05 November 2021

10 Provinsi dengan Kasus Baru HIV/AIDS Terbanyak April – Juni 2021

 

Ilustrasi (Sumber: cdc.gov)

Di masa pandemi Covid-19 insiden infeksi HIV baru juga terus terjadi, ada 10 provinsi dengan jumlah kasus baru terbanyak April-Juni 2021 

Oleh: Syaiful W. Harahap

Pandemi virus corona (Covid-19) mengalihkan perhatian dari epidemi HIV/AIDS, tapi biar pun luput dari perhatian justru insiden infeksi (penularan) baru HIV terus terjadi. Seperti yang dilaporkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 30 September 2021, menunjukkan ada 10 provinsi yang melaporkan kasus baru HIV/AIDS terbanyak.

Secara nasional jumlah kasus infeksi baru HIV/AIDS April – Juni 2021 sebanyak 9.817 yang terdiri atas 8.412 HIV dan 1.405 AIDS. Sedangkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS sejak tahun 1987, kasus pertama yang diakui pemerintah, sampai 30 Juni 2021 sebanyak 569.903 yang terdiri atas 436.948 HIV dan 132.955 AIDS dengan 64.990 kematian.

10 provinsi yang paling banyak kasus baru HIV/AIDS pada triwulan II/2021 atau dari bulan April – Juni 2021 adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, Bali, Papua, Sumatera Utara, Banten, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan (Lihat tabel).

Tabel: 10 provinsi dengan kasus baru HIV/AIDS terbanyak pada triwulan II/2021 yaitu priode April – Juni 2021 (Foto: Tagar/Syaiful W. Harahap)

Secara nasional faktor risiko penularan HIV pada periode April – Juni 2021yaitu homoseksual 25,9% (24,8% LSL dan 1,1% waria), heteroseksual 13,6%, pasien TB 12,1%, ibu hamil 9,6%, pekerja seks 3,1%, warga binaan di Lapas 0,8%, pasien IMS 0,8% dan penasun 0,6%.

Yang jadi perhatian adalah pasien TB yang mencapai 12,1% layak diperhatikan oleh pemerintah daerah. Pada pasien TB tertular HIV lebih mudah daripada non-TB ketika mereka melakukan perilaku berisiko.

Kasus HIV/AIDS pada LSL merupakan terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai istri sehingga penyebaran tidak ke masyarakat tapi hanya di komunitas. Yang jadi persoalan kemungkinan ada laki-laki biseksual yang masuk ke komunitas LSL sehingga jadi jembatan penyebaran HIV ke masyarakat, terutama ke istri atau pasangan seks mereka yang lain.

Sedangkan kasus pada HIV/AIDS pada waria bisa jadi masalah karena pelanggan seks waria justru laki-laki heteroseksual yang beristri. Itu artinya laki-laki heteroseksual pelanggan waria jadi jembatan penyebaran HIV ke masyarakat, terutama kepada istri atau pasangan seks mereka yang lain.

Kasus HIV/AIDS pada kalangan heteroseksual jadi masalah besar karena mereka jadi mata rantai penularan HIV ke istri. Jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV kian banyak jika laki-laki pengidap HIV/AIDS punya istri lebih dari satu. Besaran HIV/AIDS pada kalangan heteroseksual (13,6%) berdampak pada ibu hamil yang mencpai 9,6%. Ibu-ibu hamil tertular HIV dari suami.

Sementara itu kasus HIV/AIDS pada pekerja seks juga jadi masalah besar. Biar pun cuma 3,1%, tapi seorang pekerja seks meladeni 3 sampai 5 laki-laki setiap malam sehingga jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS sangat banyak. Terbukti dari besaran kasus yaitu 13,6%.

Pada epidemi HIV/AIDS dikenal fenomena gunung es yaitu kasus yang dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Yang jadi persoalan besar bukan kasus yang terdeteksi, tapi kasus yang tidak terdeteksi. Warga yang sudah terdeteksi HIV-positif sudah berjanji akan menghentikan penularan HIV. Ini jadi ikrar ketika konseling sebelum dan sesudah tes HIV. Selain itu mereka juga menjalani pengobatan obat antiretroviral (ARV) sehingga menurunkan risiko penularan HIV.

Warga yang HIV-positif tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah. Mereka tidak menyadari sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas IHV/AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan.

Untuk itulah pemerintah daerah diharapkan merancang program yang bisa menjangkau warga yang HIV-positif yang belum terdeteksi. Misalnya, dengan merancang peraturan daerah (Perda) yang mewajibkan suami dari perempuan hamil jalani tes HIV, pasien TB dan IMS juga wajib jalani tes HIV. Supaya tidak melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM) kewajiban hanya bagi warga yang memakai fasilitas kesehatan pemerintah.

Namun, langkah yang arif dan bijaksana dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, jumlah insiden penularan (infeksi) HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks. Caranya adalah dengan memaksa laki-laki memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks.

Hanya dengan langkah-langkah yang realistis HIV/AIDS bisa dicegah di hulu sehingga penularan HIV tidak jadi ‘bom waktu’ agar tidak terjadi ‘ledakan AIDS’ (tagar.id, 2 November 2021). *

 

9.817 Kasus Baru HIV/AIDS Terdeteksi di Masa Pandemi April – Juni 2021

 

Risiko tertular HIV setelah wajib tes HIV sebelum menikah (Foto: Dok/Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Pada triwulan II tahun 2021 (April-Juni) terdeteksi kasus HIV/AIDS sebanyak 9.817 yang terdiri atas 8.412 HIV dan 1.405 AIDS

Oleh: Syaiful W. Harahap 

Di tengah-tengah pandemi Covid-19 kasus penularan (infeksi) baru HIV/AIDS juga terus terjadi di Tanah Air. Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 30 September 2021, menunjukkan jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada triwulan II tahun 2021 (April-Juni) sebanyak 9.817 yang terdiri atas 8.412 HIV dan 1.405 AIDS.

Dengan tambahan 9.817 kasus, maka jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 sampai 30 Juni 2021 sebanyak 569.903 yang terdiri atas 436.948 HIV dan 132.955 AIDS dengan 64.990 kematian.

Angka-angka ini tidak menunjukkan kondisi penyebaran HIV yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan (569.903) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Fenomema gunung es pada epidemi HIV/AIDS (Dok Pribadi)


Estimasi kasus HIV sebanyak 543.100, dengan penemuan 436.948 (80,1%) berarti ada 106.152 warga dengan HIV-positif yang tidak terdeteksi. Mereka pun tidak menyadari sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda atau gejala-gejala pada fisik dan keluhan kesehatan yang khas HIV/AIDS.

Akibatnya, mereka tetap melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko menularkan HIV, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Itu artinya 106.152 warga dengan HIV-positif jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.

Kondisinya kian runyam karena dari 436.948 warga dengan HIV-positif yang masih hidup hanya 149.614 yang menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral (ARV). Padahal, pengobatan dengan obat ARV akan menurunkan risiko menularkan HIV. Maka, jumah warga dengan HIV-positif yang jadi mata rantai penularan HIV di masyarakat kian banyak.

Terkait dengan pengobatan ARV ini juga masalah besar adalah layanan distribusi karena di banyak daerah hanya terpusat di kota kabupaten. Hal ini membuat Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang jalani pengobatan ARV sulit jangkau layanan karena tempat tinggalnya jauh dari ibu kota kabupaten.

Yang jadi persoalan besar adalah di Indonesia tidak ada mekanisme yang komprehensif untuk mendeteksi warga dengan HIV-positif. Di Amerika Serikat (AS) semua warga yang berobat ke sarana kesehatan publik (pemerintah) wajib tes HIV.

Apakah hal itu melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM)?

Tidak! Bisa disebut melanggar HAM kalau tidak ada pilihan. Sedangkan yang diterapkan di AS itu hanya untuk sarana kesehatan pemerintah, maka kalau tidak mau jalani tes HIV bisa berobat ke layanan kesehatan nonpemerintah.

Hal lain yang membuat penularan HIV antar warga tinggi adalah tidak ada aturan baku yang mengatur tes HIV bagi suami perempuan hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Banyak suami yang menolak tes HIV ketika istrinya terdeteksi HIV-positif. Di Lebak, Banten, misalnya suami justru meninggalkan istri dan anak-anaknya ketika diminta tes HIV karena istrinya terdeteksi HIV-positif ketika hamil.

Suami-suami perempuan hamil yang terdeteksi HIV-positif yang tidak jalani tes HIV akan jadi mata rantai penularan HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Beberapa daerah membuat aturan, antara lain melalui peraturan daerah (Perda), yang mewajibkan perempuan hamil tes HIV. Ini merupakan pola pikir laki-laki yang merugikan perempuan.

Yang objektif adalah suami perempuan hamil diwajibkan tes HIV. Nah, kalau suaminya negatif tentu istrinya tidak perlu lagi jalani tes HIV. Untuk memastikan istrinya negatif bisa melalui konseling.

Intervensi hanya bisa dilakukan jika praktek pekerja seks dilokalisir  (Foto: Dok/Pribadi/Syaiful W. Harahap)


Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia pun hanya dilakukan di hilir, seperti tes HIV bagi perempuan hamil. Padahal, yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks.

Tentu saja pemerintah tidak bisa melakukan intervensi terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks karena praktek pekerja seks di Indonesia tidak dilokalisir. Sejak reformasi lokalisasi pelacuran ditutup dengan pijakan moral dengan mengabaikan aspek kesehatan masyarakat.

Dengan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks, Thailand berhasil menurunkan infeksi HIV baru dengan indikator jumlah calon taruna militer yang terdeteksi HIV-positif terus berkurang. Hal ini bisa terjadi karena praktek pekerja seks dilokalisir dan rumah bordil harus mengantongi izin usaha. Melalui perizinan itu pemerintah Thailand bisa menjangkau laki-laki agar selalu memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks.

Lokalisasi pelacuran di Indonesia setelah ditutup pindah ke jalanan dan sekarang bercokol di media sosial.

Langkah penanggulangan HIV/AIDS kian tidak menukik ke akar masalah ketika banyak daerah membuat peraturan daerah (Perda) wajib tes HIV sebelum menikah. Paling tidak ada tiga aspek yang luput dari perhatian pembuat Perda ini, yaitu:

Pertama, tes HIV bukan vaksin sehingga biarpun hasil tes HIV negatif ketika hendak menikah bisa saja terjadi penularan HIV kepada salah satu atau kedua pasangan itu setelah menikah jika mereka melakukan perilaku-perilaku berisiko,

Kedua, bisa terjadi suami akan menuduh istrinya selingkuh ketika istri terdeteksi HIV-positif karena dia memegang surat bukti HIV-negatif ketika tes sebelum nikah, dan


Tabel: Perbandingan jumlah warga yang menikah dan melakukan perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS (Foto: Tagar/Syaiful W. Harahap)


Ketiga, pemerintah daerah yang membuat Perda mengabaikan risiko penularan HIV pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks. Jika dibandingkan jumlah pernikahan dan hubungan seksual berisiko setiap hari, maka risiko infeksi HIV baru jauh lebih banyak pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual berisiko, antara lain dengan pekerja seks tanpa kondom.

Jika pola dan langkah penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia tidak dilakukan dengan cara-cara yang realitis, maka penularan HIV di masyarakat bagaikan ‘silent disaster’ (pembunuh terselubung) yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS’(tagar id, 1 November 2021). *

02 Agustus 2021

Penanggulangan HIV/AIDS di Sumut Abaikan Penularan yang Potensial

 

Ilustrasi: Nyala lilin pada Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2013 yang diselenggarakan oleh The LGBTQ Center of Long Beach di Long Beach, California, AS (Foto: dailynews.com)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

KPAD Sumut  abaikan faktor-faktor risiko penularan HIV/AIDS yang potensial sehingga epidemi HIV/AIDS di Sumut bak ‘bom waktu’ ledakan AIDS

“21 Ribu Warga Sumut Kena HIV/AIDS, Muncul Usul Wajib Tes Sebelum Nikah” Ini judul berita di sebuah mediaonline Ibu Kota, 6 Juli 2021.

Berdasarkan laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 25 Mei 2021, sampai 31 Maret 2021 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara (Sumut) sebanyak 26.524 yang terdiri atas 22.025 HIV dan 4.499 AIDS. Jumlah ini menempatkan Sumut di peringkat ke-7 secara nasional berdasarkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS.

Sedangkan jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan pada periode Januari – Maret 2021 sebanyak 695 yang terdiri atas 479 HIV dan 216 AIDS. Dengan jumlah ini Sumut ada di peringkat 5 berdasarkan jumlah kasus yang dilaporkan Januari – Maret 2021 secara nasional.

Dalam berita tidak ada penjelasan tentang jumlah kasus penularan HIV/AIDS melalui suami ke istri dalam ikatan pernikahan, tapi Ketua KPAD Sumut, Ikrimah Hamidy, mengatakan pihaknya mengusulkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) ke DPRD Sumut. Salah satu isi dari Ranperda itu mewajibkan calon pengantin untuk menjalani tes HIV/AIDS (yang benar tes HIV-pen.).

1. Masa Berlaku Hasil Tes HIV

Disebutkan oleh Ikrimah, "Kita di sini menyusun beberapa hal dalam Ranperda. Targetnya beberapa titik tekannya itu, ada pencegahan dini melalui tes HIV/AIDS bagi calon pengantin."

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah apakah ada jaminan kalau calon suami dan istri HIV-negatif akan terus negatif selama mereka hidup dalam ikatan pernikahan?

Tidak ada!

Soalnya, hasil tes HIV hanya berlaku sampai ketika tes HIV dilakukan. Misalnya, tes HIV dilakukan tanggal 2 Agustus 2021 pukul 10.00 WIB, maka hasil tes HIV-negatif hanya berlaku sampai tanggal 2 Agustus 2021 pukul 10.00 WIB.

Setelah tanggal 2 Agustus 2021 pukul 10.00 WIB bisa saja salah seorang dari calon pasangan suami istri itu melakukan perilaku berisiko tertular HIV, yaitu:

-          Melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS, atau

-          Melakukan hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom dengan pasangan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) karena ada kemungkinan PSK tersebut mengidap HIV/AIDS karena perilaku seksual PSK adalah perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Yang perlu diingat adalah PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:

(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(b). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dan lain-lain.

2. Tes HIV Bukan Vaksin

Di bagian lain Ikrimah mengatakan: "Tujuannya agar jangan sampai yang orang sudah terpapar HIV/AIDS itu menikah tanpa didahului tes, memaparkan kepada pasangannya. Sudah pernah kejadian soalnya, laki-laki positif, nikah, beberapa tahun kemudian istrinya positif, anaknya lahir juga positif. Ini yang kita antisipasi."

Baca juga: Program Penanggulangan HIV/AIDS SumateraUtara Tak Membumi

Lagi pula kalau dibawa ke realitas sosial: berapa orang yang menikah setiap hari dan berapa orang laki-laki dan perempuan yang melakukan perilaku berisiko dalam waktu 24 jam.

Tabel: Perbandingan jumlah warga yang menikah dan melakukan perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS (Foto: Tagar/Syaiful W. Harahap)

Lagi pula Ikrimah menepis fakta lain yaitu suami yang tertular HIV/AIDS dalam rentang pernikahan biar pun ketika menikah status HIV-nya negarif sehingga menularkan HIV/AIDS ke istrinya.

Gambar: Risiko tertular HIV/AIDS setelah melakukan tes HIV sebelum menikah (Foto: Tagar/Syaiful W. Harahap)


Tes HIV bukan vaksin sehingga biar pun satu pasangan HIV-negatif ketika menikah bisa saja suami tertular HIV/AIDS jika perilaku seksualnya berisiko tertular HIV/AIDS. Perilaku seksual berisiko juga bisa terjadi di dalam ikatan pernikahan jika dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan mereka juga punya pasangan seks yang lain sebelum menikah.

3. Umbar Mimpi Penanggulangan HIV/AIDS

Langkah KPAD Sumut ini jelas tidak komprehensif dalam penanggulangan epidemi HIV/AIDS karena mengabaikan perilaku seksual yang potensial sebagai faktor risiko penularan HIV/AIDS yaitu:

(1). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(2). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti (seperti perselingkuhan, perzinaan, dan lain-lain) karena bisa saja salah satu dari perempuan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(4). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang  melakukan hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.) karena bisa saja salah satu dari laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(5). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang melakukan hubungan seksual dengan gigolo, dengan kondisi gigilo tidak memakai kondom, karena bisa saja gigolo itu mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(6). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), karena bisa saja salah satu dari PSK tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

Yang jadi persoalan besar adalah poin 1, 2, 3, 4 dan 5 ada di ranah privat (pribadi) sehingga tidak bisa dilakukan intervensi karena transaksi seks dilakukan di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan modus melalui media sosial.

