05 November 2021

10 Provinsi dengan Kasus Baru HIV/AIDS Terbanyak April – Juni 2021

 

Ilustrasi (Sumber: cdc.gov)

Di masa pandemi Covid-19 insiden infeksi HIV baru juga terus terjadi, ada 10 provinsi dengan jumlah kasus baru terbanyak April-Juni 2021 

Oleh: Syaiful W. Harahap

Pandemi virus corona (Covid-19) mengalihkan perhatian dari epidemi HIV/AIDS, tapi biar pun luput dari perhatian justru insiden infeksi (penularan) baru HIV terus terjadi. Seperti yang dilaporkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 30 September 2021, menunjukkan ada 10 provinsi yang melaporkan kasus baru HIV/AIDS terbanyak.

Secara nasional jumlah kasus infeksi baru HIV/AIDS April – Juni 2021 sebanyak 9.817 yang terdiri atas 8.412 HIV dan 1.405 AIDS. Sedangkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS sejak tahun 1987, kasus pertama yang diakui pemerintah, sampai 30 Juni 2021 sebanyak 569.903 yang terdiri atas 436.948 HIV dan 132.955 AIDS dengan 64.990 kematian.

10 provinsi yang paling banyak kasus baru HIV/AIDS pada triwulan II/2021 atau dari bulan April – Juni 2021 adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, Bali, Papua, Sumatera Utara, Banten, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan (Lihat tabel).

Tabel: 10 provinsi dengan kasus baru HIV/AIDS terbanyak pada triwulan II/2021 yaitu priode April – Juni 2021 (Foto: Tagar/Syaiful W. Harahap)

Secara nasional faktor risiko penularan HIV pada periode April – Juni 2021yaitu homoseksual 25,9% (24,8% LSL dan 1,1% waria), heteroseksual 13,6%, pasien TB 12,1%, ibu hamil 9,6%, pekerja seks 3,1%, warga binaan di Lapas 0,8%, pasien IMS 0,8% dan penasun 0,6%.

Yang jadi perhatian adalah pasien TB yang mencapai 12,1% layak diperhatikan oleh pemerintah daerah. Pada pasien TB tertular HIV lebih mudah daripada non-TB ketika mereka melakukan perilaku berisiko.

Kasus HIV/AIDS pada LSL merupakan terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai istri sehingga penyebaran tidak ke masyarakat tapi hanya di komunitas. Yang jadi persoalan kemungkinan ada laki-laki biseksual yang masuk ke komunitas LSL sehingga jadi jembatan penyebaran HIV ke masyarakat, terutama ke istri atau pasangan seks mereka yang lain.

Sedangkan kasus pada HIV/AIDS pada waria bisa jadi masalah karena pelanggan seks waria justru laki-laki heteroseksual yang beristri. Itu artinya laki-laki heteroseksual pelanggan waria jadi jembatan penyebaran HIV ke masyarakat, terutama kepada istri atau pasangan seks mereka yang lain.

Kasus HIV/AIDS pada kalangan heteroseksual jadi masalah besar karena mereka jadi mata rantai penularan HIV ke istri. Jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV kian banyak jika laki-laki pengidap HIV/AIDS punya istri lebih dari satu. Besaran HIV/AIDS pada kalangan heteroseksual (13,6%) berdampak pada ibu hamil yang mencpai 9,6%. Ibu-ibu hamil tertular HIV dari suami.

Sementara itu kasus HIV/AIDS pada pekerja seks juga jadi masalah besar. Biar pun cuma 3,1%, tapi seorang pekerja seks meladeni 3 sampai 5 laki-laki setiap malam sehingga jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS sangat banyak. Terbukti dari besaran kasus yaitu 13,6%.

