29 Desember 2019

AIDS pada Ibu Rumah Tangga Ditularkan Suami




Oleh: Syaiful W. HARAHAP

"Meningkatnya jumlah kasus HIV di kalangan ibu rumah tangga salah satunya akibat kurangnya pengetahuan mereka tentang pencegahan dan faktor penyebab penularan HIV AIDS." Ini dikatakan oleh Plt Direktur Kesehatan Reproduksi BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional), Widwiono, seperti dikutip beritasatu.com dari Suara Pembaruan, 9/11-2019.
Pernyataan Widwiono ini sangat tidak masuk akal karena 16.844 ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV/AIDS tertular dari suaminya. Sehebat apa pun pengetahuan seorang ibu rumah tangga tentang HIV/AIDS mereka tidak akan bisa atau boleh bertanya kepada suaminya terkait dengan perilaku seksual suami mereka.
Apakah yang dimaksud Widwiono ' .... pengetahuan mereka tentang pencegahan dan faktor penyebab penularan HIV AIDS' adalah suami harus memakai kondom jika hubungan suami-istri?
Pertama, BKKBN sendiri menolak mempromosikan kondom sebagai alat KB dan sekaligus mencegah penularan HIV/AIDS.
Kedua, adalah hal yang mustahil seorang istri meminta suami pakai kondom sebelum seks karena takut tertular HIV/AIDS.
Maka, persoalan bukan pada ibu-ibu rumah tangga tapi pada suami mereka yang tidak menjada diri sehingga tertular HIV/AIDS. Celakanya, tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala dan ciri-ciri khas AIDS pada fisik orang-orang yang tertular HIV sebelum masa AIDS [secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV jika tidak minum obat antiretroviral (ARV) sesuai anjuran dokter].
Disebutkan dalam berita: Ada tren (infeksi HIV/AIDS-pen.) yang cukup mengkhawatirkan, di mana kasus penularan ke ibu rumah tangga terus meningkat.
Selama sasaran sosialisasi hanya menyasar ibu-ibu rumah tangga, maka selama itu pula suami-suami yang perilaku seksualnya berisiko tertular HIV/AIDS akan menularkan HIV/AIDS ke istri mereka jika mereka tertular HIV/AIDS.
Pada akhirnya risiko ada pada bayi yang dikandung ibu-ibu rumah tangga tsb. Celakanya, tidak ada mekanisme untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga yang tidak melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Sekarang hanya sebatas anjuran agar ibu-ibu hamil menjalani tes HIV secara sukarela. Persoalannya adalah suami dari ibu-ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tidak mejalani tes HIV. Akibatnya, mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah.
Di RSUD dr Adjidarmo, Rangkasbitung, Kab Lebak, Prov Banten, sering terjadi suami akan kabur meninggal istri dan anak-anaknya ketika diberitahu istrinya yang hamil atau baru melahirkan mengidap HIV/AIDS.
'Hari gini' ternyata orang sekelas Widwiono masih saja membalut lidah dengan moral dalam penjelasan tentang HIV/AIDS yang merupakan fakta medis. Lihat saja ini: Widwiono mengatakan, salah satu upaya yang perlu dilakukan dalam menangkal penyebaran HIV adalah melalui peningkatan ketahanan keluarga.
Pernyataan ini juga mendorong stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena mereka dianggap tidak mempunyai ketahanan keluarga.
Widwiono merinci delapan fungsi keluarga, yaitu: agama, budaya, kasih sayang, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan lingkungan perlu dilakukan secara terus menerus oleh kader dalam setiap kegiatan pembinaan keluarga.
Tidak ada kaitan langsung antara delapan fungsi keluarga tsb. dengan penularan HIV/AIDS, misalnya:
(1). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS; atau
(2). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual (laki-laki tidak memakai kondom), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS.
Perilaku berisiko di atas jelas tidak bertentangan dengan agama, tapi merupakan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS.
Yang mendesak dilakukan adalah intervensi (di hulu) yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali seks dengan pekerja seks komersial (PSK). Ini hanya efektif jika transaksi seks PSK dilokalisir. Thailand sudah membuktikan keberhasilan program ini dengan indikator penurunan jumlah kasus HIV/AIDS pada taruna calon militer.
Masalah besar adalah banyak orang yang termakan mitos (anggapan yang salah) bahwa seks dengan bukan PSK di lokalisasi pelacuran bukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS.
PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dll.
Mereka menganggap seks dengan cewek di hotel atau model dan artis prostitusi online tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena tidak dilakukan di lokalisasi pelacuran. Itu artinya insiden infeksi HIV/AIDS baru akan terus terjadi yang pada gilirannya akan menyebar ke ibu-ibu rumah tangga. Kalau ini yang terjadi maka Indonesia bisa jadi 'Afrika Kedua' dengan 'ledakan AIDS'. * [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5df4b4cc097f360a1b6e48a2/aids-pada-ibu-rumah-tangga-ditularkan-suami?page=all#section1]/

Berita AIDS yang Menyesatkan dari Dinkes Kabupaten Bekasi

Ilustrasi (Sumber: sciencefocus.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

"Waspada Buat Istri, Bisa Jadi Suami Anda Homoseksual" (skalanews.com, 3/12-2019). "Pengidap HIV-AIDS Tinggi, Para Istri Diingatkan Tentang Banyak Suami Gay" (haibunda.com, 11/12-2019). Ini terjadi di wilayah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Dua judul berita ini menjungkirbalikkan akal sehat.
Pertama, homoseksual adalah orientasi seksual yang disebut gay pada laki-laki dan lesbian pada peremuan. Mereka ini secara seksual tertarik kepada sesame jenis.
Kedua, suami-suami tsb. bukan homseksual atau gay, tapi bisa saja mereka melakukan seks anal karena berbagai faktor yang tidak otomatis menempatkan mereka sebagai homoseksual.
Ketiga, tidak sedikit suami yang memaksa istrinya melakukan seks oral dan seks anal, bahkan ada yang melakukan seks posisi "69".
Keempat, sebagai gay sudah jelas tidak tertarik kepada lawan jenis sehingga mereka tidak beristri.
Kelima, ini yang paling penting adalah yang waspada dan diingatkan bukan istri (di rumah), tapi para suami tsb. jika memang mereka melakukan kegiatan homoseksual.
Dengan lima catatan di atas menunjukkan wartawan atau redaktur yang membuat judul berita itu hanya ingin sensasi sehingga mengabaikan esensi berita. Judul itu pun jadi misleading (menyesatkan).
Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat meminta kewaspadaan para istri di wilayahnya sebab bisa jadi suaminya memiliki kelainan seks sebagai pecinta sesama jenis atau homoseksual. Ini lead di skalanews.com. 'Pecinta sesama jenis' bukan kelainan seks, tapi merupakan bentuk orientasi seksual. Dalam seksualitas orientasi seksual bukan kelainan seks. Jika Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi menyebut homoseksual sebagai kelainan seks itu terjadi karena pejabat yang menjadi sumber berita ini memakai 'pakaian moral' dalam menjelaskan fakta tentang orientasi seksual.
Masih di skalanews.com, Kabid Pengendalian dan Pencegahan Penyakit pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, Irfan Maulana, mengatakan: "Ini harus jadi 'aware' buat para istri, ternyata banyak suami punya pasangan sesama jenis di wilayah kita." Sedangkan di haibunda.com disebutkan: Wah ngeri banget ya, Bun. Pemkab Bekasi pun mengingatkan agar para istri lebih waspada dan peduli terhadap pergaulan suaminya.
Jika Pak Kabid memakai acuran seksualitas, maka suami-suami yang dimaksud bukan homoseksual tapi biseksual yaitu laki-laki atau perempuan yang secara seksual tertarik kepada lawan jenis dan sesama jenis.
Yang tidak masuk akal dari pernyataan Pak Kabid itu adalah bagaiman seorang istri bisa 'aware' terkait dengan perilaku seksual suaminya. Apakah seorang istri bisa atau berani bertanya kepada suaminya tentang perilaku seksual suaminya di luar rumah? Kalau pun berani tentulah jawabannya 'bogem mentah' dari si suami.
Kalau saja Pak Kabid memakai perspektif gender, tentulah yang diingatkan bukan istri tapi suami-suami agar tidak melakukan perilaku yang berisiko tertular HIV/AIDS. Tapi, karena Pak Kabid memakai pola patriarkat, maka yang dihujat dan disalahkan adalah perempuan (baca: istri).
