21 Februari 2021

Program Penanggulangan HIV/AIDS Sumatera Utara Tak Membumi

 

Ilustrasi (Foto: kathmandupost.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP - 30 Januari 2021

KPAD Sumut mengusulkan agar calon pengantin melakukan tes HIV sebelum menikah sebagai upaya penanggulangan HIV/AIDS

KPAD Usulkan Setiap Calon Pengantin di Sumut Test HIV/AIDS. Ini judul berita di Tagar, 26 Januari 2021. Dalam berita disebutkan Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi, mengatakan kepada anggota Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Sumut: "Pencegahan itu penting, lewat sosialisasi diberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bahayanya HIV/AIDS tersebut."

Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS yang dilaporkan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 9 November 2020, sampai tanggal 30 September 2020, sebanyak 537.730 yang terdiri atas 409.857 HIV dan 127.873 AIDS. Sedangkan di Sumatera Utara (Sumut) jumlah kasus 25.400 yang terdiri atas 21.160 HIV dan 4.240 AIDS. Jumlah ini menempatkan Sumut pada peringkat ke-7 nasional.

Pertama, sosialisasi terkait dengan HIV/AIDS sudah dilakukan sejak awal epidemi yang di Indonesia diakui pemerintah mulai April 1987;

Kedua, persoalan besar pada sosialisasi HIV/AIDS di Indonesia adalah materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS tenggelam sedangkan yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah);

Ketiga, sosialisasi tidak semerta bisa menyadarkan orang per orang untuk tidak melakukan perilaku berisiko sehingga ada celah yang jadi risiko tertular HIV/AIDS sebelum seseorang menyadari perilaku berisiko;

Keempat, kondom diabaikan sebagai alat mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan alasan moral dan agama;

Kelima, praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak bisa dilakukan intervensi agar laki-laki selalu memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Salah satu negara yang berhasil menanggulangi epidemi HIV/AIDS adalah Thailand. Data aidsdatahub.org, misalnya, infeksi baru tahun 2020 diprediksi 5.400. Bandingkan dengan Indonesia dengan kasus baru 46.000.

1. Program Mengekor ke Ekor Program Thailand

Perbedaan jumlah kasus baru itu terjadi karena Thailand melakukan penanggulangan dengan lima program yang konsisten dan serentak dengan skala nasiona. Di urutan paling atas adalah sosialisasi HIV/AIDS melalui media massa, sedangkan langkan kelima adalah program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual di tempat pelacuran dan rumah bordil.

Celakanya, program Thailand itu dicangkok oleh Indonesia tapi terbalik sehingga mengekor ke ekor program Thailand. Pemerintah mendorong beberapa daerah menerbitkan Perda penanggulangan HIV/AIDS dengan fokus program ‘wajib kondom 100 persen’. Sudah ada 143 Perda AIDS di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Di Sumut sendiri sudah ada tiga Perda AIDS, yaitu di Kabupaten Serdang Bedagai, Kota Tanjungbalai dan Kota Medan. Tapi, semua hanya berisi pasal-pasal moral yang justru tidak menukik ke akar masalah terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS.

Tentu saja program kondom mendapat hambatan karena penolakan besar-besaran dari berbagai kalangan di Indonesia. Ini terjadi karena sosialisasi tidak berjalan dengan materi KIE yang komprehensif, tapi dengan materi yang dibumbui moral.

Penanggulangan HIV/AIDS di hulu (Dok Pribadi)

Terkait dengan program ‘wajib kondom 100 persen’ Thailand memberikan sanksi kepada germo atau mucikari jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, klamidia, dan lain-lain). Sedangkan di Indonesia, melalui Perda-perda AIDS, yang dihukum pidana justru PSK.

Baca juga: Omong Kosong Penularan HIV Baru Bisa Dihentikan 2030

Langkah itu jelas ngawur dan tidak ada manfaatnya karena: (a) sebelum dijebloskan ke penjara PSK itu sudah menularkan HIV/AIDS ke pelanggannya, dan (b) posisi PSK yang dibui itu akan digantikan oleh ratusan PSK lain.

2. Dua Tipe PSK

Disebutkan pula dalam berita: Kepada KPAD Sumut, Gubernur Edy berharap dapat membuat rencana kerja yang lebih konkret dalam hal penanggulangan AIDS di Sumut.

Program yang konkret adalah menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV di hulu yaitu pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK. Persoalan besar di Indonesia adalah praktek pelacuran tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dilakukan intervensi agar laki-laki selalu pakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Kondisinya kian runyam karena PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dan lain-lain.