Pada epidemi HIV/AIDS dikenal fenomena gunung es yaitu kasus yang dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Yang jadi persoalan besar bukan kasus yang terdeteksi, tapi kasus yang tidak terdeteksi. Warga yang sudah terdeteksi HIV-positif sudah berjanji akan menghentikan penularan HIV. Ini jadi ikrar ketika konseling sebelum dan sesudah tes HIV. Selain itu mereka juga menjalani pengobatan obat antiretroviral (ARV) sehingga menurunkan risiko penularan HIV.

Warga yang HIV-positif tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah. Mereka tidak menyadari sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas IHV/AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan.

Untuk itulah pemerintah daerah diharapkan merancang program yang bisa menjangkau warga yang HIV-positif yang belum terdeteksi. Misalnya, dengan merancang peraturan daerah (Perda) yang mewajibkan suami dari perempuan hamil jalani tes HIV, pasien TB dan IMS juga wajib jalani tes HIV. Supaya tidak melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM) kewajiban hanya bagi warga yang memakai fasilitas kesehatan pemerintah.

Namun, langkah yang arif dan bijaksana dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, jumlah insiden penularan (infeksi) HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks. Caranya adalah dengan memaksa laki-laki memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks.

Hanya dengan langkah-langkah yang realistis HIV/AIDS bisa dicegah di hulu sehingga penularan HIV tidak jadi ‘bom waktu’ agar tidak terjadi ‘ledakan AIDS’ (tagar.id, 2 November 2021). *

 

9.817 Kasus Baru HIV/AIDS Terdeteksi di Masa Pandemi April – Juni 2021

 

Risiko tertular HIV setelah wajib tes HIV sebelum menikah (Foto: Dok/Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Pada triwulan II tahun 2021 (April-Juni) terdeteksi kasus HIV/AIDS sebanyak 9.817 yang terdiri atas 8.412 HIV dan 1.405 AIDS

Oleh: Syaiful W. Harahap 

Di tengah-tengah pandemi Covid-19 kasus penularan (infeksi) baru HIV/AIDS juga terus terjadi di Tanah Air. Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 30 September 2021, menunjukkan jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada triwulan II tahun 2021 (April-Juni) sebanyak 9.817 yang terdiri atas 8.412 HIV dan 1.405 AIDS.

Dengan tambahan 9.817 kasus, maka jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 sampai 30 Juni 2021 sebanyak 569.903 yang terdiri atas 436.948 HIV dan 132.955 AIDS dengan 64.990 kematian.

Angka-angka ini tidak menunjukkan kondisi penyebaran HIV yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan (569.903) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Fenomema gunung es pada epidemi HIV/AIDS (Dok Pribadi)


Estimasi kasus HIV sebanyak 543.100, dengan penemuan 436.948 (80,1%) berarti ada 106.152 warga dengan HIV-positif yang tidak terdeteksi. Mereka pun tidak menyadari sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda atau gejala-gejala pada fisik dan keluhan kesehatan yang khas HIV/AIDS.

Akibatnya, mereka tetap melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko menularkan HIV, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Itu artinya 106.152 warga dengan HIV-positif jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.

Kondisinya kian runyam karena dari 436.948 warga dengan HIV-positif yang masih hidup hanya 149.614 yang menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral (ARV). Padahal, pengobatan dengan obat ARV akan menurunkan risiko menularkan HIV. Maka, jumah warga dengan HIV-positif yang jadi mata rantai penularan HIV di masyarakat kian banyak.

Terkait dengan pengobatan ARV ini juga masalah besar adalah layanan distribusi karena di banyak daerah hanya terpusat di kota kabupaten. Hal ini membuat Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang jalani pengobatan ARV sulit jangkau layanan karena tempat tinggalnya jauh dari ibu kota kabupaten.

Yang jadi persoalan besar adalah di Indonesia tidak ada mekanisme yang komprehensif untuk mendeteksi warga dengan HIV-positif. Di Amerika Serikat (AS) semua warga yang berobat ke sarana kesehatan publik (pemerintah) wajib tes HIV.

