23 Januari 2019

Peringkat Provinsi Berdasarkan Jumlah Kasus AIDS per September 2018

ni peringkat provinsi berdasarkan kasus AIDS dari tahun 1987 sd. 30 September 2018 .... persentase kematian pengidap HIV/AIDS krn penyakit terkait AIDS paling tinggi di Kalimanan Utara .... (Syaiful W. HARAHAP)

dok pribadi

Peringkat Provinsi Berdasarkan Jumlah Kumulatif HIV/AIDS per September 2018

Ini peringkat provinsi berdasarkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS dari tahun 1987 sd. 30 September 2018 .... mendekat setengah juta kasus .... (Syaiful W. HARAHAP)


dok pribadi


AIDS di Lombok Barat Abaikan Perilaku Seks Laki-laki Heteroseksual

Ilustrasi (Sumber: levistrauss.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Meluasnya segmentasi pada kelompok resiko rendah seperti ibu rumah tangga dan balita membuat semua pihak merasa semakin khawatir, mengingat institusi ini dianggap sebagai pertaruhan dan benteng terakhir dalam upaya mencegah meluasnya kasus HIV AIDS di Kabupaten Lombok Barat. Ini pernyataan dalam berita "Pemkab Lobar Gelar Pencegahan Meluasnya HIV/AIDS" di hariannusa.com(10/10-2018).
Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Lombok Barat (Lobar), NTB, adalah 240 yang terdiri atas 126 HIV dan 114 AIDS.
Celakanya, dalam berita sama sekali tidak ada pembahasan tentang mengapa ibu rumah tangga sebagai kelompok risiko rendah dan balita tertular HIV. Berita yang bersumber dari kegiatan sosialisasi lebih memilih isu yang sensasional yaitu tentang LGBT daripada melihat perilaku seksual sebagian suami yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Padahal, penyebutan LGBT dikaitkan langsung dengan HIV/AIDS tidak akurat karena tidak ada kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko seksual pada Lesbian. Sedangkan HIV/AIDS pada kalangan gay terjadi di kominias gay secara terbatas. HIV/AIDS pada transgender, dikenal sebagai waria, justru tertular dari kalangan laki-laki heteroseksual, sebagai beristri.
Yang jadi masalah besar adalah laki-laki biseksual yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, tapi juga tertarik secara seksual kepada laki-laki. Laki-laki biseksual jadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari komunitas LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki) ke masyarakat, dalam hal ini perempuan sebagai pasangan seks heteroseksual, al. istri.
Sosialiasi juga yang lebih memilih isu yang sensasional dapat dilihat dari pernyataan Bupati Lobar, H. Fauzan Khalid, yang juga Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)  Lobar, yang mengungkapkan kekhawatirannya akan perkembangan Kelompok LGBT yang telah berani menampakkan keberadaaanya secara terang- terangan dan tanpa malu-malu. Kelompok ini merupakan salah satu penyebab kasus HIV AIDS terbanyak juga.
Penularan dan penyebaran HIV/AIDS tidak ada kaitannya secara langsung dengan orientasi seksual. Maka, pernyataan "Kelompok ini merupakan salah satu penyebab kasus HIV AIDS terbanyak juga" tidak tepat karena tidak ada kasus HIV/AIDS pada L (Lesbian) dan kasus HIV/AIDS pada transgender atau waria justru datang dari kalangan laki-laki heteroseksual yang sebagian beristri, selanjutnya suami-suami lain tertular HIV dari waria.
Sebuah studi di Kota Surabaya (tahun 1990-an) menunjukkan yang jadi pelanggan seks waria adalah laki-laki heteroseksual yang beristri. Celakanya, suami-suami itu jadi 'perempuan' (ditempong) ketika seks dengan waria (waria menempong).
Itulah salah satu penyebab kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada ibu rumah tangga yang selanjutnya pada bayi dan balita. Selain dengan waria tidak sedikit pula suami yang jadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK). Risiko suami-suami tertular HIV/AIDS melalui seks dengan PSK adalah mereka tidak memakai kondom setiap kali seks dengan PSK.
Jika Pemkab Lobar ingin menanggulangi HIV/AIDS yang ditangani adalah PSK yaitu melakukan intervensi agar setiap laki-laki yang seks dengan PSK wajib memakai kondom. Tapi,ini hanya bisa dilakukan jika praktek PSK dilokalisir. 
Yang perlu diingat adalah penanggulangan HIV/AIDS pada laki-laki yang seks dengan PSK hanya bisa menurunkan jumlah kasus infeksi baru.
Tapi, persoalan jadi rumit karena praktek PSK tidak dilokalisir. Transaksi seks berisiko tertular HIV/AIDS dengan PSK terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai macam modus. Bahkan, memamai alat komunikasi ponsel dan media sosial.
Tanpa ada program konkret, tertutama intervensi terhadap transaksi seks yang melibatkan PSK, maka selama itu pula kasus HIV/AIDS baru akan terus terjadi. Pada gilirannya laki-laki dewasa, dalam kehidupan sehari-hari ada yang jadi suami, yang tertular HIV/AIDS dari PSK akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Penyebaran HIV di masyarakat terjadi secara diam-diam karena warga Lobar yang tertular HIV/AIDS yang belum terdeteksi tidak menyadari dirinya mengidap HIV/AIDS. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas pada fisik dan keluhan kesehatan warga yang mengidap HIV/AIDS.
Maka, Pemkab Lobar pun dituntut untuk membuat regulasi untuk mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS tanpa melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Tapa program yang riil penyebaran HIV/AIDS di Lobar ibarat 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

