27 Juli 2019

Setiap Hari 1 Juta Warga Dunia Tertular "Penyakit Kelamin"*

Ilustrasi (Sumber: refinery29.com)


Informasi yang dirilis WHO (Badan Kesehatan Sedunia PBB) (6/6-2019): "More than 1 million new curable sexually transmitted infections every day" jadi menarik karena infeksi, dalam hal ini empat jenis IMS, yaitu: klamidiaGO/gonorrhoea (kencing nanah), trikomoniasis, dan sifilis (raja singa) bisa dicegah dengan cara-cara yang riil.
IMS menular dari seseorang yang mengidap salah satu atau beberapa jenis IMS kepada orang lain, terutama melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom yang disebut sebagai hubungan seksual berisiko.
Hubungan seksual yang berisiko terjadi penularan IMS dan HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus adalah:
(a). Hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom yang dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari pasangan tsb. mengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya, dan
(b) Hubungan seksual tanpa kondom dengan seseorang yang sering berganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). PSK sendiri dikenal dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan, dan
(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Di Indonesia di sekitar lokasi tempat transaksi seks, sebelum reformasi ada lokalisasi pelacuran, laki-laki 'hidung belang' akan mencari obat antibiotik Supertetra dll. Ada mitos (anggapan yang salah) yang menyebutkan bahwa obat antibiotik bisa mencegah penularan IMS. Yang tidak masuk akal di Papua ada tokoh agama dan pejabat yang justru menolak memakai kondom dengan jargon: Seks Yes, Kondom No!
Maka, jangan heran kalau kemudian kasus HIV/AIDS merebak di Papua. Bahkan, belakangan pemerintah daerah di sana menjadikan sirkumsisi (sunat) pada laki-laki untuk mencegah penularan HIV/AIDS, termasuk IMS. Padahal, sunat menurukan risiko tertular IMS dan HIV/AIDS bukan mencegah penularan IMS dan HIV/AIDS.
Rilis WHO menyebutkan kasus baru IMS terjadi pada warga pada rentang usia 15 -49 tahun. Pada rentang usia ini dorongan seksual sedang menggebu-gebu. Celakanya, informasi tentang risiko tertular IMS atau HIV/AIDS, bahkan bisa dua-duanya sekaligus, selalu dibalut dengan norma dan moral sehingga yang muncul hanya mitos bukan cara-cara yang konkret untuk melindungi diri agar tidak tertular IMS atau HIV/AIDS melalui hubungan seksual berisiko.
Sebelumnya "VOA Indonesia", 30/8-2018,  melaporkan "Jumlah Penderita Penyakit Menular Seksual Capai Rekor Tertinggi di Amerika". Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, seperti dilansir kantor berita "AFP", mengatakan bahwa tahun 2017 kasus "penyakit kelamin" mencapai rekor tertinggi. 2,3 juta kasus klamidia, gonore (kencing nanah) dan siflis (raja singa) dilaporkan terdeteksi pada warga Amerika sepanjang tahun 2017.
Ketika ada alat untuk mencegah penularan IMS dan HIV/AIDS yang murah-meriah dan mudah dibeli, ternyata banyak warga dunia yang memilih hubungan seksual berisiko dengan tidak memakai kondom. Bisa jadi banyak laki-laki yang termakan mitos bahwa risiko tertular IMS atau HIV/AIDS hanya melalui hubungan seksual dengan PSK langsung di lokalisasi pelacuran. Mereka melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak langsung yang dalam prakteknya sama saja dengan PSK langsung.
IMS yang dikenal luas adalah GO dan sifilis, padahal banyak jenis IMS yang ditularkan oleh pengidap IMS ke orang lain melalui hubungan seksual tanpa kondom di dala dan di luar nikah. Pada perempuan IMS tidak menunjukkan gejala yang khas dan tidak pula menimbulkan rasa sakit ketika buang air kecil.
Dalam bulletin online yang diterbitkan WHO disebutkan penelitian menunjukkan bahwa di antara pria dan wanita yang berusia 15-49 tahun, pada tahun 2016 terdeteksi 127 juta kasus baru klamidia, 87 juta GO, 6,3 juta sifilis, dan 156 juta trikomoniasis. Dr Peter Salama, Executive Director for Universal Health Coverage and the Life-Course at WHO, mengatakan: "Ini adalah seruan untuk upaya terpadu untuk memastikan semua orang, di mana saja dapat mengakses layanan yang mereka butuhkan untuk mencegah dan mengobati penyakit yang melemahkan ini."
Empat jenis IMS yang terdeteksi itu bisa diobati. Persoalannya adalah banyak malu ke dokter sehingga mereka membeli obat sendiri di penjual obat di pinggir jalan atau di kaki lima. Selain itu di Indonesia anak-anak dan remaja harus bersama orang tua jika berobat. Padahal, WHO menyebutkan kasus IMS sudah terdeteksi pada umur 15 tahun. Tentu saja remaja-remaja yang tertular IMS itu tidak akan pernah meminta bantuan orang tua mengantar ke dokter, Puskesmas, atau rumah sakit. Akibatnya, mereka pun membeli obat di pinggir jalan.
Infeksi IMS kian mencemaskan karena secara global pada tahun 2016 sekitar 200.000 kematian bayi saat persalinan dan setelah dilahirkan karena ibunya mengidap sifilis. * [kompasiana.com/infokespro] *
* Pemakaian frasa 'penyakit kelamin' untuk memudahkan pembaca menangkap isi artikel. Istilah atau terminologi yang tepat adalah infeksi menular seksual (IMS), yang semula disebut sexually transmitted diseases (STDs) yang diindonesikan jadi penyakit menular seksual (PMS). Istilah ini diganti dengan sexually transmitted infections (STIs) atau infeksi menular seksual (IMS).

Penanggulangan HIV/AIDS di Bintan Kepri Dilakukan di Hilir

Ilustrasi (Sumber: msn.com)

Ini ada dalam berita "Penderita HIV/AIDS di Bintan Bertambah di 2019, Dinkes Tempuh Cara Ini Untuk Antisipasi"(batam.tibunnews.com, 4/7-2019): Angka kasus penderita Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immuno Deficiency Syndrome(AIDS) bertambah di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepri pada 2019 ini. Hal tersebut disebabkan oleh perilaku hubungan seksual bebas hingga gonta-ganti pasangan dan suka sesama jenis yang dipraktikkan oleh warga Bintan.
Pernyataan di atas tidak akurat, karena:
Pertama, kasus HIV/AIDS bertambah karena ada kasus baru yang terdeteksi. Jumlah kasus HIV/AIDS akan terus naik karena pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru sehingga angkanya terus naik. Biar pun ada pengidap yang meninggal dunia tidak dikurangi dari jumlah kasus.

Fenomena Gunung Es
Kedua, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual, dalam berita disebut 'hubungan seksual bebas', tapi karena kondisi hubungan seksual yaitu salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual. Begitu juga dengan 'suka sesama jenis' penularan HIV terjadi jika salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS.
Ketiga, 'gonta-ganti' pasangan bukan penyebab penularan HIV/AIDS tapi perilaku berisiko tinggi tertular HIV karena bisa saja salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS. Jika hubungan seksual tidak memakai kondom maka ada risiko penularan HIV.
Pernyataan di atas merupakan bentuk mitos (anggapan yang salah) yang jadi batu sandungan dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia karena masyarakat tidak memahami fakta medis tentang penularan HIV/AIDS.
Secara (fakta) medis penularan HIV/AIDS melalui berbagai bentuk hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, bisa terjadi jika salah satu atau kedua pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.
Persoalannya adalah pengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya karena tidak ada ciri-ciri fisik dan keluhan kesehatan yang khas HIV/AIDS pada orang-orang yang mengidap HIV/AIDS. Itulah sebabnya melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, tanpa memakai kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering ganti-gantai pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), adalah perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Dalam berita disebutkan: Sebab, sepanjang tahun 2018 lalu, jumlah penderita HIV tercatat 34 orang dan penderita dengan AIDS sebanyak 25 orang.
Jika dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS, maka jumlah kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan hanyalah yang terdeteksi sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat bisa lebih banyak. Soalnya, epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (34 HIV dan 25 AIDS) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Dok Pribadi
Dok Pribadi
Disebutkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan, Kepri, dr Gama Isnaeni: .... adapun penyebab terjangkitnya penyakit HIV/ AIDS ini kepada masyarakat di kabupaten Bintan rata-rata adalah perilaku hubungan seksual dengan gonta-ganti pasangan.
