Ilustrasi (Foto: vovgiaothong.vn)
Oleh: Syaiful W. HARAHAP
Jakarta - "Harapannya yang terlibat
dalam kegiatan ini tetap konsisten dengan visi perjuangan menjadikan Kota
Bandung unggul tanpa stigma.” Ini pernyataan Wakil Wali Kota Bandung, Jawa
Barat, Yana Mulyana, dalam berita “KPA Bandung Gelar Pelatihan PenanggulanganHIV/AIDS” di Tagar, 5 November 2020.
Stigma yang dimaksud Yana adalah cap
buruk atau negatif terhadap pengidap HIV/AIDS. Bagi Odha (Orang dengan
HIV/AIDS) sebutan untuk pengidap HIV/AIDS stigma jadi masalah besar karena juga
mendorong diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap mereka. Misalnya, menghadapi
masalah ketika berobat ke fasilitas kesehatan yang
berujung pada pengucilan dan perlakuan buruk lain.
Tapi, kalau yang diharapkan Yana dari
kegiatan Pelatihan Organisasi Masyarakat Sipil dalam Penanggulangan
HIV/AIDS yang diselenggarakan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota
Bandung di Pangandaran, Jawa Barat, 4 November 2020, adalah penanggulangan
epidemi HIV/AIDS di Bandung, maka bukan stigma yang jadi pusat perhatian.
Data Dinas Kesehatan Kota
Bandung menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS dari tahun 1991 sampai
dengan Juni 2020 sebanyak 5.434. Tapi, perlu diingat bahwa kasus yang
terdeteksi, dalam hal ini 5.434, hanyalah sebagian kecil dari kasus HIV/AIDS di
masyarakat. Hal ini terjadi karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan
fenomena gunung es: kasus yang terdeteksi (5.434) digambarkan sebagai puncak
gunung es yang muncul ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak
terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah
permukaan air laut.
Maka, salah satu langkah penanggulangan HIV/AIDS adalah mendeteksi
atau menemukan warga yang mengidap HIV/AIDS dengan cara-cara yang tidak melawan
hukum dan tidak pula melanggar hak asasi manusia (HAM).
Sedangkan stigma ada di hilir yaitu terjadi pada Odha karena
identitas mereka tersebar luas ke masyarakat. Itu artinya stigma terjadi kepada
warga yang sudah tertular HIV/AIDS. Padahal, yang diutamakan dalam
penanggulangan HIV/AIDS adalah program berupa intervensi di hulu, antara lain
menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan
seksual terutama dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan yaitu
pekerja seks komersial (PSK).
Pemkot Bandung dan KPA Kota Bandung boleh-boleh saja menepuk dada
dengan mengatakan: Di Kota Bandug tidak ada pelacuran!
Secara de jure itu benar karena sejak reformasi ada gerakan yang
memakai moral sebagai pijakan untuk menutup lokalisasi pelacuran. Salah satu di
antaranya adalah lokalisasi pelacuran Saritem di Kota Bandung yang sudah
ditutup sebagai lokres (lokalisasi dan resosialisasi) pelacuran.
Tapi, secara de facto: Apakah Pemkot Bandung dan KPA Kota Bandung
bisa menjamin di Kota Bandung tidak ada transaksi seks sebagai bentuk
pelacuran?
Tentu saja tidak bisa! Soalnya, transaksi seks terjadi dengan
berbagai modus melalui media sosial yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak
langsung.
Baca juga: Lokalisasi Pelacurandari Jalanan ke Media Sosial
Dalam realitas sosial sekarang ini PSK dikenal dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dan PSK online.
Tanpa program penanggulangan yang konkret di hulu yaitu menurunkan
insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK,
maka kasus baru HIV/AIDS akan terus bertambah. Laki-laki yang tertular HIV akan
jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Hal ini terjadi karena tidak
ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik warga yang mengidap HIV/AIDS.
Salah satu indikasi yang faktual tentang penyebaran HIV/AIDS di
masyarakat oleh laki-laki dewasa, dalam hal ini heteroseksual, adalah kasus HIV/AIDS
pada ibu rumah tangga. Jika ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS dari
suaminya tidak terdeteksi, maka jika mereka hamil ada risiko penularan HIV/AIDS
ke bayi yang mereka kandung, terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan
air susu ibu (ASI).
Tanpa program yang konkret di hulu yaitu intervensi terhadap
laki-laki dewasa agar mereka selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan
seksual dengan PSK, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Laki-laki
yang tertular HIV/AIDS jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat
sebagai ‘bom waktu’ yang kelak bermuta pada ‘ledakan AIDS’ di Kota ‘Kembang’
Bandung. [] (Sumber: