Ilustrasi (Sumber: samaa.tv)
Oleh: Syaiful W. HARAHAP
“Ke mana panah akan Anda tarik, ke atas atau ke
bawah?”
Itulah pertanyaan yang diajukan kepada 20 peserta
pelatihan "Pemberitaan Media yang Positif bagi
ODHA" yang didukung oleh Indonesia AIDS Coalition (IAC) di Kualanamu, Deli Serdang, Sumut (17-19 Juni 2019) dan di Medan (20-22 Juni 2019) separuh mengatakan ke atas dan selebihnya ragu-ragu.
Ketika mitos (anggapan yang salah) menggelayut di
benak, maka fakta pun diabaikan. Sebelum dan sejak epidemi HIV/AIDS diakui
pemerintah di Indonesia pada tahun 1987 banyak kalangan mulai dari menteri,
pejabat tinggi, tokoh masyarakat dan tokoh agama selalu mengait-ngaitkan
penularan HIV/AIDS dengan zina, pelacuran, homoseksual, seks pranikah, seks di
luar nikah, serta seks menyimpang.
Mitos kian subur karena kasus pertama yang diakui
pemerintah terdeteksi pada turis Belanda, seorang laki-laki gay (homoseksual),
di RS Sangkah, Denpasar, Bali. Inilah yang menyuburkan mitos: homoseksual, gay,
bule, orang asing, dan luar negeri.
[Baca juga: Kapan, Sih, Awal Penyebaran HIV/AIDS diIndonesia?]
Celakanya, upaya untuk memupus mitos terhalang
karena masyarakat lebih mengikuti pernyataan pejabat, tokoh masyarakat dan
tokoh agama ketimbang pakar kesehatan yang kompeten tentang HIV/AIDS.
Masyarakat dicekoki informasi ngawur bin ngaco tentang HIV/AIDS seperti layaknya
terori jarum hipodermik. Dalam konteks HIV/AIDS informasi dibalut dan dibumbui
dengan moral dan agama dan disampaikan oleh pejabat dan tokoh sebagai orasi
moral sehingga mudah menembus alam bawah sadar sebagian orang yang tingkat
literasinya rendah dan tidak mempunyai akses ke media yang memegang teguh asas
jurnalistik.
Akibatnya, banyak orang yang abai terhadap upaya
pencegahan HIV/AIDS karena mereka berpegang pada mitos: mereka tidak melacur,
mereka tidak berzina dengan pekerja seks komersial (PSK), mereka tidak seks di
lokalisasi pelacuran, dll.
[Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos"Cewek Bukan PSK"]
Kembali ke peserta pelatihan tadi. Sebagian dari
mereka adalah wartawan yang berpegang pada fakta. Artinya, ketika mereka
menulis berita dan artikel tentang HIV/AIDS mereka harus mencari narasumber
yang berkompeten yaitu dokter ahli yang terkait dengan HIV/AIDS yaitu penyakit
dalam atau hematologi. Soalnya, biar pun HIV/AIDS al. ditularkan melalui
hubungan seksual infeksinya justru tidak di alat kelamin, tapi di darah. Maka,
wartawan yang mewancarai dokter ahli kandungan, misalnya, tidak kompeten.
Begitu juga dengan peserta dari kelompok dampingan
(CSO – care support and outreach) yang sejak awal bergelut dengan Odha (Orang
dengan HIV/AIDS) tentu tidak ragu-ragu menarik panah ke bawah. Tapi, mereka pun
rupanya masih diselimuti mitos.
Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual
penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) bisa terjadi di dalam dan di
luar nikah jika salah satu ada dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak
memakai kondom ketika terjadi hubungan seksual. Ini fakta (medis).
Maka, kalau informasi yang baku ini sudah dipegang
oleh wartawan dan CSO, khususnya peserta pelatihan, tentulah jawaban mereka
serentak “ …. ke bawah ….”. Kuncinya ada pada status
HIV pasangan tsb. yaitu laki-laki dan perempuan tidak mengidap HIV/AIDS
(HIV-negatif).
Apa pun sifat dan bentuk hubungan seksual yang
mereka lakukan tidak ada risiko penularan HIV karena keduanya HIV-negatif.
Untuk itulah wartawan dan CSO diharapkan secara
terus-menerus menyebarkan informasi yang baku tentang HIV/AIDS agar tidak ada
lagi yang terbelenggu mitos sehingga bisa melindungi diri dari risiko tertular
HIV/AIDS. * [kompasiana.com/infokespro] *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.