31 Januari 2020

Yang Terpenting adalah Mencegah Agar Tidak Tertular HIV

Ilustrasi (Sumber: easterneye.biz)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP


Jadi Penyakit Menakutkan, Benarkah HIV/AIDS Tidak Bisa Diobati? Ini judul berita di kompas.com, 17/1-2020. Yang jadi persoalan besar pada HIV/AIDS bukan soal bisa diobati atau tidak, tapi ketika virus (HIV) masuk ke tubuh HIV akan menggandakan diri sampai miliaran kopi setiap hari.
HIV menggandakan diri di sel darah putih (dalam tubuh manusia sel darah putih sebagai pertahanan, semacam tentara di sebuah negara). Sel darah putih yang dijadikan HIV sebagai 'pabrik' rusak. HIV yang baru diproduksi mencari sel darah putih lain untuk menggandakan diri lagi. Begitu seterusnya sehingga pada suatu saat akan sampai pada masa AIDS (secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular jika tidak minum obat antiretroviral/ARV).
Pada masa AIDS sistem pertahanan diri lemah sehingga mudah terinfeksi berbagai macam penyakit yang disebut sebagai infeksi oportunistik, seperti diare, TB, pnemonia, dll. Nah, yang menyebabkan kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) bukan HIV atau AIDS, tapi infeksi oportunistik.
Salam satu kesalahan besar dalam berita HIV/AIDS yaitu tentang kematian Odha yang tidak disebutkan penyebabnya sehingga terkesan kematian karena HIV/AIDS. Dalam berita disebut: Infeksi virus ini bisa mengancam nyawa jika tak ditangani dengan tepat. Ini tidak akurat karena yang mengancam nyawa bukan infeksi virus, tapi infeksi oportunistik.
Cara penularan yang disebutkan dalam berita juga sangat naif karena tidak memberikan cara penularan yang faktual. Disebutkan: Penularan virus ini bisa terjadi melalui pemakaian jarum suntik secara bergantian, menggunakan peralatan tato dan tindik yang tidak disterilkan, serta seks tanpa pengaman.
Data menunjukkan persentase cara penularan terbanyak adalah melalui hubungan seksual, terutama seks penetrasi vaginal, pada kalangan heteroseksual. Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 27/8-2019, jumlah kasus AIDS yang dilaporkan dari tahun 1987 sd. Juni 2019 yaitu sebanyak 117.064 dengan gaktor risiko penularan terbanyak melalui hubungan seksual berisiko heteroseksual yaitu 70,2%.
Dalam berita disebutkan "Para ilmuwan pertama kali menemukan HIV dalam sampel darah manusia pada tahun 1959." Ini tidak akurat. Yang terjadi adalah ketika WHO menyetujui reagent untuk mendeteksi HIV di darah (1986), maka kalangan medis di Eropa Barat melakukan tes terhadap contoh darah pasien-pasien yang meninggal tapi tidak terdiagnosis penyebabnya. Salah satu contoh darah di Swedia yang diambil dari pasien pada tahun 1959 menunjukkan hasil reaktif ketika dites dengan reagent.
Gejala-gejala apa pun pada tubuh manusia biarpun terkait dengan HIV/AIDS gejala tsb. bisa diabaikan tidak ada kaitannya dengan HIV/AIDS al. jika ybs. tidak pernah melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, yaitu pekerja seks komersil (PSK).
Walaupun ada obat ARV yang menghambat laju perkembangbiakan HIV di dalam darah, yang jelas obat ARV harus diminum seumur hidup dengan berbagai efek samping. Maka, yang perlu disebarluaskan adalah cara-cara mencegah agar tidak tertular HIV.
Persoalannya, di Indonesia informasi tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) sehingga banyak orang yang terjerumus melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS. * [https://www.kompasiana.com/infokespro/5e242145097f3636823d1872/aids-yang-terpenting-adalah-mencegah-agar-tidak-tertular-hiv]

AIDS di Kota Tangerang, Menyasar Calon Pengantin Abaikan Perilaku Seksual Laki-laki Berisiko Tertular HIV/AIDS

Dok Pribadi


Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tangerang, Banten, sedang menggodok Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) inisiatif tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/Aids. Disebutkan oleh oleh Ketua Badan Pembuat Perda DPRD Kota Tangerang, Edi Suhendi, salah satu klausul bahwa calon pasangan suami-isteri akan menjalani pemeriksaan HIV sebelum melangsungkan pernikahan (Calon Pengantin di Kota Tangerang Diwacanakan Wajib Tes HIV/Aids, tangerangnews.com, 3/1-2020).
Ada beberapa hal yang luput dari perhatian terkait dengan tes HIV bagi calon mempelai, yaitu:
(1). Calon mempelai laki-laki bisa tertular HIV/AIDS melalui perilaku seksual berisiko, yaitu: a. melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam nikah dengan perempuan yang berganti-ganti, b. melalukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK), baik PSK langsung maupun PSK tidak langsung, c. transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan d. melalui bertukar jarum suntik pada penyalahgunaan narkoba.
(2). Calon mempelai perempuan biar pun masih gadis tetap ada risiko tertular HIV/AIDS, yaitu: a. melalui ibu yang mengidap HIV/AIDS, b. transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan c. melalui bertukar jarum suntik pada penyalahgunaan narkoba.
(3). Tes HIV dengan reagen yang mencari antibody HIV akan terikat dengan masa jendela yaitu jika tes HIV dilakukan di bawah tiga bulan setelah tertular (dalam hal ini melakukan perilaku berisiko tertular HIV), maka hasilnya bisa negatif palsu (HIV ada di darah tapi reagen tidak bisa mendeteksi karena belum ada antibody HIV) atau positif palsu (HIV tidak ada di darah tapi hasil tes reaktif).
Jika hasil tes HIV calon mempelai laki-laki HIV-negatif palsu tentulah jadi melapetaka bagi istri karena ada risiko penularan. Jika istri tertular ada pula risiko penularan ke bayi yang dikandungnya kelak.
Persoalan lain yang bisa muncul adalah ketika hasil tes HIV calon mempelai laki-laki negatif sehingga pernikahan dilangsung, tapi ketika istrinya hamil dan menjalani tes HIV dengan hasil positif maka bisa terjadi suami akan menuding istri selingkuh.
Hal itu bisa terjadi karena yang menjalani tes HIV ibu hamil. Seharusnya suami-suami ibu hamil yang lebih dahulu menjalani tes HIV agar duduk soalnya jelas. Kalau suami HIV-positif, maka istri menjalani tes HIV.
Hasil tes HIV pada ibu hamil sangat penting karena bisa menyelamatkan janin yang dikandungnya terhindar dari HIV/AIDS jika si ibu terdeteksi HIV-positif melalui program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Disebutkan pula oleh Edi: .... ibu-ibu hamil juga akan menjalani pemeriksaan HIV sebagai langkah pencegahan.
Dengan langkah yang disebutkan Edi ini suami bisa berkelit dengan menuding istri yang selingkuh. Tapi, kalau suami yang lebih dahulu menjalani tes HIV tentulah suami tidak bisa lagi menuduh istrinya yang selingkuh. Soalnya, di banyak daerah tes HIV pada ibu hamil tidak menyertakan suami karena suami menolak tes HIV. Bahkan, di Klinik VCT 'Seroja', RSUD dr Adjidarmo, Rangkasbitung, Lebak, Banten, sering terjadi suami akan meninggalkan istri di rumah sakit bahkah minggat meninggalkan anak istri ketika diberitahu hasil tes HIV istrinya positif.
Ini juga dikatakan oleh Edi: "Sehingga bisa diketahui dengan cepat karena menurut kedokteran bisa disembuhkan kalau masih baru terdeteksi."  
Pernyataan Edi di atas ngawur karena begitu HIV masuk ke aliran darah HIV akan ada di dalam tubuh seumur hidup. Deteksi dini HIV berguna untuk mencegah penularan baru dan menjaga kesehatan orang yang tertular HIV dengan memberikan obat antiretroviral (ARV).
Tes HIV untuk calon mempelai hanya sebagian kecil dari epidemi HIV/AIDS jika dibandingkan dengan jumlah laki-laki dan perempuan yang melakukan perilaku seksual berisiko tertular HIV.
Barapa pasangan yang menikah setiap hari di Kota Tangerang? Coba bandingkan dengan jumlah laki-laki yang melakukan hubungan seksual berisiko dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung setiap malam.
PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dll.
Bahkan, bisa terjadi mempelai laki-laki yang lolos tes HIV setelah menikah melakukan perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS.
Jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Tangerang dilaporkan tahun 2016 tercatat 105 kasus, tahun 2017 ditemukan 124 kasus dan tahun 2018 terdeteksi 141 kasus. Maka, dari tahun 2016-2018 di Kota Tangerang terdeteksi 370 kasus HIV/AIDS. Jika dihitung dari tahun 2004-2018 Dinkes Kota Tangerang mencatat jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS sebanyak 1.515 (kompas.com, 11/12-2019).
Sedangkan Wali Kota Tangerang Arief R. Wismansyah, mengatakan: "Ya, kalau buat kita selama itu kebaikan, demi mencegah perluasan HIV, kalau memang diperlukan terpaksa."
Tapi, tes HIV untuk calon mempelai itu ada mudaratnya. Lagi pula kasus insiden infeksi HIV baru terbanyak bukan dari calon mempelai, tapi dari laki-laki dewasa, termasuk yang beristri, yang sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung.
Jika Pemkot Tangerang dan DPR Kota Tangerang ingin menurunkan kasus HIV/AIDS yang disasar adalah laki-laki yang seks dengan PSK agar mereka memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Jika ini tidak diintervesi, maka insiden infeksi HIV baru di Kota Tangerang akan terus terjadi.
Laki-laki yang tertular HIV jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat tertuama melalui hubungan seksual tanpa kondom did alam dan di luar nikah. Ini terjadi karena orang-orang yang tertular HIV tidak menyadari mereka sudah tertular HIV karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan. Jika ini yang terjadi itu artinya bisa terjadi 'ledakan AIDS' di Kota Tangerang. * [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5e106424097f36731e12dcb2/aids-di-kota-tangerang-menyasar-calon-pengantin-abaikan-perilaku-seksual-laki-laki-berisiko-tertular-hiv-aids?page=all#section1]

AIDS di Aceh, Di Mana dan dengan Siapa Warga Pengidap HIV/AIDS Lakukan Seks Bebas?

Ilustrasi (Sumber: huffpost.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Terapkan Syariat Ketat, Kenapa Penderita HIV/AIDS di Aceh Masih Tinggi? Ini judul berita di wartaekonomi.co.id, 21/11-2019.
Pernyataan pada judul berita itu menunjukkan pemahaman yang sangat rendah terhadap epidemi HIV/AIDS. Ini terjadi karena selama ini penularan HIV/AIDS selalu dikaitkan dengan perilaku-perilaku amoral, seperti zina, melacur, dll.
Ini terjadi karena ketika HIV/AIDS terdeteksi di Indonesia, 1987, pemerintah panik karena sebelumnya pemerintah dan banyak kalangan yang sesumbar bahwa HIV/AIDS tidak akan pernah bisa masuk ke Indonesia.
Maka, pemerintah pun mengaitkan kasus penemuan HIV/AIDS pada di RS Sanglah Denpasar, Bali, pada seorang laki-laki gay turis Belanda yang meninggal di RS Sanglah karena penyakit terkait HIV/AIDS.
Ini dijadikan pemerintah sebagai kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia, padahal jauh sebelumnya sudah ada beberapa indikasi terkait langsung dengan HIV/AIDS. Dengan cara ini maka muncullah mitos (anggapan yang salah) yaitu: HIV/AIDS adalah penyakit gay, penyakit homoseksual, penyakit orang bule, dst.
Selanjutnya informasi tentang HIV/AIDS pun dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama, misalnya mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan pelacuran di lokalisasi pelacuran, perselingkuhan, perzinaan, dll.
Ini adalah mitos (anggapan yang salah) karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (melacur, zina, dll.), tapi karena kondisi saat terjadi hubunga seksua yaitu salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom, pada homoseksual salah satu (yang menganal) tidak memakai kondom.
Maka, judul berita di atas menunjukkan ditulis dengan pijakan mitos. Digambarkan bahwa penularan HIV/AIDS karena perilaku, dalam hal ini hubungan seksual, yang berlawanan dengan syariat Islam (baca: zina). Ini yang menyesatkan karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam atau di luar nikah.
Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi pada perilaku berisiko ini, yaitu:
(1). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis), ada yang beristri, yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS, dan
(2). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual (laki-laki tidak memakai kondom), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS.
(3) Dari suami yang mengidap HIV/AIDS ke istri melalui hubungan seksual. Indikatornya adalah penemuan kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga.
Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS tahun 2004 hingga Juli 2019 disebutkan 845. Sedangkan berdasarkan Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 27/8-2019, jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Aceh sampai dengan 30 Juni 2019 adalah 1.168 yang terdiri atas 642 HIV dan 526 AIDS. Dengan jumlah ini Aceh ada di peringkat ke-32 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS secara nasional.
Disebutkan: Mereka yang terkena virus tersebut didominasi karena ditularkan oleh pasangannya dan perilaku seks bebas.
Dok Pribadi
Dok Pribadi
Tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan 'seks bebas'. Jika yang dimaksud dalam berita 'seks bebas' adalah zina, maka itu artinya pernyataan tsb. mitos karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, bukan karena sifat hubungan seksual (zina), tapi karena kondisi hubungan seksual yaitu salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak pakai kondom.
Dalam berita disebutkan: Pengelola HIV/AIDS Dinas Kesehatan Aceh, Ratnawati, tak menampik jika penderita HIV/AIDS di Aceh juga banyak diidap oleh lelaki seks lelaki (LSL). Ini kabar baik karena HIV/AIDS pada LSL ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai istri sehingga HIV/AIDS tidak menyebar ke ibu rumah tangga. HI
Ada lagi pernyataan: Peningkatan penderita HIV/AIDS di Aceh disebabkan beberapa faktor, salah satunya yaitu lemahnya pendidikan agama. Sehingga, banyak yang terjerumus melakukan seks bebas. Sementara, faktor lainnya adalah tertular lewat suami saat melakukan hubungan intim.
Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual juga bisa terjadi di dalam ikatan pernikahan yang sah jika salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak pakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.
Ada lagi pernyataan: "Orang tua yang sudah berkeluarga pun melakukan hubungan seks, dengan bukan muhrimnya, sehingga HIV/AIDS dapat tertular ke istrinya." Dengan muhrim atau suami dan istri yang sah pun bisa terjadi penularan HIV/AIDS kalau salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS.
Disebutkan pula: Selain orang yang sudah punya istri, seks bebas juga kerap dilakukan oleh para remaja.
Yang jadi pertanyaan adalah: di mana dan dengan siapa yang sudah punya istri dan remaja melakukan 'seks bebas'?
Kunci penanggulangan HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksual adalah jawaban dari pertanyaan di atas. Jika yang sudah punya istri dan remaja melakukan seks bebas di wilayah Aceh, maka perlu ada langkah konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV/AIDS melalui hubungan seks bebas pada yang sudah punya istri dan remaja.
Di negara-negara yang memakai agama sebagai UUD pun tetap ada kasus HIV/AIDS, bahkan lebih banyak daripada di negara-negara yang membebaskan seks, seperti di negara-negara Skandinavia.
Maka, yang jadi persoalan bukan 'seks bebas', tapi laki-laki dan perempuan dewasa, pada kasus nomor 1 dan 2 di atas, yang perilaku seksualnya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. * [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5e020126d541df13815cc5d2/aids-di-aceh-di-mana-dan-dengan-siapa-warga-pengidap-hiv-aids-lakukan-seks-bebas?page=all#section1]

Tiap Hari 2-3 Kasus HIV/AIDS Baru Terdeksi di Maluku

Ilustrasi (Sumber: citynews1130.com)


Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Dalam Sehari, 3 Orang di Maluku Terinfeksi HIV/AIDS. Ini judul berita di rri.co.id, 16/7-2019. Pernyataan dalam judul ini benar-benar tidak masuk akal karena tidak bisa diketahui kepada seseorang tertular HIV/AIDS, kecuali melalui transfusi darah.
Disebutkan bahwa data Dinas Kesehatan Provinsi Maluku sampai Juli 2019 tercatat 5.330 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi. Kota Ambon menempati urutan teratas yaitu 3.529 kasus.
Disebutkan: Penyebaran HIV/AIDS di Maluku terbilang cukup tinggi, bila dirata-ratakan dalam sehari terdapat 2-3 orang terinfeksi virus membahayakan itu.
Pernyataan di atas menunjukkan pemahaman wartawan yang menulis berita ini tentang epidemi HIV/AIDS sangat rendah. Tidak bisa diketahui dengan pasti kapan seseorang tertular HIV/AIDS.
Yang bisa diketahui adalah terdeteksi HIV/AIDS melalui tes HIV yang sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku, al. konseling sebelum dan sesudah tes, sukarela, informed consent, dan kerahasiaan. Itu artinya yang 2-3 orang itu adalah yang terdeteksi bukan yang tertular HIV/AIDS.
Dikatakan oleh Direktur Yayasan Pelangi Maluku, Rosa Pentury, jumlah kasus HIV/AIDS di lapangan justru melebihi data Dinkes. Disebutkan pula: Masih banyak yang belum terdeteksi, penderita HIV/AIDS cenderung menutup diri dan enggan memeriksakan kesehatannya.
Dok Pribadi
Dok Pribadi
Dalam epidemi HIV/AIDS dikenal fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terdeteksi (5.330) hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Persoalannya adalah: Apakah Pemprov Maluku mempunyai strategi yang riil dan tidak melawan hukum serta melanggar hak asasi manusia (HAM) dalam mencari kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat?
Kalau tidak ada itu artinya penyebaran HIV/AIDS di masyarakat akan terus terjadi tanpa disadari oleh orang-orang yang mengidap HIV/AIDS karena mereka tidak mengalami keluhan dan tanda-tanda yang khas pada kesehatan dan fisik terkait dengan HIV/AIDS. Penyebaran HIV/AIDS di masyarakt terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Disebutkan: " .... penderita HIV/AIDS cenderung menutup diri dan enggan memeriksakan kesehatannya."
Pernyataan di atas ngawur karena orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV yang baku akan tercatat di tempat tes dan mereka rutin mengambil obat antiretroviral (ARV) dan berobat karena keluhan kesehatan lain.
Yang terjadi adalah orang-orang yang perilaku seksualnya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala dan ciri-ciri yang khas HIV/AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan. Dalam kaitan inilah perlu sistem yang komprehensif untuk mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS.
Selain sistem untuk mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS, yang tidak kalah pentingnya adalah program pencegahan infeksi HIV baru di hulu pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Yang jadi masalah besar Pemprov Maluku akan membusungkan dada dengan mengatakan: di daerah kami tidak ada pelacuran!
Secara de jure itu benar karena sejak reformasi semua lokasi dan lokalisasi pelacuran ditutup. Tapi, secara de facto, apakah Pemprov Maluku bisa menjamin 100% tidak ada transaksi seks yang mengarah ke pelacuran di wilayah Provinsi Maluku?
Tentu saja tidak bisa karena prostitusi online yang disebut melibatkan model dan artis dengan berbagai modus marak di semua daerah. Cewek yang terlibat di prostitusi online sama saja dengan PSK karena mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti.
Maka, tidaklah mengherankan kalau kelak kasus kumulatif HIV/AIDS di Provinsi Maluku akan terus bertambah karena kasus baru akan terus terdeteksi dan insiden infeksi HIV baru pun akan terus terjadi, al. melalui prostitusi online. * [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5e01d641097f3614bd67d8a2/tiap-hari-2-3-kasus-hiv-aids-baru-terdeksi-di-maluku?page=all#section1]

Dinkes Cianjur Abaikan Perilaku Seksual Suami Penular HIV/AIDS

Ilustrasi (Sumber: downtoearth.org.in)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Dinkes (Cianjur, Jawa Barat-pen.) Imbau IRT (Ibu Rumah Tangga-pen.) Rutin Melakukan Tes VCT Deteksi HIV. Ini judul berita di Antara, 23 Desember 2019. Dari judul berita ini saja ada beberapa hal yang tidak mencerahkan, yaitu:
Pertama, bukan tes VCT tapi tes HIV. VCT adalah sistem atau cara melakukan tes HIV yaitu secara sukarela dengan konseling sebelum dan sesudah tes.
Kedua, yang perlu rutin tes HIV adalah laki-laki yang perilaku seksualnya berisiko tinggi tertular HIV, al. sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang berganti-ganti (di dalam atau di luar nikah) dan dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung atau PSK tidak langsung.
PSK dikenal dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan, dan
(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dll.
Ketiga, dengan menyasar IRT untuk tes rutin sudah menyuburkan stigma (cap buruk) terhadap perempuan karena dikesankan perilaku mereka berisiko tertular HIV.
Keempat, judul berita ini tidak sensitif gender karena memojokkan IRT (baca: perempuan).
Disebutkan alasan mengimbau IRT agar tes HIV rutin adalah " .... karena dari 168 Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) baru sepanjang tahun 2019, 40 persen diantaranya ibu rumah tangga."
Yang jadi persoalan besar di sini adalah suami dari 67 IRT itu tidak menjalani tes HIV sehingga mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Ini yang luput dari perhatian Dinkes Cianjur, Jawa Barat.
Laporan kasus HIV/AIDS di Cianjur disebutkan dari tahun 2005 sampai 2016 tercatat ada 655, tahun 2017 tercatat ada 168, tahun 2018 dengan total 124 (elshinta.com, 15/9-2019). Maka, dari tahun 2005-2018 ada 947 kasus HIV/AIDS. Sedangkan tahun 2019 dilaporkan 128 kasus. Sehingga kumulatif kasus HIV/AIDS di Cianjur 1.075.
Dikatakan oleh Pengelola Program HIV/AIDS Dinkes Cianjur, Cicih Kurniasih: "Selama ini karena tidak memeriksakan diri sejak dini membuat kaum hawa dengan mudah tertular. Sehingga kami mengimbau ibu rumah tangga secara rutin memeriksakan diri dan melakukan tes VCT."
Pernyataan di atas benar-benar tidak masuk akal. IRT tertular HIV/AIDS bukan karena tidak memeriksakan diri, tapi karena perilaku seksual suami mereka yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS sehingga ketika suami mereka tertular HIV/AIDS ada risiko penularan HIV/AIDS ke IRT melalui hubungan seksual. Ini terjadi karena suami-suami itu tidak menyadari diri mereka tertular HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda, ciri-ciri atau gejala-gejala khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan.
Kalau saja Cicih dan wartawan yang menulis berita ini memahami epidemi HIV/AIDS dengan baik, maka berita ini justru diarahkan untuk menyasar suami-suami yang perilaku seksualnya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Yang dianjurkan tes HIV rutin adalah suami-suami yang perilaku seksualnya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, bukan ibu-ibu rumah tangga.
Di bagian lain ada pernyataan Sekretaris Komisi Perlindungan AIDS (KPA) Cianjur, Hilman, yang menilai risiko penularan HIV/AIDS pada pasangan suami istri dapat diminimalisir pada tahun 2020 dengan cara setiap calon pengantin diwajibkan melakukan tes VCT sebelum menikah.
Tes HIV terhadap calon pengantin bukan vaksin. Biar pun hasil tes HIV pada calon pengantin negatif itu tidak jaminan selama hidup dalam ikatan nikah suami akan tetap HIV-negatif. Soalnya, bisa saja suami melakukan perilaku seksual berisiko tertular HIV.
Baik Cicih maupun Hilman sama sekali tidak menyinggung perilaku sebagian laki-laki yang gemar membeli seks kepada PSK. Atau mereka ini menganggap di wilayah Kabupaten Cianjur tidak ada lagi pelacuran karena tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran.
Secara de jure tidak ada lagi lokalisasi pelacuran yang dibina Dinas Sosial, tapi secara de facto tidak bisa dipungkiri transaksi seks dalam bentuk pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai modus, termasuk prostitusi online.
Selama Pemkab Cianjur tidak punya program riil untuk memaksa laki-laki dewasa memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru terjadi pada laki-laki.
Selanjutnya laki-laki yang tertular HIV/AIDS akan menularkan HIV/AIDS ke istrinya. Jika istrinya tertular HIV/AIDS, maka ada pula risiko penularan HIV/AIDS ke janin yang dikandung istrinya kelak terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, terjadi secara diam-diam karena warga Cianjur pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi tidak menyadari dirinya mengidap HIV/AIDS. Ini akan bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5e00e86fd541df45ef3889d2/dinkes-cianjur-abaikan-perilaku-seksual-suami-penular-hiv-aids?page=all]