31 Oktober 2020

AIDS di Kota Sukabumi: Tidak Semua Alat Kontrasepsi Bisa Cegah Penularan HIV/AIDS

 

Ilustrasi (Sumber: timesofindia.indiatimes.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

"Kedua edukasi penggunaan alat kontrasepsi dalam hubungan seks salah satu cara memutus mata rantai." Ini pernyataan Wali Kota Sukabumi sekaligus Ketua KPA Kota Sukabumi, Jawa Barat, Achmad Fahmi, terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS dalam berita "Kasus Baru HIV-AIDS di Sukabumi Tetap Muncul Saat Pandemi" (republika.co.id, 27/10-2020).

Tentu saja pernyataan di atas tidak akurat karena tidak semua alat kotrasepsi (alat untuk mencegah kehamilan) bisa mencegah penularan HIV/AIDS, dalam hal ini melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah. Alat kontrasepsi yang dipakai di Indonesia adalah pil, suntikan, spiral (IUD) dan kondom.

Yang bisa mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, hanya kondom yaitu yang dipakai oleh laki-laki sehingga penis tidak bersentuhan langsung dengan vagina dan cairan vagina.

Dalam berita disebut: Sementara secara akumulatif kasus HIV-AIDS sejak 2000 hingga 2020 sebanyak 1.667. Yang perlu diperhatikan adalah jumlah kasus yang terdeteksi, dalam hal ini 1.667, tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Fenomena gunung es pada epidemi HIV/ADIS (Dok. Syaiful W. Harahap).
Fenomena gunung es pada epidemi HIV/ADIS (Dok. Syaiful W. Harahap).

Jumlah kasus yang terdeteksi, dalam hal ini 1.667, digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Maka, penanggulangan di hulu hanya bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru, sekali lagi hanya bisa menurunkan, pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

PSK sendiri dikenal dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, dan cewek prostitusi online.

Intervensi terhadap laki-laki supaya memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual hany bisa dilakukan pada hubungan seksual dengan dengan PSK langsung dengan syarat praktek PSK langsung dilokalisir. Celakanya, sejak reformasi ada gerakan massal dengan nuansa moral yang menutup semua tempat pelacuran.

Itulah sebabnya sekarang pelacuran pindah ke media sosial yang melibatkan PSK tidak langsung sehingga tidak bisa diintervensi karena transaksi terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Selain itu langkah lain adalah menemukan kasus HIV/AIDS di masyarakat dengan cara-cara yang tidak melawan hokum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Disebutkan pula: Keempat bagaimana mempermudah akses penderita mendapatkan layanan dalam hal pengobatan HIV-AIDS.

Pengobatan adalah langkah penanggulangan di hilir. Sebelum seorang warga mendapatkan pengobatan dia sudah menularkan HIV/AIDS, misalnya, kalau seorang sumai menularkan ke istri (horizontal) atau pasangan seks lain, seperti selingkuhan, pacar, dll. Yang tidak beristri menularkan ke pasangan seks, seperti pacar atau PSK.

Dengan kondisi seperti sekarang adalah hal yang sulit menekan jumlah kasus baru HIV/AIDS karena tidak ada yang bisa dilakukan di hulu. Itu artinya insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung akan terus terjadi sehingga penyebaran HIV/AIDS di masyarakat bagaikan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5f9d1589d541df10c64e6e12/aids-di-kota-sukabumi-tidak-semua-alat-kontrasepsi-bisa-cegah-penularan-hiv-aids?page=all#section1]. ***

Tanpa Pasal yang Konkret, Perda AIDS Sumatera Utara Kelak Akan Sia-sia

 

Aktivis membentuk pita merah sebagai simbol kampanye dunia melawan AIDS di Rusia, 2010 (Sumber: theconversation.com/Vladimir Konstantinov/Reuters)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara (DPRDSU) menyelenggarakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) terkait Program Penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah Inisiatif DPRDSU tentang Penanggulangan HIV/AIDS di Sumatera Utara. Ini lead di berita "UISU dan DPRD Sumut FGD Tentang HIV/AIDS", harianandalas.com, 23/6-2020.

Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 12 Agustus 2020, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Sumut dari tahun 1987 sampai Juni 2020 mencapai 24.696 yang terdiri atas 20.456 HIV dan 4.240 AIDS. Jumlah ini menempatkan Sumut di peringkat ke-7 nasional dalam jumlah kumulatif HIV/AIDS.

Di Indonesia peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS sudah ada 134 yaitu 23 perda provinsi, 85 perda kabupaten dan 28 perda kota. Sedangkan di Sumatera Utara ada 3 perda yaitu dan Kabupaten Serdang Bedagai (2006), Kota Tanjung Balai (2009), dan Kota Medan (2012).

Perda-perda itu hanya copy-paste dan hanya berisi pasal-pasal normatif yang tidak menukik ke akar persoalan. Ini terjadi karena Perda-perda AIDS di Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.

Baca juga: Perda AIDS di Indonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand

Program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand dikenal dengan program 'wajib kondom 100 persen' bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran dan rumah bordil atau cakela.

Secara berkala PSK dites IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis/raja singa, kencing nanah/GO, virus hepatitis B, klamdia, jengger ayam, dll.). Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS, maka mucikari atau germo menerima sanksi yang sudah disepakati secara hokum yaitu mulai dari teguran, peringatan sampai pencabutan izin usaha. Hal ini dilakukan karena sudah terbukti germo membiarkan laki-laki seks dengan PSK tanpa memakai kondom.

Nah, di Indonesia Perda menghukum PSK. Ini yang konyol karena 1 PSK dibui ada ratusan PSK yang akan mengisi tempat PSK yang dihukum itu. Germo pun selalu membela pelanggan dengan membiarkan tidak pakai kondom jika PSK meminta laki-laki pakai kondom ketika hubungan seksual.

Baca juga: Perda AIDS Merauke (Hanya) 'Menembak' PSK

Tiga Perda AIDS yang ada di Sumut juga sami mawon atau setali tiga uang. Pasal-pasal tidak menukik ke pencegahan penularan HIV/AIDS secara faktulan karena normatif.

Baca juga: (1) Perda AIDS Kab Serdang Bedagai, Sumut: Penggunaan Kondom 100 Persen Tanpa Pemantauan, (2) Menyibak Perda AIDS Kota Tanjungbalai, Sumut, dan (3) Pasal-pasal Normatif Penanggulangan HIV/AIDS di Perda AIDS Kota Medan

Maka, jika DPRD Sumut menyusun rancangan perda (Raperda) tentang penanggulangan HIV/AIDS ada beberapa poin yang harus diperhatikan, yaitu pintu masuk HIV/AIDS ke masyarakat. Tanpa ada pasal yang bisa menutup pintu masuk ini dengan cara-cara yang realistis, maka penyebaran HIV/AIDS di Sumut akan terus terjadi.

Pintu masuk HIV/AIDS yang harus ditangani dengan pasal-pasal konkret di Perda yaitu:

(1). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(2). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.) karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(4). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan laki-laki yang berganti-ganti, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.), karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(5). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan, seperti gigolo, dengan kondisi gigilo tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu dari gigolo itu mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

(6). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), karena bisa saja salah satu dari PSK tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

PSK dikenal ada dua jenis, yaitu:

(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di tempat pelacuran (dulu disebut lokalisasi atau lokres pelacuran) atau mejeng di tempat-tempat umum, dan

(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini 'menyamar' sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu lagu, ibu-ibu, cewek (model dan artis) prostitusi online, dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.

(7). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan waria karena ada waria yang sering ganti-ganti pasangan sehingga bisa jadi waria tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

Sebuah studi di Surabaya awal tahun 1990-an menunjukkan laki-laki pelanggan waria umumnya laki-laki beristri. Ketika seks dengan waria mereka justru jadi 'perempuan' (dalam bahasa waria ditempong atau di anal) dan waria jadi 'laki-laki' (dalam bahasa waria menempong atau menganal).