AIDS di Riau, Tidak Ada Kasus HIV/AIDS dengan Faktor Risiko Seks Lesbian

Ilustrasi (Sumber: bbc.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Ekslusif. Kasus HIV AIDS di Riau Didominasi LGBT. 64 Orang Usia Milenial. Ini judul berita di pekanbaru.tribunnews.com (8/10-2018).
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 24 Mei 2017, menyebutkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Provinsi Riau sampai tanggal 31 Maret 2917 adalah 5.567 yang terdiri atas 3.838 HIV dan 1.729 AIDS. Sedangkan periode Januari-September 2018 terdeteksi 393 kasus HIV/AIDS.
Pertama, pemakaian kata dominasi salah karena dominasi adalah penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah (dalam bidang politik, militer, ekonomi, perdagangan, olahraga, dan sebagainya) [KBBI]. Penularan HIV/AIDS tidak bisa didominasi oleh kelompok, jenis kelamin atau orientasi seksual.
Kedua, L pada LGBT adalah lesbian. Tidak ada laporan kasus penularan HIV dengan faktor risiko seks pada lesbian. Tidak ada seks penetrasi pada lesbian.
Ketiga, kalau yang disebut milenial berdasarkan usia yaitu di bawah 15-24 tahun, maka kasus HIV/AIDS pada kalangan tsb. justru realistis karena pada masa itu dorongan seks sangat kuat sehingga banyak yang melakukan seks berisiko tertular HIV/AIDS yaitu melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
Kekacauan kian menjadi-jadi pada lead berita: Penderita HIV dan AIDS di Riau dari kalangan anak muda atau generasi milenial cukup tinggi, didominasi kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
Orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tidak otomatis menderita. Kasus HIV/AIDS pada kaangan anak muda atau generasi milenial tinggi karena mereka, al. termakan mitos (anggapan yang salah) bahwa HIV/AIDS hanya menular melalui zina dengan PSK di lokalisasi pelacuran. Mereka justru seks bukan dengan PSK sehingga merasa tidak berisiko.
Padahal, PSK dikenal dua jenis, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan, dan
(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Banyak orang yang termakan mitos tertular HIV/AIDS karena seks dengan PSK tidak langsung.
Lagi pula kalau kasus HIV/AIDS banyak pada gay itu artinya penyebaran HIV/AIDS kecil karena mereka tidak punya istri. Bandingkan dengan laki-laki heteroseksual. Jika seorang laki-laki heteroseksual tertular HIV/AIDS, maka dia akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Yang beristri menularkan HIV ke istri (horizontal), kalau istri tertular ada pula risiko penularan ke janin yang dikandung istrinya kelak (vertikal). Bahkan, ada laki-laki yang beristri lebih dari satu.
Pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Mimi Yuliani Nazir, melalui Kabid Pencegahan Pengendalian Penyakit (P2P), Muhammad Ridwan, ini rancu. Disebutkan: " .... faktor risiko penyebaran kasus HIV dan AIDS ahun ini didominasi oleh kaum heteroseksual atau Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), yakni 124 kasus."
LGBT bukan heteroseksual, tapi homoseksual yaitu gay dan lesbian. Sedangkan biseksual adalah heteroseksual dan homoseksual. Sedangkan transgender ada yang heteroseksual dan ada pula yang homoseksual.
Disebutkan pula: " .... berdasarkan analisa Diskes dan Komisi Penanggulangan AIDS(KPA) Provinsi Riau, masih banyak kalangan muda terjangkit HIV/AIDS melalui aktifitas LGBT namun belum terdeteksi."
 Seperti dijelaskan di atas tidak ada faktor risiko penularan HIV/AIDS melalui seks pada lesbian. Aktivitas seks pada gay terjadi di komintas mereka. Yang jadi persoalan besar adalah laki-laki biseksual yang berperan sebagai heteroseksual (ada yang beristri) dan sebagai homoseksual sehingga mereka jadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari kominitas biseksual ke masyarakat, al. istri dan pasangan seks mereka.
Sedangkan transgender, yang jadi pelanggan waria adalah laki-laki heteroseksual sebagian besar beristri. Studi di Surabaya (1990-an) menunjukkan laki-laki heteroseksual yang beristri jadi 'perempuan' (ditempong) ketika seks dengan waria (waria jadi laki-laki yang menempong). Akibatnya, laki-laki heteroseksual beristri rentan tertular HIV/AIDS dari waria yang mengidap HIV/AIDS karena waria tidak memakai kondom ketika seks melalui anus laki-laki heteroseksual.
Dalam berita ini sama sekali tidak ada isu tentang laki-laki dewasa heteroseksual yang sering melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Apakah di Riau tidak ada PSK langsung dan PSK tidak langsung?
Kalaupun tidak ada, apakah ada jaminan tidak ada laki-laki dewasa warga Riau yang melakukan hubungan seksual berisiko tertular HIV di luar Riau atau di luar negeri?
Sedangkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS Riau sama sekali tidak menyentuh akar persoalan terkait upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.
Jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu: jumlah kasus yang terdeteksi (5.567) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Pernyataan ini jelas tidak benar: Di antaranya dengan memberikan edukasi dan menganjurkan pemakaian alat kontrasepsi menghindari penularan penyakit HIV/AIDS. Soalnya, tidak semua alat kontrasepsi bisa mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Yang bisa hanya kondom.
Selama tidak ada langkah konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Riau sebagai 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