Intervensi hanya bisa dilakukan jika praktek PSK dilokalisir (Dok Pribadi)

Pada tipe (1) tidak bisa dilakukan intervensi karena praktek PSK langsung tidak dilokalisir, sedangkan pada tipe (2) adalah hal yang mustahil melakukan intervensi karena transaksi seks dilakukan dengan berbagai modus, seperti media sosial, di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Baca juga: Lokalisasi Pelacuran dari Jalanan ke Media Sosial

Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi di Sumut yang pada gilirannya laki-laki yang tertular HIV jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah.

Ada lagi pernyataan: KPAD juga mengusulkan kepada DPRD wacana agar calon pengantin yang akan menikah dipastikan dahulu tidak terinfeksi HIV/AIDS.

3. Jumlah yang Menikah Setiap Hari

Tes HIV bagi calon pengantin sudah dilakukan di beberapa daerah yang diatur melalui peraturan daerah (Perda). Tapi, tanpa disadari tes HIV bagi pasangan calon pengantin sebagai upaya penanggulangan epidemi HIV/AIDS tidak ada manfaatnya. Sia-sia. Menggantang asap.

Soalnya, tes HIV bukan vaksin. Artinya, biarpun satu pasangan tidak mengidap HIV/AIDS ketika menikah itu tidak jaminan selama dalam perkawinan mereka akan bebas dari HIV/AIDS. Bisa saja setelah menikah salah satu dari pasangan itu tertular HIV.

Risiko tertular HIV setelah tes HIV (Dok Pribadi)

Misalnya, suami tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan, dengan asumsi suami heteroseksual, yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini PSK.

Hasil tes HIV sebelum menikah juga akan jadi bumerang [KBBI: perkataan (perbuatan, ulah, peraturan, dsb) yang dapat merugikan atau mencelakakan diri sendiri] bagi pasangan tersebut, terutama bagi istri. Misalnya, setelah menikah terdeteksi anak atau istri mengidap HIV/AIDS.

Maka, suami pun menuding istrinya: Kau selingkuh!

Hal itu terjadi karena suami sudah memegang ’surat bebas AIDS’ berdasarkan tes HIV sebelum menikah. Maka, suami pun berpegang teguh pada hasil tes HIV tersebut dan menyalahkan istrinya.

Lagi pula berapa orang yang menikah setiap hari. Bandingkan dengan jumlah laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual yang tidak aman setiap hari, seperti dengan PSK tidak langsung.

Maka, kunci utama penanggulangan HIV/AIDS di Sumut khususnya dan di Indonesia umumnya adalah dengan intervensi terhadap laki-laki agar selalu memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK (langsung dan tidak langsung). [Sumber: https://www.tagar.id/program-penanggulangan-hivaids-sumatera-utara-tak-membumi] ***

Keluhan Kesehatan Tidak Otomatis Terkait dengan HIV/AIDS


Ilustrasi: Nyala lilin pada Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2013 yang diselenggarakan oleh The LGBTQ Center of Long Beach di Long Beach, California, AS (Foto: dailynews.com)


Oleh: Syaiful W. HARAHAP - 5 Desember 2020

Berita seputar HIV/AIDS pada Hari AIDS Sedunia, 1 Desember 2020, diramaikan dengan informasi terkait gejala HIV/AIDS yang bisa membuat kepanikan masyarakat

Jakarta - “Kenali Gejala HIV/AIDS Sejak Dini.” Ini judul berita di Tagar, 2 Desember 2020. Banyak berita di media massa dan media online, bahkan posting-an di media sosial yang menyebutkan ‘gejala awal’ atau ‘gejala-gejala HIV/AIDS’. Karena tidak dipaparkan berdasarkan faktor risiko penularan HIV/AIDS, maka penyebutan gejala-gejala HIV/AIDS itu bisa membuat masyarakat panik, padahal gejala-gejala itu tidak otomatis terkait dengan infeksi HIV/AIDS.

Ini beberapa judul berita pada Hari AIDS Sedunia (HAS) tanggal 1 Desember 2020: Gejala Awal, Pencegahan dan Ciri-ciri Pengidap HIV dan AIDS, Kenali Tanda-tanda HIV AIDS, Inilah gejala dan tahapan dari tahun ke tahun infeksi HIV menjadi AIDS, Mendeteksi Gejala HIV & AIDS Sesuai Dengan Stadiumnya, Waspada, Ini Gejala Awal HIV yang Harus Anda Kenali!, dan lain-lain.