Baca juga: Lokalisasi Pelacuran dari Jalanan keMedia Sosial

Yang bisa dilakukan intervensi adalah poin 6 dengan syarat praktek PSK dilokalisir, tapi sejak reformasi semua lokasi dan lokalisasi pelacuran ditutup sehingga praktek PSK terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

KPAD Sumut hanya mengumbar mimpi bisa menanggulangi HIV/AIDS dengan hanya mengandalkan tes HIV sebelum menikah. [] (Sumber: https://www.tagar.id/penanggulangan-hivaids-di-sumut-abaikan-penularan-yang-potensial). 

*Syaiful W. Harahap, redaktur tagar.id


21 Juli 2021

5 Provinsi Laporkan Kasus HIV/AIDS Terbanyak Januari – Maret 2021

 

Ilustrasi (Foto: aidshilfe.de)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Laporan kasus HIV/AIDS menunjukkan pada triwulan pertama tahun 2021 ada lima provinsi yang melaporkan jumlah kasus HIV/AIDS terbanyak

Di kala Indonesia menghadapi pandemi virus corona (Covid-19) sejak Maret 2020, pada priode Januari – Maret 2021 insiden infeksi HIV baru juga terus terjadi karena epidemi HIV/AIDS tidak mengenal batas wilayah, daerah dan negara.

Data terakhir sampai Maret 2021, seperti dilaporkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 25 Mei 2021, menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia sebanyak 558.618 yang terdiri atas 427.201 HIV dan 131.417 AIDS.

Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada priode Januari – Maret 2021 sebanyak 9.327 yang terdiri atas 7.650 HIV dan 1.677 AIDS yang dilaporkan 498 kabupaten dan kota dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia.

Lima provinsi yang melaporkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak priode Januari – Maret 2021, yaitu:

  1. Jawa Tengah 1.432 (1.125 HIV dan 307 AIDS)
  2. Jawa Barat 1.224 (1.115 HIV dan 109 AIDS)
  3. Jawa Timur 1.104 (941 HIV dan 163 AIDS)
  4. DKI Jakarta 1.015 (964 HIV dan 51 AIDS)
  5. Sumatera Utara 695 (479 HIV dan 216 AIDS)

Baca juga: 16 Kabupaten dan Kota Tidak PernahMelaporkan Kasus HIV/AIDS

Jumlah kasus HIV-positif sebanyak 7.650 merupakan hasil tes HIV terhadap 810.846 orang. Dari 7.650 yang terdeteksi positif HIV sebanyak 6.762 orang mendapat pengobatan ARV (antiretroviral). Obat ARV ini bukan untuk menghilangkan (virus) HIV dari dalam tubuh, tapi hanya untuk menekan laju pertambahan HIV di dalam tubuh sehingga kondisi kesehatan orang-orang yang terdeteksi HIV-positif akan tetap terjaga.

Berdasarkan kelompok umur kasus HIV-positif yang ditemukan pada periode Januari – Maret 2021 terdapat pada kelompok umur 25-49 tahun (71,3%), kelompok umur 20-24 tahun (16,3%), dan kelompok umur ≥ 50 tahun (7,9%).

1. Hubungan Seksual Berisiko pada Heteroseksual

Kasus HIV-positif pada bayi ≤18 bulan yang terdeteksi pada periode Januari – Maret 2021 sebanyak 7 dari 287 bayi yang Jelani tes HIV dengan PCR DNA (EID).

Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, persentase kasus HIV-positif terdeteksi pada laki-laki sebanyak 69% dan perempuan 31%. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 5:3.

Dari aspek faktor risiko pada kasus HIV-positif yang terdeteksi periode Januari – Maret 2021 menunjukkan homoseksual 27,2%, heteroseksual 13,0%, memakai jarum suntik secara bergantian 0,5%, dan tidak diketahui 50,4%.

Dari 7.650 kasus HIV-positif yang terdeteksi pada priode Januari – Maret 2021 terdapat pada kelompok populasi pekerja seks komersial (PSK) 2,4%, LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki) 26,3%, waria 0,9%, penasun 0,5%, WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) 0,7%, ibu hamil 20,9%,  pasien TB 11,5%, dan pasien IMS 0,8%.

Tabel laporan kasus HIV/AIDS per provinsi pada priode Januari – Maret 2021 (Foto: Tagar/Syaiful W Harahap)

Sedangkan jumlah kasus AIDS (terdeteksi HIV-positif sudah di masa AIDS antara lain dengan infeksi penyakit lain yang terkait dengan HIV/AIDS) yang terdeteksi pada priode Januari – Maret 2021 sebanyak 1.677. Lima provinsi dengan jumlah kasus AIDS terbanyak dilaporkan oleh Provinsi: Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur.

Berdasarkan faktor risiko terbesar kasus AIDS penularan terjadi melalui hubungan seksual berisiko pada heteroseksual (51.5%), homoseksual (20%) dan penggunaan jarum suntik bergantian (10,6%).

2. Bom Waktu Ledakan AIDS

Hubungan seksual berisiko adalah hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yang dilakukan dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan.

Sedangkan berdasarkan persentase kasus AIDS tertinggi ada pada kelompok umur 30-39 tahun yaitu sebesar 36%, kelompok umur 20-29 tahun (29%), dan kelompok umur 40-49 tahun (19%).

Jika dilihat dari jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada priode Januari – Maret 2021 terdapat lima provinsi dengan jumlah terbanyak yaitu: Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta dan Sumatera Utara (Lihat Tabel).

Yang perlu diingat adalah kasus HIV/AIDS yang sedikit, apalagi di masa pandemi Covid-19, tidak menunjukkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena berbagai faktor, seperti penjangkauan yang rendah, tes survailans yang sedikit, dan lain-lain.

