02 Desember 2020

Prostitusi Online dan Artis Penyebar HIV/AIDS di Indonesia

 

Ilustrasi (Foto: baophutho.vn)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Hari AIDS Sedunia diperingati tiap 1 Desember sebagai pengingat bagi warga dunia untuk menanggulangi HIV/AIDS dan dukungan bagi Odha

Pandemi virus corona menenggelamkan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, padahal laporan terakhir Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Ditjen P2P), Kemenkes RI, tanggal 9 November 2020 menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sampai 30 September 2020 sebanyak 537.730 yang terdiri atas 409.857 HIV dan 127.873 AIDS.

Laporan UNAIDS, Badan PBB khusus AIDS, menunjukkan sampai akhir tahun 2019 jumlah kasus HIV/AIDS global mencapai 38 juta dengan 1,7 juta infeksi baru dan  690.000 kematian terkait HIV/AIDS.

Dok Pribadi
 

Sedangkan estimasi jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia 640.000 (aidsdatahub.org). Itu artinya ada 102.270 warga yang mengidap HIV/AIDS (Odha-Orang dengan HIV/AIDS) tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik warga yang mengidap HIV/AIDS.

Jika dibandingkan dengan Filipina yang industri seksnya tinggi, jumlah kasus di Indonesia jauh lebih banyak. Data di aidsdatahub.org menunjukkan Filipina melaporkan 97.000 kasus dengan 16.000 infeksi baru per tahun. Thailand pun dengan pariwisata didukung industry seks jumlah kasus 470.000 dengan 5.400 infeksi baru per tahun. Bandingkan dengan Indonesia dengan kasus 640.000 dan 46.000 kasus infeksi baru per tahun.

Mengapa Filipina dan Thailand bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru?

Ketika mengikuti Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) 1997 di Manila, penulis berkunjung ke sebuah pusat hiburan malam yang menyediakan layanan seks.

“Sir, jangan lupa kondom, ya.” Ini diingatkan oleh Satpam di pintu depan sambil meminta kamera ditinggalkan (waktu itu belum ada ponsel dengan kamera). Bagi yang berpikiran negatif tentulah yang dia bayangkan HIV/AIDS berkecamuk di Manila, tapi bagi yang berpikiran positit Satpam itu mengingatkan: Jangan bawa HIV/AIDS ke sini, serta Hati-hati tertular HIV/AIDS!

1. Perilaku Berisiko Tertular HIV/AIDS

Bayangkan, tahun 1997 Filipina sudah menggencarkan pemakaian kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Thailand menjalankan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di tempat-tempat pelacuran dan rumah bordil.

Sedangkan di Indonesia sampai hari in perdebatan, pro dan kontra, soal kondom belum juga selesai. Di beberapa daerah kalau ada ceramah atau diskusi soal HIV/AIDS diwanti-wanti agar tidak menyebut kata kondom. Padahal, pada saat yang sama terjadi insiden penularan HIV baru, terutama melalui hubungan seksual berisiko yang juga jadi pintu masuk HIV/AIDS di Indonesia, yaitu:

(1). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.

(4). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan waria. Sebuah studi di Surabaya awal tahun 1990-an menunjukkan laki-laki pelanggan waria umumnya laki-laki beristri. Ketika seks dengan waria mereka justru jadi ‘perempuan’ (dalam bahasa waria ditempong atau di anal) dan waria jadi ‘laki-laki’ (dalam bahasa waria menempong atau menganal).

(5). Laki-laki dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti.

Satpol PP memaksa pelacur jalanan dan pasangan di penginapan, losmen dan hotel melati yang tertangkap jalani tes HIV. Tapi, polisi yang menangkap ‘artis’ dan pelaku prostitusi online tidak melakukan tes HIV. Razia yang dilakukan Satpol PP dan polisi pun hanya menyasar pelacur jalanan, penginapan, losmen dan hotel melati. Apakah di hotel berbintang dan apartemen mewah tidak ada transaksi seks sebagai bentuk pelacuran? Soalnya, Satpol PP dan polisi tidak pernah merazia hotel berbintang dan apartemen mewah terkait dengan penyakit masyarakat (Pekat), dalam hal ini zina, yang diatur di dalam peraturan daerah (Perda).

2. PSK Tidak Langsung

Ketika mengasuh rubik Konsultasi HIV/AIDS di salah satu surat kabar di Sulawesi Selatan saya menerima surat dari seorang pejabat di Sulawesi yang mengatakan dia tidak mungkin tertular HIV/AIDS karena tidak pernah melakukan hubungan seksua dengan PSK. “Bang, saya kalau dinas ke Surabaya atau Jakarta seks dengan cewek cantik di hotel berbintang.” Ini alasan pejabat tadi sehingga dia berani mengatakan tidak berisiko tertular HIV/AIDS.

