07 September 2019

AIDS “Mencengkeram” Bali


Kasus kumulatif HIV/AIDS di Bali 27.959, tapi penanggulangan tidak menyentuh akar persoalan yaitu tidak menurunkan insiden infeksi HIV/AIDS baru.

Oleh: Syaiful W. Harahap

Denpasar – Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Provinsi Bali dari tahun 1987 sampai Maret 2019 sebanyak 27.959 yang terdiri atas 19.812 HIV dan 8.147 AIDS. Ini dalam Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 11 Mei 2019. Jumlah ini menempatkan Bali pada peringkat ke-6 secara nasional sebagai provinsi dengan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS terbanyak.

Terkait dengan jumlah kasus HIV/AIDS di Bali tidak ada kaitannya dengan penemuan HIV/AIDS yang pertama di RS Sanglah, Denpasar, tahun 1987, pada seorang turis Belanda, seorang gay. Turis itu meninggal di RS Sanglah karena penyakit terkait HIV/AIDS. Dia hanya hanya dua bulan di Denpasar sebelum kematiannya.

Epidemi HIV/AIDS di Bali pun kemudian dikait-kaitkan dengan lokalisasi pelacuran, kafe remang-remang, dll. Padahal, yang membawa HIV/AIDS ke lokalisasi pelacuran adalah laki-laki yang mengidap HIV/AIDS. Laki-laki bisa saja orang Bali atau pendatang.
Yang jadi persoalan kemudian adalah ada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) tanpa memakai kondom. Bisa saja terjadi ada PSK yang mengidap HIV/AIDS sehingga laki-laki yang membeli seks kepada PSK berisiko tertular HIV/AIDS.


Keadaan kian runyam karena bisa saja laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari PSK mempunyai istri dan pasangan seks lain sehingga istri dan pasangannya berisiko pula tertular HIV/AIDS. Jika istrinya tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV secara vertikal ke bayi yang dikandungnya kelak terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Itu artinya risiko ada di hulu yaitu pada laki-laki yang membeli seks ke PSK. Yang perlu diketahui adalah PSK ada dua jenis, yaitu: PSK langsung dan PSK tidak langsung. PSK langsung adalah PSK yang kasat mata, seperti yang ada di lokalisasi atau jalanan. Sedangkan PSK tidak langsung tidak kasat mata karena bisa sebagai seorang pemijat, pemandu lagu, anak sekolah, mahasiswi, dll. 

Celakanya, tanggapan dari banyak pihak dan kalangan terhadap epidemi HIV/AIDS justru tidak sejalan upaya penanggulangan HIV/AIDS terutama dengan faktor risiko hubungan seksual. Sejak reformasi ada gerakan masif menutup tempat-tempat pelacuran, yang juga terjadi Bali beberapa tempat pelacuran ditutup. Seperti lokalisasi di Jalan Danau Poso, Denpasar dan Padanggalak di Sanur.


Dengan melokalisir pelacuran bisa dilakukan intervensi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Ini upaya untuk memutus jembatan penyebaran HIV/AIDS dari pelacuran ke masyarakat.

Selain itu bisa juga dilakukan pembinaan dan pemeriksaan kesehatan terhadap PSK. Ini dijalankan oleh Yayasan Kerti Praja di Sesetan, Denpasar. Ketika masih ada lokalisasi ada program ‘jemput bola’. Setiap hari Jumat petugas yayasan menjemput PSK untuk kegiatan penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan.

“Itu kita lakukan agar tidak ada laki-laki (maksudnya pelanggan PSK-red.) yang membawa penyakit ke rumah.” Inilah yang disebutkan Prof Dr dr Dewa Nyoman Wirawan, MPH, Ketua Yayasan Kerti Praja, sebagai salah satu langkah konkret upaya menanggulangi penyebaran HIV/AIDS dan IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamdia, virus kanker serviks, dll.).

Tapi, ketika lokalisasi ditutup (praktek) PSK tidak bisa lagi dijangkau sehingga risiko penyebaran HIV/AIDS kian besar karena tidak ada lagi sosialiasi pemakaian kondom dan pemeriksaan kesehatan PSK.

Karena praktek PSK tidak bisa lagi diintervensi, maka yang bisa dilakukan sekarang adalah menyelamatkan bayi-bayi yang akan lahir dari HIV/AIDS karena mustahil mengawasi perilaku seksual, terutama laki-laki dewasa, orang per orang. 


Langkah yang bisa dilakukan pemerintah daerah, dalam hal pemerintah provinsi, kabupaten atau kota membuat regulasi agar pasangan suami-istri konseling HIV/AIDS ketika si istri hamil. Jika hasil konseling menunjukkan perilaku suami berisiko tertular HIV/AIDS, maka suami wajib menjalani tes HIV. Selanjutnya istri juga tes HIV jika suami terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Tanpa langkah konkret di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV/AIDS baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK, maka selama itu pula infeksi HIV/AIDS baru terus terjadi. 

Laki-laki yang tertular HIV/AIDS jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal, terutama malului hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Jika ini yang terjadi, maka Bali pun harus siap-siap menghadapi kondisi yang sangat buruk jadi ‘Afrika Kedua’. [tagar.id]

05 September 2019

AIDS Justru Musuh Terbesar di Tanah Papua



Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Tanah Papua (Papua dan Papua Barat) terus bertambah sehingga inilah yang justru jadi ‘musuh’ di Tanah Papua

Oleh: Syaiful W. Harahap


Hiruk-pikuk unjuk rasa karena umpatan yang berujung kerusuhan di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) menenggelamkan peperangan yang jauh lebih besar yaitu melawan (epidemi) HIV/AIDS.

Laporan ini dikeluarkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 27 Agustus 2019, menunjukkan dari tahun 2005 – Juni 2019 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Papua mencapai 57.027 yang terdiri atas 34.473 HIV (peringkat 4) dan 22.554 AIDS (peringkat pertama). Ini sama dengan 12,21 persen dari kasus nasional (466.946).

Kasus HIV/AIDS di Papua dan Papua Barat selalu dibawa ke ranah moral dan politik, al. isu genosida (KBBI: pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras) dan pengiriman PSK (pekerja seks komersial) Jawa pengidap HIV/AIDS. 


Genosida bisa dilakukan dengan penyakit menular yang mematikan dan menular dengan cepat melalui media yang langsung berhubungan dengan manusia, seperti air dan udara.  HIV/AIDS tidak tidak mematikan. Penularannya tidak mudah.

Seseorang yang tertular HIV secara statistik baru masuk ke masa AIDS (ditandai dengan penyakit-penyakit yang disebut infeksi oportunistik) antara 5-15 tahun kemudian. Risiko kematian ada pada masa AIDS karena infeksi oportunistik.  

Terkait dengan PSK tidak semua berasal dari Pulau Jawa karena ada juga dari beberapa daerah lain di luar Jawa. Bahkan, di Manokwari, Papua Barat, praktek PSK dibagi dua. PSK Jawa ditempatkan di lokalisasi pelacuran Maruni 55, sekitar dua jam perjalanan dengan kendaraan bermotor dari Manokwari. Sedangkan PSK dari, maaf, M*n*d* boleh beroperasi di hotel. 

Penyebaran HIV/AIDS di Tanah Papua kian tidak terkendali karena lokalisasi pelacuran ditutup sehingga praktek transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Padahal, ketika ada lokalisasi ada aktivis AIDS dari LSM yang melakukan sosialisasi HIV/AIDS dan intervensi pemakaian kondom kapada laki-laki. 


Lagi-lagi terjadi penggiringan opini dengan menyebut-nyebut nelayan Thailand sebagai penyebar HIV/AIDS ketika di Merauke terdeteksi ada nelayan Thailand yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS pada tahun 1992. Padahal, pada tahun 1995 Depkes RI melaporkan di Papua terdeteksi 88 kasus HIV, 5 AIDS, dengan 5 kematian. Itu artinya penularan pada 5 kematian terjadi antara tahun 1980 – 1990 (secara statistik masa AIDS terjadi pada rentang waktu antara 5 – 15 tahun setelah tertular). 

Itu artinya sebelum nelayan Thailand terdeteksi mengidap HIV/AIDS sudah ada warga Papua yang mengidap HIV/AIDS. Lagi pula tidak tertutup kemungkinan ada orang Papua yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS di luar Papua. Yang tertular akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di Papua terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Ada lagi seorang agamawan yang menolak pemakaian kondom dengan jargon “Seks Yes, Kondom No”. Ini salah besar dan menyesatkan karena tanpa kondom ketika laki-laki seks dengan PSK ada risiko tertular HIV/AIDS. 