(8). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan waria heteroseksual (waria tidak memakai kondom). Dalam prakteknya waria ada yang heteroseksual sehingga menyalurkan dorongan seksual dengan perempuan. Bisa saja waria tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

(9). Laki-laki dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja salah satu dari laki-laki atau perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

(10). Laki-laki dewasa homoseksual yaitu gay (secara seksual tertarik pada sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

Dari 10 pintu masuk HIV/AIDS hanya satu yang bisa diintervensi yaitu poin 6 b dengan syarat praktek PSK dilokalisir. Celakanya, sejak reformasi ada gerakan massif dengan latar belakang moral menutup semua tempat pelacuran. Akibatnya, pelacuran pun pindah ke jalanan dan sekarang bermigrasi pula ke media sosial yang dikenal dengan prostitusi online.

Adalah hal yang mustahil melakukan intervensi terhadap prostitusi online agar laki-laki selalu memakai kondom karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Lagi pula cewek-cewek prostitusi online tidak kasat maka itu sebabnya mereka disebut PSK tidak langsung.

Jika kelak Perda AIDS Sumut tidak mempunyai program yang konkret untuk menutup pintu masuk HIV/AIDS, maka penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, terjadi tanpa disadari yang jadi 'bom waktu' kelak akan bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5f9a28d58ede48439212b002/tanpa-pasal-yang-konkret-perda-aids-sumatera-utara-kelak-akan-sia-sia?page=all]. ***

AIDS Kalimantan Tengah: Penularan HIV/AIDS Bukan karena Seks Bebas

Ilustrasi (Sumber: hindustantimes.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

"Tekan Kasus HIV/AIDS, Masyarakat Diminta Hindari Sex Bebas." Ini judul berita di kaltengekspres.com, 3/10-2020. Lagi-lagi judul berita di media, dalam hal ini media online, tidak akurat sehingga menyesatkan. Pernyataan pada judul berita ini merupakan keterangan dari Ketua DPRD Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Wahid Yusuf. Dari judul berita ini saja ada tiga hal yang perlu diluruskan, yaitu:

Pertama, seks bebas yang merupakan terjemahan dari free sex justru tidak ada dalam kamus-kamus Bahasa Inggris sehingga seks bebas tidak jelas maknya,

Kedua, kalau yang dimaksud seks bebas adalah zina, maka lagi-lagi pernyataan di judul berita menyesatkan karena tidak ada kaitan langsung antara zina dengan penularan HIV/AIDS,

Ketiga, yang bisa dilakukan dalam HIV/AIDS adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual.

Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, bukan karena sifat hubungan seksual (zina, melacur, seks bebas, selingkuh, dll.) tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom selama hubungan seksual.

Di bagian lain disebutkan: .... tidak hanya menggunakan jarum suntik saja namun semuanya .... Ini juga tidak akurat karena risiko penularan HIV melalui penggunaan jarum suntik harus dilakukan secara bersama-sama dengan bergantian. Risiko teradi Karana bisa saja salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS sehingga ketik dia memakai jarum suntik menyuntikkan narkoba ada darah yang mengandung HIV/AIDS masuk ke jarum. Yang memakai berikutnya akan berisiko tertular HIV/AIDS karena darah yang mengandung HIV/AIDS di jarum suntik akan masuk ke tubuh ketika jarum narkoba disuntikkan.

Kalau sendiri memakai narkoba dengan jarum suntik yang steril dan tidak pernah dipakai orang lain, maka tidak ada risiko tertular HIV/AIDS.

Fenomena gunung es pada epidemi HIV/AIDS (Syaiful W. Harahap)
Fenomena gunung es pada epidemi HIV/AIDS (Syaiful W. Harahap)

Disebutkan jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Palangka Raya ada 54. Ini tentu tidak menggambarkan jumlah warga Kota Palangka Raya yang mengidap HIV/AIDS karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang terdeteksi, dalam hal ini 54, digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Maka, Pemkot Palangka Raya perlu membuat regulasi untuk mendeteksi warga kota yang mengidap HIV/AIDS. Dengan menemukan warga yang mengidap HIV/AIDS itu artinya satu mata rantai penyebaran HIV/AIDS diputus.

