29 Agustus 2019

AIDS Mengintai di Ibu Kota Baru


Dok/Ist


Data Kemensos menunjukkan lokalisasi pelacuran terbanyak di Indonesia ada di wilayah Kaltim, termasuk di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara

Oleh: Syaiful W. Harahap dan Santi Florensia Sitorus

Jakarta – Lokasi Ibu Kota Baru sudah diputuskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan dibangun di dua kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), yaitu Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara (Kukar). Selain 180.000 aparatur sipil negara (ASN) dengan keluarga yang akan pindah ke ibu kota baru itu, arus pendatang dengan berbagai latar belakang pekerjaan pun akan menyerbu ke sana.

Salah satu aspek kehidupan yang akan ramai adalah hiburan malam dengan berbagai sektor pendukung, seperti karaoke, panti pijat, bar, diskotek, dan cewek penghibur termasuk pekerja seks komersial (PSK).

Lokalisasi Terbanyak

Kehadiran hiburan malam yang terkait dengan transaksi seks terkait langsung dengan epidemi penyakit atau infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual, seperti sifilis (raja singa), kencing nanah (GO), dan HIV/AIDS.

Seperti dilaporkan “Antara” (3 Agustus 2019) sepanjang tahun 2019 ada tiga warga Kabupaten Penajam Paser Utara yang meninggal terkait dengan HIV/AIDS. Dinas Kesehatan Penajam Paser Utara menangani 74 kasus HIV/AIDS. Sedangkan di Kukar catatan di Dinkes setempat menunjukkan sampai akhir tahun 2018 terdeteksi 200 kasus HIV/AIDS.

Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kaltim sampai 31 Maret 2019 dilaporkan 8.228 yang terdiri atas 6.624 HIV dan 1.604 AIDS (Laporan Triwulan I/2019 - Ditjen P2P, Kemenkes RI, 11 Mei 2019).

Angka HIV/AIDS yang dilaporkan Penajam dan Kukar memang kecil, tapi jika dikaitkan dengan epidemi HIV yang erat kaitannya dengan fenomena gunung es, maka angka itu hanya sebagian kecil dari kasus HIV/AIDS di Penajam dan Kukar. Kasus yang terdeteksi (74) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Salah satu mata rantai penyebaran HIV/AIDS adalah perilaku laki-laki dewasa yang tidak memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK, al. di lokalisasi pelacuran. Data Kemensos menunjukkan di Indonesia ada 168 lokalisasi pelacuran. “Tahun ini target kita semua sudah harus ditutup,” kata Alfian, sata Biro Humas Kemensos RI. Penutupan lokalisasi juga didukung oleh pemerintah daerah setempat. Tapi, ada juga yang tutup sendiri. PSK pulang pulang sendiri.

Lokalisasi terbanyak di Indonesia ada di wilayah Kaltim yang tersebar di 31 lokasi. Diperkirakan ada 4.000 PSK yang melayani laki-laki ‘hidung belang’ di semua lokasi pelacuran itu. Menurut Erna Lesmana, Direktorat Rehabilitas Sosial Tuna Sosial dan KPO Subdit RSTS, Kemensos RI, di wilayah Kabupaten Kukar terdapat 10 lokalisasi pelacuran dengan jumlah PSK sebanyak 459. Lokalisasi pelacuran ada di Kelurahan Km 24, Muara Kembang, Pasiran, Purwa Jaya, Kacangan, Gunung Pasir, Simpang Kitadin, Lebak Cilong, Km 16, dan Badak.

Bermuara di Masyarakat

Karena lokasi pelacuran di Kaltim, khususnya Kukar, ditutup Kemensos bisa jadi transaksi seks akan terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai modus, seperti ponsel (online) dan media sosial

Memang, dalam penutupan lokalisasi pelacuran Kemensos memberikan uang bantuan untuk membuka usaha sebesar Rp 6 juta. “Dana untuk buka usaha kemadirian di daerah masing-masing agar mereka tidak kembali lagi jadi PSK,” ujar Erna kepada "Tagar.id" di Kemensos, Jakarta, 28 Agustus 2019.

Persoalan yang terjadi adalah dengan menutup lokalisasi pelacuran dan memulangkan PSK ke kampung asalnya dianggap tidak ada lagi (praktek) pelacuran. Ini anggapan yang salah. Secara de jure pelacuran dilarang, tapi secara de facto transaksi seks terus terjadi.

Transaksi seks melibatkan PSK langsung (PSK yang mangkal di tempat-tempat tertentu, seperti lokalisasi pelacuran) dan PSK tidak langsung (seperti cewek pemijat plus-plus, cewek penghibur, cewek diskotek, pemandu lagu, dll.). Laki-laki dewasa, termasuk yang beristri jadi pembeli seks pada PSK langsung dan PSK tidak langsung.