AIDS Bandung Barat, Kematian Pengidap HIV/AIDS Bukan Karena HIV/AIDS

Ilustrasi (Sumber: independent.co.uk)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP


25 Warga Meninggal Akibat HIV AIDS, Ini yang Dilakukan Dinkes Bandung Barat. Ini judul berita di pikiran-rakyat.com (3/10-2018).
Judul berita ini menyesatkan karena belum ada kasus kematian pada pengidap HIV/AIDS karena HIV atau AIDS. Kematian pengidap HIV/AIDS bukan karena HIV/AIDS, tapi karena penyakit-penyakit yang ada pada masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) yang disebut sebagai infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.
Data Dinkes Kabupaten Bandung Barat, Jabar, sejak tahun 2011 sampai Juli 2018 terdeteksi 323 kasus HIV/AIDS dengan 25 kematian.
Penyesatan kian kental pada lead berita: "Sebanyak 25 orang di Kabupaten Bandung Barat meninggal akibat menderita HIV/AIDS ...."
Tidak semua orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS menderita. Semua pengidap penyakit menderita bukan hanya pengidap HIV/AIDS. Pengidap HIV/AIDS bisa menderita penyakit lain di masa AIDS jika tidak meminum obat antiretroviral (ARV) dan tidak ditangani oleh dokter.
Pernyataan di lead berita ini juga kacau-balau: Untuk meminimalisasi kasus HIV/AIDS, Dinas Kesehatan setempat mengintensifkan pemeriksaan voluntary counseling and testing (VCT) guna mendeteksi lebih dini resiko tertularnya penyakit tersebut.
Secara empiris menemukan kasus baru bukan mengurangi atau minimalisasi kasus HIV/AIDS, tapi justru menambah jumlah kasus HIV/AIDS. Deteksi dini terkait HIV/AIDS melalui tes HIV di Klinik VCT bukan meminimalkan kasus HIV/AIDS, tapi menambah jumlah kasus baru.
Lagi pula jika deteksi dini menemukan warga yang mengidap HIV/AIDS itu artinya sudah terjadi penularan HIV terhadap warga. Tes HIV melalui deteksi dini ada di hilir. Artinya, dibiarkan dulu warga tertular HIV baru dideteksi melalui tes HIV di Klinik VCT.
Dikatakan oleh Kepala Dinas Kesehatan KBB, Hernawan Widjajanto, didampingi Kasi Pengendalian Penyakit Menular, Asep Sutia, di antara kelompok yang rawan tertular HIV/AIDS, yaitu pelaku heteroseksual, laki seks laki, ibu hamil, dan ibu rumah tangga.
Kerawanan terhadap risiko tertular HIV/AIDS bukan karena orientasi seksual, seperti heteroseksual, tapi karena perilaku seksual yang berisiko tertular HIV pada orang per orang. Misalnya, laki-laki dewasa yang sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
Ibu hami dan ibu rumah tangga tidak rawan tertular HIV karena perilaku seksual mereka tidak berisiko. Mereka berada pada risiko tertular HIV karena suami mereka yang sering melakukan perilaku berisiko.
Dikatakan oleh Kadinkes Bandung Barat: "Untuk kelompok yang beresiko tertular HIV/AIDS ini, kami sarankan agar melakukan pemeriksaan VCT di rumah sakit."
Pernyataan ini tidak tepat karena yang berisiko tertular HIV bukan kelompok, tapi orang per orang. Seorang PSK pun bisa tidak berisiko kalau dia hanya melayani laki-laki yang memakai kondom.
Satu hal yang luput dari berita itu adalah perihal 25 warga Bandung Barat yang meninggal karena penyakit terkait HIV/AIDS. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi pada masa AIDS. Maka, ada kemungkinan sebelum meninggal mereka sudah menularkan HIV ke orang lain.
Yang jadi persoalan besar adalah kalau di antara 25 warga Bandung Barat yang meninggal itu ada PSK, maka ada ribuan laki-laki dewasa yang berisiko tertular HIV. Jika kematian terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular, maka ada 3.600 - 10.800 laki-laki yang berisiko tertular HIV (1 PSK x 3-5 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 5 atau 15 tahun).
Maka, sudah saatnya Pemkab Bandung  Barat membuat regulasi untuk mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS karena kasus yang terdeteksi tidak menggamarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. * [kompasiana.com/infokespro] *

Mencari Pengidap HIV/AIDS di Jakarta Barat

Ilustrasi (getty images)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Sudin Kesehatan Jakarta Barat Mencari Keberadaan Pengidap HIV/AIDS untuk Diobati. Ini judul berita di kompas.com (1/10-2018). Judul berita jadi kontra produktif dalam penanggulangan HIV/AIDS yang dilandasi empati.
Disebutkan bahwa Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat, Weningtyas, menyebut, pihaknya mencari pengidap penyakit HIV/AIDS di wilayahnya sebagai pemetaan populasi kunci yang akan dilakukan pada Oktober 2018.
Ada beberapa hal yang muncul dari judul berita dan kegiatan pemetaan tsb., yaitu:
Pertama, judul berita tsb. menyuburkan stigma (cap buruk) terhadap pengidap HIV/AIDS karena mereka harus dicari-cari untuk diobati.
Kedua, warga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS jika melalui tes HIV yang sesuai dengan standar porodusur operasi yang baku, seperti di Klinik VCT, maka mereka tidak perlu dicari-cari karena mereka sudah menerima konseling tentang HIV/AIDS sebelum dan sesudah tes HIV.
Ketiga, tidak semua pengidap HIV/AIDS membutuhkan pengobatan. Tidak semua pengidap HIV/AIDS terdeteksi dengan penyakit infeksi oportunistik. Jika mereka terdeteksi dengan penyakit, maka otomatis setelah tes HIV akan menerima pengobatan.
Keempat, tidak semua pengidap HIV/AIDS otomatis harus minum obat antiretroviral (ARV) ketika setelah tes HIV karena yang dianjurkan minum ARV adalah pengidap HIV/AIDS dengan CD4 di bawah 350.
Kelima, adalah hal yang mustahil mencari-cari pengidap HIV/AIDS di masyarakat karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka.
Kalau pun kemudian yang dijadikan sasaran adalah populasi kunci, yaitu pekerja seks komersial (PSK), penyalahguna narkoba dengan suntikan, lelaki suka seks dengan lelaki, dan waria juga akan menimbulkan kegaduhan yang berujung pada stigma dan diskriminasi (perlakuan berbeda).
Jika pencairan dilakukan dengan razia itu artinya terjadi perbuatan melawan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena PSK tidak dilokalisir. Apa dasar hukum menetapkan seorang perempuan sebagai PSK?
Yang paling tidak masuk akal adalah mendata PSK tidak langsung karena mereka ini tidak kasat mata, yaitu: PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Jika dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS yang jadi persoalan bukan PSK, tapi laki-laki yang menularkan HIV ke PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK. Dalam kehidupan sehari-hari mereka ini bisa sebagai suami, pacar, selingkuhan, duda atau lajang yang akan jadi mata rantai penularan HIV secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Yang jadi persoalan besar di Jakarta Barat adalah perilaku seksual sebagian warga laki-laki dewasa yang sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung. Ini membuat insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.
Disebutkan oleh Weningtyas: "HIV harus ditemukan sebanyak-banyaknya. Jadi, kalau ada banyak (yang ditemukan) jangan 'ih banyak banget', enggak. Justru memang harus dapat banyak, biar kalau ketemu diobatin sampai sembuh dan tuntas."'
Itu benar, tapi bagaimana caranya?
Bagaimana mencari-cari warga Jakarta Barat yang mengidap HIV/AIDS?
Apakah ada alat yang bisa mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS?
Adalah langkah yang naif mencari-cari pengidap HIV/AIDS hanya melalui pendataan populasi kunci karena yang jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terjadi secara diam-diam bagaikan 'bom waktu', justru bukan populasi kunci yaitu laki-laki dewasa heteroseksual penyuka seks dengan PSK.
Apakah Sudinkes Jakarta Barat bisa mendeteksi lelaki 'hidung belang' melalui pendataan?
Tidak perlu mencari-cari pengidap HIV/AIDS jika ada langkah yang komprehensif yang dijalankan dengan regulasi yang tidak melawan hukum dan tidak melanggar HAM. * [kompasiana.com/infokespro] *

Mengapa Jumlah Pengidap HIV/AIDS di Jakarta Barat Tidak Bisa Dikurangi?

