13 Januari 2019

AIDS di Badung, Terbanyak Melalui Hubungan Seksual Hal yang Wajar

Ilustrasi (Sumber: ashokanews.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Virus HIV/AIDS terus menyerang Kabupaten Badung (Bali-pen.). Bahkan data terakhir di bulan Agustus 2018, di Kabupaten Badung terdapat 3.152 kasus. Ini lead pada berita Penularan Penyakit HIV/AIDS Terbanyak Berasal dari Hubungan Seks dan Narkoba (tribunnews.com, 7/9-2018).
Penyebutan 'terus menyerang' terkait dengan epidemi HIV/AIDS merupakan kesalahan besar karena sebagai virus HIV ada di dalam tubuh, tepatnya di darah, orang-orang yang mengidap HIV/AIDS. HIV tidak bisa keluar dari tubuh pengidap HIV/AIDS lalu menyerang orang lain.
Jangankan menyerang, keluar dari darah di udara terbuka saja HIV sudah koit (mati). Apalagi HIV harus berjalan atau terbang tentu melewati udara terbuka. Dan ini sangat mustahil.
Yang lebih tepat bukan penjelasan tentang hubungan seksual sebagai faktor risiko penularan HIV di Badung, tapi pertanyaan ini: Mengapa banyak warga Badung yang tertular HIV melalui hubungan seskual?
Kalau saja wartawan yang menulis berita ini jeli dan narasumber juga memahami epidemi HIV, maka berita merupakan pemaparan tentang risiko tertular HIV melalui hubungan seksual dan jarum suntik narkoba.
Biar pun penularan HIV juga bisa melalui transfusi darah, tapi warga yang menerima transfusi sangat sedikit jika dibandingkan dengan yang melakukan seks setiap hari. Lagi pula darah yang akan ditransfusikan sudah melewati skirining HIV di PMI.
Pertama, kasus HIV/AIDS banyak dengan faktor risiko hubungan seksual adalah wajar dan realistis karena banyak warga yang melakukannya dan setiap saat ada hubungan seksual yang terjadi.
Kedua, hubungan seksual berisiko tertular HIV bisa terjadi di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
PSK sendiri dikenal ada dua jenis, yaitu:
(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan, dan
(b). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Ketiga, karena praktek PSK langsung sudah tidak dilokalisir maka transaksi seks pun terjadi tanpa bisa dilakukan intervensi seperti ketika ada lokalisasi pelacuran. Intervensi adalah memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali seks dengan PSK. Akibatnya, laki-laki yang seks dengan PSK langsung berisiko tinggi tertular HIV karena PSK adalah orang yang perilaku seksnya berisiko tertular HIV.
Keempat, karena selama ini ada mitos (anggapan yang salah) bahwa HIV/AIDS hanya menular melalui PSK langsung, maka laki-laki yang seks dengan PSK tidak langsung merasa tidak berisiko sehingga mereka tidak memakai kondom. Transaksi seks dengan PSK tidak langsung terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu melalui berbagai modus, bahkan memakai media sosial. Itu artinya insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang seks dengan PSK tidak langsung sangat tinggi probabilitasnya.
Kelima, penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) ada yang berkelompok memakai narkoba dengan jarum suntik. Celakanya, jarum suntik dan tabung mereka pakai secara bergantian. Nah, kalau di antara mereka ada yang mengidap HIV/AIDS maka yang lain pun berisiko tertular HIV karena darah pengidap HIV/AIDS yang masuk ke jarum akan disuntikkan yang lain ke badannya tanpa mereka sadari. Probabilitas penularan HIV melalui jarum suntik (dalam hal ini darah) adalah 90 persen.
Selama tidak ada program yang konkret di hulu yaitu intervensi terhadap laki-laki agar memakai kondom setiap kali seks dengan PSK, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Laki-laki yang tertular HIV jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Sedangkan upaya penanggulangan pada penyalahguna narkoba dengan jarum suntik adalah subsitusi metadon. Mereka tidak lagi menyuntik narkoba, tapi diberikan narkoba (palsu) cair. Sayang, program ini ditentang banyak kalangan, tapi mereka tidak bisa memberika jalan keluar yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV pada penyalahguna narkoba dengan suntikan.
Disebutkan pula: Bahkan ia mengatakan pada bulan agustus ini, kelompok umur yang paling tinggi menyerang usia 20-49 tahun sebanyak 2.843 orang yaitu 90,5 % dari total kasus.
Adalah hal yang wajar karena pada usia itulah libido seks yang bergejolak. Mereka juga pekerja sehingga punya uang untuk membeli seks, baik ke PSK langsung maupun PSK tidak langsung.
Dikatakan oleh Wakil Bupati Badung, I Ketut Suiasa, yang juga Ketua Pelaksana Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Badung: "Saya juga berharap agar generasi muda sejak dini selalu memeriksakan kesehatannya untuk mengetahui kena apa tidak dari penyakit tersebut."
Pernyataan ini tidak pas karena tidak semua warga berisiko tertular HIV/AIDS. Hanya mereka yang perilaku seksnya berisiko dan penyalahguna narkoba dengan jarum suntik saja yang dianjurkan tes HIV.
Lagi pula, kalau yang diandalkan tes HIV itu artinya langkah penanggulangan di hilir. Justru membiarkan warga tertular HIV dahulu baru ditangani.
Yang diperlukan adalah langkah penanggulangan yang konkret di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru khususnya pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.
Tanpa program yang konkret di hulu, maka penyebaran HIV/AIDS di masyarakat Badung akan terus terjadi karena laki-laki yang tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan mereka.
Itu artinya epidemi HIV/AIDS di Kabupaten Badung terjadi secara diam-diam sebagai 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

