17 Agustus 2018

AIDS di Rembang, Tes HIV Ibu Hamil dan Populasi Kunci Langkah di Hilir

Ilustrasi (Sumber: canstockphoto.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Rembang (Jawa Tengah-pen.) mengalami kenaikan yang cukup memprihatinkan. Tercatat sejak 2004 sampai bulan akhir Juni 2018 ini sudah ada sekitar 500 penderita. Dan terbaru penderita ditemukan bertambah 40 orang. Ini lead pada berita Dinas Kesehatan Temukan 40 Penderita HIV/AIDS Baru(radar.jawapos.com/radarkudus, 30/6-2018).
Ini gambaran pemahaman yang tidak baik terkait dengan epidemi HIV/AIDS di banyak kalangan. Banyak pihak, terutama kepala daerah, yang merasa risi, malu, dll. kalau jumlah kasus HIV/AIDS di daerahnya banyak yang terdeteksi sehingga angka laporan kasus besar.
Tentu saja anggapan itu salah besar karena dengan mendeteksi 1 kasus HIV/AIDS berarti memutus 1 mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat. Epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es, yaitu: jumlah kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Maka, kasus-kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat jadi bumerang karena mereka menyebarkan HIV/AIDS secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ini bisa terjadi karena orang-orang yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi tidak merasakan gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan kondisi kesehatan mereka.
Dalam kaitan itulah pemerintah daerah perlu membuat regulasi untuk mendeteksi warga pengidap HIV/AIDS yang belum terdeteksi. Jika hal ini tidak dilakukan maka penyebaran HIV/AIDS di masyarakat akan terus terjadi.
Kabid Pengendalian Penyakit, Dinkes Kabupaten Rembang, Aris Suryono, menyebutkan pemeriksaan ibu hamil berisiko dilakukan dengan cara pemeriksaan mobile klinik layanan.
Pernyataan 'ibu hamil berisiko' tidak jelas dalam konteks pernyataan tsb. Apa dan siapa yang dimaksud dengan 'ibu hamil berisiko'?
Salah satu langkah untuk mendeteksi HIV pada masyarakat adalah anjuran tes HIV kepada ibu hamil. Mereka bukan kelompok dengan perilaku berisiko. Kalau ada ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu artinya kemungkinan besar mereka tertular dari suami. Maka, suami merekalah yang mempunyai perilaku seksual yang berisiko.
Diperlukan regulasi agar anjuran tes HIV bagi ibu hamil berkekuatan hukum. Dalam regulasi juga diatur agar suami ibu hamil yang pertama menjalani konseling dan tes HIV. Selama ini perempuan (ibu hamil) yang selalu jadi korban, padahal mereka ditulari.
Disebutkan pula: .... mobile klinik diperuntukkan bagi perempuan yang bekerja di lokalisasi. Termasuk bagi laki suka laki yang gencar dilakukan selama dua bulan, April dan Mei silam.
Tes HIV terhadap pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi hanya di hilir, yang diperlukan adalah program penanggulangan di hulu. Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap HIV itu artinya sudah banyak laki-laki yang berisiko tertular HIV karena setiap malam rata-rata seorang PSK melayani hubungan seksual dengan 3-5 laki-laki. Kalau di lokalisasi itu tidak ada regulasi pemakaian kondom, itu artinya laki-laki tidak pakai kondom sehingga ada risiko tertular HIV. * [kompasiana.com/infokespro] *

Mitos dan Kematian Pengidap HIV/AIDS di Kota Lhokseumawe, Aceh

Ilustrasi: Shutterstock

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Sejak tahun 2005 sampai 2018 kematian pengidap HIV/AIDS di Kota Lhokseumawe, Aceh, dilaporkan 16 kasus. Sedangkan kasus kumulatif HIV/AIDS sampai 2018 mencapai 59 (aceh.tribunnews.com, 30/6-2018). Sedangkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Provinsi Aceh dari tahun 2004 sampai 2017 tercatat 632 (jawapos.com, 6/3-2018).
Yang perlu diingat bahwa kasus yang terdeteksi (59) tidak menggambarkan kasus riil di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es, yaitu: jumlah kasus yang terdeteksi (59) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Maka, diperlukan mekanisme yang riil untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat karena warga yang mengidap HIV/AIDS dan tidak terdeteksi tanpa mereka sadari mereka terus menularkan HIV ke orang lain tertutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Kabid Pencegahan, Pemberantasan Penyakit (P2P), Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, dr Helizar, dalam berita Penderita AIDS Meninggal Terus Bertambah (aceh.tribunnews.com, 30/6-2018): kini masyarakat yang memeriksa diri apakah terjangkit HIV/AIDS ke Klinik VCT di Kota Lhokseumawe secara sukarela terus meningkat. Hal itu, menurut dr Helizar, menunjukan kesadaran masyarakat untuk menghindari penyakit mematikan tersebut makin tinggi (aceh.tribunnews.com, 30/6-2018).
Judul berita juga tidak tepat karena orang-orang yang tertular HIV tidak otomatis menderita. Pada tahap lanjut setelah tertular pun tidak langsung menderita karena kemungkinan kena penyakit lain terjadi di masa AIDS (secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Persoalannya adalah tes HIV merupakan langkah penanggulangan di hilir. Artinya, warga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS ketika tes HIV di Klinik VCT sudah tertular HIV melalui perilaku-perilaku yang berisiko tertular HIV, al.: laki-laki dan perempuan yang sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan laki-laki yang sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
Lagi pula yang dianjurkan tes HIV sukarela ke Klinik VCT bukan masyarakat secara luas, tapi orang-orang yang sering melakukan perilaku berisiko di atas. Dan, perlu diingat langkah ini ada di hilir. Yang diperlukan adalah langkah di hulu yaitu mencegah insiden infeksi HIV melalui perilaku berisiko di atas.
Dikatakan lagi oleh dr Helizar: "Kita terus mengimbau masyarakat yang merasa pernah melakukan perbuatan yang rentan terkena penyakit mematikan tersebut seperti suntik narkoba, hubungan intim bukan dengan istri atau suami sendiri, bisa segera melakukan pemeriksaan di VCT. Bila hasil pemeriksaan dinyatakan positif terjangkit, identitas pasien pasti dirahasiakan."
Ada beberapa hal yang tidak akurat dalam pernyataan dr Helizat di atas, yaitu:
(a). Disebut 'penyakit mematikan'. Ini tidak akurat karena tidak ada kasus kematian pada pengidap HIV/AIDS (disebut Odha yakni Orang dengan HIV/AIDS) karena HIV atau AIDS. Kematian Odha terjadi karena penyakit-penyakit yang ada di masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC dll.
(b). Disebut 'suntik narkoba'. Ini juga tidak tepat karena risiko tertular HIV melalui narkoba bisa terjadi jika narkoba dipakai dengan cara disuntikkan secara bersama dengan bergantian karena kalau ada di antara mereka yang mengidap HIV/AIDS, maka yang memakai jarum suntik berikutnya akan berisiko tertular HIV. Risiko penularan HIV melalui jarum suntik (dalam hal ini darah di jarum) sekitar 90 persen.
(c). Disebut 'hubungan intim bukan dengan istri atau suami sendiri'. Ini adalah mitos (anggapan yang salah) karena penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubunga seksual (istri atau suami sendiri), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan suami tidak pakai kondom).
Selama informasi HIV/AIDS dibalut dengan moral, maka selama itu pula masyarakat tidak akan pernah memahami cara-cara yang riil untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV/AIDS. Itu artinya akan terus terjadi insiden infeksi HIV.
Warga yang tertular HIV dan tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV secara diam-diam karena mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini merupakan 'bom waktu' menuju 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