Ilustrasi (Sumber: providencehealthcare.org)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Berdasarkan cara pelaporan kasus HIV/AIDS yang dipakai pemerintah yaitu kumulatif, jumlah kasus lama ditambah dengan kasus baru begitu seterusnya, maka jumlah kasus HIV/AIDS (yang terdeteksi) tidak bisa dikurangi biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal dunia.
Maka, judul berita "Kurangi Pengidap HIV/AIDS, Pemkot Jakarta Barat akan Lakukan Sosialisasi dan Pemetaan ke Masyarakat" (jakarta.tribunnews.com, 1/10-2018) jadi tidak masuk akal. Lagi pula bagaimana sosialisasi dan pemetaan bisa mengurangi pengidap HIV/AIDS?
Yang bisa dikurangi adalah insiden infeksi (penularan) HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Program yang dijalakan adalah intervensi ke tempat-tempat pelacuran untuk memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.
PSK sendiri dikenal ada dua jenis, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan, dan
(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Intervensi hanya bisa dilakukan kalau PSK dilokalisir. Sedangkan di Jakarta Barat transaksi seks yang melibatkan PSK, dalam hal ini PSK langsung dan PSK tidak langsung, terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu melalui berbagai cara, seperti memakai alat komunikasi telepon bahkan media sosial.
Yang menambah rumit adalah menjangkau PSK tidak langsung karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu yang tidak bisa diidentifikasi dengan mata telanjang.
Pertanyaan yang sangat mendasar untuk Sekretaris Kota Jakarta Barat, Eldi Andi dan Kasudin Kesehatan Jakarta Barat, Weningtyas Purnomo Rini:
(a) Apakah ada jaminan di wilayah Jakarta Barat tidak ada praktek PSK langsung?
Kalau jawabannya TIDAK, maka itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi pada laki-laki dewasa. Selanjutnya laki-laki yang tertular HIV dari PSK langsung akan menularkan HIV ke pasangannya, seperti istri, pacar, simpanan, selingkuhan, dll., terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
(b) Apakah ada jaminan di wilayah Jakarta Barat tidak ada praktek PSK tidak langsung?
Kalau jawabannya TIDAK, maka itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi pada laki-laki dewasa. Seterusnya laki-laki yang tertular HIV dari PSK langsung akan menularkan HIV ke pasangannya, seperti istri, pacar, simpanan, selingkuhan, dll., terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
(c) Apakah ada jaminan tidak ada laki-laki dewasa warga Jakarta Barat yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV di wilayah Jakarta Barat atau di luar wilayah Jakarta Barat atau di luar negeri?
Kalau jawabannya TIDAK, maka itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi pada laki-laki dewasa. Seterusnya laki-laki yang tertular HIV dari PSK langsung akan menularkan HIV ke pasangannya, seperti istri, pacar, simpanan, selingkuhan, dll., terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Tiga hal di atas saja sudah jadi pintu masuk HIV/AIDS ke masyarakat di Jakarta Barat. Celakanya, peraturan daerah (Perda) AIDS Jakarta pun sama sekali tidak bisa diandalkan karena tidak memberikan langkah konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS.
Disebutkan oleh Eldi: "Mudah-mudahan target yang ingin dicapai tahun 2030, three zero itu bisa terwujud. Zero New HIV Infection, Zero Stigma and Discrimination dan Zero AIDS Related Death. Itu yang diharapkan dari sosialisasi pemetaan."
Untuk mencapai 'zero new HIV infection' tentulah ada jaminan tidak ada lagi warga Jakarta Barat, laki-laki dan perempuan, yang melakukan perilaku yang berisiko tertular HIV, yaitu:
Tidak ada lagi laki-laki dan perempuan dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti di Jakarta Barat, di luar Jakarta Barat atau di luar negeri,
Tidak ada lagi laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung di Jakarta Barat, di luar Jakarta Barat atau di luar negeri,
Tidak ada lagi warga yang menyuntikkan narkoba secara bersama-sama dengan bergantian jarum suntik di Jakarta Barat, di luar Jakarta Barat atau di luar negeri.
Apakah Pemkot Jakarta Barat bisa menjamin tiga hal di atas? Kalau tidak bisa, maka yang diperlukan adalah program yang konkret untuk menurunkan, sekalai lagi hanya bisa menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Tapi, secara empiris intervensi hanya bisa dilakukan jika praktek PSK dilokalisir. Karena praktek PSK langsung di Jakarta Barat tidak dilokalisir itu artinya intervensi tidak bisa dilakukan sehingga insiden infeksi HIV baru terus terjadi.
Penularan HIV antar warga terjadi secara diam-diam karena warga yang mengidap HIV/AIDS tidak menyadari dirinya tertular HIV, al. karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan. Ini layaknya 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