Tapi, tunggu dulu. Cewek yang dia maksud itu adalah PSK tidak langsung. Dalam prakteknya sama saja dengan PSK jalanan (PSK langsung) yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti.

PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dll.

PSK tidak langsung berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena bisa saja salah satu laki-laki yang melakukan hubangan seksual mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.

Waktu itu saya anjurkan dia untuk jalani tes HIV, tapi dia menolak dan tetap teguh mengatakan tidak berisiko tertular HIV/AIDS. Belakangan dapat kabar orang itu bulak-balik ke ibu kota provinsi berobat dan hasil tes HIV positif.

3. Program Penaggulangan HIV/AIDS Mengekor Thailand

Lokres (lokalisasi dan resosialisasi) pelacuran sejak reformasi sudah ditutup sehingga tidak bisa lagi dilakukan intervensi kepada laki-laki agar memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Sekarang lokres justru sudah pindah ke media sosial dengan berbagai modus.

Baca juga: Lokalisasi Pelacuran dari Jalanan keMedia Sosial

Prostitusi artis dan online sudah menjamur mulai dari Aceh sampai Papua. Ini melibatkan PSK tidak langsung. Jelas tidak bisa diintervensi karena transaksi seksual terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Padahal, Thailand sudah membuktikan intervensi program ‘wajib kondom 100 persen’ menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa. Indikatornya adalah jumlah calon taruna militer yang terdeteksi HIV/AIDS terus berkurang dan kasus baru di Thailand pun berkurang.

Program yang dijalankan Thailand ini merupakan langkah penanggulangan di hulu, sedangkan di Indonesia penanggulangan dilakukan di hilir, seperti tes HIV pada ibu hamil. Maka, insiden infeksi HIV di hulu akan terus-menerus terjadi. Laki-laki yang tertular HIV/AIDS jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Dok Pribadi

Program ‘wajib kondom 100 persen’ memang ‘dicangkok’ di Indonesia, tapi setengah hati karena tidak utuh. Lagi pula program ini adalah ekor program di Thailand yang jadi kepala program di Indonesia. Itu artinya program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia mengekor ke ekor program Thailand.

Kondom merupakan aspek terakhir dari lima program penanggulangan HIV/AIDS dengan skala nasional di Thailand. Sedangkan di Indonesia kondom ditolak banyak kalangan. Selain itu program ‘wajib kondom 100 persen’ hanya bisa dijalankan jika praktek pelacuran dilokalisir.

Karena saat ini prostitusi artis dan online jadi penyebar HIV/AIDS di Indonesia, maka artis dan cewek yang tertangkap harus jalani tes HIV, termasuk laki-laki yang tertangkap bersama artis dan cewek prostitusi online. Memang, dalam tes HIV bisa hasilnya negatif palsu (tes nonreaktif tapi HIV sudah ada di darah) atau positif palsu (tes reaktif tapi tidak ada HIV di darah) jika tes dilakukan di bawah tiga bulan tertular HIV/AIDS.

Untuk itu mereka diharuskan tes HIV tiga bulan ke depan dengan catatan tidak melakukan hubungan seksual berisiko pada rentang waktu tiga bulan sampai tes HIV. Dan, perlu juga ditekankan bahwa tes HIV bukan vaksin. Biar pun hasilnya negatif itu tidak jaminan akan ‘bebas HIV/AIDS’ selamanya karena setelah tes HIV bisa saja mereka yang HIV-negatif melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS.

Karena prostitusi artis dan online tidak bisa diintervensi, maka dianjurkan agar pelaku dan pelanggan untuk melakukan tes HIV agar tidak jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat. [Sumber: https://www.tagar.id/prostitusi-online-dan-artis-penyebar-hivaids-di-indonesia] ***

Mustahil Indonesia Bebas AIDS 2030 Tanpa Menutup Pintu Masuk HIV/AIDS

 

Ilustrasi (Sumber: outlookindia.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Menuju Indonesia Bebas AIDS 2030. Ini judul artikel di kemenkopmk.go.id, 7/3-2020. Jika disimak artikel itu sama sekali tidak ada cara-cara yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui hubungan seksual tanpa kondom (disebut hubungan seksual yang tidak aman), di dalam dan di luar nikah, terutama pada laki-laki dan perempuan dewasa.

Laporan terakhir Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Ditjen P2P), Kemenkes RI, tanggal 9 November 2020 menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sampai 30 September 2020 sebanyak 537.730 yang terdiri atas 409.857 HIV dan 127.873 AIDS.

Dok Pribadi
Dok Pribadi

Sedangkan estimasi jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia 640.000 (aidsdatahub.org). Itu artinya ada 102.270 warga yang mengidap HIV/AIDS (Odha-Orang dengan HIV/AIDS) tapi tidak terdeteksi.

Mereka inilah yang jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik warga yang mengidap HIV/AIDS.

