19 November 2020

12 Suami di Kabupaten Ciamis Tularkan HIV/AIDS kepada Istrinya

 

Ilustrasi: Pita merah tanda peduli HIV/AIDS (Sumber: voaindonesia.com)


Oleh: Syaiful W. HARAHAP

“12 Bayi di Ciamis Terpapar HIV/AIDS dari Ibunya, 9 Meninggal.” Ini judul berita di radartasikmalaya.com, 18/11-2020.

Sepintas judul berita ini biasa saja, tapi kalau dicermati judul ini justru menohok perempuan yaitu ibu dari 12 bayi yang terpapar HIV/AIDS. Ada pesan kuat ibu-ibu itulah yang bersalah. Ini mendorong stigma (cap buruk) yang bisa berujung diskriminasi (perlakuan berbeda) dan pengucilan terhadap ibu-ibu tersebut.

Data Dinas Kesehatan Ciamis, Jawa Barat, menunjukkan dari tahun 2001-2020 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS sebanyak 562. Dalam kurun tahun 2014- Juni 2020 ada 18 ibu hamil yang terinfeksi HIV/AIDS.

Judul ini sensasional dan tidak menunjukkan realitas sosial terkait dengan epidemi HIV/AIDS. Ibu-ibu itu tertular HIV/AIDS dari suaminya. Ibu-ibu itu pun tidak menyadari kalau mereka sudah tertular HIV/AIDS karena tidak ada gejala-gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas pada fisik dan keluhan kesehatan.

1. Suami Ibu Hamil Tolak Tes HIV

Akibatnya, ketika mereka melahirkan ada risiko penularan kepada bayi yang mereka lahirkan secara vertikal terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susi ibu (ASI).

Judul yang bisa memberikan gambaran riil kepada masyarakat terkait dengan kasus 12 bayi yang disebut terpapar HIV/AIDS dari ibunya adalah: “12 Suami di Ciamis Tularkan HIV/AIDS ke Istrinya”. Judul ini memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat bahwa persoalan ada pada suami bukan pada istri.

Secara medis risiko penularan HIV/AIDS dari ibu-ke-bayi yang dikandung bisa ditekan sampai nol persen jika infeksi HIV/AIDS pada ibu-ibu itu terdeteksi di awal-awal kehamilan. Celakanya, tidak ada program yang komprehensif untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu hamil.

Memang, ada anjuran agar ibu hamil menjalani tes HIV. Tapi, bisa saja ada yang menolak atau ibu-ibu yang tidak memeriksakan kehamilan ke fasilitas kesehatan pemerintah sehingga anjuran tes HIV tidak diberlakukan.

Disebutkan dalam berita: Dinas Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS Ciamis menggelar promosi bulan tes HIV pada ibu hamil dari 18 November-18 Desember 2020.

Anjuran untuk tes HIV kepada ibu hamil juga tidak mendukung program penanggulangan HIV/AIDS karena banyak suami yang menolak tes HIV ketika hasil tes HIV istrinya positif. Bahkan, ada suami yang justru menyalahkan istrinya dengan mengatakan si isteri selingkuh.

Suami-suami yang menolak tes HIV itu jadi mata ratnai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Maka, langkah yang arif dan bijaksana adalah mewajibkan suami dari ibu hamil jalani tes HIV. Nah, kalau suami positif baru istrinya tes HIV. Ini bisa dibuat dalam peraturan, seperti peraturan daerah (Perda) atau bentuk peraturan lain.

Bupati Ciamis, Dr H Herdiat Sunarya MM, mengajak semua pihak berkolaborasi memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai bahaya HIV/AIDS. Itu agar kasus HIV/AIDS tidak terus bertambah.

2. PSK Langsung dan PSK Tidak Langsung

Sosialisasi HIV/AIDS sudah dilakukan sejak awal epidemi tahun 1987, tapi karena informasi HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral dan agama yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan zina, selingkuh, pelacuran, dll.

Padahal, risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, selingkuh, pelacuran, dll.), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom). Ini fakta medis.

Dalam berita sama sekali tidak ada informasi tentang faktor risiko penularan HIV/AIDS di Ciamis. Salah satu pintu masuk HIV/AIDS adalah melalui laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja sek komersial (PSK).

PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dll.

Pemkab Ciamis boleh-boleh saja menepuk dada dengan mengatakan: Di wilayah Kabupaten Ciamis tidak ada pelacuran!

Secara de jure itu benar karena sejak reformasi ada gerakan massal menutup lokalisasi pelacuran.

Tapi, secara de facto apakah Pemkab Ciamis bisa menjamin tidak ada transaksi seks di Ciamis? Tentu saja tidak bisa karena sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial.

Transaksi seks terjadi dalam berbagai modus melalui media sosial yang melibatkan PSK tidak langsung. Jika tidak ada intervensi terhadap laki-laki agar memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.

Laki-laki yang tertular HIV akan jadi mata ratnai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Penyebaran HIV/AIDS di masyarakat bagaikan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’ di Ciamis. * [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5fb5133a8ede484b7378a803/12-suami-di-kabupaten-ciamis-tularkan-hiv-aids-kepada-istrinya]. ***

15 November 2020

Menyesatkan Kaitkan Miras dengan Pintu Masuk HIV/AIDS

 

Ilustrasi (Sumber: kh.usembassy.gov).

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

“Minum minuman keras itu jelas tidak baik apalagi kalau kita lihat kaitannya dengan penyakit HIV AIDS, dimana seperti kita ketahui pintu masuknya adalah dari miras.” Ini pernyataan Sekjen MUIAnwar Abbas, dalam berita “Sebut Bahaya Miras Jadi Pintu Masuk HIV AIDS, MUI Dukung Penuh Penetapan RUU Minuman Beralkohol” di bogor.pikiran-rakyat.com, 13/11-2020.

Pernyataan ini juga dikutip oleh (13/11-2020): liputan6.com, jurnalpresisi.pikiran-rakyat.com, ayosurabaya.com, batamnews.co.id, news.detik.com, dan islamtoday.id; (12/11-2020): mediaaceh.com, dan aksi.id.

Pernyataan ini, sebut pintu masuk HIV/AIDS, menunjukkan pemahaman terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis adalah nol besar. Tampaknya, media memainkan isu ini sebagai bagian dari sensasi karena media telah kehilangan fungsi yaitu menyebarluaskan unsur pendidikan. Dalam berita-berita yang mengutip pernyataan tsb. tidak ada both side covering yaitu keterangan dari ahli tentang penyebutan “miras sebagai pintu masuk HIV/AIDS”.

Tidak kaitan antara miras, istilah untuk minuman beralkohol yaitu minuman keras, dengan penularan HIV/AIDS. Dalam jumlah yang bisa ditularkan virus (HIV) ada di darah (laki-laki dan perempuan) semen dan air mani bukan sperma (laki-laki), cairan vagina (perempuan) dan air susu ibu/ASI (perempuan).

Penularan HIV/AIDS melalui darah yaitu transfusi darah yang mengandung HIV, pemakaian alat-alat kesehatan yang bisa menyimpan darah (seperti jarum suntik), jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) yang dipakai secara bersama-sama dengan bergantian, dan cangkok organ tubuh.

Penularan HIV/AIDS melalui semen, air mani dan cairan vagina yaitu hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dari yang mengidap HIV/AIDS ke pasangannya.

Penularan HIV/AIDS melalui ASI yaitu menyusui kepada seorang perempuan yang mengidap HIV/AIDS, seperti bayi dan yang yang lain.

Secara medis hanya tiga hal di atas yang jadi pintu masuk HIV/AIDS sehingga terang-benderang bahwa tidak ada kaitan miras dengan penularan HIV/AIDS.

Mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan miras akan merusak program penanggulangan HIV/AIDS karena jadi hal yang kontra produktif. Padahal, saat ini penyebaran HIV/AIDS di Indonesia merupakan yang tercepat ketiga di Asia setelah China dan India.

Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI,12 Agustus 2020, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sampai 30 Juni 2020 sebanyak 522.304 yang terdiri atas 396.717 HIV dan 125.587 AIDS dengan 17.210 kematian.

Sebagai institusi keagamaan MUI dituntut bisa mendorong umat, khususnya umat Islam, agar tidak melakukan salah satu atau beberapa perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS di bawah ini, yaitu:

(1). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(2). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.) karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(4). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan laki-laki yang berganti-ganti, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.), karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(5). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan, seperti gigolo, dengan kondisi gigilo tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu dari gigolo itu mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(6). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), karena bisa saja salah satu dari PSK tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

PSK dikenal ada dua jenis, yaitu:

(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di tempat pelacuran (dulu disebut lokalisasi atau lokres pelacuran) atau mejeng di tempat-tempat umum, dan

(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini ‘menyamar’ sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu lagu, ibu-ibu, cewek (model dan artis) prostitusi online, dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.

(7). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan waria karena ada waria yang sering ganti-ganti pasangan sehingga bisa jadi waria tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(8). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan waria heteroseksual (waria tidak memakai kondom). Dalam prakteknya waria ada yang heteroseksual sehingga menyalurkan dorongan seksual dengan perempuan. Bisa saja waria tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(9). Laki-laki dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja salah satu dari laki-laki atau perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(10). Laki-laki dewasa homoseksual yaitu gay (secara seksual tertarik pada sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

Hanya dengan langkah-langkah yang konkret penyebaran HIV/AIDS di masyarakat bisa dicegah bukan dengan pernyataan nyeleneh yang menyesatkan, seperti mengaitkan miras dengan pintu masuk HIV/AIDS, karena hal itu justru jadi kontra produktif dalam penanggulangan HIV/AIDS. * [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5fb1cd1f8ede482c6f4ecdb2/menyesatkan-kaitkan-miras-dengan-pintu-masuk-hiv-aids]. ***