Kasihan Istri Harus Merasakan Infeksi HIV Akibat Ulah Suami

Ilustrasi (Sumber: medscape.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Tanya Jawab AIDS No 4/September 2018
Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Tanya-Jawab AIDS ini dimuat di: "AIDS Watch Indonesia" (http://www.aidsindonesia.com) dan kompasiana.com/infokespro. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap, melalui: (1) Telepon (021) 8566755, (2) e-mail: aidsindonesia@gmail.com, (3) SMS 08129092017, dan (4) WhatsApp:  0811974977. Redaksi.
*****
Tanya: (1) Setelah hubungan intim, berapa tahun akan posituf kena HIV bila cek ke dokter? Saya pernah make cw malam (pekerja seks-peng.), tapi itu sekitar 2 tahun yang lalu, (2) Apabila dicek ke puskesmas apa bisa terdeteksi? Akhir-akhir ini saya merasa pahit pada lidah dan tenggorokan kering. Saya menikah beberapa bulan lalu, waktu itu saya cek darah hasilnya negatif dan saya sehat.
Tapi, belakangan ini tubuh saya kok  kurang fit. Yang saya rasakan saat ini tenggorokan kering, lidah terasa tebal, sering sakit kepala dan kalau kerja cepat lemas, (3) Apakan ini penyakit itu (AIDS-peng.) ya? Saya takut peyakit itu, kasihan istri saya. (4) Solusinya gimana ya?
Dulu saya pernah kencing nanah berobat ke dokter 3 kali dan sembuh. Setelah itu saya berhenti main cw,(5) Apa ada hubunganya (dengan AIDS-peng.)?
(6) Saya tidak berani tes HIV karena takut hasilya positif. Yang ada di pikiran saya, saya kasihan istri saya bila saya kena peyakit itu. Istriku yang tidak salah juga harus merasakan akibatnya. Terus terang, setelah selancar di Google saya susah tidur.
(7) Kalau hasil tes HIV saya positif, bagaimana dengan istri saya? (8) Saya tidak berani mengatakan hasil positif ke istri saya.
Via WA (9/9-2018)
Jawab: (1) dan (2) Hasil tes HIV dengan ELISA sudah akurat setelah 3 bulan dari perilaku berisiko, dalam hal ini setelah 'main cw malam'. Tapi, ingat biar pun hasil tes HIV negatif itu tidak jaminan selamanya akan negatif HIV karena bisa saja Saudara kembali melakukan perilaku-perilaku berisiko tertular HIV sehingga Saudara tertular HIV.
Saudara sebut sebelum menikah beberapa bulan yl. Saudara cek darah dengan hasil negatif. Cek darah tidak otomatis sebagai tes HIV karena tes HIV mempunyai aturan sendiri.
Gejala-gejala yang Saudara alami tidak otomatis terkait dengan infeksi HIV. Tapi, karena Saudara pernah melakukan perilaku berisiko, maka gejala-gejala tsb. jadi alasan kuat untuk jalani tes HIV secara sukarela.
(3) dan (4) Tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan, tapi gejala itu bisa terkait jika pernah atau sering melakukan perilaku-perilaku, al. perilaku seks, yang berisiko tertular HIV. Langkah terbaik untuk memupus kekhawatiran Saudara adalah dengan menjalani tes HIV. Kalau hasilnya negatif Saudara akan dikonseling agar menjaga perilaku. Jika hasilnya positif akan dilakukan konseling pasangan agar tidak terjadi penularan ke istri.
(5) Cara penularan HIV persis sama dengan 'penyakit kelamin' (disebut IMS/infeksi menular seksual, seperti GO/kencing nanah, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, virus kanker serviks, dll.). Orang-orang yang mengidap 'penyakit kelamin' lebih mudah tertular HIV jika seks dengan pengidap HIV/AIDS karena ada 'penyakit kelamin' menyebabkan infeksi di alat kelamin yang jadi pintu masuk HIV.
(6) Akan lebih kasihan kalau status HIV Saudara tidak diketahui. Jika ternyata Saudara mengidap HIV/AIDS akan terjadi penularan ke istri. Kalau istri Saudara tertular HIV, maka ada pula risiko penularan secara vertikal ke bayi yang dikandung istri Saudara kelak.
(7) dan (8) Jika hasil tes Saudara positif, maka istri Saudara juga dianjutkan untuk tes HIV. Konselor, maka tes HIV-lah di tempat-tempat tes yang dirujuk pemerintah yaitu Klinik VCT di Puskesma atau rumah sakit, akan membantu Saudara menjelaskan hasil tes ke istri. Selanjutnya akan ditangani secara medis agar Saudara dan istri bisa tetap menjalani hidup dengan baik.
Kalau ada masalah, silakan kontak kami. * [kompasiana.com/infokespro] *
Dok Pribadi
Dok Pribadi

Ketakutan Kena AIDS Setelah Petting dengan Terapis

Ilustrasi (Sumber: Onlymyhealth)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Tanya Jawab AIDS No 3/September 2018
Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarkan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Tanya-Jawab AIDS ini dimuat di: "AIDS Watch Indonesia" (http://www.aidsindonesia.com) dan kompasiana.com/infokespro. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap, melalui: (1) Telepon (021) 8566755, (2) e-mail: aidsindonesia@gmail.com, (3) SMS 08129092017, dan (4) WhatsApp:  0811974977. Redaksi.
*****
Tanya: Akhir-akhir ini saya resah. Saya mau tanya: (1) Apakah petting bisa tertular penyakit HIV? (2) Jika ada cairan vagina tersentuh, apakah bisa tertular HIV? Saya petting dengan terapis di panti pijat ++. Saya tidak menyadari apakah waktu itu ASI-nya kesedot atau tidak. Saya sudah nggak akan gituan lagi dan saya jadi takut dengan hidup saya. (3) Saya ingin tes HIV setelah petting, nunggu waktu berapa minggu, biar tahu kalau ada virus atau enggak?
Via WA (8/9-2018)
Jawab: (1) Saudara melakukan petting (kegiatan-kegiatan seksual tanpa penetrasi dengan memakai tangan dan alat kelamin), al. mencium payu dara terapis. Persoalan utama Saudara adalah: apakah terapis itu mengidap HIV/AIDS atau tidak? Dalam hal ini terapis itu seorang perempuan dengan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS karena sering ganti-ganti pasangan seksual.
Mencium dan mengisap puting terapis bisa ada risiko penularan HIV kalau terapis mengidap HIV/AIDS. Air susu ibu (ASI) merupakan salah satu cairan yang bisa jadi media penularan HIV/AIDS. Yang jadi masalah tidak bisa diketahu apakah terapis tsb. mengidap HIV/AIDS atau tidak dengan hanya melihat fisiknya.
(2) Cairan vagina juga menjadi media penularan HIV kalau ybs. mengidap HIV/AIDS. Tidak jelas yang Saudara lakukan pada petting, apakah hanya memakai jari atau juga dengan memakai penis. Nah, kalau penis bersentuhan dengan cairan vagina ada risiko penularan HIV kalau terapis mengidap HIV/AIDS.
(3) Risiko Saudara memang kecil, tapi untuk menghilangkan kekhawatiran bisa juga menjalani tes HIV secara sukarela di Klinik-klinik VCT di Puskesmas atau rumah sakit di tempat Saudara. Agar hasil tes akurat Saudara harus menunggu minimal tiga bulan ke depan baru tes HIV.
Jika Saudara melakukan tes HIV Saudara akan menerima konseling sebelum dan sesudah tes HIV. Kalau hasilnya negatif Saudara akan diajak untuk tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS. Jika hasil tes positif, Saudara akan ditangani secara medis untuk melanjutkan kehidupan. * [kompasiana.com/infokespro] *
Dok Pribadi
Dok Pribadi