Padahal, pintu masuk HIV/AIDS yang paling potensial justru melalui hubungan seksual yang tidak aman yaitu laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melalukan hubungan seksual yang berisiko, jika dibandingkan dengan risiko penyebaran HIV/AIDS melalui jarum suntik pada penyalahgunaan narkoba secara bersama-sama dengan bergantian jarum suntik.

Perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual, yaitu:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di luar nikah (seperti zina, perselingkuhan, dll.), dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS karena pengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya;

(2). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan atau laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS karena pengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya;

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) karena PSK pengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya;

PSK dikenal ada dua jenis, yaitu:

(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di tempat pelacuran atau mejeng di tempat-tempat umum, dan

(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini 'menyamar' sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu lagu, ibu-ibu, dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.

Dok Pribadi
Dok Pribadi

(4). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan waria karena waria pengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya. Sebuah studi di Surabaya awal tahun 1990-an menunjukkan laki-laki pelanggan waria umumnya laki-laki beristri. Ketika seks dengan waria mereka justru jadi 'perempuan' (dalam bahasa waria ditempong atau di anal) dan waria jadi 'laki-laki' (dalam bahasa waria menempong atau menganal).

(5). Laki-laki dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja ada di antara mereka yang mengidap HIV/AIDS, pengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya.

Perilaku berisiko (1) dan (2) ada di ranah pribadi (privat) yang tidak mungkin dijangkau atau diintervensi karena dilakukan di sembarang tempat dan sembarang waktu. Itu artinya dua perilaku berisiko ini jadi pintu masuk yang tidak bisa dikendalikan.

Begitu juga dengan perilaku (4) ada di ranah privat dengan transaksi seks terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat sehingga tidak bisa dijangkau untuk menerapkan seks aman.

Hal yang sama terjadi pada perilaku seksual berisiko (5) juga ada di ranah privat privat dengan transaksi seks terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat sehingga tidak bisa dijangkau untuk menerapkan seks aman.

Yang bisa dijangkau adalah perilaku (3) a tapi praktek PSK harus dilokalisir. Thailand menjalankan program 'wajib kondom 100 persen' bagi laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordil. Indikator keberhasilan Thailand adalah jumlah calon taruna yang terdeteksi positif HIV/AIDS turun.

Data di aidsdatahub.org menunjukkan dengan pariwisata yang didukung industri seks jumlah kasus HV/AIDS di Thailand 470.000 dengan 5.400 infeksi baru per tahun. Bandingkan dengan Indonesia dengan kasus 640.000 dan 46.000 kasus infeksi baru per tahun.

Dok Pribadi
Dok Pribadi

Maka, yang perlu dilakukan pemerintah adalah penanggulangan di hulu bukan di hilir (tes HIV, pemberian obat antiretroviral/ARV, cegah stigma) yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Tanpa program yang konkret untuk menanggulangi epidemi HIV/AIDS di hulu, maka insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, akan terus terjadi. Laki-laki yang tertular HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran terjadi tanpa disadari yang merupakan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. [https://www.kompasiana.com/infokespro/5fc4424bd541df4782782992/mustahil-indonesia-bebas-aids-2030-tanpa-menutup-pintu-masuk-hiv-aids?page=all] ***

Penularan HIV/AIDS Bukan karena Hubungan (Seksual) yang Haram

                                                                 Ilustrasi (Sumber: indianexpress.com/Sumit Malhotra)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

"Tak dapat dipungkiri terjadinya penularan HIV-AIDS ini, sebagian besar di tularkan melalui hubungan haram. Yaitu melalui wanita pekerja seks, perilaku seks bebas, dan penyuka sesama jenis. Hal itu menjadi penyebab tertinggi munculnya penderita VIH-AIDS baru di Kabupaten Subang. Namun untuk kondisi Ibu yang menyusui ke bayinya dan transfusi darah adalah risiko kecil dari penularan ini."

Pernyataan di atas ada dalam artikel "Selamatkan Indonesia dari Darurat HIV-AIDS" yang ditulis oleh Siti Aisah (Praktisi Pendidikan Kabupaten Subang) di bandung.pojoksatu.id, 29/11-2020.

Pertama, yang membuat HIV/AIDS darurat di Indonesia justru karena materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS sebagai fakta medis dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga yang diterima masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah);

Kedua, seperti yang disebutkan di atas "Tak dapat dipungkiri terjadinya penularan HIV-AIDS ini, sebagian besar di tularkan melalui hubungan haram", ini jelas pernyataan yang tidak akurat karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (haram, zina, melacur, selingkuh, seks anal, seks oral, dll.), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satau atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom ketika terjadi hubungan seksual (Lihat matriks).

Dok Pribadi
Dok Pribadi

Ketiga, yang menularkan HIV/AIDS ke pekerja seks komersial (PSK) justru laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK, dalam kehidupan sehari-hari laki-laki ini bisa saja sebagai seorang suami sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS ke istrinya.

Menyebut diri sebagai tenaga pendidik tentulah informasi yang disampaikan ini tidak sejalan dengan asas pendidikan yaitu mencerdaskan. Dengan menyebar mitos yang terjadi justru sebaliknya yaitu pembodohan.

Di bagian lain ada lagi pernyataan: Wajar saja jika di Tanah Air lokalisasi pelacuran di berbagai tempat kerap dilegalkan .... Ini juga tidak akurat karena Indonesia tidak pernah melegalkan pelacuran yang ada yaitu membuat regulasi berupa melokalisir pelacuran sebagai bagian dari upaya rehabilitasi dan resosialisasi PSK.

Sejak reformasi semua lokalisasi pelacuran ditutup yang mendorong prostitusi online yang justru tidak bisa dijangkau sehingga jadi lahan subur penyebaran HIV/AIDS di Indonesia.

Kalau memang Sdri. Siti Aisah sebagai tenaga pendidik mau membantu pemerintah menanggulagi HIV/AIDS, maka ajaklah laki-laki di negeri in agar tidak melakukan perilaku berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV/AIDS, yaitu hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan yaitu PSK.

Perlu diketahui oleh Siti Aisah bahwa PSK ada dua tipe yaitu:

(1) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dll.

Cobalah jelaskan bagaimana cara pemerintah menjangkau praktek PSK tidak langsung apalagi sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial, maka selama masih ada laki-laki yang melakukan perilaku berisiko itu artinya selama itu pula akan terus terjadi infeksi HIV baru.

Selanjutnya laki-laki yang tertular HIV/AIDS jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat tanpa disadari karena tidak ada tanda-tanda fisik dan keluhan kesehatan khas AIDS pada orang-orang yang tertular HIV/ADIS. Penularan ini bagaikan 'bom waktu' yang kelak bermura pada 'ledakan AIDS'. [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5fc332ecd541df3e6e023fd2/penularan-hiv-aids-bukan-karena-hubungan-seksual-yang-haram?page=all#section1] *** 

28 November 2020

Bebas HIV/AIDS Tidak Berlaku Selamanya

 

Ilustrasi (Sumber: naijanews.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Napi dan Tahanan Lapas Lhoksukon Bebas HIV-AIDS. Ini judul berita di anteroaceh.com, 24/11-2020.

Yang perlu diperhatikan adalah dalam epidemi HIV/AIDS tidak dikenal istilah  Bebas HIV-AIDS’. Soalnya, ‘bebas HIV-AIDS’ hanya berlaku sampai dengan saat pengambilan darah untuk tes HIV karena tes HIV dan hasil tes HIV bukan vaksin.

Setelah tes HIV bisa saja terjadi penularan HIV/AIDS jika yang berangkutan melakukan salah satau ata beberapa perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:

(1). Laki-laki dan perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) tidak melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan atau laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(2). Laki-laki dan perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) tidak melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di luar nikah, dengan perempuan atau laki-laki yang berganti-ganti (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.) karena bisa saja salah satu dari perempuan atau laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(3). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) tidak melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan, seperti gigolo, dengan kondisi gigilo tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu dari gigolo itu mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(4). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) tidak melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), karena bisa saja salah satu dari PSK tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

PSK dikenal ada dua jenis, yaitu:

(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di tempat pelacuran (dulu disebut lokalisasi atau lokres pelacuran) atau mejeng di tempat-tempat umum, dan

(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini ‘menyamar’ sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu lagu, ibu-ibu, cewek (model dan artis) prostitusi online, dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.

(5). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) tidak melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan waria karena ada waria yang sering ganti-ganti pasangan sehingga bisa jadi waria tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

Dok Pribadi

Apakah ada jaminan 100 narapidana (napi) serta petugas dan pegawai Lapas Lhoksukon, Aceh Utara, Aceh, tidak akan pernah melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS di atas?

Tentu saja tidak ada. Maka, hasil tes HIV dan IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis/raja singa, virus hepatitis B, dll.) hanya berlaku sampai dilakukan tes.

Lagi pula bisa ada di antara napi serta petugas dan pegawai Lapas Lhoksukon berada pada masa jendela yaitu tertular HIV di bawah tiga bulan. Jika ini yang terjadi maka hasil tes HIV yang negatif bisa saja negatif palsu yaitu virus (HIV) sudah ada di darah tapi tidak terdeteksi reagen yang dipakai untuk tes HIV.

Dok Pribadi

Maka pernyataan Kepala Lapas IIB Lhoksukon, Yusnaidi: “100 Napi, tahanan dan pegawai mengikuti tes kesehatan termasuk uji HIV-AIDS dan penyakit menular lainnya, seperti sifilis dan hepatitis, alhamdulillah semuanya negatif” hanya berlaku sampai pengambilan sampel darah untuk tes HIV.

Untuk itulah perlu diberikan pemahaman agar napi, petugas dan karyawan Lapas tidak melakukan perilaku-perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Yang perlu diperhatikan adalah materi KIE (Komuniksi, Informasi dan Edukasi) tentang HIV/AIDS harus berdasarkan fakta medis jangan dibumbui atau dibalut dengan norma, moral dan agama.

Soalnya, sejak epidemi HIV/AIDS terdeteksi di Indonesia (1987) materi KIE selalu dibumbui atau dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS kabur sehingga yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5fbecffc8ede482e6d1fec43/bebas-hiv-aids-tidak-berlaku-selamanya]. *** 

Mustahil Menghentikan Penyebaran HIV/AIDS di Kabupaten Belu

 

Ilustrasi (Sumber: canfar.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Pemerintah Kabupaten Belu berharap kepada masyarakat agar bersinergi dalam upaya pencegahan HIV dan AIDS. Ini ada dalam berita “Pemkab Belu Harap Masyarakat Sinergi Cegah HIV/AIDS”, kupang.tribunnews.com, 13/11-2020.

Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kabupaten Belu, NTT, dari tahun 2013 sampai Oktober 2020 dilaporkan sebanyak 734 kasus. Namun, kasus yang dilaporkan (734) tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (734) digambarkan sebagai bongkahan gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).

Dok Pribadi

Harapan Pemkab Belu, NTT, itu merupakan salah satu langkah dalam penanggulangan penyebaran HIV/AIDS. Persoalannya adalah selama ini masyarakat dicekoki dengan materi KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) tentang HIV/AIDS yang dibalut dan dibumbui dengan norma, agama dan moral. Akibatnya, yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan zina, pelacuran, dll. Padahal, penularam HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, melacur, dll.), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau kedunya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom) setiap melakukan hubungan seksual (Lihat gambar).

Dok Pribadi

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Belu, dr Joice Manek, dalam sambutan di pembukaan Workshop Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS secara Terpadu dan Berbasis Masyarakat (13/11/2020), mengatakan sinergi dalam upaya pencegahan HIV/AIDS. Harapan bersama yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan adalah mewujudkan target three zero penanganan HIV dan AIDS di Kabupaten Belu hingga 2030.

Three zero yang dimaksudkan adalah (1) Tidak ada lagi penularan infeksi baru HIV/AIDS, (2) Tidak ada lagi kematian akibat HIV dan AIDS dan (3) Tidak ada lagi stigma dan diskriminasi pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Adalah hal yang mustahil mengatakan “Tidak ada lagi penularan infeksi baru HIV/AIDS” karena banyak pintu masuk HIV/AIDS ke masyarakat Belu melalui hubungan seksual yang juga mustahil ditutup karena terkait dengan perilaku seksual orang per orang.

Apa yang bisa dilakukan oleh Pemkab Belu untuk mencegah warga Belu tidak melakukan salah satu atau beberapa dari lima pintu masuk HIV/AIDS ini? Sama sekali tidak ada karena perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS ini merupakan perilaku seksual yang bersifat pribadi.

Lokasi Kab Beli, NTT (Sumber: google.com/maps)


Lima pintu masuk HIV/AIDS melalui hubungan seksual, yaitu:

(1). Laki-laki dan perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) tidak melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan atau laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(2). Laki-laki dan perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) tidak melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di luar nikah, dengan perempuan atau laki-laki yang berganti-ganti (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.) karena bisa saja salah satu dari perempuan atau laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(3). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) tidak melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan, seperti gigolo, dengan kondisi gigilo tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu dari gigolo itu mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(4). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) tidak melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), karena bisa saja salah satu dari PSK tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

PSK dikenal ada dua jenis, yaitu:

(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di tempat pelacuran (dulu disebut lokalisasi atau lokres pelacuran) atau mejeng di tempat-tempat umum, dan

(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini ‘menyamar’ sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu lagu, ibu-ibu, cewek (model dan artis) prostitusi online, dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.

(5). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) tidak melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan waria karena ada waria yang sering ganti-ganti pasangan sehingga bisa jadi waria tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

Di beberapa negara, seperti Thailand, insiden infeksi HIV baru bisa ditekan melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Tapi, praktek PSK harus dilokalisir, sedangkan di Indonesia sejak reformasi ada gerakan yang mengatasnamakan moral menutup semua tempat pelacuran.

Maka, sekarang lokalisasi pelacuran atau prostitusi ada di media sosial yang disebut sebagai prostitusi online. Ini pun jelas tidak bisa dijangkau oleh Pemkab Belu untuk menjalankan program ‘wajib kondom 100 persen’ karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Itu artinya program ‘wajib kondom 100 persen’ tidak bisa dijalakan di Belu khususnya dan di Indonesia umunnya. Maka, insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK akan terus terjadi yang selanjutnya akan ditularkan ke istri atau pasangan seks lain di masyarakat.

