28 Agustus 2018

AIDS di Kabupaten Batang, Deteksi Dini Adalah Penanggulangan di Hilir

Ilustrasi (Sumber: newsfirst.lk)


Oleh: Syaiful W. HARAHAP

"Semakin banyak ditemukan dalam kondisi HIV berarti sebuah keberhasilan secara program dalam hal deteksi secara dini, dan ada kemungkinan bisa disembuhkan tentunya dengan pendampingan untuk mendapatkan obat Antiretroviral (ARV) guna menekan pertumbuhan virus didalam tubuh ODHA sehingga masih bisa beraktivitas secara normal dan tetap sehat." Ini pernyataan Mudhofir, Sekretaris KPA Kabupaten Batang, Jawa Tengah dalam berita KPA Nyatakan Kasus HIV/AIDS di Batang Tersebar di Seluruh Kecamatan(jateng.tribunnews.com,16/1-2018),
Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kabupaten Batang dari tahun 2007 sampai Juni 2018 dilaporkan 995 yang terdiri atas790 HIV dan 205 AIDS dengan 156 kematian.
Ada beberapa hal yang layak ditanggapi dari pernyataan Mudhofir ini, yaitu:
Pertama, menemukan warga yang tertular HIV secara dini artinya baru pada tahap infeksi HIV bukanlah keberhasilan karena warga tsb. sudah tertular HIV. Keberhasilan dalam program penanggulangan HIV/AIDS adalah menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru pada warga terutama pada laki-laki dewasa.
Kedua, jika hanya melalukan deteksi dini itu artinya membiarkan warga melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV. Warga yang tertular HIV tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Hal ini terjadi karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan warga yang tertular HIV. Deteksi dini adalah langkah di hilir (Baca juga: Tes HIV Adalah Penanggulangan di Hilir sebagai Pembiaran Penduduk Tertular HIV).
Dok Pribadi
Dok Pribadi
Ketiga, disebutkan oleh Mudhofir  'ada kemungkinan bisa disembuhkan'. Ini menyesatkan karena sampai sekarang belum ada obat yang bisa mematikan HIV di dalam tubuh. Sedangkan AIDS bukan penyakit sehingga tidak ada obatnya. AIDS adalah kondisi seseorang yang tertular HIV setelah 5-15 tahun kemudian yang ditandai dengan penyakit-penyakit yang disebut infeksi oportinistik, seperti diare, TBC, dll. yang sulit disembuhkan.
Seperti disebutkan obat antiretroviral (ARV) hanya untuk menekan laju penggandaan atau replikasi HIV di dalam darah. Soalnya, HIV menggandakan diri di sel-sel darah putih yang dijadikan sebagai 'pabrik'. Sel-sel darah putih yang dijadikan HIV sebagai 'pabrik' rusak. Sel darah putih di dalam tubuh berfungsi sebagai sistem kekebalan. Ketika sel darah putih banyak yang rusak, maka sistem kekebalan tubuh pun rendah sehingga mudah kena penyakit. Inilah yang disebut masa AIDS.
Salam satu pintu masuk HIV/AIDS ke Kab Batang adalah melalui perilaku seksual laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
Mungkin Mudhofir dan Pemkab Batang akan mengatakan: Tidak ada pelacuran di wilayah Kab Batang!
Secara de jure memang benar karena sejak reformasi tidak ada lagi lokalisasi pelacuran yang dijalankan dengan regulasi sebagai tempat rehabilitasi dan resosialisasi PSK.
Tapi, secara de facto apakah Mudhofir dan Pemkab Batang bisa menjamin bahwa di wilayah Kab Batang tidak ada transaksi seks secara terselubung? Apakah ada jaminan tidak ada laki-laki dewasa warga Kab Barang yang melakukan perilaku seksual berisiko di luar wilayah Kab Batang?
Transaksi seks dalam berbagai bentuk dengan beragam modus terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Maka, biar pun di Kab Batang tidak ada lokalisasi pelacuran itu tidaklah jaminan di Kab Batang tidak ada praktek pelacuran yang melibat PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Disebutkan pula: Adapun jika lebih banyak ditemukan kasus dengan status AIDS maka menjadi kegagalan program KPA maupun Pemkab karena fase terparah ODHA merupakan fase AIDS.
Menemukan satu kasus HIV/AIDS pun adalah kegagalan dalam menanggulangi HIV/AIDS. Menemukan banyak kasus HIV secara dini jelas merupakan kegagalan dalam mencegah insiden infeksi HIV baru. Peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS sudah diterbitkan oleh Pembab Batang, tapi perda ini hanya bergerak di hilir (Baca juga: Perda AIDS Kab Batang, Jateng, Menanggulangi HIV/AIDS di Hilir).
Dalam berita tidak dijelaskan faktor risiko atau cara penularan HIV dan langkah-langkah yang ditempuh untuk menurukan insiden infeksi HIV baru.
Tanpa program yang riil dalam menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan PSK, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.
Warga yang tertular HIV, terutama laki-laki dewasa, tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Kondisi ini bagaikan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *
*Jakal Km 5.5, Yogyakarta ....

Langkah Mundur Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Timur

Ilustrasi (Sumber: The Independent)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Informasi yang akurat tentang HIV/AIDS sudah banjir, tapi pemahaman yang komprehensif terhadap epidemi HIV/AIDS ternyata tidak merata. Lihat saja Raperda AIDS Provinsi Jawa Timur yang mewancakan penampungan bagi ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Ini merupakan langkah mundur dan kontra produktif terhadap penanggulangan HIV/AIDS.
Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Jawa Timur sampai 31 Maret 2017, seperti dilaporkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 24 Mei 2017, sebanyak 50.057 yang terdiri atas 33.043 HIV dan 17.014 AIDS. Jumlah ini menempatkan Jawa Timur pada peringkat ke-2 secara nasional.
Berita berjudul DPRD Jatim Wacanakan Penampungan Bagi Penderita HIV/AIDS (nusantaranews.co, 16/7/2018) menggambarkan pemahaman tentang HIV/AIDS yang berada di titik nadir.
Pertama, orang-orang yang tertular HIV/AIDS tidak otomatis menderita. Bahkan, gajala-gejala terkait AIDS baru muncul di masa AIDS. Secara statistik masa AIDS terjadi pada kurun waktu antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.
Kedua, HIV/AIDS bukan wabah karena tidak mudah menular melalui pergaulan seosial atau kehidupan sehari-hari sehingga pengidap HIV/AIDS tidak perlu ditampung, diasingkan atau dikarantina.
Pada lead berita disebutkan "Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur (DPRD Jatim) mewacanakan dibentuknya pusat penampungan bagi penderita HIV/AIDS di Jatim."
Langkah DPRD Jatim itu benar-benar di luar akal sehat karena HIV/AIDS bukan wabah sehingga pengidap HIV/AIDS, disebut ODHA (Orang dengan HIV/AIDS), tidak perlu diasingkan. Dengan menempatkan ODHA di 'pusat penampungan bagi penderita HIV/AIDS di Jatim' itu artinya dilakukan pengasingan, pengucilan dan karantina.
Mengapa DPRD Jatim mewacanakan penampungan bagi ODHA?
Ketua Komisi E DPRD Jatim Hartoyo, Partai Demokrat, mengatakan dengan adanya penampungan tersebut diharapkan bisa meminimalisir penyebaran HIV/AIDS.
DPRD Jatim dilaporkan akan segara mengetuk palu pengesahan peraturan dareah (Perda) tentang HIV/AIDS. Padahal, Pemprov Jatim sendiri sudah menelurkan Perda AIDS yaitu Perda No 5 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Timur (Baca juga: Menyibak Kiprah Perda AIDS Jatim). Tapi, perda ini pun tidak menyentuh akar persoalan tentang epidemi HIV/AIDS.
Tidak jelas bagaimana sinkronisasi antara Perda No 5/2004 dengan Raperda AIDS yang akan disahkan. Yang jelas raperda AIDS yang diinisIasi DPRD Jatim itu pun tidak menyentuh akar persoalan, bahkan hanya sebatas mengusung mitos (anggapan yang salah). 
Alasan DPRD mewacanakan pusat penampungan itu tidak akurat karena orang-orang yang menjalani tes HIV sudah sepakat akan menghentikan penularan HIV mulai dari dirnya dengan semboyan: "Stop AIDS Mulai dari Diri Sendiri."
Lagi pula jika 1 orang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dimasukkan ke pusat penampungan itu hanya memutus 1 mata rantai penyebaran HIV, sedangkan di masyarakat lebih dari 1 orang pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi yang justru jadi penyebar HIV/AIDS tanpa mereka sadari.
Seperti diketahui epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es, yaitu: jumlah kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Maka, kalau saja DPRD Jatim lebih arif, maka regulasi yang diperlukan sekarang adalah sistem yang komprehensif melalui regulasi untuk mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS di masyarakat tanpa melawan hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).
Lagi pula kalau seorang ODHA yang juga seorang suami dimasukkan ke pusat penampungan, bagaimana dengan kelangsungan kehidupan keluarganya? Siapa yang mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya?
Apakah kemudian istri dan anak-anak seorang ODHA juga ditampung di pusat penampungan?
Program penanggulangan HIV/AIDS secara global adalah memberdayakan ODHA bukan mengasingkan atau mengarantina. Mereka didampingi agar tetap hidup di masyarakat secara alamiah. Ini ditopang dengan minum obat antiretroviral (ARV) ketika CD4 seorang ODHA sudah di bawah 350.
Dalam kaitan inilah diperlukan langkah yang sistematis untuk mendeteksi ODHA pada warga di masyarakat. Semakin banyak warga pengidap HIV/AIDS terdeteksi, maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV/AIDS yang diputus. Jadi, bukan memasukkan ODHA ke pusat penampungan tapi memberdayakan mereka dengan pendampingan medis dan sosial.
Kalau kemudian ODHA dan keluarga hidup di pusat penampungan, bagaimana dengan pendidikan mereka?
Kalau mereka sekolah di sekolah umum tentulah akan timbul banyak masalah (baru). Misalnya, alamat mereka. Tentulah akan mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) kepada keluarga ODHA yang hidup di pusat penampungan. "Oh, tinggal di pusat penampungan AIDS!"
Kalau didirikan sekolah khusus untuk ODHA dan keluarganya, apakah bisa didirikan mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA dst.?
Dengan jumlah 50.057 ODHA, ini angka sampai 31 Maret 2017, tentulah biaya yang diperlukan sangat besar jika semua ODHA ditempatkan di pusat penampungan. Selain itu mereka tidak bisa mengembangkan potensi diri sehingga seumur hidup tergantung kepada pusat penampungan.
Ketika dunia memberdayakan ODHA di Jawa Timur ODHA malah dimarginalisasi dengan menempatkan mereka di pusat penampungan sehingga tercerabut dari masyarakat yang akhirnya menempatkan ODHA dalam posisi ketergantungan. * [kompasiana.com/infokespro] *

AIDS di Kota Tegal, Adakah Program untuk Capai Zero Kasus HIV Baru?

Ilustrasi (Sumber: indianexpress.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Cegah Angka HIV/AIDS, Dinkes Kota Tegal Bakal Tambah Layanan. Ini judul berita di jateng.tribunnews comjateng.tribunnews co (2/7-2018). Judul berita ini menjungkirbalikkan akal sehat karena dengan menambah tempat layanan tes HIV tentulah menambah kasus baru yang terdeteksi yang pada akhirnya menambah jumlah kasus HIV/AIDS (yang terdeteksi).
Dilaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Tegal, Jateng, sejak tahun 2008 sampai 31 Juni 2018 sebanyak 248 yang terdiri atas 128 HIV dan 120 AIDS dengan 45 kematian.
Judul berita tsb. menunjukkan pemahaman HIV/AIDS sebagai fakta medis yang sangat rendah di banyak kalangan. Media merupakan saluran utama menyampaikan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS sebagai bagian dari upaya penanggulangan epidemi HIV/AIDS.
Tapi, jika media menyampaikan informasi HIV/AIDS yang tidak akurat itu artinya terjadi misleading (menyesatkan). Hal ini justru membuat masyarakat tidak menangkap informasi yang akurat sehingga tidak berguna untuk mendorong perubahan perilaku seksual. Padahal, salah satu langkah untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru adalah melalui perubahan perilaku seksual yaitu tidak melakukan hubungan seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS, al. (a). Sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (b). Sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
Terkait dengan penambahan layanan tes HIV dengan prosedur VCT (voluntary and counselling test yaitu tes HIV sukarela dengan konseling sebelum dan sesudah tes), dikatakan oleh Pengelola Program HIV AIDS Dinkes Kota Tegal, Lenny Harlina, penemuan kasus HIV/AIDS baru bisa diatasi cepat.
Yang diatasi adalah warga yang baru terdeteksi barupa konseling setelah tes HIV agar tidak menularkan HIV ke orang lain dan menjalani tes CD4 untuk mengetahui apakah ybs. sudah harus meminum obat  antiretroviral (ARV). Jika CD4 di bawah 350 maka pemberian obat ARV sudah harus dimulai. Jika kasus yang baru terdeteksi perempuan hamil, maka dokter akan menjalankan program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Di bagian lain Lenny mengatakan: "Zero kasus baru, zero kematian dan zero diskriminasi dan stigma."
Pertanyaan untuk Lenny: Apa program konkret yang dilakukan oleh Pemkot Tegal, dalam hal ini Dinkes Tegal dan KPK Tegal, untuk mencegah penularan HIV (baru)?
Adalah hal yang mustahil menghentikan insiden infeksi HIV baru, khususnya melalui hubungan seksual, karena tidak mungkin memonitor semua warga dewasa, laki-laki dan perempuan, terkait dengan perilaku seksual mereka.
Selanjutnya, bagaimana caranya agar tidak ada kematian terkait dengan HIV/AIDS kalau kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat tidak terdeteksi semua. Soalnya, epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu jumlah kasus yang terdeteksi (248) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Selain itu penanganan kasus HIV/AIDS dari hasil tes HIV di Klinik VCT adalah langkah di hilir yaitu pada warga yang sudah tertular HIV.
Yang diperlukan adalah langkah konkret penanggulangan di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, jumlah infeksi HIV baru khususnya pada laki-laki dewasa melalui perilaku seksual berisiko (b), yakni laki-laki yang sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
Mungkin Lenny akan menepuk dada dengan mengatakan: Di Kota Tegal tidak ada pelacuran!
Secara de jure itu benar karena sejak reformasi tidak ada lagi lokres (lokalisasi dan rehabilitasi) pelacuran yang ditangani pemerintah daerah untuk membina PSK langsung. Tapi, secara de facto apakah Lenny bisa menjamin tidak ada transaksi seks dalam bentuk pelacuran di Kota Tegal?
Tentu saja tidak bisa karena transaksi seks yang melibatkan PSK tidak langsung, perempuan yang 'menyamar' sebagai cewek penghibur, cewek pemijat, anak sekolah, dll. dengan berbagai modus, bahkan memakai media sosial, terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu yang tidak bisa diintervensi.
Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi, terutama pada laki-laki dewasa, yang pada gilirannya terjadi penyebaran HIV melalui laki-laki yang tertular HIV tampa mereka sadari. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan orang-orang yang tertular HIV.
Penyebaran HIV di masyarakat merupakan 'bom waktu' yang kelak akan sampai pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

AIDS di Purbalingga, Tidak Ada Kaitan Letak Geografis dan Risiko Tertular HIV

Ilustrasi (Sumber: healthsetu.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Camat Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah (Jateng), Titis Panjer Rahino, mengaku prihatin dengan makin meningkatnya kasus HIV/AIDS di wilayahnya. ''Saya prihatin karena wilayah Kecamatan Karangmoncol yang notabene ndeso kok terkena imbas HIV-AIDS yang biasanya terjadi di kota-kota besar,'' ujarnya (KPAD Purbalingga akan Bentuk Tiga Kampung Peduli AIDS (republika.co.id, 2/7-2018).
Sampai Juni 2018 jumlah kasus kumulatif HIV/ADIS di Kabupaten Purbalingga, Jateng, mencapai 277 yang terdiri atas 224 HIV dan 58 AIDS dengan 32 kematian. Sedagnkan di Kecamatan Karangmoncol tercatat 15 kasus terdiri atas 9 HIV dan 6 AIDS dengan 5 kematian.
Pernyataan Camat ini menunjukkan pemahanan yang sangat rendah terkait dengan epidemi HIV/AIDS.
Pertama, penularan HIV tidak terjadi berdasarkan letak geografis, tapi karena perilaku seksual orang  per orang baik warga dusun, kampung, desa, kelurahan, perkotaan, kota besar atau metropolitan.
Kedua, kasus HIV/AIDS banyak terdata di kota-kota besar karena fasilitas untuk tes HIV ada di kota-kota besar. Bahkan, di awal epidemi tes HIV hanya ada di Jakarta yang kemudian menyusul di ibu kota provinsi. Maka, warga dusun, kampung, desa dan kelurahan pun menjalani tes HIV di kota besar. Sebagian 'nyangkut' di shelter yang menyediakan layanan untuk pengidap HIV/AIDS sehingga mereka tercatat di kota besar bukan di tempat asalnya yang bisa saja di dusun, desa, kampung atau kelurahan di daerah.
Ketiga, layanan dampingan dan dukungan bagi pengidap HIV/AIDS hanya ada di kota-kota besar, bahkan di awal epidemi hanya ada di Jakarta. Tempat layanan ini disebut shelter yang menyediakan tenaga medis dan pendamping, dikenal sebagai buddies. Pengidap HIV/AIDS yang berasal dari dusun, kampung, desa dan kelurahan dari banyak daerah pun memilih tinggal di shelter daripada pulang kampung.
Dikatakan oleh Sekretrais Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Purbalingga, Heni Ruslanto: ''Untuk mencegah semakin banyaknya temuan kasus HIV/AIDS inilah, pemahaman masyarakat mengenai kasus HIV/AIDS perlu terus ditingkatkan,''
Yang jadi persoalan ada rentang waktu antara sosialisasi HIV/AIDS sampai dengan pemahman yang akurat sehingga pada rentang waktu tsb. bisa saja ada warga yang melakukan perilaku berisiko. Misalnya, melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK).
Terkait dengan hal di atas, pertanyaan untuk Heni:
(a). Apakah di wilayah Kabupaten Pubalingga ada lokasi pelacuran yang melibatkan PSK langsung? PSK langsung adalah PSK yang kasat mata, al. yang mangkal di tempat-tempat pelacuran.
Kalau ada, apa langkah yang dilakukan Pemkab Purbalingga untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK?
(b). Kalau tidak ada, apakah Pemkab Purbalingga bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa warga Kabupaten Purbalingga yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung di luar wilayah Purbalingga?
Tentu saja tidak bisa. Itu artinya laki-laki warga Purbalingga yang tertular HIV di luar Purbalingga akan jadi mata rantai penyebaran HIV di Purbalingga karena mereka tidak menyadari sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda atau gejala-gejala yan khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan orang-orang yang sudah tertular HIV.
(c). Apakah di Purbalingga ada praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung? PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yang bekerja di tempat-hiburan dan panti pijat plus-plus.
Tentu saja ada. Transaski seks yang melibatkan PSK tidak langsung terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan modus bermacam-macam, bahkan memanfaatkan media sosial. Itu artinya ada risiko penularan, khususnya pada laki-laki yang jadi pelanggan PSK tidak langsung.
Disebutkan pula oleh Heni: ''Melalui keberadaan kampung ini (kampung peduli AIDS-pen.), kita mencoba menggalakkan kepedulian warga terhadap upaya penanggulangan AIDS. Antara lain, dengan membangun pemahaman warga mengenai apa itu penyakit HIV/AIDS, dan bagaimana penanganan dan pencegahan penularan penyakit ini."
Yang jadi pertanyaan: Apakah keberadaan kampung peduli AIDS ini bisa mengubah perilaku seksual laki-laki yang berisiko tertular HIV?
Soalnya, perilaku seksual yang berisiko HIV juga terjadi pada laki-laki dan perempuan dewasa yang sering ganti-ganti pasangan dalam nikah. Ini berisiko karena bisa ada di antara pasangan mereka itu yang mengidap HIV/AIDS.
Kalau di Purbalingga tidak ada lokasi pelacuran, maka tidak ada upaya yang bisa dilakukan untuk menekan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan PSK tidak langsung.
Itu artinya ada laki-laki dewasa warga Purbalingga yang berisiko tertular HIV yang selanjutnya jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Penyebaran ini terjadi diam-diam ibarat 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

AIDS di Bali, Pernyataan Pengelola Program AIDS yang Mencengangkan

Ilustrasi (Sumber: india.curejoy.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Cara berpikir Pengelola Program Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Yahya Anshori, ini benar-benar mencengangkan bahkan kontra produktif untuk penanggulangan epidemi HIV/AIDS di Indonesia.
Disebutkan oleh Ansori dalam berita Mencengangkan, 75 Persen Penderita HIV/AIDS di Bali, Usia Produktif di radar.jawapos.com/baliexpress (1/7-2018): dari 18.000 kasus HIV/AIDS Bali, .... 75 persennya adalah kelompok usia 15-39 tahun yang merupakan kelompok usia yang masih produktif. "Yang mencengangkan malah 75 persen adalah usai produktif."
Pernyataan Anshori itu tidak masuk akal saya karena dia sebagai pengelola program di institusi penanggulangan HIV/AIDS. Secara empiris kasus HIV/AIDS pada usia 15-39 tahun adalah orang-orang dengan tingkat libido seks yang tinggi. Itu artinya mereka harus menyalurkan dorongan seksual melalui hubungan seksual karena tidak ada substitusi dorongan seksual selain hubungan seksual. Bisa juga dengan onani dan masturbasi, tapi ini tidak menuntaskan hasrat seksual pada usia itu
Lalu, apanya yang mencengankan Tuan Anshori?
Libido seks pada usia 15-39 adalah hal yang alamiah dan ini kabar gembira karena mereka ada dalam kondisi yang sehat. Bayangkan kalau pada usia itu libido seks ada di titik nadir. Ini baru jadi masalah dan mencegangkan, Tuan Anshori.
Kalau mau, maaf, cari sensasi atau bikin sensasi tolonglah jangan mempermainkan kasus HIV/AIDS karena pemahaman terhadap HIV/AIDS pada sebagian besar orang masih diselimuti mitos (keyakinan atau gagasan yang dipegang luas namun salah),
Sampai sekarang banyak kalangan yang selalu mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan zina, seks menyimpang, homoseksual, pelacuran, dll. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, seks menyimpang, seks bebas, homoseksual, dll.), tapi karena kondisi pada saat terjadi hubungan seksual di dalam dan di luar nikah (salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom). Ini fakta dan bukan fakta baru.