Tes HIV Ada di Hilir, Pak Bupati Sikka

Ilustrasi (Sumber: empowermentprogram.org)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Gebrakan Bupati Sikka: Tes Darah HIV/AIDS Jadi Syarat Masuk Bekerja. Ini judul berita di kompas.com (20/9-2018).
Judul berita ini sensasional tapi tidak ada manfaatnya untuk penanggulangan HIV/AIDS karena tes HIV adalah langkah di hilir. Artinya, dibiarkan dulu warga tertular HIV baru dites. Maka, ini bukan gebrakan.
Jika ingin melakukan gebrakan untuk menanggulangi HIV/AIDS, secara empiris hanya bisa menurunkan, sekali lagi menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru khususnya pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Supaya dipahami, PSK ada dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan, dan
(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Celakanya, yang bisa diintervensi hanya PSK langsung. Tapi, lebih celaka lagi praktek atau transaski seks yang melibatkan PSK langsung sekarang tidak bisa lagi dijangkau karena tidak dilokalisir.
Sedangkan PSK tidak langsung jelas tidak bisa dijangkau karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai modus bahkan memakai media sosial.
Di lead berita disebutkan: Bupati Sikka, Nusa Tenggara Timur ( NTT), Fransiskus Roberto Diogo, memastikan akan memeriksa darah semua Aparatur Sipil Negara (ASN) di wilayah itu, untuk mengungkap penyakit mematikan HIV Aids.
Pertama, tes HIV hanya akurat jika darah diambil  minimal setelah tiga bulan tertular HIV. Itu artinya kalau Pak Bupati Roberto akan memeriksa darah semua Aparatur Sipil Negara (ASN), maka harus dilakukan tiap hari karena bisa saja ada ASN yang melakukan perilaku berisiko setelah tes HIV.
Kedua, tes HIV bisa menghasilkan positif palsu dan negatif palsu jika darah diambil di masa jendela yaitu belum tiga bulan tertular Hiv. Positif palsu adalah hasil tes reaktif, tapi tidak ada HIV di darah. Sedangkan negatif palsu adalah hasil tes nonreaktif, tapi HIV ada di darah.
Ketiga, maka semua hasil tes terhadap ASN apa pun hasilnya harus dilakukan tes konfirmasi. Maka, tes HIV dan tes konfirmasi harus dilakukan berulang-ulang.
Keempat, disebutkan 'mengungkap penyakit mematikan HIV Aids'. Sampai hari ini belum ada kasus kematian pengidap HIV/AIDS karena HIV atau AIDS. Kematian pengidap HIV/AIDS terjadi pada masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) karena penyakit-penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.
Kelima, untuk mengungkap atau mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi diperlukan langkah yang komprehensif, bukan dengan melakukan tes HIV kepada semua warga atau ASN. Ini langkah konyol karena tidak sistematis.
Disebutkan lagi: Tes darah itu lanjut Roberto, dilakukan agar diketahui dan langsung ditangani dengan diberi pengobatan.
Bukan tes darah, tapi tes HIV dengan memakai darah. Hasil tes HIV tidak otomatif akurat karena terkait dengan masa jendela dan hasil tes HIV juga, seperti direkomendasikan WHO, harus dikonfirmasi dengan tes lain.
Orang-orang yang terdeteksi HIV-positif melalui tes HIV tidak otomatis memerlukan pengobatan. Untuk meminum obat antiretroviral (ARV), misalnya, pengidap HIV harus menjalani tes CD4. Jika hasilnya di bawah 350 baru dianjurkan meminum obat ARV.
Dikatakan pula oleh Bupati Roberto: "Saya pernah tiga tahun jadi camat dan tiga bulan pertama langsung kita periksa ibu-ibu. Dari hasil pemeriksaan itu, kita berhasil temukan ada warga yang terinveksi HIV/AIDS, sehingga kita kemudian lakukan pembinaan dan pendampingan."
Pertanyaan yang sangat mendasar untuk Bupati Roberto: Apakah suami ibu-ibu yang terdeteksi HIV juga menjalani tes HIV?
Kalau jawabannya tidak, maka itu artinya Pak Bupati membiarkan suami ibu-ibu itu menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Disebutkan juga: Tes darah itu lanjut Roberto, bahkan menjadi syarat untuk tenaga kerja yang akan bekerja di Kabupaten Sikka.
Tes HIV bukan jaminan seseorang akan bebas HIV/AIDS selamanya karena bisa saja setelah tes HIV dengan hasil negatif ybs. melakukan perilaku berisiko sehingga tertular HIV. "Tes HIV bukan vaksin, Pak Bupati."
Ada juga pernyataan: Roberto berharap, dengan adanya pemeriksaan darah itu, jumlah penderita HIV di wilayahnya bisa diketahui dengan pasti dan segera dicarikan langkah cerdas untuk penanganannya.
Yang jadi persoalan bukan soal jumlah pengidap HIV/AIDS, tapi perilaku seksual orang per orang. Mendeteksi jumlah warga Sikka yang mengidap HIV/AIDS adalah langkah di hilir. Artinya, tes HIV hanya menjaring warga yang sudah tertular HIV lebih dari tiga bulan.
Masalah utama ada di hulu yaitu insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung. Maka, yang diperlukan adalah langkah konkret untuk menurunkan jumlah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Indikator insiden infeksi HIV baru pada laki-laki adalah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Sejak kasus HIV/AIDS pertama ditemukan di Kab. Sikka, NTT, pada tahun 2003 sampai Maret 2018 kasus terbanyak ditemukan pada ibu rumah tangga yaitu 161 dari 537 kasus kumulatif HIV/AIDS  (kupang.tribunnews.com, 2/3-2018). Itu artinya banyak suami di Sikka yang seks tanpa kondom, al. dengan PSK. Dilaporkan ada 35 PSK di Sikka yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS (kupang.tribunnews.com, 2/3-2018).
Maka, tanpa langkah konkret dan sistematis, maka Pak Bupati akan terus menemukan kasus HIV baru pada warga melalui tes HIV yang akan terus dilakukan.
Penularan HIV yang terjadi secara diam-diam di masyarakat Sikka jadi 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

HIV/AIDS pada Ibu Rumah Tangga Terbanyak Ketiga di Kab. Kediri

Ilustrasi (Sumber: candlelightmemorial.org)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Miris Sekali, Penderita HIV -- AIDS Meningkat Didominasi Pekerja Seks. Ini judul berita di duta.co (17/9-2018). Judul berita ini sama sekali tidak berpijak pada fakta medis terkait dengan epidemi HIV/AIDS. Ini terjadi di Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Pertama, HIV/AIDS pada pekerja seks komersial (PSK) tidak tiba-tiba muncul, tapi al. ditularkan oleh laki-laki pengidap HIV/AIDS melalui hubungan seksua tanpa kondom. Bisa sebelum jadi (PSK) ditularkan oleh pacar atau suami, tapi bisa juga seorang PS pengidap HIV/AIDS tertular dari laki-laki yang mereka layani secara seksual.
Kedua, dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan HIV kepada PSk bisa sebagai seorang remaja, pemuda, lajang, duda atau suami. Nah, di masyarakat mereka, terutama suami, jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Ketiga, kalau istri-istri mereka tertular HIV/AIDS, maka ada pula risiko penularan secara vertikal dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya kelak. Celakanya, tidak ada regulasi yang komprehensif dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga yang hamil.
Keempat, ada ratusan bahkan ribuan laki-laki 'hidung belang' yang berisiko tertular HIV/AIDS karena mereka melakukan hubungan seksual dengan PSK pengidap HIV/AIDS. Ini terjadi karena tidak bisa dikenali PSK yang mengidap HIV/AIDS dari fisiknya.
Kelima, dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK bisa sebagai seorang remaja, pemuda, lajang, duda atau suami. Nah, di masyarakat mereka, terutama suami, jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Keenam, kalau istri-istri mereka tertular HIV/AIDS, maka ada pula risiko penularan secara vertikal dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya kelak. Celakanya, tidak ada regulasi yang komprehensif dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga yang hamil.
Enam hal di ataslah yang jadi persoalan besar dalam epidemi HIV/AIDS di Indonesia. Celakanya, tidak ada program yang komprehensif untuk menanggulangi masalah enam poin di atas. Itu artinya penyebaran HIV/AIDS terus terjadi secara diam-diam di masyarakat Kab Kediri.
Disebutkan dari tahun 2017 sampai Juni 2018 Dinkes Kab Kediri mendeteksi 390 kasus HIV/AIDS baru. Dari jumlah ini 28,8 persen adalah pekerja seks komersial (PSK).
Kalau saja wartawan dan narasumber berita lebih jeli menempatkan data terkait dengan epidemi HIV/AIDS, maka HIV/AIDS pada PSK adalah masalah besar, karena banyak laki-laki dewasa, bahkan yang beristri, jadi pelanggan PSK. Itu artinya akan banyak pula ibu rumah tangga yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Disebutkan dalam berita: Kini pihaknya masih gencar melakukan sosialisasi terkait pencegahan penularan HIV-AIDS kepada masyarakat.
Sosialisasi sudah dilakukan sejak awal epidemi, tapi karena selalu dibumbui dengan moral maka informasi HIV/AIDS pun bukan lagi fakta medis tapi berubah jadi mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan PSK, lokalisasi, homoseksual, zina, dll.
Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual (di dalam dan di luar nikah (sifat hubnngan seksual) terjadi karena kondisi hubungan seksual yaitu salah satu adau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.
Lagi pula insiden infeksi HIV baru terus terjadi melalui hubungan seksual laki-laki dewasa dengan PSK. Celakanya, transaksi seks yang melibatkan PSK tidak lagi dilokalisir sehingga tidak bisa dilakukan intervensi. Dengan data jumlah kasus HIV/AIDS di Kab Kediri terbanyak ketiga terdeteksi pada ibu rumah tangga (16,4 persen) menunjukkan suami-suami mereka bisa jadi adalah pelanggan PSK.
Maka, tanpa program yang konkret insiden infeksi HIV/AIDS baru akan terus terjadi di Kab Kediri yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

"Tidak Ada Penularan HIV Baru di Jawa Tengah" Hanya Sebatas Slogan

Ilustrasi (Sumber: NurseBuff)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

