Ilustrasi (Foto: kathmandupost.com)
Oleh: Syaiful W. HARAHAP - 30 Januari 2021
KPAD Sumut mengusulkan agar calon
pengantin melakukan tes HIV sebelum menikah sebagai upaya penanggulangan
HIV/AIDS
KPAD Usulkan Setiap Calon
Pengantin di Sumut Test HIV/AIDS. Ini judul berita di Tagar, 26 Januari
2021. Dalam berita disebutkan Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi, mengatakan kepada
anggota Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Sumut: "Pencegahan itu
penting, lewat sosialisasi diberikan pemahaman kepada masyarakat tentang
bahayanya HIV/AIDS tersebut."
Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS yang
dilaporkan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 9 November 2020, sampai tanggal 30
September 2020, sebanyak 537.730 yang terdiri atas 409.857 HIV dan 127.873 AIDS.
Sedangkan di Sumatera Utara (Sumut) jumlah kasus 25.400 yang terdiri atas
21.160 HIV dan 4.240 AIDS. Jumlah ini menempatkan Sumut pada peringkat ke-7
nasional.
Pertama, sosialisasi terkait
dengan HIV/AIDS sudah dilakukan sejak awal epidemi yang di Indonesia diakui
pemerintah mulai April 1987;
Kedua, persoalan besar pada
sosialisasi HIV/AIDS di Indonesia adalah materi KIE (komunikasi, informasi dan
edukasi) dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS
tenggelam sedangkan yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang
salah);
Ketiga, sosialisasi tidak semerta
bisa menyadarkan orang per orang untuk tidak melakukan perilaku berisiko
sehingga ada celah yang jadi risiko tertular HIV/AIDS sebelum seseorang
menyadari perilaku berisiko;
Keempat, kondom diabaikan sebagai
alat mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar
nikah, dengan alasan moral dan agama;
Kelima, praktek pelacuran terjadi
di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak bisa dilakukan
intervensi agar laki-laki selalu memakai kondom setiap kali melakukan hubungan
seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Salah satu negara yang berhasil
menanggulangi epidemi HIV/AIDS adalah Thailand. Data aidsdatahub.org,
misalnya, infeksi baru tahun 2020 diprediksi 5.400. Bandingkan dengan Indonesia
dengan kasus baru 46.000.
1. Program Mengekor ke Ekor
Program Thailand
Perbedaan jumlah kasus baru itu
terjadi karena Thailand melakukan penanggulangan dengan lima program yang
konsisten dan serentak dengan skala nasiona. Di urutan paling atas adalah
sosialisasi HIV/AIDS melalui media massa, sedangkan langkan kelima adalah
program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan
seksual di tempat pelacuran dan rumah bordil.
Celakanya, program Thailand itu
dicangkok oleh Indonesia tapi terbalik sehingga mengekor ke ekor program
Thailand. Pemerintah mendorong beberapa daerah menerbitkan Perda penanggulangan
HIV/AIDS dengan fokus program ‘wajib kondom 100 persen’. Sudah ada 143 Perda
AIDS di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Di Sumut sendiri sudah ada tiga
Perda AIDS, yaitu di Kabupaten Serdang Bedagai, Kota Tanjungbalai dan Kota
Medan. Tapi, semua hanya berisi pasal-pasal moral yang justru tidak menukik ke
akar masalah terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS.
Tentu saja program kondom
mendapat hambatan karena penolakan besar-besaran dari berbagai kalangan di
Indonesia. Ini terjadi karena sosialisasi tidak berjalan dengan materi KIE yang
komprehensif, tapi dengan materi yang dibumbui moral.
Terkait dengan program ‘wajib kondom
100 persen’ Thailand memberikan sanksi kepada germo atau mucikari jika ada PSK
yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing
nanah/GO, raja singa/sifilis, klamidia, dan lain-lain). Sedangkan di Indonesia,
melalui Perda-perda AIDS, yang dihukum pidana justru PSK.
Baca juga: Omong Kosong
Penularan HIV Baru Bisa Dihentikan 2030
Langkah itu jelas ngawur dan
tidak ada manfaatnya karena: (a) sebelum dijebloskan ke penjara PSK itu sudah
menularkan HIV/AIDS ke pelanggannya, dan (b) posisi PSK yang dibui itu akan
digantikan oleh ratusan PSK lain.
2. Dua Tipe PSK
Disebutkan pula dalam berita:
Kepada KPAD Sumut, Gubernur Edy berharap dapat membuat rencana kerja yang lebih
konkret dalam hal penanggulangan AIDS di Sumut.
Program yang konkret adalah
menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV di hulu
yaitu pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK. Persoalan besar di
Indonesia adalah praktek pelacuran tidak dilokalisir sehingga tidak bisa
dilakukan intervensi agar laki-laki selalu pakai kondom setiap kali melakukan
hubungan seksual dengan PSK.
Kondisinya kian runyam karena PSK
sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang
kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di
jalanan.
(2). PSK tidak langsung adalah
PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek
kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks
(sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class,
cewek online, PSK online, dan lain-lain.
Pada tipe (1) tidak bisa
dilakukan intervensi karena praktek PSK langsung tidak dilokalisir, sedangkan
pada tipe (2) adalah hal yang mustahil melakukan intervensi karena transaksi
seks dilakukan dengan berbagai modus, seperti media sosial, di sembarang tempat
dan sembarang waktu.
Baca juga: Lokalisasi
Pelacuran dari Jalanan ke Media Sosial
Itu artinya insiden infeksi HIV
baru akan terus terjadi di Sumut yang pada gilirannya laki-laki yang tertular
HIV jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui
hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah.
Ada lagi pernyataan: KPAD juga
mengusulkan kepada DPRD wacana agar calon pengantin yang akan menikah
dipastikan dahulu tidak terinfeksi HIV/AIDS.
3. Jumlah yang Menikah Setiap
Hari
Tes HIV bagi calon pengantin
sudah dilakukan di beberapa daerah yang diatur melalui peraturan daerah
(Perda). Tapi, tanpa disadari tes HIV bagi pasangan calon pengantin sebagai
upaya penanggulangan epidemi HIV/AIDS tidak ada manfaatnya. Sia-sia.
Menggantang asap.
Soalnya, tes HIV bukan vaksin.
Artinya, biarpun satu pasangan tidak mengidap HIV/AIDS ketika menikah itu tidak
jaminan selama dalam perkawinan mereka akan bebas dari HIV/AIDS. Bisa saja
setelah menikah salah satu dari pasangan itu tertular HIV.
Misalnya, suami tertular HIV
melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan
perempuan, dengan asumsi suami heteroseksual, yang berganti-ganti atau dengan
perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini PSK.
Hasil tes HIV sebelum menikah
juga akan jadi bumerang [KBBI: perkataan (perbuatan, ulah, peraturan, dsb) yang
dapat merugikan atau mencelakakan diri sendiri] bagi pasangan tersebut,
terutama bagi istri. Misalnya, setelah menikah terdeteksi anak atau istri
mengidap HIV/AIDS.
Maka, suami pun menuding
istrinya: Kau selingkuh!
Hal itu terjadi karena suami
sudah memegang ’surat bebas AIDS’ berdasarkan tes HIV sebelum menikah. Maka,
suami pun berpegang teguh pada hasil tes HIV tersebut dan menyalahkan istrinya.
Lagi pula berapa orang yang
menikah setiap hari. Bandingkan dengan jumlah laki-laki dewasa yang melakukan
hubungan seksual yang tidak aman setiap hari, seperti dengan PSK tidak
langsung.
Maka, kunci utama penanggulangan HIV/AIDS di Sumut khususnya dan di Indonesia umumnya adalah dengan intervensi terhadap laki-laki agar selalu memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK (langsung dan tidak langsung). [Sumber: https://www.tagar.id/program-penanggulangan-hivaids-sumatera-utara-tak-membumi] ***