Epidemi HIV/AIDS sendiri erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi, dalam hal ini pada priode Januari – Maret 2021 sebanyak 9.327, hanyalah sebagian kecil dari kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat.

Maka, diperlukan langkah-langkah yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat agar tidak terjadi penularan secara horizontal antar penduduk, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran HIV/AIDS yang terjadi secara horizontal merupakan ‘bom waktu’ yang kelak akan memicu ‘ledakan AIDS’ (Bahan-bahan dari Ditjen P2P Kemenkes RI dan sumber-sumber lain). [] (Sumber: https://www.tagar.id/5-provinsi-laporkan-kasus-hivaids-terbanyak-januari-maret-2021). ***

*Syaiful W. Harahap adalah redaktur di tagar.id.


16 Kabupaten dan Kota Tidak Pernah Melaporkan Kasus HIV/AIDS

 

Ilustrasi (Foto: irishcentral.com)


Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia ada 16 kabupaten dan kota yang tidak pernah melaporkan kasus HIV/AIDS

Jakarta – Sejak awal tahun 2020 lalu dunia disibukkan dengan upaya penanganan pandemi virus corona (Covid-19), padahal ketika itu epidemi HIV/AIDS juga jadi masalah besar bagi banyak negara. Sama halnya seperti pandemi Covid-19, epidemi HIV/AIDS juga tidak mengenal batas daerah, wilayah dan negara sehingga semua negara didunia terdampak.

Begitu juga dengan Indonesia epidemi HIV/AIDS baru diakui sejak April 1987, padahal epidemi sudah terjadi sejak tahun 1981.

Data terakhir, Maret 2021, seperti dilaporkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 25 Mei 2021, menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia sebanyak 558.618 yang terdiri atas 427.201 HIV dan 131.417 AIDS.

Jumlah kasus ini merupakan akumulasi dari 498 kabupaten dan kota dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia. Ini setara dengan 97%. Sampai Desember 2020 jumlah kabupaten dan kota yang melaporkan kasus HIV/AIDS sebanyak 496, sehingga ada 2 kabupaten dan kota yang baru melaporkan kasus HIV/AIDS sejak Januari 2021.

Sementara itu tercatat ada 16 kabupaten dan kota yang belum pernah melaporkan kasus HIV AIDS sampai dengan Maret 2021 seperti tampak pada tabel di bawah ini:

Tabel 5 Kabupaten dan Kota yang tidak pernah melaporkan kasus HIV/AIDS (Foto: Tagar/Syaiful W Harahap)

Daerah, dalam hal kabupaten dan kota, yang tidak melaporkan kasus HIV/AIDS bukan karena tidak ada kasus HIV/AIDS di daerah-daerah tersebut. Selama tidak dijalankan tes survailans secara rutin maka tidak ada jaminan di 16 kabupaten dan kota itu tidak ada kasus HIV/AIDS.

Kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat akan jadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS’ di masa depan. [] (Sumber: https://www.tagar.id/16-kabupaten-dan-kota-tidak-pernah-melaporkan-kasus-hivaids). ***

03 April 2021

Informasi Ciri HIV/AIDS yang Menyesatkan dan Bikin Masyarakat Panik

 

Ilustrasi (Sumber: timesofindia.indiatimes.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

17 Ciri HIV/AIDS yang Jarang Disadari, Salah Satunya Sering Sariawan” Ini judul berita di merdeka.com (31 Maret 2021).

Informasi di judul berita itu menyesatkan dan membuat panik masyarakat karena sariawan merupakan penyakit umum yang pernah dialami banyak orang dengan berbagai penyebat.

Apa pun tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri fisik yang bisa dikaitkan dengan infeksi HIV/AIDS tidak otomatis terkait langsung dengan HIV/AIDS karena tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri fisik dan keluhan kesehatan itu juga bisa disebabkan infeksi atau penyakit lain.

Apakah wartawan dan redaktur merdeka.com tidak memikirkan dampak buruk dari judul berita itu?

Baca juga: Menggugat Peran Pers Nasional dalam PenanggulanganAIDS di Indonesia

Orang-orang yang sariawan akan panik jika pernah membaca berita tersebut. Apalagi HIV/AIDS selalu dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama akan lebih membuat panik orang-orang yang mengalami sakit sariawan karena takut mendapat stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda).

Masyarakat kian panik dan cemas lagi membaca judul berita itu karena disebut “17 Ciri HIV/AIDS”. Itu artinya ada 17 tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri fisik serta keluhan kesehatan. Ini tidak main-main karena 17 ciri yang diumbar merdeka.com itu merupakan gejala umum yang bisa saja diderita, bahkan lebih dari satu ciri.

Biarpun tidak ada salah satu atau beberapa tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri fisik serta keluhan kesehatan yang terkait dengan HIV/AIDS pada seseorang itu tidak jaminan yang bersangkutan bebas HIV/AIDS. Soalnya, tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri fisik serta keluhan kesehatan yang terkait dengan HIV/AIDS secara statistik baru muncul antara 5 – 15 tahun setelah terinfeksi HIV/AIDS.

Apalagi dengan adanya obat antiretroviral (ARV) tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri fisik serta keluhan kesehatan bisa tidak pernah muncul karena obat ARV menekan laju penggandaan HIV di darah sehingga daya tahan tubuh tertap terjaga.

Maka, tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri fisik serta keluhan kesehatan yang bisa dikaitkan dengan infeksi HIV/AIDS jika orang-orang yang mengalami tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri fisik serta keluhan kesehatan itu pernah melakukan satu atau beberapa perilaku berisiko tertular HIV/AIDS.

