Ilustrasi (Foto: spotlightenglish.com)
Epidemi HIV/AIDS memasuki tahun ke-36 tapi insiden infeksi HIV baru terus terjadi yang disebut-sebut bisa dihentikan 2030 tanpa program konkret
Oleh: Syaiful W.
Harahap
Menghadapi epidemi HIV/AIDS yang tak kunjung reda sejak
diidentifikasi tahun 1983 muncullah pernyataan-pernyataan yang bombastis dan
sensasional tanpa didukung fakta. Tak kurang dari UNAIDS (Joint United Nations
Programme on HIV/AIDS - Badan PBB yang khusus menangani HIV/AIDS)
yang sejak beberapa tahun terakhir berkoar-koar bahwa epidemi (baca: penyebaran
atau penularan) HIV/AIDS akan dihentikan pada tahun 2030. Ini dilakukan melalui
program yang disebut tiga nol (Getting
To 3 Zero), yaitu: tidak ada infeksi baru HIV, tidak ada kematian
akibat AIDS, dan tidak ada stigma dan diskriminasi.
Celakanya, tidak ada cara yang masuk akal secara medis yang
mereka tawarkan untuk menghentikan epidemi HIV/AIDS bukan hanya pada tahun 2030
tapi sampai kiamat pun epidemi akan terus terjadi
jika tidak ada langkah konkret untuk menghentikan perilaku berisiko. Insiden
infeksi HIV baru akan terus terjadi karena penyangkalan dan mitos (anggapan
yang salah) yang kadung tersebar luas.
Perilaku Berisiko
Sampai akhir tahun 2018 kasus HIV/AIDS secara global
dilaporkan oleh UNAIDS tercatat 37,9 juta warga dunia hidup dengan HIV/AIDS
dengan 770.000 kematian. Sepanjang tahun 2018 terjadi 1,7 juta infeksi baru
HIV. Sedangkan di tingkat nasional seperti dilaporkan Ditjen P2P, Kemenkes RI,
tanggal 27 Agustus 2019, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS adalah 466.859 yang
terdiri atas 349.882 HIV dan 116.977 AIDS.
Sedangkan estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 2016
adala 630.000. Yang terdeteksi 466.859 atau 74,1%. Itu artinya ada 163.141
(25,9%) warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Setiap tahun ada
46.000 kasus infeksi HIV baru. Sedangkan Odha (Orang dengan HIV/AIDS yang
meminum obat antiretroviral (ARV) rutin
disebut baru 17%. Setiap tahun terjadi 38.000 kematian terkait dengan HIV/AIDS
(aidsdatahub.org).
Kasus yang tidak terdeteksi sudah jadi masalah ditambah lagi dengan kasus
infeksi HIV baru.
Yang tidak
terdeteksi ini jadi mata rantai
penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual dengan
kondisi laki-laki tidak pakai kondom di dalam atau di luar nikah.
Indonesia sendiri ada di peringkat ketiga di Asia setelah India dan Cina
sebagai negara dengan percepatan kasus infeksi HIV baru terbanyak. Ada 10
provinsi dengan kasus kumulatif HIV/AIDS terbesar (Lihat tabel).
Dok Pribadi
Baca juga: Penyebaran HIV/AIDS
Tertinggi di 10 Provinsi
Jumlah kasus AIDS yang dilaporkan paling banyak di Papua yaitu
22.554. Maka, ‘musuh’ besar warga Papua adalah HIV/AIDS. Celakanya, yang
terjadi di sana justru penyangkalan terkait dengan perilaku seksual sebagian
laki-laki dengan menyalahkan, maaf, pelacur (dari) Jawa.
Baca juga: Papua Peringkat Pertama
Jumlah Kasus AIDS di Indonesia dan AIDS Justru Musuh
Terbesar di Tanah Papua
Setiap tahun sejak tahun 1988 dunia menggelar
Hari AIDS Sedunia (World
AIDS Day) yang dirayakan setiap tanggal 1 Desember untuk
menggerakkan kepedulian masyarakat dunia terhadap penanggulangan HIV/AIDS.
Tahun ini temanya adalah “Communities
make the difference” (Masyarakat bisa membuat perbedaan).
Ketika AIDS terdeteksi pada laki-laki gay di San Fransisco pada
tahun 1981 ada anggapan AIDS hanya ‘menyerang’ laki-laki gay. Tapi, setelah HIV
diidentifikasi sebagai penyebab AIDS tahun 1983 dan reagent untuk tes HIV
diakui WHO tahun 1986
komunitas kesehatan global memahami bahwa HIV juga dapat menyebar di antara
orang heteroseksual, melalui hubungan seksual, transfusi darah, dan dari ibu
yang terinfeksi HIV ke bayinya.
Persoalan besar yang dihadapi Indonesia adalah
tidak ada langkah konkret untuk mencegah insiden infeksi HIV baru di hulu.
Insiden infeksi HIV di hulu terjadi karena perilaku-perilaku yang berisiko
tinggi tertular HIV/AIDS.
Dok Pribadi
Perilaku-perilaku seksual laki-laki yang berisiko tinggi
tertular HIV/AIDS, yaitu:
(1). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik
dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa
memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena
bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS;
(2). Laki-laki
dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah
atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam atau di
luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu
dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS;
(3). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik
dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa
memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti
pekerja seks komersial (PSK).
PSK dikenal ada dua jenis, yaitu:
(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang
mangkal di tempat pelacuran (dulu
disebut lokalisasi atau lokres pelacuran) atau mejeng di tempat-tempat umum,
dan
(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka
ini ‘menyamar’ sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu
lagu, ibu-ibu, cewek (model dan artis) prostitusi online,
dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko
tertular HIV/AIDS.
(4). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik
dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa
memakai kondom, dengan waria. Sebuah studi di Surabaya awal
tahun 1990-an menunjukkan laki-laki pelanggan waria umumnya laki-laki beristri.
Ketika seks dengan waria mereka justru jadi ‘perempuan’ (dalam bahasa waria
ditempong atau di anal) dan waria jadi ‘laki-laki’ (dalam bahasa waria
menempong atau menganal).
(5). Laki-laki dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan
lawan jenis dan sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual
tanpa memakai kondom, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti.
Pertanyaannya adalah: Apakah ada langkah konkret yang bisa dilakukan untuk
mencegah perilaku berisiko nomor 1 sd. 5 di atas?
Tentu saja tidak ada. Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan
terus terjadi. Yang tertular HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV di
masyarakat (horizontal) melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah.
Perilaku Seksual
Begitu juga dengan perempuan beberapa perilaku berisiko tinggi
tertular HIV/AIDS, yaitu:
(a). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik
dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual (laki-laki
tidak memakai kondom), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti
karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS;
(b). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik
dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual
(laki-laki tidak memakai kondom), di dalam atau di luar nikah, dengan laki-laki
yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap
HIV/AIDS;
(c). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik
dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual
(laki-laki tidak memakai kondom) dengan laki-laki yang sering berganti-ganti
pasangan, seperti gigolo, karena bisa saja salah satu dari gigolo itu mengidap
HIV/AIDS.
(d). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik
dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual (waria
tidak memakai kondom) dengan waria. Dalam prakteknya waria ada yang
heteroseksual sehingga menyalurkan dorongan seksual dengan perempuan.
Pertanyaannya adalah: Apakah ada langkah konkret yang bisa
dilakukan untuk mencegah perilaku berisiko nomor a sd. d di atas?
Tentu saja tidak ada. Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan
terus terjadi. Yang tertular HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV di
masyarakat (horizontal) melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di
luar nikah.
Yang harus diperhatikan adalah kita tidak bisa mengenali
orang-orang (laki-laki atau perempuan) yang mengidap HIV/AIDS karena tidak ada
ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan. Selain itu
status HIV seseorang yang tidak pernah tes HIV bukan negatif tapi tidak
diketahui.
Terkait dengan
pernyataan UNAIDS dan berbagai kalangan di Indonesia yang sambil membusungkan
dada mengatakan pada tahun 2030 tidak ada infeksi HIV baru sangat patut
dipertanyakan. Tapi, tidak ada yang mereka lakukan secara konkret untuk
mengatasi perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS pada laki-laki
dan perempuan seperti yang disebutkan di atas.
Apakah bisa diawasi perilaku seksual orang per orang? Mustahil!
Langkah konkret untuk menurunkan, sekali lagi hanya menurunkan,
insiden infeksi HIV baru hanya bisa dilakukan pada laki-laki melalui hubungan
seksual dengan PSK yaitu dengan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi
laki-laki setiap kali melakukan hubungan seksual. Ini sudah berhasil menekan
insiden infeksi HIV baru di Thailand dengan
indikator jumlah calon taruna yang terdeteksi HIV terus turun. Cuma, hal ini
hanya bisa dilakukan jika praktek PSK dilokalisir.
Dalam matriks di bawah ini terlihat jelas jika PSK tidak
dilokalisir tidak bisa dijangkau sehingga program 'wajib kondom 100 persen'
tidak bisa dijalankan.
Dok Pribadi
Yang didengung-dengungkan di Indonesia sebagai cara menghentikan
infeksi HIV baru adalah deteksi dini tes HIV dan pemberian obat antiretroviral.
Ada lagi tes HIV pada ibu hamil dan tes HIV bagi calon pengantin.
Tes HIV dengan deteksi dini dan tes HIV pada ibu hamil adalah
kegiatan di hilir karena yang tes HIV sudah tertular HIV. Yang diperlukan
secara konkret adalah langkah di hulu yaitu mencegah agar tidak ada lagi yang
melakukan perilaku berisiko sehingga insiden infeksi HIV baru bisa diturunkan
dengan harapan bisa berhenti.
Sedangkan tes HIV bari calon pengantin tidak jaminan karena biar
pun ketika hendak menikah status HIV pasangan tsb. negatif, tapi dalam
perjalanan hidup pernikahan bisa
saja salah satu melakukan perilaku berisiko tertular HIV. Ini bisa terjadi karena
tes HIV bukan vaksin.
Dengan kondisi seperti sekarang ketika langkah penanggulangan
hanya sebatas orasi moral untuk konsumsi sensasional media hasilnya sudah
pasti: Nol besar. Big
nothing (Bahan-bahan dari UNAIDS, WHO, CDC dan
sumber-sumber lain). [] Sumber: https://www.tagar.id/omong-kosong-penularan-hiv-baru-bisa-dihentikan-2030]
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.