07 Maret 2020

Fenomena AIDS Persis Serupa dengan Corona

Seorang wanita pakaia masker saat dia berjalan di sepanjang jalan di kawasan pusat bisnis di Beijing, 29 Februari 2020. (Foto: nydailynews.com/AP/Mark Schiefelbein)


Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Jika virus corona ditandai dengan informasi palsu (hoaks) di media sosial, di awal epidemi HIV/AIDS awal tahun 1980-an ditandai dengan mitos


Kalau saja di awal epidemi HIV/AIDS, dipublikasikan pertama kali oleh MMWR (Morbidity and Mortality Weekly Report) pada 5 Juni 1981, ada media sosial (medsos) mungkin hoaks seputar HIV/AIDS lebih riuh dari hoaks virus corona.

Laporan pertama tsb. yang bersumber dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention yaitu Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di AS) tentang lima kasus Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) pada laki-laki gay. Dua diantaranya ketika itu meninggal. Karena secara medis belum diketahui penyebabnya mereka menyebutnya dengan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom atau sindroma penurunan kekebalan tubuh dapatan).

Tahun 1983 Luc Montagnier dkk di Perancis berhasil menemukan penyebab AIDS yang mereka sebut ALV (lymphadenopathy-associated virus). Pada tahun 1984 Robert Gallo dari Amerika Serikat juga menemukan virus penyebab AIDS yang mereka sebut HTLV-III. Pada tahun 1986 Badan Kesehatan Dunia (WHO) memutuskan nama virus penyebab AIDS adalah HIV (Human Immunodeficiency Virus) sekaligus merekomendasi reagen untuk mendeteksi antibodi HIV.

Dengan demikian HIV/AIDS adalah fakta medis yaitu bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran. Tapi, karena kasus pertama terdeteksi pada gay sebagai bentuk homoseksualitas HIV/AIDS pun dikait-kaitkan dengan moral dan agama. Padahal, HIV/AIDS terdeteksi di semua ras, bangsa dan negara di seluruh dunia.

Selain itu ada juga isu konspirasi yang menyebut virus itu buatan bangsa dan negara tertentu. Berbagai publikasi pun menyebut virus itu berasal dari binatang (monyet Afrika). HIV/AIDS juga dikait-kaitkan dengan ras dan bangsa karena ada publikasi yang menyebutkan virus berasal dari Afrika.

Padahal, setelah WHO merekomendasi reagen untuk mendeteksi antibodi HIV di darah manusia beberapa negara menguji darah yang disimpan di rumah sakit. Di beberapa negara, terutama Eropa Barat, jika ada pasien meninggal di rumah sakit tidak bisa diketahui penyebabnya bagian-bagian badan dan darah disimpan di laboratorium. Tes HIV terhadap darah di Swedia menunjukkan ada contoh darah yang disimpan tahun 1959 ternyata reaktif terhadap reagen antibodi HIV.

Gambar 1. Fenomena HIV/AIDS dan virus corona dikait-kaitkan dengan hal di luar medis (Dok Tagar)


Selanjutnya berkembang mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS karena dikait-kaitkan dengan moral dan agama. Akibatnya epidemi HIV tidak bisa dibendung dan pada akhir tahun 2018 jumlah kasus HIV/AIDS secara global 37,9 juta dengan 770.000 kematian. Di Indonesia sendiri prediksi kasus HIV/AIDS pada tahun 2016 mencapai 640.000 sedangkan yang sudah terdeteksi baru separuh.


Persis sama dengan HIV/AIDS virus corona pun dikait-kaitkan dengan binatang, agama, moral, negara, bangsa, ras dan penuh dengan hoaks (Lihat Gambar 1).