Ilustrasi (Sumber: fiercebiotech.com)

Itu artinya informasi yang disampaikan merdeka.com tidak akurat karena tidak menyebut 17 ciri itu terkait dengan HIV/AIDS jika pernah melakukan satu atau beberapa perilaku berisiko tertular HIV/AIDS.

Perilaku-perilaku berisiko tertular HIV/AIDS, antara lain:

(1)   Pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) baik PSK langsung maupun PSK tidak langsung (cewek prostitusi online, dll.),

(2)   Pernah atau sering memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian pada penyalahagunaan narkoba dengan jarum suntik, dan

(3)   Pernah menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV/AIDS.

Jika seseorang mengalami salah satu atau beberapa dari 17 ciri HIV/AIDS yang disebut merdeka.com itu tapi tidak pernah melakukan salah satu atau ketiga perilaku di atas, maka 17 ciri sama sekali tidak terkait dengan HIV/AIDS. Ini fakta medis.

Di lead berita itu disebutkan: HIV atau human immunodeficiency virus, adalah virus yang ditularkan secara seksual yang menyebar melalui paparan cairan tubuh tertentu … Ini juga ada syaratnya yaitu salah satu atau dua-duanya yang melakukan hubungan seksual itu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini juga fakta medis.

Disebutkan pula: HIV menyerang dan merusak sel kekebalan tubuh …. Ini tidak akurat karena HIV tidak menyerang, tapi menggandakan diri dengan menjadikan sel-sel darah putih sebagai ‘pabrik’ sehingga sel darah putih yang dijadikan pabrik rusak. Virus baru yang terbentuk mencari sel darah putih untuk menggandakan diri. Begitu seterusnya sehingga banyak sel darah putih yang rusak yang pada akhirnya menurunkan sistem kekebalan tubuh.

Sudah saatnya media yaitu media massa, media online dan media sosial lebih objektf dalam memberitakan HIV/AIDS agar bisa jadi pencerahan bagi masyarakat untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV/AIDS [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/606917b7d541df4d32322a04/informasi-ciri-hiv-aids-yang-menyesatkan-dan-bikin-masyarakat-panik]***

02 April 2021

Pandemi Covid-19 Tenggelamkan Isu Epidemi HIV/AIDS Indonesia

 

Ilustrasi (Foto: dw.com/de)

Sepanjang tahun 2020 yang juga merupakan tahun dengan pandemi Covid-19 terdeteksi 50.626 kasus HIV/AIDS baru

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Pandemi virus corona (Covid-19) benar-benar menenggelamkan berita seputar epidemi HIV/AIDS di Indonesia. Padahal, berdasarkan laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 2 Februari 2021 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS per 31 Desember 2020 mencapai 549.291 yang terdiri atas 419.551 HIV dan 129.740 AIDS. Estimasi kematian 38.000. Angka-angka ini merupakan akumulasi jumlah kasus mulai tahun 1987 sampai 31 Desember 2020.

Sepanjang tahun 2020 yang juga merupakan tahun dengan pandemi Covid-19 terdeteksi 50.626 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 41.987 HIV dan 8.639 AIDS. Sedangkan jumlah bayi usia di bawah 18 bulan yang terdeteksi HIV/AIDS sebanyak 67. Lima daerah yang melaporkan kasus AIDS terbanyak adalah Papua (1.629), Jawa Tengah (1.387), Jawa Barat (836), Bali (830), dan Jawa Timur (495).

Sedangkan estimasi kasus HIV/AIDS diperkirakan sebanyak 640.000. Itu artinya ada 90.709 kasus HIV/AIDS di masyarakat yang tidak terdeteksi. Jumlah yang tidak terdeteks ini (90.709) jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

1. Fenomena Gunung Es pada Epidemi HIV/AIDS

Persoalan epidemi HIV/AIDS kian runyam jika dibandingkan dengan pandemi Covid-19 yaitu tidak ada vaksin untuk HIV/AIDS, sedangkan Covid-19 sudah ada vaksin. Selain itu gejala HIV/AIDS bisa sampai 15 tahun tidak muncul sehingga orang-orang yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS. Sedangkan gejala dan kesakitan infeksi Covid-19 sudah muncul dalam beberapa hari setelah tertular.

Berdasarkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di peringkat ke-1 nasional adalah Jawa Timur dengan jumlah 85.615, disusul DKI Jakarta 81.257, Papua 63.499, Jawa Barat 53.779, dan Jawa Tengah 51.964.

Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS per provinsi secara nasional dari tahun 1987 sampai 31 Desember 2020 (Foto: Tagar/Syaiful W Harahap)

Yang perlu diperhatikan adalah jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Maka, daerah-daerah dengan jumlah kasus yang kecil atau sedikit harus waspada karena jumlah yang kecil itu bisa saja karena penjangkauan yang rencah dan fasilitas tes HIV yang tidak banyak.


Jumlah kasus HIV/AIDS yang terus melonjak di Jawa Timur jadi tanda tanya karena lokalisasi pelacuran Dolly dan puluhan lokasi pelacuran sudah ditutup. Hal yang sama juga terjadi di beberapa daerah. Kondisi ini realistis karena transaksi seks tidak bisa lagi diintervensi untuk meminta agar laki-laki selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

 

Fenomena gunung es pada epidemi HIV/AIDS (Foto: Tagar/Syaiful W Harahap)

2. Program Penanggulangan HIV/AIDS Mengekor ke Thailand

Soalnya, lokasi dan lokalisasi pelacuran sekarang sudah pindah ke media sosial yang melibatkan PSK tidak langsung. Transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak terjangkau. PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dan lain-lain.

Baca juga: Lokalisasi Pelacuran dari Jalanan keMedia Sosial

Ketika lokasi dan lokalisasi pelacuran ditutup di seluruh Indonesia, prostitusi online marak yang melibatkan berbagai kalangan mulai dari yang disebut-sebut artis, foto model, mahasiswi dan lain-lain. Karena transaksi seks pada prostitusi online tidak bisa dijangkau, maka kegiatan ini jadi salah satu pintu penyebaran HIV/AIDS di Indonesia.

Baca juga: Prostitusi Online dan Artis PenyebarHIV/AIDS di Indonesia

Estimasi infeksi baru HIV setiap tahun sebanyak 46.000 sehingga diperlukan langkah-langkah yang konkret untuk menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.

Persoalan besar yang dihadapi Indonesia dalam menanggulangi epidemi HIV/AIDS adalah mitos, penolakan terhadap kondom, penyangkalan, dan penutupan lokasi dan lokalisasi pelacuran. Mitos terkait HIV/AIDS sudah dipupuk sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia, yaitu menyebut AIDS penyakit bule, AIDS penyakit homoseksual, dan lain-lain.

Baca juga: Menelusuri Akar Kasus HIV/AIDS Pertamadi Indonesia

Penolakan terhadap kondom, alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, terjadi karena sosialisasi HIV/AIDS yang tidak komprehensif. Materi komunikasi, edukasi dan informasi (KIE) menonjolkan kondom di saat masyarakat belum sepenuhnya memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Ilustrasi (Foto: irishcentral.com)

Ketika Thailand berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ di awal tahun 1990-an, Indonesia pun ‘mencangkok’ program tersebut. Celakanya, program ‘wajib kondom 100 persen’ di Thailand adalah langkan terakhir dari lima program skala nasional yang dijalankan simultan dengan dukungan media massa.

Itu artinya Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand. Langkah pertama Thailand adalah menyebarluaskan informasi HIV/AIDS dengan materi KIE yang komprehensif yang didukung oleh media massa. Kondisi ini membuat warga Thailand memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.

3. Penyebaran HIV/AIDS Bagaikan ‘Bom Waktu’

Sedangkan di Indonesia sebagian besar media massa justru menyebarkan informasi HIV/AIDS yang tidak akurat sehingga yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah). Berita HIV/AIDS pun banyak yang dibalut dengan norma dan moral sehingga menghilangkan fakta medis.

Baca juga: Menyoal Peran Aktif Pers NasionalMenanggulangi AIDS

Misalnya, mengaitkan zina, selingkuh, seks pranikah, seks di luar nikah, pelacuran, dan homoseksual dengan penularan HIV/AIDS. Padahal, berdasarkan fakta medis penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, selingkuh, seks pranikah, seks di luar nikah, pelacuran, dan homoseksual) tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu ada keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom).

Beberapa media online bulan November 2020 mengutip pernyataan Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, yang mengatakan bahwa minum minuman keras sebagai pintu masuk HIV/AIDS. Pernyataan ini menyesatkan karena tidak ada kaitan antara minum minuman keras atau minuman yang mengandung alkohol dengan infeksi atau penularan HIV/AIDS.  

Baca juga: Benarkah Minum Miras Sebagai Pintu MasukHIV/AIDS

Untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS diperlukan langkah-langkah yang konkret, tapi sejauh ini tidak ada langkah konkret yang dijalankan pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, dan pemerintah di daerah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota.

Padahal, banyak daerah dan Kemenkes yang sesumbar tahun 2030 Indonesia bebas HIV/AIDS. Tanpa program yang konkret adalah hal yang mustahil Indonesia bebas HIV/AIDS tahun 2030.

Baca juga: Omong Kosong Penularan HIV Baru BisaDihentikan 2030

Soalnya, penanggulangan epidemi HIV/AIDS di Indonesia hanya mengandalkan peraturan daerah (Perda) yang justru mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand. Sudah 143 Perda AIDS yang diterbitkan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia tapi hasilnya nol besar. Ini terjadi karena pasal-pasal di Perda-perda itu hanya normatif yang tidak menukik ke akar persoalan.

Tanpa langkah konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK, maka penyebaran HIV/AIDS di Indonesia terus terjadi sebagai ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan’ AIDS. [Sumber: https://www.tagar.id/pandemi-covid19-tenggelamkan-isu-epidemi-hivaids-indonesia] ***

21 Februari 2021

Program Penanggulangan HIV/AIDS Sumatera Utara Tak Membumi

 

Ilustrasi (Foto: kathmandupost.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP - 30 Januari 2021

KPAD Sumut mengusulkan agar calon pengantin melakukan tes HIV sebelum menikah sebagai upaya penanggulangan HIV/AIDS

KPAD Usulkan Setiap Calon Pengantin di Sumut Test HIV/AIDS. Ini judul berita di Tagar, 26 Januari 2021. Dalam berita disebutkan Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi, mengatakan kepada anggota Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Sumut: "Pencegahan itu penting, lewat sosialisasi diberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bahayanya HIV/AIDS tersebut."

Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS yang dilaporkan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 9 November 2020, sampai tanggal 30 September 2020, sebanyak 537.730 yang terdiri atas 409.857 HIV dan 127.873 AIDS. Sedangkan di Sumatera Utara (Sumut) jumlah kasus 25.400 yang terdiri atas 21.160 HIV dan 4.240 AIDS. Jumlah ini menempatkan Sumut pada peringkat ke-7 nasional.

Pertama, sosialisasi terkait dengan HIV/AIDS sudah dilakukan sejak awal epidemi yang di Indonesia diakui pemerintah mulai April 1987;

Kedua, persoalan besar pada sosialisasi HIV/AIDS di Indonesia adalah materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS tenggelam sedangkan yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah);

Ketiga, sosialisasi tidak semerta bisa menyadarkan orang per orang untuk tidak melakukan perilaku berisiko sehingga ada celah yang jadi risiko tertular HIV/AIDS sebelum seseorang menyadari perilaku berisiko;

Keempat, kondom diabaikan sebagai alat mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan alasan moral dan agama;

Kelima, praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak bisa dilakukan intervensi agar laki-laki selalu memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Salah satu negara yang berhasil menanggulangi epidemi HIV/AIDS adalah Thailand. Data aidsdatahub.org, misalnya, infeksi baru tahun 2020 diprediksi 5.400. Bandingkan dengan Indonesia dengan kasus baru 46.000.

1. Program Mengekor ke Ekor Program Thailand

Perbedaan jumlah kasus baru itu terjadi karena Thailand melakukan penanggulangan dengan lima program yang konsisten dan serentak dengan skala nasiona. Di urutan paling atas adalah sosialisasi HIV/AIDS melalui media massa, sedangkan langkan kelima adalah program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual di tempat pelacuran dan rumah bordil.

Celakanya, program Thailand itu dicangkok oleh Indonesia tapi terbalik sehingga mengekor ke ekor program Thailand. Pemerintah mendorong beberapa daerah menerbitkan Perda penanggulangan HIV/AIDS dengan fokus program ‘wajib kondom 100 persen’. Sudah ada 143 Perda AIDS di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Di Sumut sendiri sudah ada tiga Perda AIDS, yaitu di Kabupaten Serdang Bedagai, Kota Tanjungbalai dan Kota Medan. Tapi, semua hanya berisi pasal-pasal moral yang justru tidak menukik ke akar masalah terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS.

Tentu saja program kondom mendapat hambatan karena penolakan besar-besaran dari berbagai kalangan di Indonesia. Ini terjadi karena sosialisasi tidak berjalan dengan materi KIE yang komprehensif, tapi dengan materi yang dibumbui moral.

Penanggulangan HIV/AIDS di hulu (Dok Pribadi)

Terkait dengan program ‘wajib kondom 100 persen’ Thailand memberikan sanksi kepada germo atau mucikari jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, klamidia, dan lain-lain). Sedangkan di Indonesia, melalui Perda-perda AIDS, yang dihukum pidana justru PSK.

Baca juga: Omong Kosong Penularan HIV Baru Bisa Dihentikan 2030

Langkah itu jelas ngawur dan tidak ada manfaatnya karena: (a) sebelum dijebloskan ke penjara PSK itu sudah menularkan HIV/AIDS ke pelanggannya, dan (b) posisi PSK yang dibui itu akan digantikan oleh ratusan PSK lain.

2. Dua Tipe PSK

Disebutkan pula dalam berita: Kepada KPAD Sumut, Gubernur Edy berharap dapat membuat rencana kerja yang lebih konkret dalam hal penanggulangan AIDS di Sumut.

Program yang konkret adalah menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV di hulu yaitu pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK. Persoalan besar di Indonesia adalah praktek pelacuran tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dilakukan intervensi agar laki-laki selalu pakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Kondisinya kian runyam karena PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dan lain-lain.

Intervensi hanya bisa dilakukan jika praktek PSK dilokalisir (Dok Pribadi)

Pada tipe (1) tidak bisa dilakukan intervensi karena praktek PSK langsung tidak dilokalisir, sedangkan pada tipe (2) adalah hal yang mustahil melakukan intervensi karena transaksi seks dilakukan dengan berbagai modus, seperti media sosial, di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Baca juga: Lokalisasi Pelacuran dari Jalanan ke Media Sosial

Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi di Sumut yang pada gilirannya laki-laki yang tertular HIV jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah.

Ada lagi pernyataan: KPAD juga mengusulkan kepada DPRD wacana agar calon pengantin yang akan menikah dipastikan dahulu tidak terinfeksi HIV/AIDS.

3. Jumlah yang Menikah Setiap Hari

Tes HIV bagi calon pengantin sudah dilakukan di beberapa daerah yang diatur melalui peraturan daerah (Perda). Tapi, tanpa disadari tes HIV bagi pasangan calon pengantin sebagai upaya penanggulangan epidemi HIV/AIDS tidak ada manfaatnya. Sia-sia. Menggantang asap.

Soalnya, tes HIV bukan vaksin. Artinya, biarpun satu pasangan tidak mengidap HIV/AIDS ketika menikah itu tidak jaminan selama dalam perkawinan mereka akan bebas dari HIV/AIDS. Bisa saja setelah menikah salah satu dari pasangan itu tertular HIV.

Risiko tertular HIV setelah tes HIV (Dok Pribadi)

Misalnya, suami tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan, dengan asumsi suami heteroseksual, yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini PSK.

Hasil tes HIV sebelum menikah juga akan jadi bumerang [KBBI: perkataan (perbuatan, ulah, peraturan, dsb) yang dapat merugikan atau mencelakakan diri sendiri] bagi pasangan tersebut, terutama bagi istri. Misalnya, setelah menikah terdeteksi anak atau istri mengidap HIV/AIDS.

Maka, suami pun menuding istrinya: Kau selingkuh!

Hal itu terjadi karena suami sudah memegang ’surat bebas AIDS’ berdasarkan tes HIV sebelum menikah. Maka, suami pun berpegang teguh pada hasil tes HIV tersebut dan menyalahkan istrinya.

Lagi pula berapa orang yang menikah setiap hari. Bandingkan dengan jumlah laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual yang tidak aman setiap hari, seperti dengan PSK tidak langsung.

Maka, kunci utama penanggulangan HIV/AIDS di Sumut khususnya dan di Indonesia umumnya adalah dengan intervensi terhadap laki-laki agar selalu memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK (langsung dan tidak langsung). [Sumber: https://www.tagar.id/program-penanggulangan-hivaids-sumatera-utara-tak-membumi] ***