Dalam berita tidak dijelaskan dengan siapa warga Bintan melakukan 'perilaku hubungan seksual dengan gonta-ganti pasangan'.
Ini yang jadi kunci persoalan. 'Perilaku hubungan seksual dengan gonta-ganti pasangan' dilakukan dengan PSK melalui transaksi seks dalam bentuk pelacuran terselubung dengan berbagai macam modus.
PSK Tidak Langsung
Celakanya, Pemkab Bintan dan Dinkes Bintan mungkin menganggap di daerahnya tidak ada pelacuran karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang dibina oleh pemerintah setempat seperti sebelum reformasi. Ini anggapan yang keliru karena praktek pelacuran terus terjadi yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung melalui cara-cara yang tidak konvensional yaitu dengan memanfaatkan telekonuminasi dan media sosial.
PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Bisa saja laki-laki warga Bintan melakukan 'perilaku hubungan seksual dengan gonta-ganti pasangan' dengan PSK tidak langsung. Ini terjadi karena selama ini berkembang mitos (anggapan yang salah) bahwa HIV/AIDS menular melalui hubungan seksual dengan PSK langsung di lokalisasi pelacuran.
Kondisinya kian runyam karena transaksi seks tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dijalankan program berupa intervensi yang memaksa laki-laki selalu memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Itu artinya insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual yang tidak aman (tidak memakai kondom) dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung terus terjadi yang selanjutnya disebarkan ke masyarakat. Yang punya istri menularkan ke istrinya. Kalau istrinya tertular, maka ada pula risiko penularan (vertikal) kepada bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Celakanya, penanggulangan yang akan dijalankan Dinkes Bintan tidak menyentuh hulu yaitu transaksi seks dengan PSK. Ini yang dilakukan Dinkes Bintan: Gama Isnaeni juga menambahkan, agar penyebaran HIV/AIDS tidak meluas, Dinkes terus berupaya melakukan penjaringan ke masyarakat lewat screening calon pengantin (Caten) dan ibu hamil (Bumil) dan juga langkah lainnya.
Tes HIV pada calon pengantin bukan vaksin. Artinya, biar pun status HIV calon pengantin negatif, dalam rentang waktu perkawinan bisa saja terjadi penularan HIV kalau salah satu atau keduanya melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS.
Sedangkan tes HIV pada ibu hamil adalah langkah di hilir yaitu ketika suami sudah tertular HIV dan menularkan ke istri. Maka, ketika ibu hamil terdeteksi HIV-positif itu artinya ada dua warga yang mengidap HIV/AIDS yaitu suami dan istri. 
Kalau si suami mempunyai istri lebih dari satu, maka jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV juga tambah banyak yang kelak bermuara pada jumlah bayi yang lahir dengan HIV/AIDS. * [kompasiana.com/infokespro] *

22 Juli 2019

Ibu Ini Kebingungan Ketika Anaknya Terdeteksi Mengidap HIV/AIDS

Ilustrasi (Sumber: nih.gov)

Tanya Jawab AIDS No 1/Juli 2019

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, WA dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Selain di Kompasiana, Tanya Jawab AIDS ini juga bisa dilihat di aidsindonesia.com. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap, melalui: (1) Telepon (021) 8566755, (2) e-mail: aidsindonesia@gmail.com, (3) WhatsApp:  0811974977. Redaksi.