Transaksi seks tsb. tidak bisa diintervensi sehingga risiko penularan penyakit, seperti GO dan sifilis serta HIV/AIDS terhadap laki-laki yang membeli seks tidak bisa dikontrol. Laki-laki yang tertular jadi mata rantai penyebaran GO, sifilis dan HIV/AIDS di masyarakat melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Pada akhirnya penyakit-penyakit itu akan bermuara di masyarakat, terutama ibu-ibu rumah tangga dan bayi yang akan mereka lahirkan kelak jika tidak ditangani secara medis. [Sumber: tagar.id]

25 Agustus 2019

Apakah Perda AIDS Kabupaten Serang Kelak Juga Hanya "Copy Paste"?

Ilustrasi (Sumber: pngtree.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Rapat paripurna DPRD Kabupaten Serang, Provinsi Banten, akhirnya menetujui rancangan peraturan daerah (Raperda) Penanggulangan HIV/AIDS jadi peraturan daerah (Perda). Disebutkan bahwa Perda AIDS itu penting mengingat kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Serang sampai Oktober 2018 mencapai 632 yang terdiri atas 388 HIV dan 244 AIDS (radarbanten.co.id, 14/8-2019).
Perda AIDS digagas pada awal tahun 2000-an yang mengadopsi program penanggulangan HIV/AIDS yang berhasil di Thailand yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di tempat-tempat pelacuran, seperti rumah bordir dan lokalisasi.
Perda AIDS pertaman 'lahir' di Kabupaten Nabire, Papua, tahun 2003. Sampai Juli 2019 sudah ada 129 Perda AIDS yang diterbitkan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Di Banten sendiri sudah ada 3 Perda AIDS yaitu Perda AIDS Provinsi Banten (2010), dan Perda AIDS Kab Tangerang (2016).
Yang jadi masalah besar adalah: (a) Perda-perda AIDS itu hanya sebatas copy-paste, (b) Tidak ada pasal-pasal yang konkret untuk mencegah insiden infeksi HIV baru, (c) Tidak ada pasal-pasal yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, dan (d) Program Thailand mustahil dimasukkan dalam Perda AIDS karena di Indonesia tidak ada lagi lokalisasi pelacuran yang ditangani pemerintah sejak reformasi.
Dalam Perda Prov Banten No 6 Tahun 2010 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS yang disahkan tanggal 19 November 2010, misalnya, pada bagian peran serta masyarakat dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di pasal 29 ayat 1 huruf a disebutkan: 
"Masyarakat bertanggung jawab untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan OHIDHA dengan cara meningkatkan iman dan taqwa serta pemahaman agama."
Pasal ini normatif, karena: (a) Tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan iman dan taqwa; (b) Apa takaran atau parameter yang dipakai untuk mengukur (tingkat) iman dan taqwa?; (c) Berapa ukuran iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV?; dan (d) Siapa yang berkompeten mengukur atau menakar iman dan taqwa seseorang?
Sedangkan di dalam Perda AIDS Kab Tangerang No 15  Tahun 2016  tentang Penanggulangan HIV dan AIDS yang disahkan tanggal 28 Desember 2016 di Pasal 14 ayat 2 disebutkan:   
Pencegahan penularan melalui hubungan seksual dilakukan melalui upaya: a. tidak melakukan hubungan seksual bagi orang yang belum menikah; b. setia kepada satu pasangan seksual; c. menggunakan Kondom secara konsisten; d. penyediaan perbekalan kesehatan; dan e. meningkatkan kemampuan pencegahan dan pengobatan IMS
Terkait dengan pernyataan pada huruf (a) penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual tidak terkait dengan sifat hubungan seksual, dalam hal ini belum menikah, karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu atau kedua pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta (medis).
Sedangkan pada huruf (b) juga tidak akurat karena kalau salah satu mengidap HIV/AIDS biar pun setia tetap bisa terjadi penularan HIV kalau suami tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan pasangan setia yang mengidap HIV/AIDS.
Untuk huruf (c) tidak ada penjelasan yang rinci kapan dan di mana seorang laki-laki harus memakai kondom agar tidak tertular HIV/AIDS.
Jika dikaitkan dengan latar belakang pembuatan Perda AIDS yaitu jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Serang, maka yang perlu di atur dalam perda adalah penanggulangan di hulu. 
Yakni dengan menjalankan program yang riil untuk mencegah insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan PSK. Tapi, langkah ini hanya bisa dilakukan untuk PSK langsung jika praktek seks mereka dilokalisir.
Seperti diketahui PSK ada dua jenis, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Yang akan jadi pemicu ledakan AIDS di Kab Serang adalah pratek transaksi seks yang melibatkan PSK tidak langsung karena mereka tidak bisa dijangkau. Soalnya, transaksi dilakukan melalui HP dan media sosial dan prakteknya dilakukan di berbagai tempat, rumah, kos-kosan, penginapan, losmen, hotel melati sampai hotel berbintang dan apartemen.
Jika kelak Perda AIDS Kab Serang hanya copy-paste dari Perda-perda AIDS yang sudah ada, maka nasibnya sama saja dengan 128 Perda AIDS yang sudah ada hanya 'macan kertas' serta 'penghuni' rak perpustakaan dan lemari arsip. Pada saat yang sama penyebaran HIV/AIDS terus terjadi yang kelak bermura pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *