12 Juli 2019

Perilaku Seksual LGBT Juga Dilakukan oleh Sebagian Kaum Heteroseksual

Sumber: twgram.me

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

MENOLAK SEGALA BENTUK AKTIVITAS DAN TINDAKAN LGBT(LESBIAN, GAY, BISEKSUAL DAN TRANSGENDER). LGBT ITU PENYAKIT BUKAN HAK ASASI MANUSIA "Kalian yang berdosa, kami yang kena azab". Ini adalah spanduk JURUSAN BIOLOGI, FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGER PADANG
Ada beberapa hal terkait dengan pernyataan di atas, yaitu:
Pertama, dengan menyebut 'menolak segala bentuk aktivitas dan tindakan LGBT' itu artinya yang ditolak adalah tindakan atau perbuatan LGBT. Tidak jelas tindakan atau perbuatan apa yang dimaksud dalam spanduk tsb.
Apakah mahasiswa dan civitas akademi Jurusan Biologi itu menolak usaha seorang waria (transgender) sebagai tukang rias atau pemotong rambut?
Tak kurang dari   Menristekdikti, M Nasir, yang mengatakan 'Kampus mestinya tidak dimasuki LGBT' (antaranews.com, 23/1-2016). Ini jelas tidak masuk akal sehat karena yang kasat mata hanya transgender, sedangkan lesbian, gay dan biseksual tidak kasat mata.
Kedua, kalau yang dimaksud dengan 'menolak segala bentuk aktivitas dan tindakan LGBT' adalah aktivitas seksual, maka tindakan seksual yang selalu dikaitkan dengan LGBT, khususnya gay dan transgender yaitu seks anal dan seks oral, juga dilakukan oleh orang-orang yang bukan LGBT.
TIdak sedikit pasangan suami-istri yang melakukan seks oral dan seks anal. Ada juga kasus suami memaksa istri melakukan seks oral, bahkan dalam posisi "69".
Ketiga, LGBT sebagai orientasi seksual ada di alam pikiran. Adalah hal yang mustahil melarang setiap orang berpikir soal seks anak dan seks oral.
Maka, yang merupakan tindakan atau perbuatan yang melawan hukum adalah tindakan atau perilaku seksual yang mereka lakukan.
Analoginya, seks oral dan seks anal pada laki-laki dan perempuan heteroseksual pun termasuk perbuatan melawan hukum. Bahkan, jika seorang suami memaksa istri seks oral atau seks anal itu merupakan perbuatan melawan hukum sebagai marital rape atau perkosaan dalam perkawinan.
Maka, amatlah naif peringatan Jurusan Biologi itu jika dibawa ke ranah realitas sosial karena yang bisa dikenali dengan mata telanjang hanyalah transgender atau waria. Betapa menyedihkan kalau seorang waria dilarang beraktivitas sebagai penata rias atau pemotong rambut.
Jika yang dimaksud tindakan seksual, maka banyak kalangan heteroseksual yang juga melakukan tindakan seksual seperti yang dilakukan LGBT. Di kalangan remaja yang pacaran juga sering terjadi seks oral dan seks anal untuk menghindari kehamilan. Apakah mereka ini termasuk dalam amar Jurusan Biologi itu?
Dalam epidemi HIV/AIDS belakangan ini muncul mitos bahwa yang menyebarkan HIV/AIDS adalah LGBT. Ini keliru karena yang potensial sebagai penyebar HIV/AIDS di masyarakat justru laki-laki dan perempuan heteroseksual.
Penyebutan 'LGBT itu penyakit bukan hak asasi manusia' jika berdasarkan perilaku seksual tentulah laki-laki dan perempuan heteroseksual yang melakukan perbuatan LGBT, bahkan dalam ikatan pernikahan yang sah secara agama dan hukum, juga merupakan penyakit bukan hak sebagai seorang suami.
Apa kaitan antara LGBT sebagai orientasi seksual dengan dosa? Bagaimana pula dengan yang bukan LGBT tapi dalam pikirannya ada (seks) LGBT, apakah ini juga dosa? * [kompasiana.com/infokespro] *

07 Juli 2019

AIDS di Jawa Barat, Penanggulangan Hanya Andalkan Sosialisasi dan Kampanye

Ilustrasi (Sumber: bc.net.au)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP


"Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat menyatakan sampai hari ini ada hampir 50 ribu kasus HIV-AIDS (Human Immunodeficiency Virus-Acquired Immune Deficiency Syndrome). Terdiri dari 38 ribu kasus HIV dan 10 ribu lainnya terpapar AIDS." Ini lead pada berita "Ada Hampir 50 Ribu Kasus HIV-AIDS di Jawa Barat" (liputan6.com, 25/6-2019).
Laporan Triwulan I/2019 - Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 11/5-2019, menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Jabar dari tahun 1987 sd. 31 Maret 2019 mencapai 42.352 yang terdiri atas 35.529 HIV dan 6.823 AIDS. Jumlah ini menempatkan Jabar pada peringkat ke-4 secara nasional dengan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS terbanyak.
Ada beberapa hal yang terkait dengan fakta 'hampir 50.000 kasus HIV/AIDS di Jabar' yang tidak akurat dan tidak dibahas dalam berita, yaitu:
Pertama, angka 'hampir 50.000' hanyalah kasus yang terdeteksi. Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan (hampir 50.00) adalah sebagian kecil dari kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat Jabar. Kasus ini (hampir 50.000) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan jumlah kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat Jabar digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar)
Dok Pribadi
Dok Pribadi
Diskriminasi di Hilir
Kedua, dalam berita tidak ada informasi tentang langkah Pemprov Jabar, dalam hal ini Dinkes Jabar, untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut. Itu artinya warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat tanpa mereka sadari, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Ketiga, warga Jabar yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda secara fisik dan tidak ada pula keluhan kesehatan yang khas HIV/AIDS.
Keempat, penyebutan '10 ribu lainnya terpapar AIDS' salah besar karena AIDS bukan virus dan tidak pula jenis penyakit. AIDS adalah kondisi pada orang-orang yang sudah tertular HIV, yang secara statistik terjadi antara 5 -- 15 tahun setelah tertular HIV, yang ditandai dengan beberapa jenis penyakit yang disebut infeksi oportunistik. Tapi, perlu diingat tidak semuanya dalam kondisi sakit.
Lalu, apa yang dilakukan Dinkes Jabar untuk menanggulangi HIV/AIDS?
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Berli Hamdani, justru mengeluhkan tiga permasalahan besar: masalah anggaran, diskriminasi dan ketersediaan obat.
Dalam berita tidak ada penjelasan faktor risiko utama penularan HIV/AIDS terhadap hampir 50.000 warga Jabar. Jika faktor risiko utama adalah hubungan seksual yang berisiko pada hertoseksual, yaitu hubungan seksual tanpa kondom dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), maka yang diperlukan adalah intervensi untuk menjalankan program kepatuhan memakai kondom bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Dok Pribadi
Dok Pribadi
Persoalan besar adalah praktek transaksi seks yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak bisa dilakukan intervensi.
PSK sendiri dikenal ada dua jenis, yaitu:
(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di tempat pelacuran atau mejeng di tempat-tempat umum, dan
Mitos Bukan PSK
(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini 'menyamar' sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu lagu, ibu-ibu, dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.
Sebesar apa pun anggaran tidak akan berguna untuk melakukan intervensi terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seksual berisiko (tidak memakai kondom) dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung karena mereka tidak bisa dijangkau (Lihat Gambar).
Dok Pribadi
Dok Pribadi
Sedangkan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) justru terjadi di hilir yaitu terhadap warga yang sudah menjalani tes HIV dengan hasil positif. Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu agar ada penurunan jumlah warga yang tertular HIV.
Orang-orang yang terdeteksi HIV-positif tidak ototmatis memerlukan obat, seperti obat antiretroviral (ARV). Odha baru minum obat ARV jika hasil tes CD4 di bawah 350. Sedangkan obat untuk penyakit-penyakit infeksi oportunistik, seperti diare, ruam, TB, dll. tersedia secara luas di puskesmas dan rumah sakit.
Sedangkan 'sosialiasi dan kampanye soal HIV-AIDS ke publik' ibarat menggantang asap karena sosialisasi tidak ototmatis mengubah perilaku seksual berisiko. Butuh waktu yang panjang untuk mengubah perilaku. Pada rentang waktu menerima sosialisasi dan mengubah perilaku bisa saja sudah terjadi penularan HIV/AIDS (Lihat Gambar).
Dok Pribadi
Dok Pribadi
Lagi pula sering pula informasi HIV/AIDS dalam sosialisasi dan kampanye AIDS dibumbui dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). * [kompasiana.com/infokespro] *

Perda AIDS Kab Tegal Menanggulangi HIV/AIDS Tanpa Program Konkret

Ilustrasi (Sumber: precheck.com)

Ketika Thailand berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) dengan program ‘wajib kondom 100 persen’, Indonesia pun ‘mencangkok’ program tsb. yang diwujudkan dalam bentuk peraturan daerah (Perda). Sampai Juli 2019 sudah ada 120-an Perda AIDS di Indonesia.

Celakanya, Perda-perda AIDS yang bertebaran di Nusantara tidak sejalan dengan program Thailand terutama terkait dengan sanksi. Program kondom Thailand menghukum germo atau mucikari jika ada PSK anak asuhnya terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, klamidia, virus hepatitis B, dll.).


Sedangkan di Indonesia yang dihukum di penjara adalah PSK. Ini tidak mengatasi masalah tapi membuat masalah baru yaitu menambah beban lembaga pemasyarakatan (Lapas). Selain itu satu PSK dibui, ratusan PSK baru akan menggantikan tempat PSK yang dipenjarakan. Jika germo yang diberikan sanksi tentulah germo akan memaksa anak asuhnya menolak laki-laki kalau tidak pakai kondom.

Infeksi HIV Baru

Dengan langkah yang diterapkan melalui Perda AIDS insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK akan tetap dan terus terjadi karena tidak ada kontrol yang ketat terkait dengan pemakaian kondom pada kegiatan seks di pelacuran.

Yang bisa dilakukan melalui Perda AIDS hanyalah sebatas menurunkan insiden infeksi HIV/AIDS baru melalui laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Tapi, langkah ini hanya bisa dilakukan secara efektif jika praktek PSK dilokalisir. Sedangkan di Indonesia sejak reformasi praktek PSK tidak lagi dilokalisir.

Maka, amatlah tidak masuk akal kalau kemudian Peraturan Daerah Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah, Nomor 4  Tahun 2018 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), ditetapkan di Slawi pada tanggal 28 Agustus 2018, menyebutukan di Pasal 4 ayat (b) bahwa tujuan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS adalah menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru.

Adalah hal yang mustahil ‘meniadakan infeksi HIV baru’ karena hubungan seksual berisiko tertular HIV terjadi setiap saat tanpa bisa diintervensi, yaitu:

(1). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis), bisa sebagai suami atau lajang, warga Kab Tegal yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam nikah dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Kab Tegal, di luar wilayah Kab Tegal atau di luar negeri karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS;

(2). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) bisa sebagai istri atau lajang, warga Kab Tegal yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam nikah dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Kab Tegal, di luar wilayah Kab Tegal atau di luar negeri karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS;

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) warga Kab Tegal, bisa sebagai suami atau lajang, yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti PSK, di wilayah Kab Tegal, di luar wilayah Kab Tegal atau di luar negeri, karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS,

PSK dikenal ada dua jenis, yaitu:

(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di tempat pelacuran atau mejeng di tempat-tempat umum, dan

(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini ‘menyamar’ sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu lagu, ibu-ibu, dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.

(4). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis), warga Kab Tegal, bisa sebagai suami atau lajang, yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan waria di wilayah Kab Tegal, di luar wilayah Kab Tegal atau di luar negeri,. Sebuah studi di Surabaya awal tahun 1990-an menunjukkan laki-laki pelanggan waria umumnya laki-laki beristri. Ketika seks dengan waria mereka justru jadi ‘perempuan’ (dalam bahasa waria ditempong atau di anal) dan waria jadi ‘laki-laki’ (dalam bahasa waria menempong atau menganal).

Deteksi Dini

(5). Laki-laki dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan sejenis), warga Kab Tegal,  bisa sebagai suami, yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di wilayah Kab Tegal, di luar wilayah Kab Tegal atau di luar negeri, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti.

(6). Perempuan dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan sejenis), bisa sebagai istri, yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di wilayah Kab Tegal, di luar wilayah Kab Tegal atau di luar negeri, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti.

Apakah Perda AIDS Kab Tegal bisa melakukan intervensi terhadap perilaku berisiko nomor 1 – 6? Tentu saja tidak bisa. Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Laki-laki dan perempuan yang tertular HIV akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Yang beristri atau bersuami menularkan ke istri atau suaminya.

Dinas Kesehatan (Dinkes) Kab Tegal mencatat sampai Mei 2019 terdeteksi 933 kasus baru HIV/AIDS, sedangkan tahun lalu tercatat 872 kasus HIV/AIDS (jateng.tribunnews.com, 3/7-2019).

Salah satu langkah yang ditawarkan dalam Perda AIDS adalah deteksi dini. Di  Pasal 17 ayat (1) diseburtkan pemeriksaan deteksi dini HIV-AIDS dilakukan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV-AIDS.

Deteksi dini yang menemukan warga Kab Tegal yang mengidap HIV/AIDS adalah langkah di hilir, yang diperlukan adalah langkah di hulu yaitu program yang mencegah ada (lagi) warga Kab Tegal yang tertular HIV.

Sebelum warga Kab Tegal yang mengidap HIV/AIDS terdeteksi, mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS sehingga mereka sudah menularkan HIV ke warga lain terutama melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah.

Maka, ketika insiden infeksi HIV baru terus terjadi dan warga yang tertular jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS tanpa mereka sadari karena tidak ada ciri-ciri khas pada fisik dan keluhan kesehatan warga yang mengidap HIV/AIDS. Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di Kab Tegal jadi ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *