Seorang wanita pakaia masker saat dia berjalan di sepanjang jalan di kawasan pusat bisnis di Beijing, 29 Februari 2020. (Foto: nydailynews.com/AP/Mark Schiefelbein)
Oleh: Syaiful W. HARAHAP
Jika
virus corona ditandai dengan informasi palsu (hoaks) di media sosial, di awal
epidemi HIV/AIDS awal tahun 1980-an ditandai dengan mitos
Kalau saja di awal epidemi HIV/AIDS, dipublikasikan
pertama kali oleh MMWR (Morbidity and Mortality Weekly Report) pada 5 Juni
1981, ada media sosial (medsos) mungkin hoaks seputar HIV/AIDS lebih riuh dari
hoaks virus corona.
Laporan pertama tsb. yang bersumber dari CDC (Centers
for Disease Control and Prevention yaitu Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit di AS) tentang lima kasus Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) pada
laki-laki gay. Dua diantaranya ketika itu meninggal. Karena secara medis belum
diketahui penyebabnya mereka menyebutnya dengan AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrom atau sindroma penurunan kekebalan tubuh dapatan).
Tahun 1983 Luc Montagnier dkk di Perancis berhasil
menemukan penyebab AIDS yang mereka sebut ALV (lymphadenopathy-associated virus).
Pada tahun 1984 Robert Gallo dari Amerika
Serikat juga menemukan virus penyebab AIDS yang mereka
sebut HTLV-III. Pada tahun 1986 Badan Kesehatan Dunia (WHO) memutuskan
nama virus penyebab AIDS adalah HIV (Human Immunodeficiency Virus) sekaligus
merekomendasi reagen untuk mendeteksi antibodi HIV.
Dengan demikian HIV/AIDS adalah fakta medis yaitu
bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran.
Tapi, karena kasus pertama terdeteksi pada gay sebagai bentuk homoseksualitas
HIV/AIDS pun dikait-kaitkan dengan moral dan agama. Padahal, HIV/AIDS
terdeteksi di semua ras, bangsa dan negara di seluruh dunia.
Selain itu ada juga isu konspirasi yang menyebut
virus itu buatan bangsa dan negara tertentu. Berbagai publikasi pun menyebut
virus itu berasal dari binatang (monyet Afrika). HIV/AIDS juga dikait-kaitkan
dengan ras dan bangsa karena ada publikasi yang menyebutkan virus berasal dari
Afrika.
Padahal, setelah WHO merekomendasi reagen untuk
mendeteksi antibodi HIV di darah manusia beberapa negara menguji darah yang
disimpan di rumah sakit. Di beberapa negara, terutama Eropa Barat, jika ada
pasien meninggal di rumah sakit tidak bisa diketahui penyebabnya bagian-bagian
badan dan darah disimpan di laboratorium. Tes HIV terhadap darah di Swedia menunjukkan
ada contoh darah yang disimpan tahun 1959 ternyata reaktif terhadap reagen
antibodi HIV.
Gambar 1. Fenomena HIV/AIDS dan virus corona dikait-kaitkan dengan hal di luar medis (Dok Tagar)
Selanjutnya berkembang mitos (anggapan yang salah)
tentang HIV/AIDS karena dikait-kaitkan dengan moral dan agama. Akibatnya
epidemi HIV tidak bisa dibendung dan pada akhir tahun 2018 jumlah kasus
HIV/AIDS secara global 37,9 juta dengan 770.000 kematian. Di Indonesia sendiri
prediksi kasus HIV/AIDS pada tahun 2016 mencapai 640.000 sedangkan yang sudah
terdeteksi baru separuh.
Persis sama dengan HIV/AIDS virus corona pun
dikait-kaitkan dengan binatang, agama, moral, negara, bangsa, ras dan penuh
dengan hoaks (Lihat
Gambar 1).
Disebut-sebut virus corona berasal dari makanan
binatang mentah. Dikaitkan pula dengan kebiasaan buruk ras dan bangsa tertentu.
Agamawan pun angkat bicara. Bahkan ada yang menyebut virus corona sebagai
‘tentara Allah’. Celakanya, virus corona tidak hanya menginfeksi ras dan bangsa
yang dituduhkan banyak orang karena di kawasan Timur Tengah pun wabah virus
corona merebak. Bahkan, di luar China (80.711 dengan 3.045 kematian) dan Korea Selatan (6.284
dengan 42 kematian) kasus corona meledak di Italia (38.58 dengan 148 kematian)
dan Iran (3.513 dengan 107 kematian). Sedangkan jumlah kasus global per 6 Maret
2020 sebanyak 98.192 dengan 3.380 kematian.
Gambar 2. Fenomena HIV/AIDS dan virus corona dalam berita dengan narasubmer di luar medis (Dok Tagar)
Mitos tentang HIV/AIDS al. terjadi karena sumber
berita sebagian besar narasumber media, terutama yellow paper dan tabloid
hiburan, adalah agamawan, aktor dan aktris, yang tidak berkompeten, dan
kalangan non medis.
Hal yang sama juga terjadi terhadap virus corona.
Bahkan, ada media di Indonesia yang meminta tanggapan kalangan artis terhadap virus
corona. Ada pula yang mewawancarai agamawan dan sumber-sumber yang tidak
berkompeten al. karena mereka pejabat publik.Padahal, salah satu faktor layak
berita ada sumber yang berkompeten (sesuai keahlian).
Gambar 3. Fenomena HIV/AIDS dan virus corona terkait dengan stigma, diskriminasi, dll. (Dok Tagar)
Pemberitaan yang tidak objektif dan serbuan hoaks
menimbulkan perilaku irasional, seperti kepanikan dengan membeli
keperluan rumah tangga
yang tidak logis. Begitu juga dengan pemakaian masker yang tidak rasional
karena WHO menyebut yang kalau sehat jangan pakai masker kecuali ada di tempat
yang berisiko terjadi penyebaran virus corona.
Dampak buruk dari sumber berita yang tidak
berkompeten adalah stigmatisasi (pemberian cap buruk). Dua WNI warga Depok,
Jabar, yang jadi kasus pertama dan kedua yang terinfeksi virus corona dikaitkan
dengan kegiatan mereka dengan WN Jepang penular corona yaitu berdansa. Ini ditarik ke
ranah moral dan agama lalu dikaitkan dengan penularan virus corona sehingga
muncullah stigma.
Begitu juga dengan HIV/AIDS yang selalu dikaitkan
dengan homoseksualitas dan seks di luar nikah mendorong stigmatisasi dan
diskriminasi (perlakuan berbeda). Stigmatisasi dan diskriminasi tidak hanya
dilakukan oleh kalangan awam, tapi juga oleh kalangan medis yang paham tentang
HIV/AIDS dari aspek medis.
Penolakan warga Natuna, Kepri, terhadap WNI yang
dievakuasi dari pusat wabah corona yaitu Wuhan, China, menunjukkan
penolakan yang terjadi karena hoaks. Pemberitaan media, terutama televisi,
terhadap dua warga Depok yang terinfeksi virus corona pun mendorong penolakan
dan pengucilan. Di beberapa daerah di Indonesia terjadi pengucilan terhadap
pengidap HIV/AIDS, bahkan ada dibuang ke pulau terpencil dan ke gunung.
Celakanya, ada saja kalangan yang membela penyebar
hoaks dengan mengatakan hal itu sebagai kebebasan berekspresi. Ini jelas konyol
karena ekspresi yang mereka sebarkan hoaks. Sedangkan untuk media massa dan
dan media online sekarang pemerintah tidak bisa melakukan kontrol sesuai dengan
UU Pers yang liberal. [] - Sumber: https://www.tagar.id/fenomena-aids-persis-serupa-dengan-corona
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.