Apakah hal itu melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM)?

Tidak! Bisa disebut melanggar HAM kalau tidak ada pilihan. Sedangkan yang diterapkan di AS itu hanya untuk sarana kesehatan pemerintah, maka kalau tidak mau jalani tes HIV bisa berobat ke layanan kesehatan nonpemerintah.

Hal lain yang membuat penularan HIV antar warga tinggi adalah tidak ada aturan baku yang mengatur tes HIV bagi suami perempuan hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Banyak suami yang menolak tes HIV ketika istrinya terdeteksi HIV-positif. Di Lebak, Banten, misalnya suami justru meninggalkan istri dan anak-anaknya ketika diminta tes HIV karena istrinya terdeteksi HIV-positif ketika hamil.

Suami-suami perempuan hamil yang terdeteksi HIV-positif yang tidak jalani tes HIV akan jadi mata rantai penularan HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Beberapa daerah membuat aturan, antara lain melalui peraturan daerah (Perda), yang mewajibkan perempuan hamil tes HIV. Ini merupakan pola pikir laki-laki yang merugikan perempuan.

Yang objektif adalah suami perempuan hamil diwajibkan tes HIV. Nah, kalau suaminya negatif tentu istrinya tidak perlu lagi jalani tes HIV. Untuk memastikan istrinya negatif bisa melalui konseling.

Intervensi hanya bisa dilakukan jika praktek pekerja seks dilokalisir  (Foto: Dok/Pribadi/Syaiful W. Harahap)


Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia pun hanya dilakukan di hilir, seperti tes HIV bagi perempuan hamil. Padahal, yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks.

Tentu saja pemerintah tidak bisa melakukan intervensi terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks karena praktek pekerja seks di Indonesia tidak dilokalisir. Sejak reformasi lokalisasi pelacuran ditutup dengan pijakan moral dengan mengabaikan aspek kesehatan masyarakat.

Dengan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks, Thailand berhasil menurunkan infeksi HIV baru dengan indikator jumlah calon taruna militer yang terdeteksi HIV-positif terus berkurang. Hal ini bisa terjadi karena praktek pekerja seks dilokalisir dan rumah bordil harus mengantongi izin usaha. Melalui perizinan itu pemerintah Thailand bisa menjangkau laki-laki agar selalu memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks.

Lokalisasi pelacuran di Indonesia setelah ditutup pindah ke jalanan dan sekarang bercokol di media sosial.

Langkah penanggulangan HIV/AIDS kian tidak menukik ke akar masalah ketika banyak daerah membuat peraturan daerah (Perda) wajib tes HIV sebelum menikah. Paling tidak ada tiga aspek yang luput dari perhatian pembuat Perda ini, yaitu:

Pertama, tes HIV bukan vaksin sehingga biarpun hasil tes HIV negatif ketika hendak menikah bisa saja terjadi penularan HIV kepada salah satu atau kedua pasangan itu setelah menikah jika mereka melakukan perilaku-perilaku berisiko,

Kedua, bisa terjadi suami akan menuduh istrinya selingkuh ketika istri terdeteksi HIV-positif karena dia memegang surat bukti HIV-negatif ketika tes sebelum nikah, dan


Tabel: Perbandingan jumlah warga yang menikah dan melakukan perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS (Foto: Tagar/Syaiful W. Harahap)


Ketiga, pemerintah daerah yang membuat Perda mengabaikan risiko penularan HIV pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks. Jika dibandingkan jumlah pernikahan dan hubungan seksual berisiko setiap hari, maka risiko infeksi HIV baru jauh lebih banyak pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual berisiko, antara lain dengan pekerja seks tanpa kondom.

Jika pola dan langkah penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia tidak dilakukan dengan cara-cara yang realitis, maka penularan HIV di masyarakat bagaikan ‘silent disaster’ (pembunuh terselubung) yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS’(tagar id, 1 November 2021). *