2.274 Orang Terpapar HIV/AIDS di Jateng, Penularan Didominasi Hubungan Seks. Ini judul berita di news.okezone.com (7/9-2018). Ada beberapa hal yang jadi persoalan besar dari judul berita ini.
Angka ini adalah jumlah yang terdeteksi pada priode Januari-Juni 2018. Sedangkan secara kumulatif jumlah kasus HIV/AIDS di Jawa Tengah mulai 1993 sampai Juni 2018 dilaporkan 23.603 yang terdiri atas 13.035 HIV dan 10.568 AIDS dengan 1.672 kematian.
Pertama, pemakaian kata 'terpapar' jelas tidak pas karena terpapar, dalam kontek HIV/AIDS, berarti virus (HIV) kena ke permukaan kulit. Dalam kaitan berita ini penularan HIV/AIDS terjadi melalui hubungan seksual bukan karena darah pengidap HIV/AIDS terkena ke permukaan kulit.
Kedua, pemakaian kata 'dominasi' juga tidak tepat karena dalam KBBI disebut dominasi adalah penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah (dalam bidang politik, militer, ekonomi, perdagangan, olahraga, dan sebagainya). Maka, yang tepat adalah 'penularan terbanyak melalui hubungan seksual'.
Ketiga, yang perlu dipersoalkan adalah mengapa banyak kasus penularan melalui hubungan seksual? Sayang, wartawan dan narasumber berita ini tidak membahas hal ini. Ada kesan lebih tertuju pada sensasi.
Keempat, adalah hal yang wajar penularan HIV/AIDS terbanyak melalui hubungan seksual karena: (a) banyak yang melakukan, dan (b) banyak yang tidak menerapkan seks aman.
Kelima, jumlah kasus yang dilaporkan, dalam hal ini 2.274, tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya ada di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (2.274) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan ari laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Kalau saja wartawan yang menulis berita ini lebih arif, maka yang dibahas adalah: mengapa banyak warga yang tertular HIV melalui hubungan seksual?
Pembahasan aspek ini juah lebih bermanfaat daripada memunculkan angka dan pernyataan yang tidak memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Misalnya, jumlah kematian terkait dengan HIV/AIDS yaitu 1.672. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi di masa AIDS yang secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV. Artinya, sebelum mereka ini meninggal tanpa mereka sadari mereka sudah menularkan HIV ke orang lain, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Andaikan ada 1 PSK yang meninggal karena penyakit terkait HIV/AIDS, maka sudah ratusan bahkan ribuan laki-laki yang berisiko tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom. Nah, kalau saja dalam berita dijelaskan bahwa dari 1.672 pengidap HIV/AIDS yang meninggal ada PSK, maka berita pun menjelaskan agar laki-laki yang pernah seks dengan PSK segera menjalani tes HIV karena ada risiko tertular HIV.
Inilah yang diharapkan dari berita agar terjadi perubahan cara berpikir masyarakat terkait dengan cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS. Soalnya, salah satu fungsi media massa dan media online adalah sebagai agent of change yaitu agen perubahan.
Dikatakan oleh Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Jateng, Zaenal Arifin: Masih adanya stigma buruk pada penderita HIV/AIDS menjadikan mereka enggan melapor atau memerisakan kesehatannya ke rumah sakit.
Stigma terjadi kepada orang-orang yang dipublikasikan sebagai pengidap HIV/AIDS, dan mereka ini tidak perlu melapor atau memeriksakan kesehatan karena sudah tercatat di Dinkes dan KPA melalui tempat tes.
Yang jadi persoalan adalah banyak orang yang termakan mitos (anggapan yang salah) sehingga celaka yaitu tertular HIV. Tapi, mereka tidak menyadari sudah tertular HIV karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatna mereka.
Karena sejak awal epidemi informasi HIV/AIDS dibumbi dengan moral, maka yang muncul hanya mitos. Misalnya, disebutkan sejak awal bahwa HIV/AIDS hanya menular melalui PSK di lokalisasi pelacuran.
Nah, banyak laki-laki yang merasa tidak berisiko tertular HIV karena mereka tidak seks dengan PSK di lokalisasi pelacuran. Begitu pula dengan perempuan merasa tidak berisiko melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan laki-laki yang berganti-ganti karena mereka bukan PSK.
Pengalaman guru agama di Sumut ini bisa jadi gambaran riil yang jadi masalah besar di masyarakat.
Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luat ikan pernihanan yang sah (sifat hubungan seksual) kalau salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali seks (kondisi hubungan seksual).
Disebutkan dalam berita: Pemerintah terus berupaya melakukan program penanggulangan HIV/AIDS dengan 3 Zero, yaitu tidak ada penularan baru HIV ....
Celakanya, tidak jelas langkah konkret apa yang dilakukan untuk meniadakan penularan HIV baru. Maka, pernyataan itu pun bagaikan utopia atau khayalan. Perda AIDS Jawa Tengah pun tidak memberikan program penanggulangan yang realistis.
Yang diperlukan adalah program penanggulangan yang konkret al. menurukan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru pada lak-laki dengan cara intervensi agar laki-laki memakai kondom setiap kali seks dengan PSK.
Tanpa langkah yang konkret maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang seterusnya jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat sebagai 'bom waktu' yang kelak bermuaara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *