Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Tanah Papua (Papua dan Papua Barat) terus bertambah sehingga inilah yang justru jadi ‘musuh’ di Tanah Papua
Hiruk-pikuk unjuk rasa karena
umpatan yang berujung kerusuhan di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat) menenggelamkan peperangan yang jauh lebih besar yaitu melawan
(epidemi) HIV/AIDS.
Laporan ini dikeluarkan oleh
Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 27 Agustus 2019, menunjukkan dari tahun 2005 –
Juni 2019 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Papua mencapai 57.027 yang
terdiri atas 34.473 HIV (peringkat 4) dan 22.554 AIDS (peringkat pertama). Ini
sama dengan 12,21 persen dari kasus nasional (466.946).
Kasus HIV/AIDS di Papua dan Papua
Barat selalu dibawa ke ranah moral dan politik, al. isu genosida (KBBI: pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu
bangsa atau ras) dan pengiriman PSK (pekerja seks komersial) Jawa pengidap
HIV/AIDS.
Genosida bisa dilakukan dengan
penyakit menular yang mematikan dan menular dengan cepat melalui media yang
langsung berhubungan dengan manusia, seperti air dan udara. HIV/AIDS tidak tidak mematikan. Penularannya tidak mudah.
Seseorang yang tertular HIV
secara statistik baru masuk ke masa AIDS (ditandai dengan penyakit-penyakit
yang disebut infeksi oportunistik) antara 5-15 tahun kemudian. Risiko kematian
ada pada masa AIDS karena infeksi oportunistik.
Terkait dengan PSK tidak semua
berasal dari Pulau Jawa karena ada juga dari beberapa daerah lain
di luar Jawa. Bahkan, di Manokwari, Papua Barat, praktek PSK dibagi dua. PSK
Jawa ditempatkan di lokalisasi pelacuran Maruni 55, sekitar dua jam perjalanan
dengan kendaraan bermotor dari Manokwari. Sedangkan PSK dari, maaf, M*n*d*
boleh beroperasi di hotel.
Penyebaran HIV/AIDS di Tanah
Papua kian tidak terkendali karena lokalisasi pelacuran ditutup sehingga
praktek transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Padahal, ketika ada lokalisasi ada aktivis AIDS dari LSM yang
melakukan sosialisasi HIV/AIDS dan intervensi pemakaian kondom kapada
laki-laki.
[Baca juga: Aktor Video Vina Garut Idap HIV/AIDS]
Lagi-lagi terjadi penggiringan
opini dengan menyebut-nyebut nelayan Thailand sebagai penyebar
HIV/AIDS ketika di Merauke terdeteksi ada nelayan Thailand yang terdeteksi
mengidap HIV/AIDS pada tahun 1992. Padahal, pada tahun 1995 Depkes RI
melaporkan di Papua terdeteksi 88 kasus HIV, 5 AIDS, dengan 5 kematian. Itu
artinya penularan pada 5 kematian terjadi antara tahun 1980 – 1990 (secara
statistik masa AIDS terjadi pada rentang waktu antara 5 – 15 tahun setelah
tertular).
Itu artinya sebelum nelayan Thailand terdeteksi
mengidap HIV/AIDS sudah ada warga Papua yang mengidap HIV/AIDS. Lagi pula tidak
tertutup kemungkinan ada orang Papua yang melakukan perilaku berisiko tertular
HIV/AIDS di luar Papua. Yang tertular akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS
di Papua terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah.
Ada lagi seorang agamawan yang
menolak pemakaian kondom dengan jargon “Seks Yes, Kondom No”. Ini salah besar dan
menyesatkan karena tanpa kondom ketika laki-laki seks dengan PSK ada risiko
tertular HIV/AIDS.
Belakangan sunat dijadikan
sebagai ‘alat’ pencegahan HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Sunat bukan
untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual tapi menurunkan
risiko. Bisa jadi laki-laki warga Papua yang sudah disunat merasa sudah memakai
‘kondom’ sehingga tidak lagi pakai kondom ketika melalukan seks dengan PSK.
Akibatnya, tingkat risiko tertular HIV tetap tinggi.
HIV/AIDS adalah fakta medis yang
penularannya bisa dicegah dengan cara-cara yang masuk akal. Misalnya, tidak
melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan
pasangan yang berganti-ganti atau dengan PSK.
[Baca juga: AIDS Mengintai di Ibu Kota Baru]
Dengan jumlah kasus kumulatif
yang besar di Papua (57.027) sudah saatnya Pemprov Papua dan Papua Barat
menjalankan program yang konkret, al. meningkatkan pemakaian kondom pada
laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Ini hanya bisa dilakukan
kalau praktek PSK dilokalisir, celakanya semua lokalisasi pelacuran sudah
ditutup.
Itu artinya insiden infeksi HIV
baru, terutama pada laki-laki dewasa, akan terus terjadi yang pada gilirannya
mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat. Penyebaran
HIV/AIDS di masyarakat akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. [tagar.id]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.