Secara medis tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri khas HIV/AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan karena tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri tersebut juga bisa terjadi karena infeksi penyakit lain.

1. Warga Pengidap HIV/AIDS yang Tidak Terdeteksi

Karena tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas HIV/AIDS jadi salah satu faktor yang membuat banyak orang tidak menyadari kalau dia sudah tertular HIV/AIDS. Akibatnya, orang-orang yang tidak menyadari dia mengidap HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam nikah (seperti kawin-cerai, beristri lebih dari satu) dan di luar nikah (zina, selingkuh, melacur, dll.).

Laporan terakhir Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Ditjen P2P), Kemenkes RI, tanggal 9 November 2020, menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sampai 30 September 2020 sebanyak 537.730 yang terdiri atas 409.857 HIV dan 127.873 AIDS.

Sedangkan estimasi jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia 640.000 (aidsdatahub.org). Itu artinya ada 102.270 warga yang mengidap HIV/AIDS (Odha-Orang dengan HIV/AIDS) tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik warga yang mengidap HIV/AIDS.

Warga yang berjumlah 102.270 adalah pengidap HIV/AIDS, tapi karena tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas HIV/AIDS mereka pun tidak menyadari kalau mereka mengidap HIV/AIDS.

Celakanya, pemerintah tidak mempunyai program yang realitis untuk menemukan 102.270 pengidap HIV/AIDS yang belum terdeteksi. Itu artinya mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat tanpa mereka sadari.

2. Perilaku-perlaku Berisiko Tinggi Tertular HIV/AIDS

Kalau tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang disebut-sebut terkait dengan HIV/AIDS, maka tidak semerta menunjukkan orang tersebut tertular atau mengidap HIV/AIDS. Soalnya, tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri tersebut bisa dikaitkan dengan infeksi HIV/AIDS jika orang tersebut pernah atau sering melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:

(1) Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

(2) Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan orang-orang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) karena ada kemungkinan salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

Yang perlu diperhatikan adalah PSK ada dua tipe, yaitu:

(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan, dan

(b), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dll.

(3) Pernah atau sering memakai jarum suntik pada penyalahgunaan narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) secara bersama-sama dengan bergiliran;

(4) Pernah atau sering menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV.

Biarpun ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang disebut-sebut terkait dengan HIV/AIDS ada pada diri seseorang tapi dia tidak pernah melakukan salah satu atau lebih perilaku berisiko di atas, maka tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang disebut-sebut terkait dengan HIV/AIDS sama sekali tidak ada kaitannya dengan infeksi HIV/AIDS pada orang tersebut.

Sebaliknya, biar pun tidak tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang disebut-sebut terkait dengan HIV/AIDS pada diri seseorang, tapi dia pernah atau sering melakukan salah satu atau beberapa perilaku berisiko di atas itu artinya orang tersebut berisiko tertular HIV/AIDS. Langkah terbaik adalah menjalani tes HIV secara sukarela di sarana kesehatan pemerintah. [Sumber: https://www.tagar.id/keluhan-kesehatan-tidak-otomatis-terkait-dengan-hivaids] **

AIDS di Sumut Tanpa Program Penanggulangan yang Konkret

 

Ilustrasi (Sumber: firstpost.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP - 29 Desember 2020

"Pemprov Sumut akan menyurati kabupaten dan kota agar ikut melakukan sosialisasi informasi HIV/AIDS dan kepada masyarakat yang terjangkit. Dia (Wakil Gubernur Sumut Musa Rajekshah --pen.) berharap segera melaporkan diri untuk didata dinas terkait." Ini ada dalam berita "200 Bayi di Kota Medan Terinfeksi HIV/AIDS", kompas.com, 23/12-2020.

Informasi dan sosialisasi HIV/AIDS sudah berjalan 33 tahun di Indonesia sejak kasus HIV/AIDS pertama terdeteksi di Bali (1987) diakui pemerintah. Celakanya, pemahaman tentang HIV/AIDS sebagai fakta medis sangat rendah. Hal ini terjadi antara lain karena materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis hilang yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).

Baca juga: Menyoal (Kapan) 'Kasus AIDS Pertama' di Indonesia

Seperti pada pernyataan Wakil Gubernur Sumut itu yang menyebut 'sosialisasi informasi HIV/AIDS dan kepada masyarakat yang terjangkit'.

Pertama, penularan HIV/AIDS tidak terjadi kepada komunitas atau kelompok serta masyarakat tapi para individu yaitu orang per orang terkait langsung dengan perilaku seksual, dan

Kedua, sosialisasi bukan kepada orang yang terjangkit HIV/AIDS karena mereka sudah menerima penjelasan sebelum dan sesudah tes HIV.

Ada lagi pernyataan 'Dia (Wakil Gubernur Sumut Musa Rajekshah --pen.) berharap segera melaporkan diri untuk didata dinas terkait'. Ini juga menunjukkan pemahaman terhadap HIV/AIDS yang sangat rendah karena orang-orang yang terdeteksi HIV/AIDS melalui tes HIV di klinik-klinik, Puskesmas dan rumah sakit yang menerapkan asas VCT (tes HIV sukarela dengan konseling) sudah otomatis terdata di dinas kesehatan dan KPA.

Yang jadi masalah besar pada epidemi HIV/AIDS adalah orang-orang yang sudah tertular HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi terjadi karena tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan. Tapi, mereka bisa menularkan HIV/AIDS. Mereka inilah yang jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Dok Pribadi
Dok Pribadi

Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Celakanya, pemerintah tidak mempunyai program yang komprehensif untuk mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS di masyarakat. Akibatnya, penyebaran HIV/AIDS terus terjadi tanpa disadari oleh warga yang menularkan dan yang tertular.

Disebutkan pula oleh Wakil Gubernur Sumut ".... Penting kita lakukan adalah bagaimana orang yang terjangkit mau melaporkan diri, supaya bisa didata. Diberi informasi dan pengobatan." Orang-orang yang jalani tes HIV sukarela di Klinik VCT otomatis sudah terdata dan ditangani pada pasca tes HIV.

Wakil Ketua KPAD Sumut Ikrimah Hamidy sebut: "Infeksi paling banyak persentasenya adalah kalangan milenial, anak sekolah hingga mahasiswa. Perlu dilakukan sosialisasi kepada kaum milenial mulai anak sekolah dan guru-guru."

Adalah hal yang realistis kasus HIV/AIDS terbanyak pada kalanan milenial karena pada usia tersebut dorongan seksual tinggi sedangkan informasi tentang cara mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual tidak akurat.

Baca juga: AIDS pada Usia Produktif di Yogyakarta bukan Ironis tapi Realistis

Misalnya, disebut jangan lakukan seks bebas, jangan zina, jangan seks sebelum menikah, dll. Ini mitos karena tidak ada kaitan langsung antara sifat hubungan seksual dengan penularan HIV/AIDS.

Dok Pribadi
Dok Pribadi

Risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) bisa terjadi jika salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual (kondisi hubungan seksual).

Disebutkan pula: ada usul rancangan peraturan daerah (Ranperda) penanggulangan HIV/AIDS kepada DPRD Sumut. Salah satu poinnya adalah tentang tes HIV/AIDS untuk calon pengantin. Tujuannya, apabila ada calon pengantin yang terinfeksi bisa segera ditangani dan diambil tindakan. Hal ini dinilai bisa mengurangi kasus penularan dari orangtua kepada bayinya.

Baca juga: Tes HIV sebelum Menikah (yang) Akan Sia-sia

Tes HIV bukan vaksin. Biar pun hasil tes HIV sebelum menikah negatif itu tidak bisa jadi jaminan selamanya akan negatif HIV karena bisa saja tertular HIV setelah menikah. Risiko tertular HIV setelah menikah tetap ada jika ada di antara pasangan tsb. yang melakukan perilaku-perilaku tinggi tertular HIV/AIDS.

Dok Pribadi
Dok Pribadi

Tes HIV sebelum menikah bisa juga jadi bumerang bagi istri karena jika kelak istri terdeteksi mengidap HIV/AIDS suami akan menuduh istrinya yang selingkuh karena dia punya surat HIV negatif melalui tes HIV sebelum menikah.

Tanpa langkah-langkah yang konkret di hulu yaitu untuk mencegah insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Kota Medan khususnya dan di Sumut umumnya.

Penyebaran HIV/AIDS di masyarakat bagaikan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. *** [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5feafa37d541df19050cf9a2/aids-di-sumut-tanpa-program-penanggulangan-yang-konkret?page=all#section1] ***

Potret Buruk Pengetahuan HIV/AIDS di Yogyakarta dan Belu

 

Ilustrasi (Sumber: NIAID - www.hiv.gov)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP23 Desember 2020

Survei KAP (Knowledge, Attitude, Practice), pengetahuan tentang HIV/AIDSm, di Yogyakarta dan Belu, NTT, yang diselenggarakan oleh lembaga CD Bethesda YAKKUM Yogyakarta, disebut-sebut mayoritas dari 482 responden yang diwawancari secara mendalam, memiliki pengetahuan cukup baik mengenai HIV/AIDS. Hasil survei tsb. dipaparkan oleh Hamdan Farchan, peneliti dari CD Bethesda Yogyakarta dalam berita "Setia pada Pasangan Dipercaya Ampuh Cegah Penularan HIV" (voaindonesia.com, 14/12-2020).

Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia terus terjadi tanpa terkendali, al. karena praktek transaksi seks tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dilakukan intervensi pemakaian kondom. Sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial. Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 9 November 2020, menunjukkan jumlah kumulatif HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sd 30 September 2020 sebanyak 537.730 yang terdiri atas 409.857 HIV dan 127.873 AIDS.

Apakah hasil survei itu memang mencerminkan pengetahuan yang baik tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS sesuai dengan fakta medis?

Lihat saja hasil survei di Kota Yogyakarta ini: "Rutin tes HIV, tidak narkoba, tahu cara penularan, tidak melakukan seks bebas, tidak berperilaku beresiko, setia pada pasangan. ...." Ini hasil survei terhadap responden di Kota Yogyakarta agar tidak tertular HIV/AIDS.

Sedangkan di Belu, " .... kenapa tidak akan tertular, karena setia pada pasangan, belum memiliki pasangan, dan tidak seks bebas. Rata-rata setia kepada pasangan menjadi jawaban. ...."

Jika berbicara soal HIV/AIDS saya selalu ingat kepada Dr Rosalia Sciortino, ketika itu bekerja di Kantor The Ford Foundation Jakarta, yang mengatakan informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS cukup dibicarakan dalam 10 menit. Tapi, karena HIV/AIDS dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama, apalagi karena kasus awal diidentifikasi pada kalangan laki-laki gay di Amerika Serikat, pembicaraan tentang HIV/AIDS jadi melebar dengan banyak mitos.

Baca juga: Menyoal (Kapan) 'Kasus AIDS Pertama' di Indonesia

Hasil survei di Kota Yogyakarta dan Belu ini jelas informasi HIV/AIDS bias karena tidak lagi berdasarkan fakta medis (bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran).

Seperti pernyataan 'rutin tes HIV'. Astaga, untuk apa tes HIV rutin?

Itu artinya responden pada survei itu melakukan perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS secara rutin.

Dok Pribadi
Dok Pribadi

Lagi pula tes HIV ada di hilir yaitu setelah tertular HIV melalui perilaku-perilaku berisiko tertular HIV/AIDS, seperti: (1) sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti, (2) sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4) sering memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya).

Melihat hasil survei di Kota Yogyakarta dan Beli, ini juga bisa mewakili Indonesia, pantas saja insiden infeksi baru HIV/AIDS terus terjadi .... Itu artinya sosialisasi HIV/AIDS selama 33 tahun hasilnya big nothing alias nol besar krn al. materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dng norma, moral dan agama sehingga yg sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).

Terkait dengan 'seks bebas' yang disuarakan responden di Kota Yogyakarta dan Belu juga merupakan mitos. Kalau 'seks bebas' dimaksud sebagai hubungan seksual di luar nikah, seperti seks dengan PSK, juga merupakan mitos karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV/AIDS dan 'seks bebas'. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu atau kedua pasangan itu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual.

Dok Pribadi
Dok Pribadi

Begitu juga dengan jargon 'setia pada pasangan' yang disuarakan responden di Kota Yogyakarta dan Belu juga merupakan mitos. Sebelum saling setia bisa saja salah satu atau keduanya pernah setia dengan pasangan lain. Lagi pula kalau salah satu mengidap HIV/AIDS kesetiaan tidak bisa mencegah penularan HIV/AIDS. Ini juga bukti pemahaman HIV/AIDS hanya sebatas mitos yang jadi orasi moral banyak kalangan yang justru menyesatkan.

Thailand yang berhasil mengendalikan insiden infeksi HIV baru menempatkan media di urutan pertama untuk menyebarluaskan informasi HIV/AIDS dari lima progam yang dijalankan Thailand dengan skala nasional. Celakanya, di Indonesia sebagian besar media massa (koran, majalah, radio dan televisi), media online tidak mendukung penanggulangan HIV/AIDS dengan berita-berita yang berempati. Kondisnya kian runyam karena media sosial hadir dengan balutan agama yang merusak tatanan penanggulangan HIV/AIDS.

Baca juga: Menggugat Peran Pers Nasional dalam Penanggulangan AIDS di Indonesia

Hasil survei juga menyebutkan: Dari 75 ODHA (orang dengan HIV&AIDS) di Kota Yogyakarta, sebanyak 41 persen menyatakan bisa tertular virus itu karena seks bebas dan ganti-ganti pasangan. Ini menunjukkan pemahanan yang salah tentang cara-cara penularan HIV/AIDS.

Pengetahuan Odha di Beli ini lebih akurat: Sementara itu dari 21 ODHA di Kabupaten Belu, 22 persen menyatakan seseorang tertular HIV karena berhubungan seks dengan yang sudah terinfeksi HIV, 33 persen karena pergaulan bebas, dan 22 persen karena berhubungan seks tanpa kondom.

Tapi, jadi kacau juga karena disebutkan karena pergaulan bebas. Ini terjadi karena termakan orasi moral banyak kalangan yang selalu mengaitkan HIV/AIDS dengan seks bebas dan pergaulan bebas.

Jika hasil survei di Kota Yogyakarta dan Kabupate Belu ini bisa menggambarkan kondisi nasional, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi di Indonesia. Pada gilirannya akan terjadi penyebaran HIV/AIDS di masyarakat secara terselubung, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, sebagai 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. *** [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5fe293f68ede485800348e62/potret-buruk-pengetahuan-hiv-aids-di-yogyakarta-dan-belu?page=all#section1] ***

Pria Ini Takut, Cemas, dan Risau Setelah Berhubungan Seks Tanpa Kondom dengan PSK

 

Ilustrasi (Sumber: startswithme.org.uk)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP22 Desember 2020 

Tanya-Jawab AIDS No 1/Desember 2020

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui WhatsApp dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap, melalui: (1) e-mail: aidsindonesia@gmail.com, (2) WA: 0811974977. Pengasuh.

     *****

Tanya: Saya melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Ini yang pertama kalinya bagi saya berhubungan seksual dengan PSK. Saya tidak memakai kondom. Tapi, saya tidak keluar air mani. Pertanyaaan: (1) Apakah saya bisa tertular HIV melalui hubungan seksual tersebut? (2) Apakah perlu saya minum obat antibiotik agar tidak terkena (tertular HIV-peng.). Jujur saya takut, cemas dan risau ....

Via WA, 20.12-2020

Jawab: Laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini PSK, merupakan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Hal ini terjadi karena PSK melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti sehingga berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

(1). Ada risiko tertular HIV/AIDS karena tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual karena penis bersentuhan dengan cairan vagina dan permukaan vagina. Risiko tertular jika PSK itu mengidap HIV/AIDS. Persoalannya adalah tidak bisa diketahui dari fisik apakah PSK tersebut mengidap HIV/AIDS atau tidak. Yang jelas PSK adalah orang dengan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Itu artinya Saudara juga ada pada posisi berisik tertular HIV/AIDS karena tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual.

(2). Obat antibiotik bukan vaksin HIV. Lagi pula kalau HIV sudah masuk ke tubuh tidak bisa lagi dikeluarkan. Virus itu (HIV) akan terus ada di dalam tubuh dan menggandakan diri karena HIV adalah jenis retrovirus yaitu virus yang bisa menggandakan diri di sel-sel darah putih manusia.

Belum ada obat yang bisa mematikan HIV di dalam tubuh. Belum ada vaksin HIV. Yang ada adalah obat antiretroviral (ARV) yaitu obat untuk menekan laju HIV menggandakan diri di dalam tubuh orang-orang yang tertular HIV. Status HIV seseorang hanya bisa diketahui melalui tes HIV.

Untuk menghilangkan ketakutan dan kecemasan Saudara, tiga bulan ke depan silakan tes HIV secara sukarela di tempat-tempat tes HIV yang dirujuh pemerintah, seperti di Puskesmas dan rumah sakit pemerintah. Tapi, dengan syarat Saudara tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom sampai waktu tes HIV.

Selain perlu diingat juga (hasil) tes HIV bukan vaksin. Biar pun hasil tes HIV negatif itu tidak jaminan karena bisa saja Saudara tertular HIV setelah tes jika melakukan hubungan seksual yang berisiko, menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan memakai jarum suntik secara bergiliran dan bergantian pada penyalahgunaan narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya). *** [ Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5fe16052d541df3c1e22b4d4/pria-ini-takut-cemas-dan-risau-setelah-seks-tanpa-kondom-dengan-psk] ***

dokpri
dokpri

Tanpa Pananggulangan yang Nyata Mustahil Indonesia Bebas AIDS 2030

 

                                                  Ilustrasi (Sumber: southfloridagaynews.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP4 Desember 2020

"Diharapkan, Indonesia akan bebas HIV/AIDS di tahun 2030, yaitu tidak ada infeksi HIV baru, tidak ada kematian akibat AIDS, dan tidak ada stigma atau diskriminasi (three zeros)." Ini pernyataan dalam berita "Menuju Indonesia Bebas HIV/AIDS 2030, Apa Strategi yang Disiapkan?" di IDN TIMES, 3/12-2020.

Baca juga: Menggugat Peran Pers Nasional dalam Penanggulangan AIDS di Indonesia

Penyebutan 'tidak ada infeksi HIV baru' di Indonesia tahun 2030 adalah mimpi di siang bolong karena adalah hal yang mustahil menghentikan infeksi HIV baru, karena:

Pertama, tidak ada vaksin anti-HIV sehingga tetap ada risiko tertular HIV terutama melalui hubangan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah;

Kedua, tidak mungkin mengawasi perilaku seksual setiap orang sepanjang hari karena perilaku seksual ada di ranah privat;

Ketiga, tidak ada peran serta aktif masyarakat untuk menghindari perilaku-perilaku berisiko tertular dan menularkan HIV/AIDS;

Keempat, materi KIE (komunikasi, informs dan edukasi) HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dana agama yang membuat fakta medis HIV/AIDS hilang sehingga yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah), dan

Kelima, pemerintah tidak mempunyai strategi yang konkret berupa langkah untuk menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dll.

Laporan terakhir Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Ditjen P2P), Kemenkes RI, tanggal 9 November 2020 menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sampai 30 September 2020 sebanyak 537.730 yang terdiri atas 409.857 HIV dan 127.873 AIDS.

Baca juga: Menyoal Peran Aktif Pers Nasional Menanggulangi AIDS

Sedangkan estimasi jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia 640.000 (aidsdatahub.org). Itu artinya ada 102.270 warga yang mengidap HIV/AIDS (Odha-Orang dengan HIV/AIDS) tapi tidak terdeteksi. 

Mereka inilah yang jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik warga yang mengidap HIV/AIDS.

Perilaku berisiko tertular HIV/AIDS melalui PSK langsung tidak bisa diintervensi karena praktek PSK langsung tidak dilokalisir, sedangkan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS melalui PSK tidak langsung juga tidak bisa diintervensi karena transaksi seks terjadi dengan berbagai modus melalui jaringan media sosial.

Dalam berita "Menuju Indonesia Bebas HIV/AIDS 2030, Apa Strategi yang Disiapkan?" sama sekali tidak ada langkah yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV/AIDS melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.

Ada 3 cara yang disebutkan dalam berita, tapi itu semua hanya di awang-awang karena tidak menukik ke akar persoalan yaitu menurunkan menurunkan insiden infeksi HIV/AIDS melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.

Seperti strategi 1 Tetap menjalankan upaya edukasi dan pencegahan dari HIV/AIDS. Edukasi HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan materi KIE yang hanya bermuatan moral sehingga masyarakat tidak mengetahui cara-cara yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.

Begitu juga pada strategi 2 Pendidikan seks perlu ditanamkan sejak dini untuk memupuk rasa tanggung jawab. Materi informasi tentang pendidikan seks hanya mengumbar moral, seperti jangan melakukan hubungan seksual sebelum menikah, jangan berzina, dst. Ini mitos karena tidak ada kaitannya dengan penularan HIV/AIDS.

Hal yang sama pada strategi 3 Bagaimana cara memahami kesehatan seksual dan reproduksi dengan mudah? Adalah hal yang mustahil memahami kesehatan seksual dan reproduksi kalau informasi yang disampaikan hanya mitos.

Padahal, Thailand berhasil menanggulangi HIV/AIDS karena peran media, dalam hal ini media massa, yang menyebarluaskan KIE tentang HIV/AIDS dengan informasi yang akurat sesuai dengan fakta medis. 

Sebaliknya di Indonesia media massa nyaris tidak membantu penanggulangan karena banyak media yang menulis berita yang menyesatkan tentang HIV/AIDS. *** [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5fc9608bd541df7af753b3d2/tanpa-pananggulangan-yang-nyata-mustahil-indonesia-bebas-aids-2030?page=all] ***

AIDS di Kota Cimahi karena Seks Bebas di Luar Nikah?

 

Ilustrasi (Sumber: moneycontrol.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP - 1 Desember 2020 

"92 Orang di Cimahi Tertular HIV/AIDS Akibat Seks Bebas" Ini judul berita di news.detik.com, 1/12-2020.

Dengan rentang waktu epidemi HIV/AIDS di Indonesia sudah 33 tahun dan di dunia 39 tahun serta informasi HIV/AIDS yang akurat sudah tersebar luas tidak masuk akal masih ada media, dalam hal ini media online, yang menulis HIV/AIDS sebagai mitos (anggapan yang salah).

Di lead berita disebut "Pemerintah Kota Cimahi meminta masyarakat terutama generasi muda tidak melakukan aktivitas seks bebas di luar nikah untuk menghindari tertular HIV/AIDS". Pernyataan ini sama ngawurnya dengan judul berita, karena:

Pertama, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, zina, seks bebas, melacur, selingkuh, dll.), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS, suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual). Ini fakta medis (Lihat matriks).

Dok Pribadi
Dok Pribadi

Kedua, risiko tertular HIV/AIDS tidak tergantung dari umur atau usia tapi karena perilaku seksual,

Ketiga, seks bebas adalah terminologi yang ngawur bin ngaco yang merupakan terjemahan bebas dari 'free sex' yang tidak ditemukan dalam kamus-kamus Bahasa Inggris.

Disebutkan dalam berita: .... catatan Dinas Kesehatan Kota Cimahi, sejak tahun 2005 hingga 2020 di Kota Cimahi terdapat 855 orang pengidap HIV/AIDS. Sebanyak 517 orang di antaranya merupakan warga Kota Cimahi, sementara sisanya berasal dari luar Kota Cimahi.

Dari dalam atau dari luar Kota Cimahi tetap saja ada risiko penularan ke warga Kota Cimahi, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Pertanyaannya: mengapa dan bagaimana warga yang berasal dari luar Kota Cimahi jalani tes HIV di Kota Cimahi?

Disebutkan oleh Pemegang Program HIV/AIDS dan IMS pada Dinas Kesehatan Kota Cimahi, Mulyono: penyebab utama penularan HIV/AIDS di Kota Cimahi itu karena aktivitas seks bebas yang tidak aman baik hubungan sesama jenis alias Lelaki Seks Lelaki (LSL) maupun lawan jenis.

Jika yang dimaksud seks bebas dalam berita ini adalah zina, maka lagi-lagi pernyataan di atas menyesatkan. Seks bebas atau seks tidak bebas (dalam ikatan pernikahan yang sah) jika tidak aman yaitu dilakukan dengan kondisi laki-laki atau suami tidak memakai kondom ada risiko penularan HIV/AIDS kalau salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS.

Terminologi yang dikenal dalam epidemi HIV/AIDS sebagai hubungan seksual yang berisiko tinggi terjadi penularan HIV/AIDS adalah seks (yang) tidak aman yaitu hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan kondisi suami atau laki-laki tidak memakai kondom dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan yaitu pekerja seks komersial (PSK).

Wartawan yang menulis berita ini tidak menyadari ada pernyataan dari Mulyono yang akurat: "Kebanyakan mereka melakukan hubungan seksual tidak aman karena tidak mengenakan kondom. Atau ada juga yang lewat jarum suntik."

Risiko penularan HIV melalui jarum suntik pada penyalahgunaan narkoba juga harus dengan kondisi beberapa orang dan jarum dipakai secara bersama-sama dengan bergantian. Kalau narkoba disuntikkan sendiri tidak akan pernah ada risiko penularan HIV.

Tahun 1990-an sampai awal 2000-an beberapa donor asing masih mau mendanai pelatihan penularan berita HIV/AIDS yang berempati, tapi belakangan ini tidak ada lagi donor yang mau mendanai pelatihan wartawan. Sedangkan pemerintah juga tidak mau karena disebut hasilnya tidak terukur seperti memakan cabai langsung terasa.

Thailand berhasil menanggulangi epidemi HIV/AIDS karena peranan media massa. Dari lima program riil penanggulangan HIV/AIDS di Thailand di puncak adalah media massa dan terakhir kondom. Di Indonesia sebaliknya. Kondom yang dikedepankan tanpa dukungan media massa dan media online.

Baca juga: Program Penanggulangan AIDS di Indonesia Mengekor ke Ekor Program Thailand

Jika media massa dan media online serta media sosial terus memberitakan HIV/AIDS dengan balutan norma, moral dan agama maka selama itu pula masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) dari berita. Itu artinya upaya penanggulangan HIV/AIDS tanpa dukungan masyarakat. *** [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5fc639886e383356000dce72/aids-di-kota-cimahi-karena-seks-bebas-di-luar-nikah?page=all#section1] ***