Penyebaran HIV/AIDS yang terjadi masyarakat Belu bagaikan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5fbe469d54917f1b3c21f8a3/mustahil-menghentikan-penyebaran-hiv-aids-di-kabupaten-belu] ***


12 Bayi di Ciamis Idap HIV/AIDS: Yang Bikin Miris Perilaku Seksual Ayah Bayi

 

Ilustrasi (Sumber: twhhf.org)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Anggota Komisi D DPRD Ciamis Yogi Permadi mengaku miris dengan adanya 12 bayi yang terkena HIV/AIDS di Kabupaten Ciamis. Mereka tertular oleh orang tuanya. Ini lead berita di radartasikmalaya.com, 19/11-2020.

Menyebut orang tua tentulah ayah dan ibunya. Bayi-bayi itu tertular HIV dari ibu yang mengandung mereka karena ibu mereka mengidap HIV/AIDS. Kemungkinan besar ibu-ibu itu tertular HIV/AIDS dari suaminya.

Catatan Dinas Kesehatan Ciamis menunjukkan tahun 2001-2020 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Ciamis 562. Pada tahun 2014 - Juni 2020 ada 18 ibu hamil yang positif HIV/AIDS.

Yang perlu diingat adalah jumlah kasus yang dilaporkan, dalam hal ini 562, tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (562) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut dan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).


Dok Pribadi

Kepala Bidan Pelayanan Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis, Jabar, dr Eni Rochaeni, mengatakan ibu tertular dari suami yang ”jajan” di luar atau pengguna narkoba suntik.

Secara medis risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (jajan, zina, selingkuh, melacur, dll.), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual.

Di dalam ikatan pernikahan yang sah secara agama dan hokum pun ada risiko penularan HIV/AIDS jika suami atau istri atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan suami tidak memakai kondom (Lihat matriks).

Dok Pribadi

Begitu juga dengan penularan HIV/AIDS melalui penyalahgunaan narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik risiko ada jika dilakukan bersama-sama dengan memakai jarum secara bergantian. Kalau sendirian menyuntikkan narkoba sampai kiamat pun tidak ada risiko tertular HIV/AIDS selama jarum suntik tidak dipakai orang lain.

Sedangkan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Ciamis (Stikes Mucis), H Dedi Supriadi, SSos, Skep Ners, MMKes, mengatakan penyebab tertular HIV/AIDS antara lain karena berperilaku hidup tidak sehat (seks bebas dan menggunakan narkoba suntik), jauh dari agama dan kurang pengetahuan soal bahaya HIV/AIDS.

Ini juga tidak akurat karena kalau yang dimaksud seks bebas adalah zina, baik dengan PSK atau bukan PSK, maka tidak ada kaitan langsung antara zina dan penularan HIV/AIDS. Seperti dijelaskan di atas penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual.

Soal agama pun tidak ada kaitannya dengan penularan HIV/AIDS karena dalam ikatan nikah yang sah pun bisa terjadi penularan HIV/AIDS jika salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan suami tidak memakai kondom.

Seorang guru agama bingung anak keduanya terdeteksi HIV/AIDS dan dia sendiri positif HIV/AIDS. Mengapa hal ini bisa terjadi? Rupanya guru agama itu beristri dua, HIV/AIDS menular melalui istrinya yang kedua.

Baca juga: Guru Agama Ini Kebingungan Anak Keduanya Lahir dengan AIDS

Terkait dengan ‘kurang pengetahuan soal bahaya HIV/AIDS’ hal ini terjadi karena materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga mengaburkan fakta medis. Akibatnya, yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).

Misalnya, mengait-ngaitkan zina dengan penularan HIV/AIDS. Ini merupakan mitos karena penularan terjadi bukan karena zina, tapi karena salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.

Yang jadi persoalan besar adalah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti (di dalam dan di luar nikah) atau dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan yaitu pekerja seks komersial (PSK).

Dengan kondisi praktek PSK tidak dilokalisir tidak bisa dilakukan intervensi untuk memaksa laki-laki memakai kondom. Apalagi sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial sehingga transaksi seks dilakukan melalui ponsel.

Itu artinya bayi yang lahir dengan HIV/AIDS akan terus bertambah seiring dengan jumlah laki-laki dewasa yang tertular HIV/AIDS yang selanjutnya menularkan HIV/AIDS ke istrinya. Tanpa program yang konkret penyebaran HIV/AIDS di masyarakat bagaikan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. *** [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5fb7b74e37f4b95fc66207a2/12-bayi-idap-hiv-aids-di-ciamis-yang-bikin-miris-perilaku-seksual-ayah-bayi] ***

19 November 2020

12 Suami di Kabupaten Ciamis Tularkan HIV/AIDS kepada Istrinya

 

Ilustrasi: Pita merah tanda peduli HIV/AIDS (Sumber: voaindonesia.com)


Oleh: Syaiful W. HARAHAP

“12 Bayi di Ciamis Terpapar HIV/AIDS dari Ibunya, 9 Meninggal.” Ini judul berita di radartasikmalaya.com, 18/11-2020.

Sepintas judul berita ini biasa saja, tapi kalau dicermati judul ini justru menohok perempuan yaitu ibu dari 12 bayi yang terpapar HIV/AIDS. Ada pesan kuat ibu-ibu itulah yang bersalah. Ini mendorong stigma (cap buruk) yang bisa berujung diskriminasi (perlakuan berbeda) dan pengucilan terhadap ibu-ibu tersebut.

Data Dinas Kesehatan Ciamis, Jawa Barat, menunjukkan dari tahun 2001-2020 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS sebanyak 562. Dalam kurun tahun 2014- Juni 2020 ada 18 ibu hamil yang terinfeksi HIV/AIDS.

Judul ini sensasional dan tidak menunjukkan realitas sosial terkait dengan epidemi HIV/AIDS. Ibu-ibu itu tertular HIV/AIDS dari suaminya. Ibu-ibu itu pun tidak menyadari kalau mereka sudah tertular HIV/AIDS karena tidak ada gejala-gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas pada fisik dan keluhan kesehatan.

1. Suami Ibu Hamil Tolak Tes HIV

Akibatnya, ketika mereka melahirkan ada risiko penularan kepada bayi yang mereka lahirkan secara vertikal terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susi ibu (ASI).

Judul yang bisa memberikan gambaran riil kepada masyarakat terkait dengan kasus 12 bayi yang disebut terpapar HIV/AIDS dari ibunya adalah: “12 Suami di Ciamis Tularkan HIV/AIDS ke Istrinya”. Judul ini memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat bahwa persoalan ada pada suami bukan pada istri.

Secara medis risiko penularan HIV/AIDS dari ibu-ke-bayi yang dikandung bisa ditekan sampai nol persen jika infeksi HIV/AIDS pada ibu-ibu itu terdeteksi di awal-awal kehamilan. Celakanya, tidak ada program yang komprehensif untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu hamil.

Memang, ada anjuran agar ibu hamil menjalani tes HIV. Tapi, bisa saja ada yang menolak atau ibu-ibu yang tidak memeriksakan kehamilan ke fasilitas kesehatan pemerintah sehingga anjuran tes HIV tidak diberlakukan.

Disebutkan dalam berita: Dinas Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS Ciamis menggelar promosi bulan tes HIV pada ibu hamil dari 18 November-18 Desember 2020.

Anjuran untuk tes HIV kepada ibu hamil juga tidak mendukung program penanggulangan HIV/AIDS karena banyak suami yang menolak tes HIV ketika hasil tes HIV istrinya positif. Bahkan, ada suami yang justru menyalahkan istrinya dengan mengatakan si isteri selingkuh.

Suami-suami yang menolak tes HIV itu jadi mata ratnai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Maka, langkah yang arif dan bijaksana adalah mewajibkan suami dari ibu hamil jalani tes HIV. Nah, kalau suami positif baru istrinya tes HIV. Ini bisa dibuat dalam peraturan, seperti peraturan daerah (Perda) atau bentuk peraturan lain.

Bupati Ciamis, Dr H Herdiat Sunarya MM, mengajak semua pihak berkolaborasi memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai bahaya HIV/AIDS. Itu agar kasus HIV/AIDS tidak terus bertambah.

2. PSK Langsung dan PSK Tidak Langsung

Sosialisasi HIV/AIDS sudah dilakukan sejak awal epidemi tahun 1987, tapi karena informasi HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral dan agama yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan zina, selingkuh, pelacuran, dll.

Padahal, risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, selingkuh, pelacuran, dll.), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom). Ini fakta medis.

Dalam berita sama sekali tidak ada informasi tentang faktor risiko penularan HIV/AIDS di Ciamis. Salah satu pintu masuk HIV/AIDS adalah melalui laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja sek komersial (PSK).

PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dll.

Pemkab Ciamis boleh-boleh saja menepuk dada dengan mengatakan: Di wilayah Kabupaten Ciamis tidak ada pelacuran!

Secara de jure itu benar karena sejak reformasi ada gerakan massal menutup lokalisasi pelacuran.

Tapi, secara de facto apakah Pemkab Ciamis bisa menjamin tidak ada transaksi seks di Ciamis? Tentu saja tidak bisa karena sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial.

Transaksi seks terjadi dalam berbagai modus melalui media sosial yang melibatkan PSK tidak langsung. Jika tidak ada intervensi terhadap laki-laki agar memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.