Disebut-sebut virus corona berasal dari makanan binatang mentah. Dikaitkan pula dengan kebiasaan buruk ras dan bangsa tertentu. Agamawan pun angkat bicara. Bahkan ada yang menyebut virus corona sebagai ‘tentara Allah’. Celakanya, virus corona tidak hanya menginfeksi ras dan bangsa yang dituduhkan banyak orang karena di kawasan Timur Tengah pun wabah virus corona merebak. Bahkan, di luar China (80.711 dengan 3.045 kematian) dan Korea Selatan (6.284 dengan 42 kematian) kasus corona meledak di Italia (38.58 dengan 148 kematian) dan Iran (3.513 dengan 107 kematian). Sedangkan jumlah kasus global per 6 Maret 2020 sebanyak 98.192 dengan 3.380 kematian.

Gambar 2. Fenomena HIV/AIDS dan virus corona dalam berita dengan narasubmer di luar medis (Dok Tagar)

Mitos tentang HIV/AIDS al. terjadi karena sumber berita sebagian besar narasumber media, terutama yellow paper dan tabloid hiburan, adalah agamawan, aktor dan aktris, yang tidak berkompeten, dan kalangan non medis.

Hal yang sama juga terjadi terhadap virus corona. Bahkan, ada media di Indonesia yang meminta tanggapan kalangan artis terhadap virus corona. Ada pula yang mewawancarai agamawan dan sumber-sumber yang tidak berkompeten al. karena mereka pejabat publik.Padahal, salah satu faktor layak berita ada sumber yang berkompeten (sesuai keahlian).

Gambar 3. Fenomena HIV/AIDS dan virus corona terkait dengan stigma, diskriminasi, dll. (Dok Tagar)

Pemberitaan yang tidak objektif dan serbuan hoaks menimbulkan perilaku irasional, seperti kepanikan dengan membeli keperluan rumah tangga yang tidak logis. Begitu juga dengan pemakaian masker yang tidak rasional karena WHO menyebut yang kalau sehat jangan pakai masker kecuali ada di tempat yang berisiko terjadi penyebaran virus corona.


Dampak buruk dari sumber berita yang tidak berkompeten adalah stigmatisasi (pemberian cap buruk). Dua WNI warga Depok, Jabar, yang jadi kasus pertama dan kedua yang terinfeksi virus corona dikaitkan dengan kegiatan mereka dengan WN Jepang penular corona yaitu berdansa. Ini ditarik ke ranah moral dan agama lalu dikaitkan dengan penularan virus corona sehingga muncullah stigma.

Begitu juga dengan HIV/AIDS yang selalu dikaitkan dengan homoseksualitas dan seks di luar nikah mendorong stigmatisasi dan diskriminasi (perlakuan berbeda). Stigmatisasi dan diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh kalangan awam, tapi juga oleh kalangan medis yang paham tentang HIV/AIDS dari aspek medis.


Penolakan warga Natuna, Kepri, terhadap WNI yang dievakuasi dari pusat wabah corona yaitu Wuhan, China, menunjukkan penolakan yang terjadi karena hoaks. Pemberitaan media, terutama televisi, terhadap dua warga Depok yang terinfeksi virus corona pun mendorong penolakan dan pengucilan. Di beberapa daerah di Indonesia terjadi pengucilan terhadap pengidap HIV/AIDS, bahkan ada dibuang ke pulau terpencil dan ke gunung.

Celakanya, ada saja kalangan yang membela penyebar hoaks dengan mengatakan hal itu sebagai kebebasan berekspresi. Ini jelas konyol karena ekspresi yang mereka sebarkan hoaks. Sedangkan untuk media massa dan dan media online sekarang pemerintah tidak bisa melakukan kontrol sesuai dengan UU Pers yang liberal. [] - Sumber: https://www.tagar.id/fenomena-aids-persis-serupa-dengan-corona

Laki-laki Heteroseksual Jadi Penyebar AIDS di Aceh


Ilustrasi (Foto: aids.nlm.nih.gov)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP


Beberapa daerah mengaitkan LGBT dalam penyebaran HIV/AIDS, padahal yang potensial menyebarkan HIV/AIDS di Aceh justru laki-laki heteroseksual

Jakarta – Ketika kasus HIV/AIDS mulai merangkak naik muncullah upaya cari kambing hitam yaitu menyalahkan LGBT, padahal yang jadi penyebar HIV/AIDS di masyarakat justru kaum heteroseksual. “Jadi untuk di Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara, maka kalangan LGBT yang bertanggung jawab paling besar terhadap penyebaran HIV dan AIDS di dua daerah tersebut,” tutur Khaidir. Ini ada dalam berita “Bocah Empat Tahun di Aceh Terinfeksi HIV”, Tagar, 4 Maret 2020.