Di bagian lain Pak Kabid mengatakan: "Mereka ini biasanya lelaki normal, bisa karena istrinya di kampung atau karena ingin cari sensasi baru." Nah, ini 'kan jadi jelas bahwa mereka bukan homoseksual, tapi hanya cari sensasi. Ini saja saja dengan pasangan suami-istri yang memakai berbagai gaya, termasuk gaya homoseksual, dalam melakukan hubungan seksual.
Ini di haibunda.com: Lebih lanjut, Irfan menyebut beberapa penyebab laki-laki memilih untuk menjadi homoseksual. Meskipun dalam kesehariannya berperilaku layaknya laki-laki normal. Salah satu di antaranya karena jauh dari istri. Bisa menimpa orang-orang yang bekerja di kota besar, dan istrinya berada di kampung halamannya.
Seorang suami (heteroseksual) melakukan seks oral atau seks anal tidak otomatis dia sebagai homoseksual. Seperti yang terjadi pada pasangan suami-istri yang melakukan seks oral dan seks anal atau posisi "69" tidak otomatis membuat suami jadi gay atau istri jadi lesbian.
Kesimpulan yang diberitakan skalanews.com dan haibunda.com berdasarkan keterangan Irfan menyesatkan.
Disebutkan pula di skalanews.com: .... dimana perilaku hubungan pria sesama jenis menjadi penyebab tertingginya (kasus HIV/AIDS, pen.).  Ini juga tidak akurat karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, di luar nikah, melacur, seks anal, dll.) atau orientasi seksual (homoseksual), tapi karena kondisi pada saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau salah satu pasangan tidak memakai kondom). Ini fakta (medis)!
Lalu apa upaya Pemkab Bekasi menanggulangi HIV/AIDS? Ini dia: .... pengembangan layanan 'Voluntary Counseling and Testing' (VCT) atau konseling dan tes HIV sukarela, sosialisasi pada populasi Risti, dan pengembangan layanan Perawatan Dukungan Pengobatan (PDP).
Nah, tes HIV adalah penanggulangan di hilir. Warga dibiarkan tertualar HIV baru dianjuran tes HIV. Yang diperlukan adalah langkah konkret di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dll.
Sedangkan sosialisasi kepada populasi Risti (orang-orang dengan perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS, seperti gay, PSK dan biseksual serta penyalahguna narkoba) bak menggarami laut karena sudah dilakukan sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia di tahun 1987. Hasilnya? Nol besar karena materi yang disosialisasikan dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).
Kalau saja sumber berita, dalam hal ini Kabid Pengendalian dan Pencegahan Penyakit pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, Irfan Maulana, ingin menyampaikan fakta terkait dengan HIV/AIDS di realitas sosial, maka yang jadi persoalan besar adalah "14 PSK terdeteksi mengidap HIV/AIDS".
Dengan 14 PSK pengidap HIV/AIDS ini sudah bisa dihitung jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS, yaitu antara 50.400 -  151.200 (14 PSK x 3 laki-laki x 1 malam x 5 atau 15 tahun). Jika seseorang terdeteksi HIV pada masa AIDS itu artinya sudah tertular HIV antara 5 atau 15 tahun yang lalu.
Tanpa ada program yang konkret yaitu intervensi terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seskual dengan PSK agar mereka memakai kondom, maka selama itu pula kasus baru HIV/AIDS akan terjadi di wilayah Kabupaten Bekasi. Penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terjadi tanpa disadari yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5df42717d541df44b34d2555/berita-aids-yang-menyesatkan-dari-dinkes-kabupaten-bekasi?page=all#section1]


Yang Turun di Jawa Barat adalah Penemuan Kasus HIV/AIDS Baru

Ilustrasi (Sumber: e-pao.net)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jawa Barat Berli Hamdani mengatakan, hingga September 2019 kasus AIDS di Jawa Barat turun sekitar 5 ribu, sedangkan untuk HIV turun sekitar 7 ribu (Kasus HIV/AIDS Di Jabar Turun 5 Hingga 7 Ribu, rmoljabar.com, 29/11-2019). Informasi ini misleading (menyesatkan) karena tidak jelas yang dimaksud turun dalam kaitan ini.
Bisa jadi yang turun adalah jumlah kasus baru yang terdeteksi. Ini tidak menggambarkan jumlah riil warga Jawa Barat (Jabar) yang tertular HIV/AIDS, baik yang sudah lama atau kasus infeksi baru.
Mengapa terjadi penurunan penemuan kasus baru?
Ada bebarapa faktor, misalnya, penjangkauan ke masyarakat terutama populasi kunci (gay, biseksual, waria, pekerja seks komersial/PSK dan pelanggannya). Ini terjadi karena tidak ada lagi donor yang mendanai LSM untuk melakukan penjangkauan sekaligus membawa mereka ke tempat layanan tes HIV yaitu Klinik VCT (tempat tes HIV gratis secara sukarela dengan konseling sebelum dan sesudah tes HIV). Selain itu warga Jabar yang mengidap HIV/AIDS belum masuk masa AIDS sehingga tida ada keluhan kesehatan terkait dengan HIV/AIDS.
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 27/8-2019, menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Jabar dari tahun 1987 sd. 30 Juni 2019 adalah 43.735 yang terdiri atas  36.853 HIV dan 6.882 AIDS. Jumlah ini menempatkan Jabar pada peringkat ke-4 secara nasional dalam jumlah kumulatif HIV/AIDS. Sedangkan peringkat Jabar berdasarkan jumlah kasus AIDS ada di posisik ke-6 dengan jumlah kasus 6.882.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah jumlah kasus yang dilaporkan (43.735) tidak menggambarkan angka atau jumlah riil warga Jabar yang mengidap HIV/AIDS karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (43.735) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkans sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Itu artinya banyak warga Jabar yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Ini terjadi karena tidak ada gejala pada fisik atau keluhan kesehatan yang terkait HIV/AIDS pada diri orang-orang yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi.
Dalam epidemi mereka itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Yang beristri akan menularkan HIV ke istrinya atau pasangan seks lain. Jika istri mereka tertular HIV ada pula risiko penularan HIV ke bayi yang mereka kandung kelak, terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Dalam berita disebutkan "Usia produktif yaitu 15-49 tahun dinilai paling rentan terjangkit HIV/AIDS." Celakanya, tidak ada penjelasan kenapa mereka rentan tertular HIV/AIDS.
Secara seksual hal itu justru wajar dan realistis karena pada rentang usia itulah libido seks mengebu-gebu. Masalahnya adalah mereka tidak mendapat informasi yang akurat tentang cara melindungi diri agar tidak tertular HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual. Akibatnya, mereka jadi orang-orang dengan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena mereka sering melakukan hubungan seksual, terutama dengan PSK, tanpa memakai kondom.
Ada lagi pernyataan: Dalam menanggulangi HIV/AIDS, Provinsi Jawa Barat memiliki layanan 1079 puskesmas yang sudah memiliki alat pemeriksaan tes HIV/AIDS.
Penanggulangan model di atas terjadi di hilir. Artinya, Pemprov Jabar membiarkan warga tertular HIV/AIDS dahulu baru diperiksa melalui tes HIV. Ini jelas ngawur karena yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.
PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dll.
Pada tipe PSK nomor 1 jelas tidak bisa dilakukan intervensi karena praktek PSK langsung tidak lagi dilokalisir. Sedangkan ada tipe PSK nomor 2 mustahil melakukan intervensi karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai modus, bahkan memakai media sosial.
Kalau Dinkes Jabar tetap ngotot mengatakan jumlah kasus HIV/AIDS di Jabar turun, maka semua warga Jabar harus dites HIV secara priodik. Soalnya, warga Jabar yang tidak pernah tes HIV status HIV-nya bukan negatif, tapi tidak diketahui.
Ada lagi pernyataan yang menyesatkan: "Salahsatu three zero adalah mencegah adanya HIV baru, yaitu dari Ibu yang positif kemudian ditularkan kepada bayinya. ...." Ini jelas tidak layak disampaikan karena kondisi ini merupakan pembiaran yaitu membiarkan seorang suami tertular HIV/AIDS dan menularkan ke istrinya. Bukan ini yang diharapkan dalam penanggulangan HIV/AIDS.
Penanggulangan yang diharapkan adalah intervensi di hulu yaitu memaksa laki-laki dewasa memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Tanpa langkah ini insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS' di Jabar yang bisa jadi merupakan 'Afrika Kedua". * [Sumber: https://www.kompasiana.com/infokespro/5df030d7097f36250232bf32/yang-turun-di-jawa-barat-adalah-penemuan-kasus-hiv-aids-baru?page=all#section1]