penduduk Kota Kendari dan Sultra yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom maka mereka berisiko tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus.

Untuk meningkatkan kemampuan wartawan, khususnya di Fajar Group, LPSDM Harian “FAJAR” Makassar melalui Harian Kendari Ekspres” melatih wartawan Fajar Group di Kendari (25-26 September 2011). Melalui pelatihan tsb. diharapkan wartawan bisa menulis berita yang lebih komprehensif sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penanggulangan HIV/AIDS.

Tanpa langkah yang konkret penyebaran HIV/AIDS di Kota Kendari khususnya dan di Sultra umumnya akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***


Merunut “Perjalanan” HIV/AIDS di Aceh

Liputan. “ …. tingginya perkiraan tingkat penderita HIV/AIDS di Aceh disebabkan semakin terbukanya daerah tersebut terhadap masyarakat luar yang datang dengan misi kemanusiaan merehabilitasi Aceh pasca tsunami Desember 2004 lalu.” Ini pernyataan Direktur UNAIDS perwakilan Indonesia, Jane Wilson, di Banda Aceh (3/12-2006) yang diberitakan oleh  Harian “Serambi Indonesia”, Banda Aceh (4/12-2006).

Laporan terakhir menyebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Aceh tercatat 120, sedangkan dalam laporan Ditjen PP & PL Kemenkes RI tanggal 15 Agustus 2012 disebutkan kasus 65 HIV dan 99 AIDS yang bercokol pada peringat 26 dari 33 provinsi di Indonesia.

Pernyataan Jane Wilson itu menyesatkan karena ada beberapa fakta yang justru bertentangan dengan pernyataan tsb. 

Pertama, sebelum tsunami ada satu kasus HIV/AIDS yang terdeteksi. Penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es, sehingga kemungkinan  ada kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat. Kasus yang terdeteksi (1) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar Fenomena Gunung Es).

Kedua, sebelum tsunami survailans tes HIV hanya dilakukan satu kali. Hal ini terjadi, seperti yang pernah disampaikan oleh staf Dinkes Aceh pada sebuah seminar di Banda Aceh, karena situasi keamanan di Aceh yang tidak kondusif sehingga kegiatan survailans tidak bisa dilakukan (Lihat Gambar 3).

Ketiga, ada kemungkinan orang-orang yang tertular HIV sebelum tsunami belum masuk masa AIDS sehingga mereka tidak berobat ke puskesmas atau rumah sakit karena tidak ada keluhan kesehatan.

Keempat, sebelum tsunami kegiatan penyuluhan dan penjangkauan terhadap komunitas yang perilakunya berisiko tidak ada.

Kelima, sebelum tsunami fasilitas kesehatan terkait dengan konseling dan tes HIV tidak ada.

Sebaliknya, setelah tsunami:

Keenam, mulai banyak aktivitas penyuluhan dan penjangkauan terkait dengan HIV/AIDS yang dilakukan oleh berbagai kalangan, seperti dinas kesehatan, LSM, serta pembentukan komisi-komisi penanggulangan AIDS (KPA).

Ketujuh, penyebarluasan informasi tentang HIV/AIDS mulai digencarkan.

Kedelapan, wartawan dilatih untuk mengembangkan tulisan HIV/AIDS yang komprehensif. Kalangan LSM pun dilatih untuk mendukung kerja wartawan. Selain itu dilatih pula beberapa ustad untuk membuat caramah dan khutbah dengan materi HIV/AIDS. Pelatihan-pelatihan tsb. berlangsung beberapa kali yang didukung oleh MAP (Medan Aceh Partnership).

Kesembilan, fasilitas tes HIV dengan konseling, dikenal sebagai Klinik VCT, mulai didirikan di beberapa rumah sakit.

Kesepuluh, beberapa kasus HIV/AIDS mulai terdeteksi di rumah sakit ketika mereka berobat karena keluhan penyakit yang terkait dengan HIV/AIDS. Ada juga kasus yang dirujuk oleh puskesmas di Aceh ke rumah sakit di Medan.

Celakanya, pernyataan Jane Wilson itu menjadi ‘pegangan’ bagi sebagian besar masyarakat Aceh sehingga membawa mereka kepada situasi yang menggiring mereka ke tepi jurang. Soalnya, pernyataan itu disampaikan oleh ‘bule’ yang dianggap lebih berkompeten. Pernyataan itu mengesankan kasus HIV/AIDS di Aceh terjadi setelah tsunami (Desember 2004). HIV/AIDS dibawa oleh pendatang karena dikabarkan setelah tsunami Aceh terbuka sehingga banyak yang datang ke Aceh. 

Dalam “Laporan Survei Surveilans Perilaku Berisiko Tertular HIV di Nanggroe Aceh Darussalam 2008” (Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) disebutkan: “ …. data survei ini dapat digunakan untuk mengetahui kecenderungan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam terhadap HIV-AIDS yang jumlah dan sebaran kasusnya meningkat pasca gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004 yang lalu."

Sebelum tsunami pun Aceh bukan daerah tertutup karena ada  mobilitas penduduk dari Aceh ke luar Aceh atau dari luar Aceh ke Aceh melalui jalur darat dan udara.

Penduduk Aceh pun ada yang bepergian ke luar Aceh, seperti ke Medan, Jakarta dan daerah lain, serta menjadi menjadi TKI di luar negeri, terutama di Malaysia. Bisa saja ada di antara mereka yang melakukan perilaku berisiko di luar Aceh atau negara tempat mereka bekerja sehingga ada kemungkinan tertular HIV. TKI yang tertular HIV di luar Aceh akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Aceh ketika mereka pulang kampung.

Seorang penduduk di sebuah kota di Kab Aceh Tengah dirujuk ke RS H Adam Malik di Medan, Sumut, karena puskesmas setempat melihat penyakit yang diderita laki-laki itu terkait dengan HIV/AIDS. Hasil tes HIV kemudian menunjukkan laki-laki itu mengidap HIV/AIDS. Dia mengaku pernah merantau ke Jakarta.

Karena informasi yang menyesatkan membuat sebagian masyarakat Aceh menganggap penduduk Aceh tidak ada yang berisiko selama tidak ada kontak dengan pendatang. Seorang peserta pelatihan di Banda Aceh mengatakan bahwa penduduk Aceh yang bekerja di kantor-kantor donor asing berbahaya karena bisa tertular HIV/AIDS.

Kasus-kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi pasca tsunami umumnya diketahui di rumah sakit. Penduduk yang sudah tertular HIV sebelum tsunami memasuki masa AIDS pasca tsunami. Mereka itu berobat ke rumah sakit karena penyakit yang mereka derita tidak sembuh biar pun sudah berobat ke puskesmas. Karena pasca tsunami tenaga medis di rumah-rumah sakit di Aceh sudah diberi bekal tentang HIV dan AIDS maka mereka bisa mendeteksi kasus HIV dan AIDS pada pasien yang berobat (Lihat gambar 4).

Buku “Laporan Survei Surveilans Perilaku Berisiko Tertular HIV di Nanggroe Aceh Darussalam 2008” merupakan hasil pemantauan terhadap perilaku seksual berisiko di beberapa daerah di Aceh yang terkait dengan penularan HIV. Salah satu perilaku berisiko tertular dan menularkan HIV adalah hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) di wilayah Aceh dan di luar Aceh.

Laki-laki ‘hidung belang’ penduduk setempat atau pendatang yang sudah mengidap HIV (ada kemungkinan tertular di Aceh atau di luar Aceh) tapi tidak terdeteksi akan menularkan HIV kepada PSK. Sebaliknya, laki-laki ‘hidung belang’ penduduk setempat atau pendatang yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK akan berisiko pula tertular HIV. Mereka itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka.

Persentase Asal Pelanggan PSK di Kab Aceh Barat, Kab Aceh Tamiang, Kota Banda Aceh, dan Kota Lholseumawe (Lihat Tabel I).

Data menunjukkan 46 persen pelanggan PSK di empat daerah itu adalah penduduk setempat. Tingkat risiko penyebaran HIV dari penduduk setempat ke PSK dan sebaliknya tergantung pada tingkat pemakaian kondom.

Tingkat penggunaan kondom pada hubungan seks terakhir dengan PSK di Kab Aceh Barat, Kab Aceh Tamiang, Kota Banda Aceh, dan Kota Lholseumawe (Lihat Tabel II).

Data survai menunjukkan laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK mencapai 69,6 persen. Ini angka yang besar karena satu dari dua laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak memakai kondom. Kondisi ini akan mendorong penyebaran HIV secara horizontal karena laki-laki ‘hidung belang’ itu bisa saja sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, lajang, duda atau remaja. Mereka menularkan HIV kepada istrinya atau pasangan seksnya serta PSK.

Risiko penyebaran HIV di Aceh melalui hubungan seksual yang berisiko yaitu dilakukan tanpa kondom dengan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini PSK, sangat tinggi karena pemakaian kondom secara konsisten sangat rendah.

Tingkat penggunaan kondom yang konsisten pada PSK di Kab Aceh Barat, Kab Aceh Tamiang, Kota Banda Aceh, dan Kota Lholseumawe (Tabel III).

Data survai menunjukkan laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak pernah memakai kondom 35,4 persen, sedangkan yang kadang-kadang memakai kondom 47,3 persen.

Informasi perilaku berisiko yang disebarluaskan selama ini tidak komprehensif sehingga banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak merasa dirinya berisiko tertular HIV. Soalnya, dalam materi informasi HIV/AIDS yang disebarluaskan disebutkan: perilaku berisiko tertular HIV adalah melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti.

Banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang mempunyai PSK sebagai pasangan tetap di lokasi atau lokalisasi PSK terbuka atau terselubung. Di Pulau Jawa pacar atau ‘suami’ PSK dikenal sebagai ‘kiwir-kiwir’. Di kalangan PSK yang ‘beroperasi’ di Aceh pun ada pacar atau pasangan tetap PSK.

Asal pacar atau pasangan tetap PSK di Kab Aceh Barat, Kab Aceh Tamiang, Kota Banda Aceh, dan Kota Lholseumawe (Lihat Tabel IV).

Data survai menunjukkan pacar PSK justru didominasi oleh penduduk setempat yaitu 58,3 persen. Laki-laki ‘hidung belang’ yang menjadi pacar PSK ini dalam kehidupans sehari-hari bisa sebagai seorang suami sehingga mereka menjadi jembatan penyebaran HIV dari PSK ke masyarakat atau sebaliknya.

Karena informasi yang disebarluaskan selama ini hanya menyebutkan perilaku berisiko jika melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti, maka ‘pacar’ atau pasangan tetap PSK itu tidak merasa berisiko sehingga mereka tidak memakai kondom. Ini meningkatkan risiko penularan dari dan ke PSK.

Tingkat penggunaan kondom pada pacar PSK di Kab Aceh Barat, Kab Aceh Tamiang, Kota Banda Aceh, dan Kota Lholseumawe (Lihat Tabel V).

Lagi-lagi data survai menunjukkan 78,4 persen ‘pacar’ atau pasangan tetap PSK tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual.

Risiko tertular HIV dapat juga dilihat dari tingkat insiden IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungans seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti GO (kencing nanah), sifilis (raja singa), klamidia, hepatitis B, dll.) di kalangan PSK. Jika PSK terdeteksi mengidap IMS maka risiko tertular HIV kian besar. Maka, ada kemungkinan PSK yang mengidap IMS juga sekaligus mengidap HIV. Akibatnya, laki-laki ‘hidung belang’ yang tertular IMS dari PSK bisa jadi sekaligus juga tertular HIV.

Persentase PSK yang pernah mengalami gejala IMS di Kab Aceh Barat, Kab Aceh Tamiang, Kota Banda Aceh, dan Kota Lholseumawe (Tabel VI).

Data menunjukkan ada 35 persen PSK yang pernah terdeteksi menunjukkan gejala IMS. Jika laki-laki ‘hidung belang’ tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK maka mereka berisiko tertular IMS, bahkan sekaligus HIV kalau PSK itu mengidap HIV pula.

Bisa saja terjadi laki-laki ‘hidung belang’ penduduk setempat dan pendatang tidak melakukan perilaku berisiko di Aceh, tapi ke Medan. Di Medan pun ternyata perbandingan antara yang mengidap IMS dan tidak mengidap IMS di kalangan PSK juga tinggi. Kondisi ini meningkatkan risiko penularan IMS dan sekaligus HIV pada laki-laki ‘hidung belang’ asal Aceh yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK di Medan.

Bahkan, prevalensi IMS di kalangan PSK tidak langsung juga tinggi. PSK tidak langsung adalah PSK tidak langsung (seperti, ’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak sekolah’, WIL, ’selingkuhan’, gundik, ’ibu-ibu rumah tangga’, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, dll.) serta pelaku kawin-cerai.

Prevalensi IMS pada kalangan PSK langsung adan PSK tidak langsung di Sumatra Utara, 2007 (Lihat Tabel VII).

Dikhawatirkan laki-laki ’hidung belang’ merasa aman karena mereka tidak melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak langsung. Padahal, prevalensi IMS di kalangan ini juga tinggi. Di Medan ada beberapa hotel yang menawarkan potongan harga tarif kamar untuk pemegang KTP Aceh.

Sudah saatnya paradigma penanggulangan epidemi HIV dibalik yaitu meningkatkan pemahaman kepada laki-laki yang cenderung sebagai ‘hidung belang’ agar menghindari perilaku berisiko. Tidak lagi menjadikan PSK sebagai ‘sasaran tembak’ yang empuk karena risiko penyebaran HIV justru ada juga di kalangan PSK tidak langsung. (lihat gambar)

Pelacuran terjadi karena ada permintaan dan ada pula pasokan. Dua sudut ini tidak akan bisa dihentikan karena menyebar di dunia. Tapi, di sudut lain ada sisi yang bisa disentuh yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak melakukan perilaku yang berisiko tertular HIV. 
***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***


Kondom di Papua: Antara Penanggulangan AIDS, Tingkat Kelahiran, dan Seks Ritual Adat


* Penanggulangan HIV/AIDS di Papua memilih sunat daripada kondom

Liputan. Kasus kumulatif HIV/ADS di Prov Papua dilaporkan 12.187. Tapi, dengan jumlah kasus kumulatif HIV/ADS sebesar itu ternyata Pemprov Papua sama sekali tidak mempunyai program yang konkret untuk menanggulangi epidemi HIV/AIDS di Bumi Cenderawasih itu.

Padahal, tanpa langkah yang konkret, maka Pemprov Papua tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen (kasus) AIDS’. Soalnya, penyebaran HIV di secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, terus terjadi karena tidak ada intervensi yang konkret untuk meredam penyebaran HIV.

“ATM Kondom”

Kondisinya kian runyam karena insiden infeksi HIV baru, terutama melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan di tempat-tempat hiburan terus terjadi.

Celakanya, seperti di Kab Merauke yang dipenjarakan justru PSK yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, al. sifilis, GO, hepatitis B, dll.) dengan alasan mereka meladeni hubungan seksual dengan laki-laki tanpa kondom.

Boleh-boleh saja, tapi tanpa disadari oleh KPA Kab Merauke ada dua hal yang luput dari perhatian, yaitu:

Pertama, ada kemungkinan yang menularkan IMS kepada PSK itu adalah laki-laki lokal, asli atau pendatang. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki itu bisa sebagai seorang suami, pacar, atau selingkuhan. Maka, selain menularkan IMS kepada PSK mereka juga menularkan IMS kepada istri, pacar atau selingkuhannya.

Kedua, ada kemungkinan PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu sudah tertular di luar Merauke. Maka, laki-laki lokal, asli atau pendatang, yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom berisiko tertular IMS. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang berisiko tertular IMS itu bisa sebagai seorang suami, pacar, atau selingkuhan. Maka, kalau mereka tertular IMS, maka mereka punakan menularkan IMS kepada istri, pacar atau selingkuhannya.

“Ah, laki-laki asli jarang yang mau pakai kondom, Mas,” kata seorang PSK di Tanjung Elmo. Fakta ini menempatkan laki-laki asli Papua pada posisi berisiko tinggi tertular IMS atau HIV/AIDS atau kedua-duanya sekaligus melalui hubungan seksual dengan PSK.


Di lokalisasi Tanjung Elmo ada condom vending machine, lebih dikenal dengan sebutan “ATM Kondom”. Dengan memasukkan koin Rp 500 akan keluar sebuah kondom. Beberapa PSK memanfaatkannya untuk mendapatkan kondom.

Celakanya, tidak sedikit laki-laki yang membujuk PSK meladeninya tanpa kondom dengan tambahahn imbalan uang dari tarif ‘resmi’. Kondisi ini mendorong penyebaran IMS dan HIV/AIDS dari laki-laki ke PSK dan sebaliknya dari PSK ke laki-laki.

Laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK dan laki-laki yang tertular IMS dari PSK menjadi mata rantai penyebaran IMS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Kasus-kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga menunjukkan suami atau pasangan mereka melakukan hubungan seksual, al. dengan PSK, tanpa kondom.

Nah, kalau di antara laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK dan laki-laki yang tertular IMS dari PSK ada kepala suku, maka akan terjadi penyebaran IMS pada perempuan di komunitas kepala suku tadi.

Kalau saja Pemprov Papua dan KPA Prov Papua memakai pendekatan yang realistis maka hambatan adat-istiadat terkait dengan sosialisasi kondom bisa diatasi. Juga terkait dengan penolakan kondom karena dikhawatirkan menurunkan populasi penduduk asli.

Alasan untuk menolak kondom yaitu penurunan jumlah kelahiran yang berdampak terhadap populasi penduduk asli, tidak masuk akal karena kondom dianjurkan pada hubungan seksual berisiko, al. yang dilakukan dengan PSK.

Kalau laki-laki penduduk asli memakai kondom ketika melacur, maka mereka tidak perlu memakai kondom ketika sanggama dengan istri. Jadi, laki-laki terhindar dari HIV dan fungsi reproduksi melalui kehaliran anak pun tetap berjalan.

Masyarakat boleh-boleh saja menganggap penggunaan kondom akan membatasi pertambahan penduduk. Alasan itu pun tidak pas karena kondom dianjurkan pada hubungan seksual dengan PSK bukan dengan istri.

Sunat vs Kondom

Tapi, perlu diingat bahwa memakai kondom hanya pada hubungan seksual dengan PSK jika laki-laki tidak mengidap HIV/AIDS. Ini tentu bukan hal yang mudah karena harus dibuktikan bahwa laki-laki tsb. memang tidak mengidap HIV/AIDS.

Karena tidak ada cara untuk memastikan laki-laki yang akan melacur tidak mengidap HV/AIDS, maka dia harus memakai kondom ketika sanggama dengan PSK dan dengan istrinya.

Di sisi lain, apakah masyarakat sudah memahami bahwa jika kelak anak lahir dengan HIV/AIDS justru menimbulkan masalah baru dan anak itu pun belum tentu akan bisa mempunyai anak kelak.

Secara statistik masa AIDS terjadi setelah 5 – 15 tahun tertular HIV, sehingga bayi yang lahir dengan HIV/AIDS di masa remajanya akan mencapai masa AIDS. Kematian pada orang-orang yang mengidap HIV/AIDS terjadi pada masa AIDS.

Masyarakat diberikan pilihan: memakai kondom ketika melacur agar tidak tertular HIV sehingga pada hubungan seksual dengan istri tidak perlu memakai kondom agar bisa menghasilkan keturunan, atau tidak memakai kondom ketika melacur dan sanggama dengan istri tapi risikonya anak lahir dengan HIV/AIDS.


Upaya untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK sama sekali tidak diatur dengan konkret di dalam Perda AIDS Prov Papua (Lihat: Perda AIDS Prov Papua: Tidak Ada Lokalisasi Pelacuran (di Papua) - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/dalam-perda-aids-prov-papua-tidak-ada.html).  
Celakanya, untuk mengatasi penolakan terhadap kondom Pemprov Papua akan melakukan sunat massal sebagai upaya penanggulangan HIV/AIDS. Langkah ini amat riskan karena sunat pada laki-laki bukan mencegah penularan HIV, tapi hanya menurunkan risiko tertular HIV antara 40 – 60 persen. Sedangkan kondom adalah untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual sampai nol persen.

Laki-laki dewasa penduduk asli Papua yang sudah disunat akan merasa dirinya sudah memakai kondom sehingga tidak memakai kondom ketika melacur. Risiko tertular HIV tetap besar. Maka, ketika mereka sanggama dengan istri mereka merasa aman karena sudah disunat. Celakanya, sunat bukan cara mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual sehingga mereka berisiko tertular HIV ketika melacur. Maka, istri mereka pun berisiko tertular HIV kalau mereka tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Pada laki-laki yang (sudah) disunat sejak anak-anak pun tetap terjadi IMS. “Banyak laki-laki yang disunat mengidap IMS,” kata seorang praktisi kesehatan di Subang, Jawa Barat.  Bahkan, Arab Saudi yang semua laki-laki disunat sudah melaporkan lebih dari 15.000 kasus AIDS.

Begitu juga dengan ritual adat. Kalau laki-laki tidak mau memakai kondom pada ritual adat, maka pakailah kondom jika melalukan hubungan seksual dengan PSK atau pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah.

Di beberapa komunitas suku asli di Papua ada ritual yang al. ada kegiatan melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang bukan istri atau pasangannya. Salah satu yang dikenal adalah tradisi papisj.

Karena tidak mungkin menyadarkan semua laki-laki terkait dengan risiko tertular HIV pada hubungan seksual dengan PSK, maka Pemprov Papua harus melakukan intervensi yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hungan seksual dengan PSK.

Celakanya, Pemprov Papua dan pemerintah kabupaten dan kota di Papua sama sekali tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Jika ada laki-laki asli Papua yang melacur tanpa kondom di Papua atau di luar Papua, maka selama itu pula selalu saja ada laki-laki aspi Papua yang berisiko tertular HIV.

Laki-laki asli Papua yang tertular HIV di Papua atau di luar Papua akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Papua, terutama melalui hubungan seksual dalam nikan, di luar nikah dan pada ritual ganti-ganti pasangan.

Diperlukan langkah-langkah yang konkret untuk menyelamatkan orang asli Papua dari HIV/AIDS. Untuk itulah Pemprov Papua harus mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran. **[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***


AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan

Catatan Redaksi. Naskah ini dimuat di Harian "SUARA PEMBARUAN", Jakarta, 6 Oktober 2001, yang merupakan liputan ICAAP VI di Melbourne, Australia, al. berupa peringatan dari Dr Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif UNAIDS (Badan PBB untuk HIV/AIDS), tentang percepatan penyebaran HIV/AIDS di Indonesia, terutama dengan faktor risiko jarum suntik pada penyalahguna narkoba.***


PENGANTAR. KONGRES Internasional AIDS Asia Pasifik VI (The Sixth International Congress on AIDS in Asia and the Pacific/ICAAP ) dibuka Jum’at (5/10), di Royal Exhibition Buildings, Carlton, Melbourne,Australia. Kongres akan berlangsung sampai 10 Oktober 2001 yang diikuti lebih 3.500 peserta dari seluruh dunia. Sebagai peserta yang mendapat bea siswa dari Ford Foundation,Syaiful W. Harahap, yang mengkhususkan diri pada penulisan HIV/AIDS, mengirimkan laporannya. Redaksi

MELBOURNE - Kalau di beberapa kawasan, seperti Eropa Barat, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru serta Afrika angka infeksi HIV baru di kalangan penduduk dewasa sudah mulai menunjukkan grafik yang mendatar sejak awal 1990-an, tetapi di kawasan Asia Pasifik yang terjadi justru sebaliknya. Angka infeksi baru di kalangan penduduk dewasa terus bertambah.

Penurunan kasus infeksi HIV baru tersebut bukan karena sudah ada obat AIDS atau vaksin HIV, tetapi masyarakat di kawasan tersebut sudah menerapkan cara-cara pencegahan HIV yang realistis yaitu menghindarkan diri dari kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV.

Dari 34,3 juta kasus HIV/AIDS secara global 6,4 juta tercatat di kawasan Asia Pasifik. Namun, karena penduduk di Asia Pasifik lebih dari separuh populasi dunia sehingga penyebaran HIV di kawasan ini sangat potensial menjadi ledakan epidemi.
Itulah salah satu alasan yang mendorong pelaksanaan kongres AIDS di kawasan Asia Pasifik setiap dua tahun di antara pelaksanaan konferensi AIDS sedunia untuk mendapatkan gambaran tentang berbagai hal dan menjadi ajang pembelajaran serta saling tukar pengalaman. Kongres pertama tahun 1991 di Canberra, Australia, kemudian di New Delhi, India (1993), Chiang Mai, Thailand (1995), Manila, Filipina (1997), Kuala Lumpur, Malaysia (1999).

Biar pun prevalensi (persentase HIV positif) di kalangan penduduk dewasa yang berumur antara 15-49 di beberapa negara di kawasan Asia dan Pasifik di bawah satu persen (di beberapa negara, seperti Kamboja, Myanmar dan Thailand prevalensinya tinggi) dalam masyarakat tetapi epidemi HIV bisa menjadi dahsyat.

Maka, kalau hanya berpatokan pada prevalensi di masyarakat (jumlah kasus yang tercatat dibagi jumlah penduduk) akan bisa menimbulkan perhitungan yang meleset terhadap epidemi HIV. Soalnya di Malaysia, Nepal, Vietnam dan beberapa provinsi di Cina angka infeksi HIV di kalangan pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik (injecting drug user/IDU) sangat tinggi.

Dalam pidato pembukaan Dr Peter Piot, Direktur Eksekutif UNAIDS, secara khusus menyoroti peningkatan epidemi HIV di kalangan IDU di Indonesia. Di Indonesia sendiri kasus komulatif HIV/AIDS sampai 30 Juni 2001, seperti dilaporkan Ditjen PPM & PL Depkes, tercatat 2.150. Dari jumlah ini tercatat 415 IDU yang terdiri atas 309 HIV dan 106 AIDS. Estimasi UNAIDS/WHO kasus HIV/AIDS di Indonesia 52.000, sedangkan Depkes memperkirakan 120.000 kasus. Jumlah ini bertambah drastis karena diperkirakan ada 60.000 - 80.000 pengguna narkoba suntikan.

Isu dan tantangan yang berbeda-beda muncul ketika aspek politik bergandengan dengan masalah sosial dan budaya sehingga mempengaruhi pembuat kebijakan. Selain pembicara utama akan dibahas pula 243 makalah utama dari berbagai aspek, antara lain terapi dan perawatan, pencegahan, sosial dan ekonomi, gender dan seksualitas. Dari Indonesia tercatat 7 makalah. Yang terbanyak dari India (66) dan Thailand (47).

Estimasi

Beberapa estimasi menunjukkan di Cina ada tiga juta IDU, 45 persen di antara mereka menggunakan jarum suntik dan semprit secara bergantian. Sudah dilaporkan infeksi HIV di kalangan IDU dari 25 provinsi di Cina. Di Cina dan Vietnam 65 - 70 persen kasus infeksi HIV terjadi di kalangan IDU. Saat ini diperkirakan 122.350 penduduk Vietnam terinfeksi HIV. Survei tahun 1999 menunjukkan 56% IDU dan 47% pekerja seks di Myanmar tertular HIV.

Pada tahun 2005 diperkirakan setiap tahun 800.000 penduduk di kawasan Asia Pasifik akan meninggal karena AIDS. Di Thailand saja dengan 800.000 kasus HIV/AIDS mulai tahun 2006 diperkirakan setiap tahun 50.000 penduduk negeri itu akan meninggal karena AIDS. Di Vietnam akan ada kematian 11.000 penduduk setiap tahun mulai tahun 2005. Secara global setiap menit setiap hari 11 penduduk dunia terinfeksi HIV. Satu dari sepuluh penduduk yang terinfeksi itu berusia di bawah 15 tahun.

Epidemi HIV akan menjadi beban besar bagi negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik. Thailand, misalnya, sampai tahun 2000 sudah mengeluarkan dana untuk biaya langsung dan tidak langsung terhadap epidemi HIV sebesar 8,7 miliar dolar AS (setara dengan Rp 78,3 triliun). Untuk tes HIV dengan ELISA di Indonesia saat ini Rp 47.000 dan tes konfirmasi dengan Western blot Rp 522.000. Harga obat antiretroviral (obat untuk menekan pertumbuhan HIV di dalam darah) sekitar Rp 5 juta per bulan. Jumlah ini belum termasuk jasa dokter atau obat-obat lain.

Biar pun prevalensi HIV di Cina dan India rendah, tetapi dengan jumlah penduduk 36% dari populasi dunia di dua negara ini HIV mulai menjadi masalah. Di India, misalnya, walaupun hanya 7 dari 1.000 penduduk dewasa yang HIV-positif tetapi di negara ini 3,7 juta penduduk hidup dengan HIV/AIDS. Pada pertengahan tahun 1990-an seperempat pekerja seks di perkotaan, seperti di New Delhi, Hyderabad, Pune, Tirupati dan di Vellore HIV-positif. ***[AIDS Watch Indonesia]***


“Pasangan” yang Check-in di Hotel di Karawang Menolak Kondom

Liputan.  Matahari mulai memancarkan sinar dari ufuk timur. Dari balik jendela kamar sebuah hotel di kota Karawang, Jawa Barat, satu dua pasangan laki-laki dan perempuan keluar dari kamar hotel. Mereka menuju front office untuk check out.

Selamat datang di Karawang
“Ya, tiap malam ada saja pasangan yang check-in,” kata karyawan hotel awal Juli 2012. Mereka memilih hotel karena lebih aman daripada di kontrakan atau di penginapan, losmen atau hotel melati yang sering menjadi sasaran razia polisi dan Satpol PP.

Seiring dengan penyebaran IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti sifilis, GO, hepatitis B, dll.) serta HIV/AIDS, maka Pemkab Karawang perlu melakukan intervensi yaitu menganjurkan agar laki-laki memakai kondom.

Memang, di front office hotel itu ada tumpukan dua kardus yang berisik kondom. Menurut karyawan tadi, komdom itu diberikan kepada tamu yang check-in berpasangan.

Celakanya, banyak tamu yang justru marah dan tidak mau menerima kondom yang disodorkan karyawan hotel. “Emang, gue laki apaan.” Itulah salah satu umpatan tamu hotel jika disodori kondom. Ada juga yang marah-marah dan membentak karyawan hotel.

pasangan check-in
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Karawang dilaporkan sudah mencapai 283, 50% di antaranya terdeteksi pada perempuan.

Lokasi pelacuran ada di beberapa tempat di Karawang, tapi tidak ada penjangkauan untuk sosialisasi kondom. Akbatnya, laki-laki yang melacur tidak memakai kondom.

Tahun 1990-an ada beberapa pekerja seks komersial (PSK) asal Karawang yang dipulangkan dari Riau karena terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Sayang, Pemkab Karawang tidak menangani PSK yang dipulangkan itu. Yang terjadi justru datanya disebarkan kepada wartawan sehingga pemberitaan pun ramai tapi sebagai berita sensasi.

Survai yang dilakukan oleh Yayasan Pantura Plus, Karawang, seperti yang disampaikan Abdul Rahman, ketua yayasan, lebih dari 70 persen suami perempuan Karawang yang bekerja di luar kota dan di luar negeri sebagai TKW justru mempunyai pasangan seks dari kalangan PSK. Ikatan itu terjadi selama istri mereka bekerja di luar kota atau di luar negeri.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian banyak calon TKI/TKW asal Karawang yang batal berangkat ke luar negeri karena terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Bulan lalu, misalnya, 26 calon TKI gagal berangkat karena terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Sebuah hotel berbintang di Karawang
Untuk meningkatkan pemakaian kondom pada laki-laki yang menginap dengan pasangannya di hotel perlu dilakukan pelatihan bagi karyawan hotel agar mereka bisa membujuk tamu menerima kondom. “Wah, itu gagasan yang bagus,” kata seorang staf KPA Kab Karawang.

Tapi, staf tadi mengatakan untuk tahun ini tidak bisa dilakukan karena tidak ada mata anggaran untuk membiayai pelatihan. Maka, tanpa disadari sebelum pelatihan dilakukan ada risiko penyebaran HIV/AIDS melalui pasangan-pasangan yang menginap atau check-in untuk short time.

Kalau tamu menolak hotel menolak kondom, sebaliknya ada saja yang datang ke hotel meminta kondom. “Kita berikan saja, Pak,” kata karyawan hotel. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.