AIDS pada Mahasiswa di Yogyakarta Jadi Sorotan

Ilustrasi (Sumber: india.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Karena ODHA Mulai Berani Melapor. Ini judul berita di radarjogja.co.id(5/9-2018). Judul ini amat sangat rancu, karena:
Pertama, pemakaian kata 'melapor' sangat tidak layak karena infeksi HIV/AIDS bukan urusan polisional sehingga tidak perlu melapor.
Kedua, penulisan kata "ODHA" tidak pas karena yang dikenal adalah "Odha" bukan huruf kapital karena bukan akronim atau singkatan tapi kata yang mengacu ke Orang dengan HIV/AIDS. Istilah ini diperkenalkan mendiang Prof Dr Anton M Moeliono, pakar bahasa di Pusat Bahasa, Kemendikbud RI (Baca juga: Syaiful W. Harahap, Pers Meliput AIDS, Penerbit PT Sinar Harapan/Ford Foundation, Jakarta, 2000, catatan kaki 2 hlm 17). Odha sebagai padanan dari people living with HIV/AIDS (PLWH) yang diperkenalkan secara internasional.
Ketiga, kalau disebut Odha itu artinya orang-orang yang mengidap HIV/AIDS yang diketahui melalui tes HIV. Pengidap HIV/AIDS yang terdeteksi melalui tes HIV di tempat-tempat tes yang dirujuk pemerintah, disebut Klinik VCT yaitu tempat tes HIV secara sukarela dengan konseling, sudah pasti akan masuk dalam daftar resmi.
Lalu, Odha mana yang disebut berani melapor? Dalam berita tidak ada penjelasa tentang jumlah Odha yang terdeteksi di Klinik-klinik VCT di DI Yogyakarta dan yang 'berani melapor'. Apakah yang 'berani melapor' itu Odha yang tidak tes di klinik VCT di DI Yogyakarta? Tidak jelas juga.
Data Dinas Kesehatan (Dinkes) DI Yogyakarta menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS sejak tahun 1993 sampai September 2018 mencapai 6.126 yang terdiri atas 4.472 HIV dan 1.654 AIDS (jpnn.com, 5/9-2018).
Disebutkan bahwa kasus HIV/AIDS terbanyak terdeteksi pada mahasiswa, disebut juga usia produktif. Tapi, ini adalah hal yang masuk akal karena usia produktiflah libido tinggi.
Disebutkan bahwa data tentang kasus HIV/AIDS pada mahasiswa ditanggapi beragam. Salah satu di antaranya oleh pengamat sosial Universitas Gadjah Mada (UGM), Pande Made Kutanegara, yang mengatakan hal itu (kasus HIV/AIDS pada mahasiswa) salah satunya dipengaruhi tingginya migrasi HIV di kalangan mahasiswa. "Mahasiswa baru (pengidap HIV, Red) dari luar daerah masuk ke Jogja. Prevalensi di Jogja jadi tinggi," kata Made.
Pernyataan ini merupakan salah satu bentuk penyangkalan. Soalnya, apakah semua mahasisa baru yang kuliah di Yogyakarta menjalani tes HIV ketika mereka pertama kali datang ke Yogyakarta?
Kalau jawabannya TIDAK, maka bisa saja mahasiswa baru itu tertular HIV di Yogyakarta. Lalu, apakah tidak ada mahasiswa asli Yogyakarta yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS?
Dikatakan oleh Made: "Dengan pendekatan khusus kini tak sedikit pengidap HIV/AIDS berani datang ke lembaga-lembaga pendampingan untuk melapor."
Apakah mahasiswa baru 'berani melapor' bahwa mereka pengidap HIV/AIDS? Berapa persentasenya dibandingkan dengan mahasiswa yang terdeteksi di Yogyakarta?
Ada lagi pernyataan: Dengan melibatkan aparat kepolisian untuk menjelaskan dampak penyalahgunaan narkoba dan seks bebas. Yang berdampak pada penyebaran HIV/AIDS.
Pernyataan di atas adalah mitos (anggapan yang salah) karena penyalahgunaan narkoba tidak otomatis terkait langsung dengan penularan HIV. Risiko penularan HIV/AIDS pada penyalahguna narkoba hanya ada jika narkoba disuntikkan secara bersama-sama dengan memakai jarum suntik bergantian.
Seks bebas adalah istilah yang ngawur karena tidak jelas apa yang dimaksud dengan seks bebas. Kalau seks bebas diartikan melacur dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokasi atau lokalisasi pelacuran, maka inilah yang menyuburkan mitos. Risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubunga seksual, dalam hal ini disebut seks bebas, tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Ini fakta (medis).
Ada lagi pernyataan yang disebutkan oleh Pimpinan Victory Plus Yogyakarta, Samuel Rahmat Subekti: Kedua, ODHA harus memiliki pengetahuan dan dibekali informasi yang benar.
Tes HIV di Klinik-klink VCT jelas dan tegas diawali dengan konseling yaitu pemberian informasi yang akurat tentang HIV/AIDS, tes HIV, pengobatan, dll. yang merupakan asas sebagai standar prosedur operasi yang baku. Kalau ada Odha yang tidak memahami HIV/AIDS secara benar itu artinya tes HIV tidak dijalankan secara taat asas.
Begitu juga dengan hal ini: Keempat, ODHA diharapkan tidak menularkan virus tersebut. ODHA harus tahu cara mencegah agar tak menularkan virusnya kepada orang lain. Ketika seseorang mengikuti konseling di Klnik VCT dan memutuskan untuk menjalani tes HIV, maka mereka harus berikrar bahwa mereka akan menghentikan penularan HIV/AIDS mulai dari dirinya.
Pernyataan Samuel itu jadi tanda tanya besar: Apakah tes HIV di Klinik VCT tidak dilakukan sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku?
Kalau saja wartawan yang menulis berita ini memahami tes HIV dengan benar, maka yang diulas adalah dua hal di atas yang disampaikan Samuel.
Samuel juga menyarankan setiap pasangan yang akan menikah melakukan tes HIV/AIDS. Hal ini sebagai salah satu bentuk pencegahan penularan HIV/AIDS.
Tes HIV sebelum menikah tidak jaminan pasangan tsb. akan bebas HIV selamanya karena bisa saja setelah menikah ada di antara pasangan itu yang melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV. Tes HIV sebelum menikah juga bisa jadi bumerang kalau kelak istri terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Suami akan membusungkan dada dengan menunjukkan surat 'bebas AIDS' yang diperoleh ketika tes HIV sebelum menikah. Itu artinya suami menuduh istri yang selingkuh.
Di bagian lain Made mengatakan: Pendekatan lewat agama juga perlu. Namun, harus lebih dititikberatkan pada upaya preventif.
Tidak semua faktor risiko penularan HIV/AIDS terkait langsung dengan agama. Dalam ikatan pernikahan yang sah secara agama dan negara pun bisa terjadi penularan HIV kalau salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.
Sedangkan Rektor Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta, Sari Bahagiarti, mengatakan, guna menangkal penularan HIV/AIDS setiap mahasiswa diwajibkan aktif dalam unit-unit kegiatan kemahasiswaan (UKM), baik berbasis keilmuan maupun minat bakat."Agar jauh dari ancaman narkoba dan pergaulan bebas mereka harus disibukkan dengan kegiatan positif."
Tidak jelas apa yang dimaksud dengan pergaulan bebas karena kalau yang dimaksud dengan pergaulan bebas adalah hubungan seksual di luar nikah, maka itu tidak terkait dengan penularan HIV/AIDS. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual. Lagi pula tidak ada cara penyaluran dorongan seksual selain melalui hubungan seksual atau 'seks swalayan' yiatu onani dan masturbasi. Maka, yang perlu diberikan kepada mahasiswa adalah cara-cara yang konkret untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Agaknya, wartawan yang menulis berita ini terobsesi dengan kata 'mahasiswa' terkait dengan HIV/AIDS sehingga ada kesan sensasional jika diangkat jadi berita. Ini jelas keliru karena yang jadi persoalan besar dalam epidemi HIV/AIDS bukan mahasiswa, tapi laki-laki dewasa beristri.
Ketika seorang mahasiswa tertular HIV/AIDS virus sudah berhenti pada dirinya. Sedangkan seorang suami yang tertular HIV akan menularkan virus tsb. ke istrinya. Bahkan, ada yang beristri lebih dari satu. Jika istri tertular HIV, maka ada pula risiko penularan ke bayi yang dikandungnya kelak.
Kalau hanya berkutat di seputar mitos, maka penanggulangan HIV/AIDS di Yogyakarta hanya sebatas orasi moral yang tidak menyentuh akar persoalan. Masalah besar adalah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.
Jika tidak dilakukan intervensi berupa memaksa laki-laki pakai kondom setiap kali seks dengan PSK, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang selanjutnya laki-laki yang tertular HIV akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondo di dalam dan di luar nikah.
Penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terjadi secara diam-diam karena warga yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan. Itu artinya penyebaran HIV di Yogyakarta bak 'bom waktu' yang kelak sebagai pemicu 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

Mendeteksi HIV/AIDS di Kota Depok dengan Menyasar Pasar

Ilustrasi: Mobile VCT Kota Depok (Sumber: jabarnews.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP


Rani (Kepala Bidang Penanganan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Kota Depok Rani Martina-pen.) berharap dengan adanya penyuluhan dan pemeriksaan ini (Mobile VCT-pen.) diharapkan dapat mendeteksi dan menanggulangi penderita HIV/AIDS di Kota Depok. Ini ada dalam berita Mobile VCT Depok Kali Ini Sasar Pasar Cisalak (jabarnews.com, 3/8-2018).
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Depok sampai akhir tahun 2017 dilaporkan 988 (kompas.com, 21/02/2018).          
Kasus yang dilaporkan ini (988) tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang terdeteksi (988) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Maka, yang diperlukan adalah langkah konkret yang tidak melawan hukum untuk mencari warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka tidak menyadari kalau dirinya sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Langkah yang dilakukan Pemkot Depok untuk mendeteksi warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi al. disebutkan melalui Mobile VCT ke pasar. Padahal, mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS adalah langkah di hilir. Artinya, Pemkot Depok membiarkan warga tertular HIV dahulu baru dideteksi, al. melalui Mobile VCT.
Risiko seorang warga, terutama laki-laki dan perempuan dewasa, tertular HIV/AIDS adalah jika perilaku mereka berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, al. sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
Ketika Pemkot Depok menyasar pasar sebagai objek Mobile VCT itu artinya warga yang berkecimpung di pasar adalah orang-orang dengan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS. Tentu saja ini sangat tidak pasa karena menyamaratakan perilaku semua orang yang bekerja di pasar dan yang datang ke pasar.
Dengan menjalankan program Mobile VCT ke pasar-pasar akan membuka risiko stigma (cap buruk) bagi warga yang mengikuti konseling dan tes HIV karena dilakukan secara terbuka. Warga yang masuk dan keluar dari Mobile VCT itu akan dikenali dan bisa-bisa mereka dikaitkan langsung dengan HIV/AIDS.
Pemkot Depok sendiri tidak memberikan santunan kematian kepada warga yang meninggal karena penyakit terkait AIDS (Baca juga: Santunan Kematian yang Diskriminatif di Kota Depok). Padahal, warga yang tertular HIV/AIDS tidak hanya melalui perilaku yang amoral, seperti warga yang tertular melalui transfusi darah, istri yang tertular dari suami atau bayi yang tertular dari ibunya. Lagi pula kematian pengidap HIV/AIDS bukan karena HIV/AIDS (Baca juga: Kematian Pengidap HIV/AIDS di Kota Depok Bukan Karena HIV atau AIDS).
Pemkot Depok diharapkan mencari cara yang lebih komprehensif dalam mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS. Tentu saja dengan langkah-langkah regulatif yang tidak melawan hukum dan hak asasi manusia (HAM).
Lagi pula kalau hanya mencari warga yang sudah tertular HIV/AIDS itu artinya hanya melakukan penanggulangan di hilir. Yang diperlukan adalah langka penanggulangan di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru khususnya pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual yang berisiko.
Kalau hanya menyasar warga di pasar dan membiarkan insiden infeksi HIV baru terus terjadi, maka penyebaran HIV/AIDS di masyarakat di Kota Depok, terutama melalui hubungan seksual tanpa komndom di dalam dan di luar nikah, akan terus terjadi yang kelak berakhir pada 'ledakan AIDS'.
Penyebaran HIV/AIDS terjadi secara diam-diam karena orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS (yang tidak terdeteksi) tidak dirinya sudah mengidap HIV/AIDS. * [kompasiana.com/infokespro] *

Informasi HIV/AIDS di Kota Pangkalpinang, Babel, Masih Seputar Mitos

Ilustrasi (Sumber: brazilian.report)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

"HIV Aids ini belum ada obat yang ampuh untuk mengatasi permasalah ini, obat yang ampuh adalah menjaga perilaku dalam berhubungan dengan sesuai dengan ajaran agama yang ada. Aids ini biasanya sangat berisiko dalam hubungan diluar nikah, perilaku seksual ini sangat menentukan dalam rangka mencegah Aids di Kota Pangkalpinang." Ini dikatakan oleh Plt Walikota Pangkalpinang, Bangka Belitung, M Sopian, dalam berita Penderita HIV/Aids di Pangkalpinang Capai 200 Orang (klikbabel.com, 14/8-2018).
Dikatakan: .... Aids ini biasanya sangat berisiko dalam hubungan diluar nikah, perilaku seksual ini sangat menentukan dalam rangka mencegah Aids di Kota Pangkalpinang.
Pernyataan di atas merupakan salah satu bentuk mitos (anggapan yang salah) terkait dengan fakta medis tentang cara-cara penularan HIV/AIDS. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah), tapi karena kondisi hubungan seksual yaitu salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.
Mungkin yang disebut di luar nikah dalam pernyataan Sopian itu terkait dengan pelacuran. Dalam hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) sekalipun tidak otomatis terjadi penularan HIV/AIDS. Itu merupakan perilaku berisiko jika laki-laki 'hidung belang' tidak memakai kondom.
Sebaliknya, pada hubungan seksual di dalam nikah bisa terjadi penularan HIV/AIDS jika salah satu mengidap HIV/AIDS dan suami tidak memakai kondom setiap kali seks. Laki-laki dan perempuan yang melakukan kawin-cerai dan kawin-kontrak juga merupakan perilaku berisiko tertular HIV jika laki-laki tidak memakai kondom.
Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Pangkalpinang disebutkan 200. Tapi, yang perlu diingat adalah angka ini tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS secara riil di masyarakat. Soalnya, epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus yang terdeteksi, dalam hal ini di Kota Pangkalpidang sebanyak 200, digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut. Sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Dikatakan pula oleh Sopian: ".... penderita Aids ini selalu tersembunyi dan ini yang membuat masalahnya, ...."
Orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV yang sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku tidak akan pernah bersembunyi karena mereka sudah menjalani konseling. Mereka sudah sepakat akan menghentikan penularan HIVmulai dari diri mereka. Selain itu ada di antara mereka yang harus meminum obat antiretroviral (ARV) sehingga tidak mungkin sembunyi.
Yang jadi masalah besar adalah warga yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Mereka akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melaluhi hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, tanpa mereka sadari. Hal ini bisa terjadi karena warga yang tertular HIV tidak mengalami gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan.
Maka, yang diperlukan Pemkot Pangkalpinang adalah membuat regulasi untuk mendeteksi warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi. Tanpa langkah konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Kota Pangkalpinang akan terus terjadi yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *