07 Mei 2022

Pemerintah Sibuk Urus Covid-19 pada Mudik Lebaran dengan Mengabaikan HIV/AIDS

Ilustrasi (Sumber: nlmdirector.nlm.nih.gov)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

PSK yang bekerja pada pelacuran dan prostitusi online di berbagai daerah akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS ketika mereka mudik lebaran

Setelah dua kali Lebaran mudik dihadang, Lebaran tahun 2022 ini pemerintah membuka kran mudik secara besar-besaran dengan syarat sudah Vaksinasi Covid-19 dan menerapkan protokol kesehatan (Prokes). Celakanya, epidemi HIV/AIDS yang masih jadi persoalan besar justru diabaikan.

Sejak pandemi Covid-19 muncul, isu epidemi HIV/AIDS di Indoesia pun tenggelam, padahal penyebaran HIV/AIDS terjadi juga di masa pandemi Covid-19.

Baca juga: Pandemi Covid-19 Tenggelamkan Isu Epidemi HIV/AIDS Indonesia

Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2 Februari 2021, menunjukkan para priode Januari -- Desember 2020 yang merupakan tahun pertama pandemi Covid-19 ditemukan 41.987 kasus HIV/AIDS.

Sedangkan dari 1 Januari 2021 sampai tanggal 30 Juni 2021 menunjukkan terdeteksi 17.797 kasus HIV/AIDS.

Sementara itu jumlah kumulatif HIV/AIDS per 30 Juni 2021 mencapai 569.903 yang terdiri atas 436.948 HIV dan 132.955 AIDS.

Sejak reformasi tempat-tempat pelacuran yang dijadikan sebagai lokalisasi dan resosialiasi (Lokres) pelacuran yang dibina dinas sosial ditutup di seluruh wilayah Indonesia. Akibatnya, tidak ada lagi penjangkauan untuk melakukan penyuluhan dan advokasi, terkait dengan upaya mencegah penularan HIV/AIDS, terhadap pekerja seks dan laki-laki pelanggan pekerja seks serta germo.

Praktek pelacuran pun bertebaran di sembarang tempat dan sembarang waktu. Bahkan, belakangan ini sejak muncul media sosial praktek pelacuran marak sebagai prostitusi online. Kondisi ini kian membuat runyam penanggulangan HIV/AIDS karena pekerja seks yang praktek melalui prostitusi online tidak bisa dijangkau.

Baca juga: PSK Mudik Lebaran: Ada yang Bawa AIDS sebagai Oleh-oleh

Celakanya, pandemi Covid-19 juga membuat survailans tes HIV (tes HIV pada kalangan tertentu dan para kurun waktu yang tertentu untuk memperoleh prevalensi HIV-positif) tidak dijalankan oleh pemerintah, dalam hal ini Kemenkes dan Dinas-dinas kesehatan pemerintah daerah).

Pekerja seks komersial (PSK) sendiri dikenal 2 tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2). PSK tidak langsung adalah pekerja seks yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK pada prostitusi online, dll.

PSK langsung pun sudah lari ke prostitusi online karena mereka tidak lagi dilokalisir sehingga praktek PSK langsung pun masuk ke ranah prostitusi online.

PSK yang bekerja melalui prostitusi online, baik sebagai PSK langsung maupun PSK tidak langsung, tentulah ikut mudik juga. Mereka umumnya praktek di kota-kota besar dan kota-kota dengan industri serta daerah tujuan wisata (DTW).

Di Indonesia dikenal ada beberapa daerah tujuan pelacuran yang khas, yaitu:

  • Batam dan Kepulauan Riau serta Riau jadi daerah tujuan laki-laki dari Singapura dan Malaysia,
  • Pontianak dan Singkawang jadi daerah tujuan laki-laki dari China dan Taiwan
  • Bali jadi daerah tujuan laki-laki dari manca negara,
  • Cilegon (Banten) dan Cikarang (Jawa Barat) jadi daerah tujuan laki-laki dari Korea Selatan, serta
  • Kawasan Puncak (Jawa Barat) jadi daerah tujuan laki-laki dari Asia Depan dan Timur Tengah.

PSK yang bekerja melalui prostitusi online di daerah-daerah tidak terjangkau sehingga status HIV mereka tidak diketahui. Celakanya, tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada PSK yang bekerja melalui prostitusi online itu, sehingga status HIV mereka hanya bisa diketaui melalui tes HIV.

Namun, karena tidak ada mekanisme yang komprehensif untuk mendeteksi HIV pada PSK yang bekerja melalui prostitusi online, maka ada di antara mereka yang potensial sebagai "pembawa HIV/AIDS" ke kampung halamannya.

Baca juga: PSK dan Perantau Mudik Bisa Jadi Ada yang Bawa AIDS sebagai "Oleh-oleh"

PSK yang bekerja melalui prostitusi online itu ada yang mempunyai suami atau pacar di kampong sehingga bisa terjadi penularan HIV/AIDS jika ada hubungan seksual tanpa kondom. PSK yang bekerja melalui prostitusi online yang positif HIV/AIDS yang tidak punya suami dan pacar pun bisa jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di kampungnya jika mereka menjalankan praktek pelacuran.

Dengan segala macam keterbatasan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS pada PSK yang bekerja melalui prostitusi online, maka langkah yang bisa dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan dinas-dinas kesehatan pemerintah daerah adalah menyebarluarkan informasi terkait dengan risiko penyebaran HIV/AIDS oleh PSK yang bekerja melalui prostitusi online.

Poin yang perlu dalam penyebaran informasi itu adalah anjuran dan ajakan bagi laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan istri atau perempuan yang bekerja sebagai PSK pada prostitusi online.

Tanpa langkah yang konkret penyebaran HIV/AIDS di Indonesia akan terus terjadi yang akan jadi "bom waktu" yang kelak jadi "ledakan AIDS" di Indonesia. (Sumber: kompasiana.com/infokespro)

05 April 2022

Ngeri Kali Judul Berita HIV/AIDS Ini

 

Ilustrasi (Sumber: planstreetinc.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

"17 Ciri HIV AIDS yang Jarang Disadari, Salah Satunya Sering Sariawan" (merdeka.com, 31/3-2022) Judul berita ini menyesatkan!

Pertama, tidak ada ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas HIV/AIDS,

Kedua, kalaupun ada ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang bisa dikaitkan dengan HIV/AIDS tidak otomatis terkait dengan infeksi HIV/AIDS, dan

Ketiga, orang-orang yang perilaku seksualnya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, tapi tidak ada ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala tentu orang itu merasa aman.

Padahal, infeksi HIV/AIDS tidak otomatis menunjukkan ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala serta keluhan kesehatan yang (bisa) dikaitkan dengan infeksi HIV/AIDS.

Ada atau tidak ada ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang terkait dengan HIV/AIDS tidak otomatis membuat seseorang dengan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS aman dari penularan HIV/AIDS.

Perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:

(1) laki-laki atau perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti,

(2) laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan seorang perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

Perlu diketahui bahwa PSK ada dua tipe, yakni:

(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di tempat pelacuran (dulu disebut lokalisasi atau lokres pelacuran) atau mejeng di tempat-tempat umum, dan

(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini 'menyamar' sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu lagu, ibu-ibu, cewek (model dan artis) prostitusi online, dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.

(3) Pernah menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV/AIDS,

(4) Pernah atau sering memakai jarum suntik dan tabungnya secara bergiliran dan bergantian, terutama pada penyalahgunaan Narkoba, dan

(5) Pernah atau sering menyusu pada perempuan pengidap HIV/AIDS.

Maka, kalaupun ada 17 ciri-ciri yang disebutkan sekaligus pada seseorang, maka ciri-ciri itu sama sekali tidak terkait dengan infeksi HIV/AIDS jika yang bersangkutan tidak pernah melakukan perilaku-perilaku berisiko di atas.

Sebaliknya, tanpa ciri-ciri pun bisa saja seseorang dengan perilaku berisiko di atas sudah tertular HIV/AIDS. Maka, setiap orang yang pernah atau sering melakukan salah satu atau beberapa perilaku berisiko sebaiknya menjalani tes HIV secara sukarela di Puskesmas atau rumah sakit pemerintah terdekat.

"Ngeri kali" berita ini karena 17 ciri-ciri yang disebut terkait dengan HIV/AIDS bisa dialami, bahkan berulang kali, setiap orang tanpa melalui salah satu atau beberapa perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Ada baiknya wartawan dan redaktur lebih arif dan bijaksana menulis berita HIV/AIDS, janganlah terpaku pada pandangan berita yang sensasional dan bombastis karena bisa hanya 'omong kosong.' (Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/624ab66932c4c65579367992/negeri-kali-judul-berita-hiv-aids-ini?page=all#section1). *

01 April 2022

KPA Kota Sukabumi Bermimpi Nol Kasus Baru HIV/AIDS Tahun 2030

Ilustrasi (Sumber: philstar.com/File Photo)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Langkah-langkah penanggulangan HIV/AIDS sejak awal epidemi (1981) sampai sekarang hanya di ranah orasi moral yang tidak menukik ke akar persoalan. UNAIDS (Badan Khusus PBB untuk HIV/AIDS) sendiri pun tidak memberikan langkah yang konkret untuk mewujudkan Three Zero yang mereka kumandangkan.

Three zero yang dipublikasikan secara global adalah: zero infeksi baru, zero kematian terkait AIDS, serta zero stigma dan diskriminasi. Ini di Indonesia dijadikan patokan untuk menuju Indonesia yang Bebas AIDS pada 2030.

Seperti Pemkot Sukabumi, Jawa Barat (Jabar), melalui KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Kota Sukabumi berkomitmen untuk mewujudkan eliminasi HIV/AIDS pada tahun 2030. Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kota Sukabumi sebanyak 1.835 per September 2021 (pelitasukabumi.com, 30 November, 2021).

Wali Kota Sukabumi, Achmad Fahmi, sekaligus Ketua KPA Kota Sukabumi, mengatakan pada 2030 berupaya eliminasi HIV yakni zero tidak ada kasus baru, tidak ada kematian dan tidak ada stigma kepada ODHA. "Kita targetkan tahun 2030 tidak ada kasus baru HIV/AIDS," tambahnya (KPA Kota Sukabumi Targetkan Nol Kasus Baru Pengidap HIV-AIDS, Begini Carannya - radarsukabumi.com, 30 Maret 2022).

Celakanya, dalam berita tidak disebutkan langkah-langkah yang konkret untuk mencegah penularan baru HIV/AIDS. Itu artinya target tidak ada kasus baru hanya orasi moral yang tidak menggambarkan realitas sosial sehingga tidak bisa dibawa ke social settings.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Bagaimana atau apa langkah konkret KPA Kota Sukabumi untuk menutup pintu masuk HIV/AIDS ke masyarakat melalui perilaku-perilaku seksual berisiko di bawah ini?

(1). Melalui laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

Perilaku (1) ini terjadi di ranah privasi sehingga Pemkot Sukabumi tidak bisa menjangkau pelaku perilaku ini.

(2). Melalui perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

Hal yang sama pada perilaku (2) terjadi di ranah privasi sehingga Pemkot Sukabumi tidak bisa menjangkau pelaku perilaku ini.

(3) Melalui laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.) karena bisa saja salah satu dari perempuan atau laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

Perilaku (3) ini juga terjadi di ranah privasi sehingga Pemkot Sukabumi tidak bisa menjangkau pelaku perilaku ini.

(4) Melalui perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.) karena bisa saja salah satu dari laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

Perilaku (4) ini juga terjadi di ranah privasi sehingga Pemkot Sukabumi tidak bisa menjangkau pelaku perilaku ini.

(5) Melalui perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan gigolo, dengan kondisi gigilo tidak memakai kondom, karena bisa saja gigolo itu mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

Perilaku (5) ini juga terjadi di ranah privasi sehingga Pemkot Sukabumi tidak bisa menjangkau pelaku perilaku ini.


Intervensi penanggulangan insiden infeksi HIV di hulu (AIDS Watch Indonesia, 15/12)

(6). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), karena bisa saja salah satu dari PSK tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

PSK dikenal ada dua jenis, yaitu:

(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di tempat pelacuran (dulu disebut lokalisasi atau lokres pelacuran) atau mejeng di tempat-tempat umum.

Di beberapa negara, seperti Thailand, eleminasi infeksi HIV baru bisa dilakukan secara efektif melalui perilaku 6 a ini, yaitu melalui program 'wajib kondom 100 persen' yakni laki-laki diwajibkan memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung. Namun, hal ini hanya bisa dilakukan jika praktek PSK langsung dilokalisir. Sementara itu di Indonesia tidak ada lagi lokalisasi pelacuran sehingga program 'wajib kondom 100 persen' mustahil dijalankan.

Maka, perilaku 6 a ini jadi pintu masuk HIV/AIDS ke Kota Sukabumi yang tidak bisa diintervensi. Laki-laki yang tertular HIV/AIDS melalui perilaku 6 a ini jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini 'menyamar' sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu lagu, ibu-ibu, cewek (model dan artis) prostitusi online, dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.

Tidak ada langkah yang bisa dilakukan terhadap pelaku perilaku 6 b ini karena transaksi seksual dilakukan melalui daring (media sosial) di sembarang tempat dan sembarang waktu. Itu artinya ada risiko besar insiden HIV baru pada laki-laki pelaku perilaku ini yang selanjutnya jika tertular akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

(7). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) beristri yang melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan waria karena ada waria yang sering ganti-ganti pasangan sehingga bisa jadi waria tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

Perilaku (7) ini juga terjadi di ranah privasi sehingga Pemkot Sukabumi tidak bisa menjangkau pelaku perilaku ini.

(8) Laki-laki dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan sejenis) beristri yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan laki-laki dan perempuan yang berganti-ganti bisa jadi laki-laki dan perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

Perilaku (8) ini juga terjadi di ranah privasi sehingga Pemkot Sukabumi tidak bisa menjangkau pelaku perilaku ini.

Baca juga: Tanpa Pananggulangan yang Nyata Mustahil Indonesia Bebas AIDS 2030

Lagi pula mustahil Pemkot Sukabumi bisa mengawasi perilaku seksual orang per orang warga Kota Sukabumi sehingga tetap ada kemungkinan ada warga Kota Sukabumi yang melakukan perilaku seksual berisiko di wilayah Kota Sukabumi, apalagi di luar Kota Sukabumi.

Laki-laki atau perempuan yang tertular HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di Kota Sukabumi tanpa mereka sadari karena pada warga yang tertular HIV/AIDS tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan.

Maka, karena Pemkot Sukabumi melalui KPA Kota Sukabumi jelas tidak bisa menghentikan insiden infeksi HIV baru melalui 8 perilaku berisiko sehingga target tahun 2030 tidak ada kasus baru HIV/AIDS di Kota Sukabumi hanya 'mimpi di siang bolong.' (Sumber: kompasiana.com/infokespro). *