Belakangan sunat dijadikan sebagai ‘alat’ pencegahan HIV/AIDS melalui hubungan seksual.  Sunat bukan untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual tapi menurunkan risiko. Bisa jadi laki-laki warga Papua yang sudah disunat merasa sudah memakai ‘kondom’ sehingga tidak lagi pakai kondom ketika melalukan seks dengan PSK. Akibatnya, tingkat risiko tertular HIV tetap tinggi.

HIV/AIDS adalah fakta medis yang penularannya bisa dicegah dengan cara-cara yang masuk akal. Misalnya, tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan PSK.


Dengan jumlah kasus kumulatif yang besar di Papua (57.027) sudah saatnya Pemprov Papua dan Papua Barat menjalankan program yang konkret, al. meningkatkan pemakaian kondom pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Ini hanya bisa dilakukan kalau praktek PSK dilokalisir, celakanya semua lokalisasi pelacuran sudah ditutup.

Itu artinya insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, akan terus terjadi yang pada gilirannya mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat. Penyebaran HIV/AIDS di masyarakat akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. [tagar.id]

Papua Peringkat Pertama Jumlah Kasus AIDS di Indonesia

Laporan kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 sampai Juni 2019 menunjukkan jumlah kasus HIV terbanyak di DKI Jakarta dan kasus AIDS terbanyak di Papua.

Oleh: Syaiful W Harahap

Jakarta – Laporan perkembangan kasus kumulitif HIV/AIDS dan penyakit infeksi menular seksual (PIMS) Triwulan II Tahun 2019 secara nasional menunjukkan jumlah kasus HIV yang dilaporkan pada bulan April-Juni 2019 sebanyak 11.519 dan 1.463 kasus AIDS. Laporan ini dikeluarkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 27 Agustus 2019.

Sejak pertama kali kasus HIV/AIDS ditemukan tahun 1987 di Bali, sampai dengan Juni 2019 kasus HIV/AIDS sudah dilaporkan oleh 463 kabupaten dan kota (90,07%).

Jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 2005 – Juni 2019 sebanyak 349.882. Lima provinsi dengan jumlah kasus HIV tertinggi, yaitu: DKI Jakarta 62.108, Jawa Timur 51.990, Jawa Barat 36.853, Papua 34.473, dan Jawa Tengah 30.257.


Sedangkan jumlah kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai Juni 2019 sebanyak 117.064. Lima provinsi dengan jumlah AIDS terbanyak, yaitu Papua 22.554, Jawa Timur 20.412, Jawa Tengah 10.858, DKI Jakarta 10.242, dan Bali 8.147.

Jumlah AIDS tertinggi menurut pekerjaan, yaitu: tenaga non profesional/karyawan 17.887, ibu rumah tangga 16.854, wiraswasta/usaha sendiri 15.236, petani/peternak/nelayan 5.789, dan buruh kasar 5.417.

Faktor risiko penularan terbanyak pada kasus AIDS melalui hubungan seksual berisiko pada heteroseksual sebesar 70,2%, penggunaan alat suntik tidak steril 8,2%, homoseksual 7%,  dan penularan melalui perinatal 2,9%.  Angka kematian (CFR) AIDS turun dari 1,03% pada tahun 2018 menjadi 0,3% pada Juni 2019.

Jumlah Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang diobati dengan obat ARV (antiretroviral) sampai dengan bulan Juni 2019 sebanyak 115.750.

Sedangkan jumlah ibu hamil yang terdiagnosis positif sifilis dari tahun 2016 sampai Juni 2019 sebanyak 13.593. Dari jumlah ini yang diobati sebanyak  4.428.

Jumlah kasus HIV yang ditemukan dan dilaporkan jauh dari jumlah kasus HIV yang diperkirakan (estimasi). Estimasi Odha pada tahun 2016 sebanyak 640.443, sedangkan yang dilaporkan sampai dengan Juni 2019 sebanyak 349.882 atau sebesar 60,7%. 


Belum semua yang terdiagnosis HIV mendapatkan terapi ARV. Baru sekitar 70% Odha yang pernah mendapat pengobatan ARV, tapi hanya 33% yang rutin menerima pengobatan ARV. Angka putus obat tinggi yaitu 23%. 

Fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) yang mampu melakukan layanan perawatan, dukungan, dan pengobatan ARV terbatas. Ada fasyankes yang tidak rutin melaporkan kasus HIV/AIDS. Belum semua ibu hamil yang terdiagnosis HIV dan sifilis diobati.

Dengan jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi baru 60,7%, maka perlu ditingkatkan upaya untuk menemukan kasus baru agar warga yang mengidap HIV/AIDS bisa ditangani secara medis. [tagar.id]