Sebagai Direktur Yayasan Permata Aceh Peduli (YPAP) Khaidir menyampaikan informasi yang tidak akurat sehingga menimbulkan salah paham di masyarakat yang akan berujung pada stigmatisasi (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap LGBT.

Terkait dengan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) yang kasat mata hanya transgender yang juga dikenal sebagai waria. Sedangkan lesbian, gay dan biseksual tidak bisa dikenali karena tidak ada ciri-ciri yang khas pada fisik dan perilaku mereka yang menggambarkan lesbian, gay dan biseksual.

Pada lesbian tidak ada seks penetrasi sehingga risiko penularan HIV melalui aktivitas seksual pada lesbian tidak ada. Itulah sebabnya lesbian tidak masuk dalam kelompok kunci. Sedangkan gay tidak punya istri sehingga tidak ada penyebaran HIV/AIDS ke masyarakat. Penularan HIV/AIDS hanya terjadi di komunitas gay.

Maka, pernyataan Khaidir yang menyebutkan “ …. kalangan LGBT yang bertanggung jawab paling besar terhadap penyebaran HIV dan AIDS di dua daerah tersebut (Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara) ….” tidak akurat karena lesbian bukan kelompok kunci dan gay tidak mempunyai istri. Waria justru didatangi laki-laki heteroseksual, bahkan yang mempunyai istri.

Yang jadi persoalan besar pada LGBT adalah biseksual. Mereka ini mempunyai istri tapi juga pasangan homoseksual. Itu artinya biseksual jadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari komunitas mereka ke masyarakat. Yang beristri menularkan HIV/AIDS ke istrinya, sedangkan yang tidak punya istri menyebarkan HIV/AIDS ke pasangan seksual mereka.

Justru laki-laki heteroseksual yang jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam nikah dan di luar nikah. 

Perilaku laki-laki heteroseksual dewasa yang berisiko tertular dan menularkan HIV/AIDS di Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara serta di daerah lain di Aceh adalah:

(1). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam nikah atau di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Aceh atau di luar wilayah Aceh, bahkan di luar negeri.

(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), di wilayah Aceh atau di luar wilayah Aceh, bahkan di luar negeri.

Yang perlu diingat adalah PSK ada dua tipe, yaitu:

(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(b), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, cewek prostitusi online, 'artis dan model' prostitusi online, dll.

Maka, pernyataan Khaidir yang menyebutkan bahwa proses penularan HIV/AIDS kepada bocah umur empat tahun itu belum tahu bagaimana tentulah jadi tanda tanya besar karena sudah dijelaskan ibu anak itu HIV-positif. Itu artinya anak umur empat tahun itu tertular dari ibunya pada saat persalinan atau menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Kalau saja Khaidir berpikir jernih tanpa balutan moral tentulah akar persoalan penyebaran HIV/AIDS di Aceh dilakukan oleh laki-laki heteroseksual. Kalau disebutkan di Aceh tidak ada lokalisasi pelacuran bukan berarti tidak ada transaksi seks dengan berbagai modus, bahkan memakai media sosial. Berita “Prostitusi Online Lewat Facebook dan WhatsApp di Aceh” di Tagar, 9 Juli 2019, menunjukkan transaksi seks melalui media sosial di Aceh.

Jika Aceh terus menyangkal andil laki-laki heteroseksual sebagai mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat itu artinya Pemprov Aceh membiarkan penyebaran HIV/AIDS di masyarakat. Jika ini terjadi maka epidemi HIV/AIDS di Aceh kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. [] - Sumber: https://tagar.id/lakilaki-heteroseksual-jadi-penyebar-aids-d-aceh