Tanya: Saya seorang ibu sebagai single parent di Bali. Maaf sekali saya WA tengah malam. Saya sedih dan syok, Pak. Barusan anak laki-laki saya, berumur 24 tahun, bilang kalau dia kena HIV. (1) Apa dosa saya, Pak? Saya selalu berusaha jadi ibu yang baik. (2) Apa yang harus saya perbuat, Pak? (3) Pendapatan saya gak banyak. Anak saya tes HIV di rumah sakit swasta di salah satu kota di Bali. (4) Apakah anak saya umurnya pendek?

Via WA, 19/7-2019

Jawab: Ibu tidak sendirian karena banyak ibu yang juga menghadapi kenyataan pahit ketika anaknya terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Bahkan, banyak pula bayi yang lahir dengan HIV/AIDS. Ibu mereka tertular HIV dari suaminya. Banyak dari suami itu yang tidak jantan karena meninggalkan istri dan anak-anaknya ketika diberitahu anak dan istrinya mengidap HIV/AIDS.

(1). Tidak ada kaitan langsung antara dosa dan penularan HIV karena HIV juga menular melalui hubungan seksual di dalam nikah jika salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS.

(2). Yang perlu ibu jalankan adalah memberikan dukungan yang positif bagi anak ibu. Menjaga kesehatannya dan tentus saja mengawasi jadwalnya meminum obat antiretroviral (ARV). Pengawasan ini penting karena ketika pertama kali diberikan obat ARV disebut obat lini pertama. Jika tidak teratur minum atau berhenti, maka ketika hendak minum obat ARV lagi akan diberikan obat lini kedua yang harganya lebih mahal. Jika lini kedua tidak diminum teratur atau berhenti, maka akan masuk ke obat lini ketiga yang harga jauh lebih mahal lagi.

(3). Ibu dan orang tua pengidap HIV/AIDS di Indonesia karena obat ARV diberikan gratis. Begitu juga dengan beberapa tes terkait HIV/AIDS serta obat-obatan untuk penyakit penyerta juga gratis. Jika anak ibu ikut program BPJS Kesehatan tentulah pengobatan dan obat-obatan lain juga gratis.

(4). Soal umur ada di tangan Tuhan. Banyak Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang sudah belasan tahun sejak terdeteksi tetap hidup dengan baik seperti layaknya orang yang tidak mengidap HIV/AIDS. Tentu saja jika minum obat ARV sesuai dengan anjuran dokter dengan menjaga kesehatan dan asupan gizi yang seimbang.

Sebaiknya ibu menghubungi kelompok dampingan di tempat tinggal ibu agar anak ibu berkumpul dengan teman sebaya dengan status HIV yang sama. Silakan ditanya ke rumah sakit tempat tes HIV nama dan alamat kelompok dukungan di tempat tinggal ibu. * [kompsiana.com/infokespro] *

21 Juli 2019




Pada “Pelatihan Media dan CSO” dengan tema "Pemberitaan Media yang Positif bagi ODHA" yg diprakarsai oleh Indonesia AIDS Coalition (IAC)/Koalisi AIDS Indonesia di Kota Bogor (15-17 Juli 2019) dan Kota Depok (18-20 Juli 2019), keduanya di Jawa Barat, presentasi dari Dinkes setempat sama sekali tdk ada program yg riil tentang upaya2 untuk menurunkan insiden infeksi HIV di hulu, al. pada laki2 melalui hubungan seksual tanpa kondom dng pekerja seks komersial (PSK). Apakah penguasa di kedua kota itu menganggap tdk ada lagi transaksi seks dlm bentuk pelacuran terselubung krn tdk ada lokalisasi pelacuran? Klu ini yg terjadi, maka celakalah warga di kedua kota itu krn penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yg kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’ …. (Ilustrasi – Sumber: elpais.com) …. 

- Syaiful W. Harahap