Pada triwulan II tahun 2021 (April-Juni) terdeteksi kasus HIV/AIDS sebanyak 9.817 yang terdiri atas 8.412 HIV dan 1.405 AIDS
Oleh: Syaiful W. Harahap
Di tengah-tengah pandemi Covid-19
kasus penularan (infeksi) baru HIV/AIDS juga terus terjadi di Tanah Air.
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 30 September 2021, menunjukkan jumlah
kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada triwulan II tahun 2021 (April-Juni)
sebanyak 9.817 yang terdiri atas 8.412 HIV dan 1.405 AIDS.
Dengan tambahan 9.817 kasus, maka
jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 sampai 30 Juni 2021 sebanyak
569.903 yang terdiri atas 436.948 HIV dan 132.955 AIDS dengan 64.990 kematian.
Angka-angka ini tidak menunjukkan
kondisi penyebaran HIV yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS
erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan (569.903)
digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut,
sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es
di bawah permukaan air laut.
Fenomema gunung es pada epidemi HIV/AIDS (Dok Pribadi)
Estimasi kasus HIV sebanyak
543.100, dengan penemuan 436.948 (80,1%) berarti ada 106.152 warga dengan
HIV-positif yang tidak terdeteksi. Mereka pun tidak menyadari sudah tertular
HIV karena tidak ada tanda-tanda atau gejala-gejala pada fisik dan keluhan
kesehatan yang khas HIV/AIDS.
Akibatnya, mereka tetap melakukan
kegiatan-kegiatan yang berisiko menularkan HIV, terutama melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Itu artinya 106.152 warga
dengan HIV-positif jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.
Kondisinya kian runyam karena
dari 436.948 warga dengan HIV-positif yang masih hidup hanya 149.614 yang
menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral (ARV). Padahal, pengobatan
dengan obat ARV akan menurunkan risiko menularkan HIV. Maka, jumah warga dengan
HIV-positif yang jadi mata rantai penularan HIV di masyarakat kian banyak.
Terkait dengan pengobatan ARV ini
juga masalah besar adalah layanan distribusi karena di banyak daerah hanya
terpusat di kota kabupaten. Hal ini membuat Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang
jalani pengobatan ARV sulit jangkau layanan karena tempat tinggalnya jauh dari
ibu kota kabupaten.
Yang jadi persoalan besar adalah
di Indonesia tidak ada mekanisme yang komprehensif untuk mendeteksi warga
dengan HIV-positif. Di Amerika Serikat (AS) semua warga yang berobat ke sarana
kesehatan publik (pemerintah) wajib tes HIV.
Apakah hal itu melawan hukum dan
melanggar hak asasi manusia (HAM)?
Tidak! Bisa disebut melanggar HAM
kalau tidak ada pilihan. Sedangkan yang diterapkan di AS itu hanya untuk sarana
kesehatan pemerintah, maka kalau tidak mau jalani tes HIV bisa berobat ke
layanan kesehatan nonpemerintah.
Hal lain yang membuat penularan
HIV antar warga tinggi adalah tidak ada aturan baku yang mengatur tes HIV bagi
suami perempuan hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Banyak suami yang
menolak tes HIV ketika istrinya terdeteksi HIV-positif. Di Lebak, Banten, misalnya
suami justru meninggalkan istri dan anak-anaknya ketika diminta tes HIV karena
istrinya terdeteksi HIV-positif ketika hamil.
Suami-suami perempuan hamil yang
terdeteksi HIV-positif yang tidak jalani tes HIV akan jadi mata rantai
penularan HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah.
Beberapa daerah membuat aturan,
antara lain melalui peraturan daerah (Perda), yang mewajibkan perempuan hamil
tes HIV. Ini merupakan pola pikir laki-laki yang merugikan perempuan.
Yang objektif adalah suami
perempuan hamil diwajibkan tes HIV. Nah, kalau suaminya negatif tentu istrinya
tidak perlu lagi jalani tes HIV. Untuk memastikan istrinya negatif bisa melalui
konseling.
Intervensi hanya bisa dilakukan jika praktek pekerja seks dilokalisir (Foto: Dok/Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Penanggulangan HIV/AIDS di
Indonesia pun hanya dilakukan di hilir, seperti tes HIV bagi perempuan hamil.
Padahal, yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan, sekali
lagi hanya bisa menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki
dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks.
Tentu saja pemerintah tidak bisa
melakukan intervensi terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan
pekerja seks karena praktek pekerja seks di Indonesia tidak dilokalisir. Sejak
reformasi lokalisasi pelacuran ditutup dengan pijakan moral dengan mengabaikan
aspek kesehatan masyarakat.
Dengan program ‘wajib kondom 100
persen’ bagi laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja
seks, Thailand berhasil menurunkan infeksi HIV baru dengan indikator jumlah
calon taruna militer yang terdeteksi HIV-positif terus berkurang. Hal ini bisa
terjadi karena praktek pekerja seks dilokalisir dan rumah bordil harus
mengantongi izin usaha. Melalui perizinan itu pemerintah Thailand bisa
menjangkau laki-laki agar selalu memakai kondom setiap kali melakukan hubungan
seksual dengan pekerja seks.
Lokalisasi pelacuran di Indonesia
setelah ditutup pindah ke jalanan dan sekarang bercokol di media sosial.
Langkah penanggulangan HIV/AIDS kian tidak menukik ke akar masalah ketika banyak daerah membuat peraturan daerah (Perda) wajib tes HIV sebelum menikah. Paling tidak ada tiga aspek yang luput dari perhatian pembuat Perda ini, yaitu:
Pertama, tes HIV bukan vaksin
sehingga biarpun hasil tes HIV negatif ketika hendak menikah bisa saja terjadi
penularan HIV kepada salah satu atau kedua pasangan itu setelah menikah jika
mereka melakukan perilaku-perilaku berisiko,
Kedua, bisa terjadi suami akan
menuduh istrinya selingkuh ketika istri terdeteksi HIV-positif karena dia
memegang surat bukti HIV-negatif ketika tes sebelum nikah, dan
Tabel: Perbandingan jumlah warga yang menikah dan melakukan perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS (Foto: Tagar/Syaiful W. Harahap)
Ketiga, pemerintah daerah yang
membuat Perda mengabaikan risiko penularan HIV pada laki-laki melalui hubungan
seksual dengan pekerja seks. Jika dibandingkan jumlah pernikahan dan hubungan
seksual berisiko setiap hari, maka risiko infeksi HIV baru jauh lebih banyak
pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual berisiko, antara lain dengan
pekerja seks tanpa kondom.
Jika pola dan langkah
penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia tidak dilakukan dengan cara-cara yang
realitis, maka penularan HIV di masyarakat bagaikan ‘silent disaster’ (pembunuh
terselubung) yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS’(tagar id, 1 November
2021). *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.