Kasus kumulatif HIV/AIDS di Bali 27.959, tapi penanggulangan tidak menyentuh akar persoalan yaitu tidak menurunkan insiden infeksi HIV/AIDS baru.
Oleh: Syaiful W. Harahap
Denpasar – Jumlah kasus
kumulatif HIV/AIDS di Provinsi Bali dari tahun 1987 sampai Maret 2019 sebanyak
27.959 yang terdiri atas 19.812 HIV dan 8.147 AIDS. Ini dalam Laporan Ditjen
P2P, Kemenkes RI, tanggal 11 Mei 2019. Jumlah ini menempatkan Bali pada
peringkat ke-6 secara nasional sebagai provinsi dengan jumlah kasus kumulatif
HIV/AIDS terbanyak.
Terkait dengan jumlah
kasus HIV/AIDS di Bali tidak ada kaitannya dengan penemuan HIV/AIDS yang
pertama di RS Sanglah, Denpasar, tahun 1987, pada seorang turis Belanda, seorang
gay. Turis itu meninggal di RS Sanglah karena penyakit terkait HIV/AIDS. Dia
hanya hanya dua bulan di Denpasar sebelum kematiannya.
Epidemi HIV/AIDS di Bali
pun kemudian dikait-kaitkan dengan lokalisasi pelacuran, kafe remang-remang,
dll. Padahal, yang membawa HIV/AIDS ke lokalisasi pelacuran adalah laki-laki
yang mengidap HIV/AIDS. Laki-laki bisa saja orang Bali atau pendatang.
Yang jadi persoalan
kemudian adalah ada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja
seks komersial (PSK) tanpa memakai kondom. Bisa saja terjadi ada PSK yang
mengidap HIV/AIDS sehingga laki-laki yang membeli seks kepada PSK berisiko
tertular HIV/AIDS.
[Baca juga: AIDS Mengintai di
Ibu Kota Baru]
Keadaan kian runyam
karena bisa saja laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari PSK mempunyai istri dan
pasangan seks lain
sehingga istri dan pasangannya berisiko pula tertular HIV/AIDS. Jika istrinya
tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV secara vertikal ke bayi yang
dikandungnya kelak terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu
(ASI).
Itu artinya risiko ada
di hulu yaitu pada laki-laki yang membeli seks ke PSK. Yang perlu diketahui adalah
PSK ada dua jenis, yaitu: PSK langsung dan PSK tidak langsung. PSK langsung
adalah PSK yang kasat mata,
seperti yang ada di lokalisasi atau jalanan. Sedangkan PSK tidak langsung tidak
kasat mata karena bisa sebagai seorang pemijat, pemandu lagu, anak sekolah,
mahasiswi, dll.
Celakanya, tanggapan
dari banyak pihak dan kalangan terhadap epidemi HIV/AIDS justru tidak sejalan
upaya penanggulangan HIV/AIDS terutama dengan faktor risiko hubungan seksual.
Sejak reformasi ada gerakan masif menutup tempat-tempat pelacuran, yang juga
terjadi Bali beberapa tempat pelacuran ditutup. Seperti lokalisasi di Jalan
Danau Poso, Denpasar dan
Padanggalak di Sanur.
[Baca juga: AIDS Justru Musuh
Terbesar di Tanah Papua]
Dengan melokalisir pelacuran bisa
dilakukan intervensi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali
melakukan hubungan seksual dengan PSK. Ini upaya untuk memutus jembatan
penyebaran HIV/AIDS dari pelacuran ke masyarakat.
Selain itu bisa juga
dilakukan pembinaan dan pemeriksaan kesehatan terhadap
PSK. Ini dijalankan oleh Yayasan Kerti Praja di Sesetan, Denpasar. Ketika masih
ada lokalisasi ada program ‘jemput bola’. Setiap hari Jumat petugas yayasan
menjemput PSK untuk kegiatan penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan.
“Itu kita lakukan agar
tidak ada laki-laki (maksudnya pelanggan PSK-red.) yang membawa penyakit ke
rumah.” Inilah yang disebutkan Prof Dr dr Dewa Nyoman Wirawan, MPH, Ketua
Yayasan Kerti Praja, sebagai salah satu langkah konkret upaya menanggulangi
penyebaran HIV/AIDS dan IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit yang
ditularkan melalui hubungan seksual, seperti kencing nanah/GO, raja
singa/sifilis, virus hepatitis B, klamdia, virus kanker serviks,
dll.).
Tapi, ketika lokalisasi
ditutup (praktek) PSK tidak bisa lagi dijangkau sehingga risiko penyebaran
HIV/AIDS kian besar karena tidak ada lagi sosialiasi pemakaian kondom dan
pemeriksaan kesehatan PSK.
Karena praktek PSK tidak
bisa lagi diintervensi, maka yang bisa dilakukan sekarang adalah menyelamatkan
bayi-bayi yang akan lahir dari HIV/AIDS karena mustahil mengawasi perilaku
seksual, terutama laki-laki dewasa, orang per orang.
Langkah yang bisa
dilakukan pemerintah daerah,
dalam hal pemerintah provinsi, kabupaten atau kota membuat regulasi agar
pasangan suami-istri konseling HIV/AIDS ketika si istri hamil. Jika hasil
konseling menunjukkan perilaku suami berisiko tertular HIV/AIDS, maka suami
wajib menjalani tes HIV. Selanjutnya istri juga tes HIV jika suami terdeteksi
mengidap HIV/AIDS.
Tanpa langkah konkret di
hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV/AIDS baru pada laki-laki melalui
hubungan seksual dengan PSK, maka selama itu pula infeksi HIV/AIDS baru terus
terjadi.
Laki-laki yang tertular
HIV/AIDS jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal, terutama
malului hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Jika ini yang
terjadi, maka Bali pun harus siap-siap menghadapi kondisi yang sangat buruk jadi
‘Afrika Kedua’. [tagar.id]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.