Jika warga yang mengidap HIV/AIDS tidak terdeteksi maka merek jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Mereka tidak menyadari bahwa mereka mengidap HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda pada fisik dan keluhan kesehatan yang terkait langsung dengan HIV/AIDS.

Penyebaran HIV/AIDS yang terjadi di masyarakat merupakan 'bom waktu' yang kelak bermura pada 'ledakan AIDS'. * [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5f964434d541df4593789622/aids-kalimantan-tengah-penularan-hiv-aids-bukan-karena-seks-bebas?page=all#sectionall] ***

Tertular HIV/AIDS Karena Kerap Berganti Pasangan Homoseksual adalah Hoaks

 

Ilustrasi (Sumber: depts.washington.edu).

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

"Kerap Berganti Pasangan Homoseksual, Serka RR Terjangkit HIV." Ini judul berita di cnnindonesia.com, 21/10-2020.

Judul berita ini menyesatkan (misleading) karena:

Pertama, tidak ada kaitan langsung antara 'kerap berganti pasangan homoseksual' dengan penularan HIV/AIDS,

Kedua, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena orientasi seksual, dalam berita ini homoseksual,

Ketiga, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, seks penertrasi pada heteroseksual dan homoseksual, jika salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan yang menganal tidak memakai kondom.

Maka, judul berita ini menyesatkan karena mengedepankan sensasional dan bombastis.

Di lead berita disebutkan pula: Serka RR, personel TNI Angkatan Udara yang divonis 8 bulan penjara dan dipecat dari kedinasan dinyatakan positif terjangkit virus HIV/AIDS akibat perilaku seks menyimpang yakni penyuka sesama jenis. Penjelasan ini dibacakan pada vonis terhadap RR di Pengadilan Militer Semarang, Jawa Tengah,

Terminologi 'seks menyimpang' adalah bahasa moral karena dalam konteks seksualitas tidak dikenal 'seks menyimpang'. Kalau memakai pijakan moral, maka seorang laki-laki atau perempuan yang terikat pernikahan melakukan zina juga termasuk 'seke menyimpang'. Tapi, hal ini tidak pernah muncul ke permukaan.

Lagi pula risiko tertular HIV/AIDS bukan karena sifat hubungan seksual, dalam hal ini disebut seks menyimpang yaitu penyuka sesama jenis, tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki yang menganal tidak memakai kondom. Ini fakta sehingga menyebut 'positif terjangkit virus HIV/AIDS akibat perilaku seks menyimpang yakni penyuka sesama jenis' adalah hoaks (informasi bohong). Dalam aspek epidemiologi HIV/AIDS hal itu disebut mitos (anggapan yang salah).

Di bagian lain berita disebutkan lagi: "Terdakwa Serka RR mengawali hubungannya dengan terdakwa Kapten IC. Keduanya sekarang sama-sama positif HIV. Kalau dari fakta persidangan yang berjalan, karena berganti-ganti pasangan. Terdakwa Serka RR saja dari 2009 sampai 2019, sudah berhubungan dengan 10 orang lebih," ujar Fadhil yang juga Panitera Pengadilan Militer II-10 Semarang.

Pernyataan ini pun hoaks dan termasuk mitos karena risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual penetrasi pada heteroseksual (seks oral dan seks vaginal) dan homoseksual (seks oral dan seks anal) terjadi bukan karena berganti-ganti pasangan tapi karena salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan yang melakukan seks anal tidak memakai kondom. 

Dengan seribu orang pun berganti-ganti pasangan kalau keduanya negatif HIV atau tidak mengidap HIV/AIDS tidak ada risiko tertular HIV/AIDS. Sebaliknya, melakukan hubungan seksual dengan satu pasangan dalam ikatan pernikahan yang sah sekalipun ada risiko penularan HIV/AIDS kalau salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Di era informasi terbuka dengan jaringan internet yang mendunia saat ini kalau ada wartawan atau redaktur media massa, media online serta pengguna media social yang tidak memahami cara-cara penularan HIV/AIDS yang benar dan akurat itu artinya pemahaman mereka ada di titik nadir. Selain itu kemungkinan besar mereka membalut lidah dengan moral sehingga aspek fakta medis digelapkan dengan mengedepankan moral yang akhirnya informasi HIV/AIDS jadi hoaks dan mitos. * [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5f95733fd541df0d7b3c98f2/tertular-hiv-aids-karena-kerap-berganti-pasangan-homoseksual-adalah-hoaks?page=all]. ***

Menyoal Penanggulangan HIV/AIDS di Gorontalo

Ilustrasi (Sumber: hindustantimes.com).

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

"Penderita HIV/AIDS Bertambah, Idah Syahidah Fokus Pada Ketersediaan Obat." Ini judul berita di hulondalo.id (Gorontalo), 23/10-2020.


Secara kumulatif jumlah kasus Odha di Provinsi Gorontalo sebanyak 602, tapi perlu diingat bahwa epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang terdeteksi (602) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut. Sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS yang diperlukan adalah langkah di hulu bukan langkah di hilir, seperti ketersediaan obat. Maka, pernyataan anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Golkar, Idah Syahidah, yang dijadikan judul berita adalah langkah di hilir.

Itu artinya membiarkan warga Gorontalo tertular HIV/AIDS (di hulu) baru diberikanh obat (di hilir).

Dalam berita disebutkan:  Bahkan rencananya, Idah akan melakukan monitoring terhadap ketersediaan obat obatan hinga fasilitas kesehatan bagi para ODHA.

Sehebat apa pun fasilitas kesehatan dan ketersediaan obat bagi Odha (penulisan tidak dengan semua huruf kapital karena Odha bukan akronimi tapi kata yang mengacu pada Orang dengan HIV/AIDS) kasus HIV/AIDS di Gorontalo akan terus bertambah karena di hulu terus terjadi insiden infeksi HIV baru.

Dalam berita tidak ada penjelasan tentang faktor risiko penularan HIV/AIDS pada 602 kasus yang terdeteksi. Faktor risiko bisa jadi acuan untuk penanggulangan HIV/AIDS di hulu.

Salah satu faktor risiko yang sangat umum dalam insiden infeksi HIV baru adalah melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komerisal (PSK).

PSK sendiri dikenal dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek prostitusi online, serta cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

Pemprov Gorontalo boleh-boleh saja menepuk dada dengan mengatakan di daerahnya tidak ada pelacuran. Secara de jure memang tidak ada lagi tempat pelacuran yang dibina Dinas Sosial seperti di era Orba yang dikenal sebagai lokalisasi. Tapi, secara de facto praktik pelacuran tetap ada yaitu yang melibatkan PSK tidak langsung.

Maka, jika penanggulangan HIV/AIDS di Gorontalo tidak menyasar praktik pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi di Gorontalo.

Laki-laki yang tertular HIV/AIDS melalui praktik pelacuran dengan PSK tidak lansung atau PSK langsung akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masayarakat. Bagi yang beristri akan menularkan HIV/AIDS ke istrinya dan pasangan seks yang lain.

Selain menjangkau praktik pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung perlu juga membuat regulasi untuk mendeteksi warga yang tertular HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Regulasi dibuat dengan pijakan yang tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).

Tanpa intervensi terhadap praktik pelacuran dan tanpa regulasi untuk mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS, penyebaran HIV/AIDS di Gorontalo jadi 'bom waktu' yang kelak jadi 'ledakan AIDS'. * [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5f936978d541df1ce140bec5/menyoal-penanggulangan-hiv-aids-di-gorontalo]. ***