Kalau saja Tuan Anshori mau memakai pola ini: mengapa banyak kasus HIV/AIDS pada usia 15-39 tahun, dan bagaimana HIV menular kepada mereka di usia 15-39 tahun tentulah penjelasan HIV/AIDS melalui berita tsb. akan lebih berguna dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Soalnya, berita sensasi tidak akan pernah menjadi agent of change yang efektif dalam upaya mengajak masyarakat lebih peduli untuk menanggulangi epidemi HIV.
Dalam berita disebutkan: Virus HIV/AIDS menyerang kekebalan tubuh seseorang yang terinfeksi dan penyebarannya sendiri dapat melalui kontak fisik melalui darah, jarum suntik, transfusi darah bahkan dari ibu kepada anak yang dikandungnya.
Pertama, HIV sebagai virus tidak menyerang sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV. Sebagai retrovirus HIV menggandakan diri di sel-sel darah putih orang yang terinfeksi HIV dengan menjadikan sel darah putih sebagai 'pabik' untuk memproduksi virus (HIV) baru yang jumlanya miliran copy per hari. Nah, virus-virus yang baru itu pun menjadikan sel darah putih sebagai 'pabri'. Begitu seterusnya. Akibatnya, banyak sel darah putih yang rusak. Pada satu kondisi sampailah ke masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Kedua, kontak fisik melalui darah tidak akurat karena hal ini hanya bisa terjadi kalau ada darah pengidap HIV/AIDS yang terpapar ke tubuh orang. Penularan bisa terjadi kalau ada luka-luka mikroskopis di kulit orang yang terpapar darah.
Di bagian lain Ashori mengatakan: "Remaja adalah usia yang sangat rentan terpapar AIDS, untuk itu mari tingkatkan kepedulian, tingkatan edukasi kepada masyarakat, bersama-sama kita tanggulangi dan cegah penyebaran HIV/AIDS."
Kerentanan terkait dengan HIV/ADS bukan karena usia tapi perilaku seksual orang per orang. Pernyataan ini lagi-lagi mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) kepada remaja.
Seperti dijelaskan di atas bagi remaja dan usia sampai 39 tahun dorongan seksual sangat kuat. Maka, yang perlu disampaikan kepada mereka adalah cara-cara yang riil mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual karena penyaluran libido hanya melalui hubungan seksual.
Ada pula pernyataan Adi Narendra, Wakil Ketua Forum Remaja Bali yang berada di bawah naungan Kisara Bali. Menurut Adi, remaja merupakan kelompok usia yang sangat memegang peran penting dalam upaya pencegahan penyakit HIV/AIDS.
Mustahil mereka (remaja) bisa mencegah agar mereka tidak tertular HIV jika mereka tidak dibekali dengan cara-cara yang konkret untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual. Buktinya, data yang disampaikan Anshori tentang 75 persen kasus HIV/AIDS justru terdeteksi pada kelompok umur 15-39 tahun menunjukkan mereka tidak mengetahui cara-cara melindungi diri agar tidak tertular HIV, terutama melalui hubungan seksual.
Disebutkan orasi Adi Narendra meminta agar pemerintah dapat menyusun program-program yang sejalan dengan kebutuhan para remaja dan remaja dapat dilibatkan dalam program tersebut.  
Kalau yang dimaksud ada pemeirntah adalah pemeirntah pusat, itu artinya Adi 'ketinggalam kereta' karena sudah 20 tahun Indonesia ada di era otonomi daerah sehingga urusan HIV/AIDS ada di provinsi, kabupaten atau kota.
Lagi pula bagaimana remaja ikut berperan, wong mereka sendiri tidak mengetahui cara melindungi dari dari risiko tertular HIV.
Ya, memang sejak awal epidemi HIV/AIDS yang terjadi hanya orasi moral yang menyuburkan mitos yang pada akhirnya hanya menjungkirbalikkan akal sehat. Akibatnya, banyak orang yang tidak tahu cara melindungi dari agar tidak tertular HIV. Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang pada gilirannya akan mendorong penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, sebagai 'bom waktu' menuju 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *