14 November 2020

Penanggulangan Stigma HIV/AIDS di Kota Bandung Ada di Hilir

 

Ilustrasi (Foto: vovgiaothong.vn)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Jakarta - "Harapannya yang terlibat dalam kegiatan ini tetap konsisten dengan visi perjuangan menjadikan Kota Bandung unggul tanpa stigma.” Ini pernyataan Wakil Wali Kota Bandung, Jawa Barat, Yana Mulyana, dalam berita “KPA Bandung Gelar Pelatihan PenanggulanganHIV/AIDS” di Tagar, 5 November 2020.

Stigma yang dimaksud Yana adalah cap buruk atau negatif terhadap pengidap HIV/AIDS. Bagi Odha (Orang dengan HIV/AIDS) sebutan untuk pengidap HIV/AIDS stigma jadi masalah besar karena juga mendorong diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap mereka. Misalnya, menghadapi masalah ketika berobat ke fasilitas kesehatan yang berujung pada pengucilan dan perlakuan buruk lain.

Tapi, kalau yang diharapkan Yana dari kegiatan Pelatihan Organisasi Masyarakat Sipil dalam Penanggulangan HIV/AIDS yang diselenggarakan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung di Pangandaran, Jawa Barat, 4 November 2020, adalah penanggulangan epidemi HIV/AIDS di Bandung, maka bukan stigma yang jadi pusat perhatian.

Data Dinas Kesehatan Kota Bandung menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS dari tahun 1991 sampai dengan Juni 2020 sebanyak 5.434. Tapi, perlu diingat bahwa kasus yang terdeteksi, dalam hal ini 5.434, hanyalah sebagian kecil dari kasus HIV/AIDS di masyarakat. Hal ini terjadi karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es: kasus yang terdeteksi (5.434) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Maka, salah satu langkah penanggulangan HIV/AIDS adalah mendeteksi atau menemukan warga yang mengidap HIV/AIDS dengan cara-cara yang tidak melawan hukum dan tidak pula melanggar hak asasi manusia (HAM).

Sedangkan stigma ada di hilir yaitu terjadi pada Odha karena identitas mereka tersebar luas ke masyarakat. Itu artinya stigma terjadi kepada warga yang sudah tertular HIV/AIDS. Padahal, yang diutamakan dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah program berupa intervensi di hulu, antara lain menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual terutama dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan yaitu pekerja seks komersial (PSK).

Pemkot Bandung dan KPA Kota Bandung boleh-boleh saja menepuk dada dengan mengatakan: Di Kota Bandug tidak ada pelacuran!

Secara de jure itu benar karena sejak reformasi ada gerakan yang memakai moral sebagai pijakan untuk menutup lokalisasi pelacuran. Salah satu di antaranya adalah lokalisasi pelacuran Saritem di Kota Bandung yang sudah ditutup sebagai lokres (lokalisasi dan resosialisasi) pelacuran.

Tapi, secara de facto: Apakah Pemkot Bandung dan KPA Kota Bandung bisa menjamin di Kota Bandung tidak ada transaksi seks sebagai bentuk pelacuran?

Tentu saja tidak bisa! Soalnya, transaksi seks terjadi dengan berbagai modus melalui media sosial yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung.

Baca juga: Lokalisasi Pelacurandari Jalanan ke Media Sosial

Dalam realitas sosial sekarang ini PSK dikenal dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dan PSK online.

Tanpa program penanggulangan yang konkret di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK, maka kasus baru HIV/AIDS akan terus bertambah. Laki-laki yang tertular HIV akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik warga yang mengidap HIV/AIDS.

Salah satu indikasi yang faktual tentang penyebaran HIV/AIDS di masyarakat oleh laki-laki dewasa, dalam hal ini heteroseksual, adalah kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga. Jika ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS dari suaminya tidak terdeteksi, maka jika mereka hamil ada risiko penularan HIV/AIDS ke bayi yang mereka kandung, terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Tanpa program yang konkret di hulu yaitu intervensi terhadap laki-laki dewasa agar mereka selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Laki-laki yang tertular HIV/AIDS jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat sebagai ‘bom waktu’ yang kelak bermuta pada ‘ledakan AIDS’ di Kota ‘Kembang’ Bandung. [] (Sumber: https://www.tagar.id/penanggulangan-stigma-hivaids-di-kota-bandung-ada-hilir). *


12 November 2020

HIV/AIDS Bukan Penyakit

 

Ilustrasi (Sumber: nih.gov).

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Penyakit HIV/AIDS bisa ditularkan melalui beberapa cara .... Pernyataan ini ada dalam berita "Gejala dan Fase Penularan HIV/AIDS" di kompas.com, 9/11-2020.

Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI,12 Agustus 2020, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sampai 30 Juni 2020 sebanyak 522.304 yang terdiri atas 396.717 HIV dan 125.587 AIDS dengan 17.210 kematian.

'Hari gini' kok masih saja ada informasi yang keliru tentang HIV/AIDS sebagai fakta medis karena informasi HIV/AIDS sudah banjir di dunia maya.

HIV/AIDS bukan penyakit, karena:

HIV adalah virus yang termasuk golongan retrovirus yaitu virus yang bisa menggandakan diri sendiri,

AIDS adalah kondisi seseorang yang tertular HIV yang terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV jika tidak meminum obat antriretroviral (ARV).

Sebagai terminologi penyebutan AIDS hanyalah istilah yang menunjukkan kondisi tubuh manusia yang sudah terinfeksi HIV. Sebenarnya, AIDS bukan penyakit (disease) tetapi merupakan suatu kumpulan daripada 70 kondisi lebih yang dapat terjadi pada diri seseorang yang sudah terinfeksi HIV (Pers Meliput AIDS, Syaiful W. Harahap, Pustaka Sinar Harapan/Ford Foundation, Jakarta, 2000, hal. 16).

Terkait dengan HIV/AIDS yang bisa ditularkan adalah HIV (Human Immunodeficiency Virus) sebagai virus bukan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) karena AIDS adalah kondisi.

Dalam jumlah yang bisa ditularkan HIV terdapat pada darah (laki-laki dan perempuan), semendan air mani (laki-laki), cairan vagina (perempuan) dan air susu ibu/ASI (perempuan).

Dalam berita disebutkan: Penyakit HIV/AIDS bisa ditularkan melalui beberapa cara, yakni:

  • Melalui hubungan seksual dengan ODHA
  • Penggunaan jarum suntik yang sama dengan ODHA
  • Melalui Air Susu Ibu (ASI) dari seorang ibu yang merupakan ODHA

Risiko penularan melalui donor darah serta transplantasi organ dari ODHA merupakan kewenangan pemerintah, dalam hal ini PMI, yang melakukan diskrining terhdap darah donor.

Sedangkan risiko melalui hubungan seksual persoalannya adalah orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenali dari fisiknya karena tidak ada gejala-gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan. Artinya tidak bisa dipastikan apakah seseorang mengidap HIV/AIDS atau tidak, dalam berita disebut Odha (penulisan bukan dengan huruf kapital karena Odha bukan akronim tapi kata yang mengacu kepada Orang dengan HIV/AIDS).

Maka, pada epidemi HIV/AIDS yang dikenal adalah perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS yaitu:
(1). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(2). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.) karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(4). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan laki-laki yang berganti-ganti, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.), karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(5). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan, seperti gigolo, dengan kondisi gigilo tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu dari gigolo itu mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(6). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), karena bisa saja salah satu dari PSK tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

PSK dikenal ada dua jenis, yaitu:

(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di tempat pelacuran (dulu disebut lokalisasi atau lokres pelacuran) atau mejeng di tempat-tempat umum, dan

(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini 'menyamar' sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu lagu, ibu-ibu, cewek (model dan artis) prostitusi online, dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.

(7). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan waria karena ada waria yang sering ganti-ganti pasangan sehingga bisa jadi waria tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(8). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan waria heteroseksual (waria tidak memakai kondom). Dalam prakteknya waria ada yang heteroseksual sehingga menyalurkan dorongan seksual dengan perempuan. Bisa saja waria tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(9). Laki-laki dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja salah satu dari laki-laki atau perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(10). Laki-laki dewasa homoseksual yaitu gay (secara seksual tertarik pada sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.
 
Disebutkan pula dalam berita tentang gejala penularan HIV/AIDS yang dikutip dari situs World Health Organization (WHO) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), yaitu:

Mengalami demam tinggi serta sakit kepala.

  • Pada bagian kulit terdapat ruam.
  • Menderita sakit tenggorokan.
  • Merasa lemah dan cepat lelah.
  • Merasa gatal di seluruh bagian tubuh.

Gejala-gejala di atas hanya bisa dikaitkan dengan infeksi HIV/AIDS jika seseorang melakukan salah satu atau lebih dari 10 perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Kalau tidak pernah melakukan perilaku berisiko, maka gejala-gejala tsb. sama sekali tidak ada kaitanya dengan infeksi HIV/AIDS.

Yang jadi persoalan besar di Indonesia adalah perilaku berisiko laki-laki dewasa yaitu tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung atau dengan PSK tidak langsung. Itu artinya insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa akan terus terjadi yang pada gilirannya akan menyebar ke masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran HIV/AIDS yang tidak terkontrol akan jadi 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5fab3b04d541df60d02e1612/hiv-aids-bukan-penyakit?page=all]. *

AIDS di Kabupaten Cirebon: Yang Miris Bukan HIV/AIDS pada Gay, Tapi pada Ibu Rumah Tangga

 

Ilustrasi (Sumber: nichd.nih.gov)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Miris, Kasus HIV/AIDS Kabupaten Cirebon Dominasi Kaum Gay. Ini judul berita di dara.co.id, 2/11-2020. Justu judul berita ini memang miris karena tidak menggambarkan realitas sosial tentang epidemic HIV/AIDS di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

Dilaporkan jumlah kasus HIV/AIDS tahun lalu tedeteksi 297 kasus, sedangkan tahun ini sampai Oktober 2020 terdeteksi 210 kasus. Yang perlu diingat adalah kasus yang terdeteksi tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemic HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Jumlah kasus yang dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (lihat gambar).

Fenomena gunung es pada epidemi HIV/AIDS (Dok/Syaiful W. Haraha).
Fenomena gunung es pada epidemi HIV/AIDS (Dok/Syaiful W. Haraha).

Dalam berita disebutkan: Nanang [Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Nanang Ruhyana-pen.] mengaku miris karena penyebaran HIV/AIDS di Kabupaten Cirebon, 60 persen nya masih didominasi kaum Gay.

Yang jadi persoalan besar pada epidemi HIV/AIDS adalah jika ada ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena itu menggambarkan ada dua yang positif yaitu suaminya dan si istri. Lalu ada pula risiko penularan secara vertical dari ibu ke bayi yang dikandungnya terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Yang bikin miris seorang suami, dalam hal ini heteroseksual dan bisa juga ada yang biseksual, jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan sekual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penularan terjadi tanpa disadari karena tidak ada tanda-tanda atau ciri-ciri serta gejala-gejala yang khas HIV/AIDS pada orang-orang yang tertular HIV antara 5-15 tahun sejak tertular HIV.

Sebaliknya, HIV/AIDS pada gay adalah pada posisi terminal terakhir karena hanya ada di komunitas mereka. Penyebaran bisa terjadi hanya melalui laki-laki biseksual (secara seksual tertarik dengan perempuan dan laki-laki) yang punya pasangan gay.

Disebutkan pula: Nanang mengaku miris, karena penyebaran HIV/AIDS di Kabupaten Cirebon, 60 persen nya masih didominasi kaum Gay. Justru ini tidak miris karena tadi HIV/AIDS di kalangan gay ada di terminal terakhir karena gay tidak punya istri.

Persoalan besar pada epidemic HIV/AIDS adalah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK). Di wilayah Kabupaten dan Kota Cirebon seks dengan PSK diplesetkan jadi 'esek-esek' sebagai eufemisme untuk menghaluskan istilah pelacuran, zina, dll.

PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dll.

Secara empiris yang bisa diintervensi hanya pada PSK langsung yaitu memaksa laki-laki selalu memakai kondom, tapi praktek PSK harus dilokalisir. Celakanya, sejak reformasi ada gerakan massal berbalut moral menutup semua lokalisasi pelacuran.

Sedangkan PSK tidak langsung tidak bisa diintervensi karena transaksi seks terjadi melalui media social sembarang waktu dan sembarang tempat.

Pemkab Cirebon boleh-boleh saja membusungkan dada dengan mengatakan: Di Kabupaten Cirebon tidak ada pelacuran!

Secara de jure benar, tapi secara de facto apakah Pemkab Cirebon bisa mengabaikan transaksi seks yang melibatkan PSK tidak langsung? Tidak Bisa!

Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi pada laki-laki dewasa yang selanjutnya menyebarkan ke masyarakat melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, terutama ke istri yang selanjutnya ada pula risiko penularan ke bayi yang dikandung istrinya.

Jika Pemkab Cirebon tidak melakukan intervensi penanggulangan di hulu yaitu pada transaksi seks dengan PSK, maka penyebaran HIV/AIDS yang terjadi merupakan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5fa21986d541df3be81f3402/aids-di-kabupaten-cirebon-yang-miris-bukan-hiv-aids-pada-gay-tapi-pada-ibu-rumah-tangga?page=all#section1]/ *