Laki-laki yang tertular HIV akan jadi mata ratnai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Penyebaran HIV/AIDS di masyarakat bagaikan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’ di Ciamis. * [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5fb5133a8ede484b7378a803/12-suami-di-kabupaten-ciamis-tularkan-hiv-aids-kepada-istrinya]. ***

15 November 2020

Menyesatkan Kaitkan Miras dengan Pintu Masuk HIV/AIDS

 

Ilustrasi (Sumber: kh.usembassy.gov).

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

“Minum minuman keras itu jelas tidak baik apalagi kalau kita lihat kaitannya dengan penyakit HIV AIDS, dimana seperti kita ketahui pintu masuknya adalah dari miras.” Ini pernyataan Sekjen MUIAnwar Abbas, dalam berita “Sebut Bahaya Miras Jadi Pintu Masuk HIV AIDS, MUI Dukung Penuh Penetapan RUU Minuman Beralkohol” di bogor.pikiran-rakyat.com, 13/11-2020.

Pernyataan ini juga dikutip oleh (13/11-2020): liputan6.com, jurnalpresisi.pikiran-rakyat.com, ayosurabaya.com, batamnews.co.id, news.detik.com, dan islamtoday.id; (12/11-2020): mediaaceh.com, dan aksi.id.

Pernyataan ini, sebut pintu masuk HIV/AIDS, menunjukkan pemahaman terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis adalah nol besar. Tampaknya, media memainkan isu ini sebagai bagian dari sensasi karena media telah kehilangan fungsi yaitu menyebarluaskan unsur pendidikan. Dalam berita-berita yang mengutip pernyataan tsb. tidak ada both side covering yaitu keterangan dari ahli tentang penyebutan “miras sebagai pintu masuk HIV/AIDS”.

Tidak kaitan antara miras, istilah untuk minuman beralkohol yaitu minuman keras, dengan penularan HIV/AIDS. Dalam jumlah yang bisa ditularkan virus (HIV) ada di darah (laki-laki dan perempuan) semen dan air mani bukan sperma (laki-laki), cairan vagina (perempuan) dan air susu ibu/ASI (perempuan).

Penularan HIV/AIDS melalui darah yaitu transfusi darah yang mengandung HIV, pemakaian alat-alat kesehatan yang bisa menyimpan darah (seperti jarum suntik), jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) yang dipakai secara bersama-sama dengan bergantian, dan cangkok organ tubuh.

Penularan HIV/AIDS melalui semen, air mani dan cairan vagina yaitu hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dari yang mengidap HIV/AIDS ke pasangannya.

Penularan HIV/AIDS melalui ASI yaitu menyusui kepada seorang perempuan yang mengidap HIV/AIDS, seperti bayi dan yang yang lain.

Secara medis hanya tiga hal di atas yang jadi pintu masuk HIV/AIDS sehingga terang-benderang bahwa tidak ada kaitan miras dengan penularan HIV/AIDS.

Mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan miras akan merusak program penanggulangan HIV/AIDS karena jadi hal yang kontra produktif. Padahal, saat ini penyebaran HIV/AIDS di Indonesia merupakan yang tercepat ketiga di Asia setelah China dan India.

Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI,12 Agustus 2020, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sampai 30 Juni 2020 sebanyak 522.304 yang terdiri atas 396.717 HIV dan 125.587 AIDS dengan 17.210 kematian.

Sebagai institusi keagamaan MUI dituntut bisa mendorong umat, khususnya umat Islam, agar tidak melakukan salah satu atau beberapa perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS di bawah ini, yaitu:

(1). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(2). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.) karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(4). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan laki-laki yang berganti-ganti, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.), karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(5). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan, seperti gigolo, dengan kondisi gigilo tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu dari gigolo itu mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(6). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), karena bisa saja salah satu dari PSK tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

PSK dikenal ada dua jenis, yaitu:

(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di tempat pelacuran (dulu disebut lokalisasi atau lokres pelacuran) atau mejeng di tempat-tempat umum, dan

(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini ‘menyamar’ sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu lagu, ibu-ibu, cewek (model dan artis) prostitusi online, dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.

(7). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan waria karena ada waria yang sering ganti-ganti pasangan sehingga bisa jadi waria tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(8). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan waria heteroseksual (waria tidak memakai kondom). Dalam prakteknya waria ada yang heteroseksual sehingga menyalurkan dorongan seksual dengan perempuan. Bisa saja waria tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(9). Laki-laki dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja salah satu dari laki-laki atau perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(10). Laki-laki dewasa homoseksual yaitu gay (secara seksual tertarik pada sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

Hanya dengan langkah-langkah yang konkret penyebaran HIV/AIDS di masyarakat bisa dicegah bukan dengan pernyataan nyeleneh yang menyesatkan, seperti mengaitkan miras dengan pintu masuk HIV/AIDS, karena hal itu justru jadi kontra produktif dalam penanggulangan HIV/AIDS. * [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5fb1cd1f8ede482c6f4ecdb2/menyesatkan-kaitkan-miras-dengan-pintu-masuk-hiv-aids]. ***