01 April 2022

KPA Kota Sukabumi Bermimpi Nol Kasus Baru HIV/AIDS Tahun 2030

Ilustrasi (Sumber: philstar.com/File Photo)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Langkah-langkah penanggulangan HIV/AIDS sejak awal epidemi (1981) sampai sekarang hanya di ranah orasi moral yang tidak menukik ke akar persoalan. UNAIDS (Badan Khusus PBB untuk HIV/AIDS) sendiri pun tidak memberikan langkah yang konkret untuk mewujudkan Three Zero yang mereka kumandangkan.

Three zero yang dipublikasikan secara global adalah: zero infeksi baru, zero kematian terkait AIDS, serta zero stigma dan diskriminasi. Ini di Indonesia dijadikan patokan untuk menuju Indonesia yang Bebas AIDS pada 2030.

Seperti Pemkot Sukabumi, Jawa Barat (Jabar), melalui KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Kota Sukabumi berkomitmen untuk mewujudkan eliminasi HIV/AIDS pada tahun 2030. Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kota Sukabumi sebanyak 1.835 per September 2021 (pelitasukabumi.com, 30 November, 2021).

Wali Kota Sukabumi, Achmad Fahmi, sekaligus Ketua KPA Kota Sukabumi, mengatakan pada 2030 berupaya eliminasi HIV yakni zero tidak ada kasus baru, tidak ada kematian dan tidak ada stigma kepada ODHA. "Kita targetkan tahun 2030 tidak ada kasus baru HIV/AIDS," tambahnya (KPA Kota Sukabumi Targetkan Nol Kasus Baru Pengidap HIV-AIDS, Begini Carannya - radarsukabumi.com, 30 Maret 2022).

Celakanya, dalam berita tidak disebutkan langkah-langkah yang konkret untuk mencegah penularan baru HIV/AIDS. Itu artinya target tidak ada kasus baru hanya orasi moral yang tidak menggambarkan realitas sosial sehingga tidak bisa dibawa ke social settings.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Bagaimana atau apa langkah konkret KPA Kota Sukabumi untuk menutup pintu masuk HIV/AIDS ke masyarakat melalui perilaku-perilaku seksual berisiko di bawah ini?

(1). Melalui laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

Perilaku (1) ini terjadi di ranah privasi sehingga Pemkot Sukabumi tidak bisa menjangkau pelaku perilaku ini.

(2). Melalui perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

Hal yang sama pada perilaku (2) terjadi di ranah privasi sehingga Pemkot Sukabumi tidak bisa menjangkau pelaku perilaku ini.

(3) Melalui laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.) karena bisa saja salah satu dari perempuan atau laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

Perilaku (3) ini juga terjadi di ranah privasi sehingga Pemkot Sukabumi tidak bisa menjangkau pelaku perilaku ini.

(4) Melalui perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.) karena bisa saja salah satu dari laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

Perilaku (4) ini juga terjadi di ranah privasi sehingga Pemkot Sukabumi tidak bisa menjangkau pelaku perilaku ini.

(5) Melalui perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan gigolo, dengan kondisi gigilo tidak memakai kondom, karena bisa saja gigolo itu mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

Perilaku (5) ini juga terjadi di ranah privasi sehingga Pemkot Sukabumi tidak bisa menjangkau pelaku perilaku ini.


Intervensi penanggulangan insiden infeksi HIV di hulu (AIDS Watch Indonesia, 15/12)

(6). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), karena bisa saja salah satu dari PSK tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

PSK dikenal ada dua jenis, yaitu:

(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di tempat pelacuran (dulu disebut lokalisasi atau lokres pelacuran) atau mejeng di tempat-tempat umum.

Di beberapa negara, seperti Thailand, eleminasi infeksi HIV baru bisa dilakukan secara efektif melalui perilaku 6 a ini, yaitu melalui program 'wajib kondom 100 persen' yakni laki-laki diwajibkan memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung. Namun, hal ini hanya bisa dilakukan jika praktek PSK langsung dilokalisir. Sementara itu di Indonesia tidak ada lagi lokalisasi pelacuran sehingga program 'wajib kondom 100 persen' mustahil dijalankan.

Maka, perilaku 6 a ini jadi pintu masuk HIV/AIDS ke Kota Sukabumi yang tidak bisa diintervensi. Laki-laki yang tertular HIV/AIDS melalui perilaku 6 a ini jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini 'menyamar' sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu lagu, ibu-ibu, cewek (model dan artis) prostitusi online, dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.

Tidak ada langkah yang bisa dilakukan terhadap pelaku perilaku 6 b ini karena transaksi seksual dilakukan melalui daring (media sosial) di sembarang tempat dan sembarang waktu. Itu artinya ada risiko besar insiden HIV baru pada laki-laki pelaku perilaku ini yang selanjutnya jika tertular akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

(7). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) beristri yang melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan waria karena ada waria yang sering ganti-ganti pasangan sehingga bisa jadi waria tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

Perilaku (7) ini juga terjadi di ranah privasi sehingga Pemkot Sukabumi tidak bisa menjangkau pelaku perilaku ini.

(8) Laki-laki dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan sejenis) beristri yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan laki-laki dan perempuan yang berganti-ganti bisa jadi laki-laki dan perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

Perilaku (8) ini juga terjadi di ranah privasi sehingga Pemkot Sukabumi tidak bisa menjangkau pelaku perilaku ini.

Baca juga: Tanpa Pananggulangan yang Nyata Mustahil Indonesia Bebas AIDS 2030

Lagi pula mustahil Pemkot Sukabumi bisa mengawasi perilaku seksual orang per orang warga Kota Sukabumi sehingga tetap ada kemungkinan ada warga Kota Sukabumi yang melakukan perilaku seksual berisiko di wilayah Kota Sukabumi, apalagi di luar Kota Sukabumi.

Laki-laki atau perempuan yang tertular HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di Kota Sukabumi tanpa mereka sadari karena pada warga yang tertular HIV/AIDS tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan.

Maka, karena Pemkot Sukabumi melalui KPA Kota Sukabumi jelas tidak bisa menghentikan insiden infeksi HIV baru melalui 8 perilaku berisiko sehingga target tahun 2030 tidak ada kasus baru HIV/AIDS di Kota Sukabumi hanya 'mimpi di siang bolong.' (Sumber: kompasiana.com/infokespro). *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.