AIDS di Kota Banjarmasin, Cegah HIV/AIDS Bukan dengan Seks Halal

Ilustrasi (Sumber: health24.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Banjarmasin sampai tahun 2017 dilaporkan 734. Sedangkan di Kalsel jumlahnya 2.065 yang terdiri atas 1.104 HIV dan 963 AIDS (kalsel.prokal.co, 20/3-2018).
Namun, perlu diingat bahwa kasus yang dilaporkan adalah kasus-kasus yang terdeteksi melalui berbagai cara, seperti survailans tes HIV pada kalangan tertentu, skirining darah donor di PMI, pada ibu hamil, pasien yang berobat ke fasilitas kesehatan, dll. Itu artinya ada warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi karena tidak terkait dengan hal-hal tadi.
Alasan lain adalah epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es, yaitu: jumlah kasus yang terdeteksi (di Kota Banjarmasin 734) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Terkait dengan penyebaran HIV/AIDS di Kota Banjarmasin, Kabid Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Dinkes Kota Banjarmasin, Kalsel, Dwi Atmi Susilastuti, mengimbau agar: " .... lakukan hubungan seksual yang memang sesuai dan halal." Imbauan ini ada dalam berita  Waspada HIV dan AIDS, Ini ada dala berita Waspada HIV dan AIDS, Begini Imbauan Kabid P2PL Dinkes Banjarmasin (banjarmasin.tribunnews.com, 28/6-2018),
Pertama, imbauan itu tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah atau pada hubungan seksual yang halal dan haram. Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Bukan karena sifat hubungan seksual (halal, haram, zina, di luar nikah, seks pranikah, selingkuh, pelacuran, waria, homoseksual, dll.).
Dok Pribadi
Dok Pribadi
Maka, imbauan itu tidak tepat ke sasaran karena risiko tertular HIV pada laki-laki dan perempuan bisa terjadi melalui perilak seksual berisiko di dalam ikatan pernikahan yang sah, seperti:
(1). Laki-laki heteroseksual (secara seksual tertarik kepada perempuan) yang  melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb. ada yang mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko suami tertular HIV/AIDS.
(2) Perempuan heteroseksual (secara seksual tertarik kepada laki-laki)  yang melakukan hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi suami tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko istri tertular HIV/AIDS.
Lagi pula, 'hari gini' informasi HIV/AIDS sudah banjir tapi mengapa masih saja ada yang memberikan informasi HIV/AIDS yang tidak akurat. Dengan informasi yang tidak akurat terjadi misleading(menyesatkan) di masyarakat.
Seperti pada kondisi nomor (1) dan (2) tentulah hubungan seksual halal seperti yang dimaksudkan oleh Dwi Atmi Susilastuti, tapi ada risiko penularan HIV. Warga yang melakukan perilaku nomor (1) dan (2) akan merasa aman karena hubungan seksual yang mereka lakukan halal. Padahal, perilaku tsb. berisiko tertular HIV.
Beberapa kasus menunjukkan suami perempuan hamil yang terdeteksi HIV/AIDS menolak untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Itu artinya suami-suami tsb. jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.
Anjuran lain terkait dengan mencegah HIV/AIDS disebutkan: " .... lakukan pemeriksaan HIV lebih dini, dengan adanya pemeriksaan lebih awal itu lebih bagus karena bisa ditanggulangi lebih cepat."
Anjuran ini tidak pas karena digeneralisir. Tidak semua perilaku seksualnya berisiko tertular HIV sehingga anjuran ini hanya untuk warga yang pernah atau sering melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV. Lagi pula tes HIV bukan pencegahan karena terjadi di hilir yaitu pada warga yang sudah tertular HIV.
Pada lead berita disebutkan: HIV adalah virus yang menyerang dan merusak sistem kekebalan tubuh sehingga berkaibat tidak bisa bertahan terhadap penyakit-penyakit yang menyerang. Adapun AIDS adalah sekumpulan penyakit yang menyerang tubuh kita.
Pernyataan di atas tidak akurat karena HIV tidak menyerang sistem kekebalan tubuh. Yang terjadi adalah ketika HIV masuk ke tubuh seseorang, maka HIV akan menggandakan diri dengan memakai sel darah putih sebagai 'pabrik'. Virus hasil penggandaan mencari sel darah putih lain sebagai 'pabrik' untuk menggandakan diri. Begitu seterusnya sehingga sel-sel darah puti yang dijadikan 'pabrik' oleh HIV rusak yang berakibat sistem kekebalan tubuh lemah karena banyak sel darah putih yang rusak setelah dijadikan 'pabrik'.  Sedangkan AIDS adalah kondisi seseorang yang terular HIV setelah 5-15 tahun yang ditandai dengan sekumpulan gejala penyakit yang terkait dengan AIDS.
Selama informasi HIV/AIDS yang disampaikan ke masyarakat tidak akurat, maka selam itu pula perilaku berisiko tertular HIV terjadi yang menambah kasus infeksi HIV baru terutama pada laki-laki dan perempuan dewasa.
Warga yang tertular HIV tapi tidak terdeteksi akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal tanpa mereka sadari karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan. Penyebaran HIV yang terjadi secara diam-diam ini bagaiman 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

Penanggulangan HIV/AIDS, Stigma Ada di Hilir

Ilustrasi (Sumber: United Nations in Egypt)
Oleh: Syaiful W. HARAHAP

PBB Pemberantasan HIV/AIDS Terhambat Tabu dan Stigma. Ini judul berita di "VOA Indonesia" (26/5-2018). Stigma (KBBI: ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya) terjadi terhadap orang-orang yang sudah menjalani tes HIV dengan hasil positif.
Sebaliknya, insiden infeksi HIV baru terjadi di hulu yaitu pada orang-orang yang melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV, yaitu: melalui hubungan seksual, memakai jarum suntik narkoba bergantian, menerima transfusi darah yang tidak diskirining HIV, dan bayi yang lahir dan menyusui ke ibu yang HIV-positif.
Sejak kasus pertama HIV/AIDS dilaporkan (1987) dan HIV disetujui WHO sebagai virus penyebab AIDS lebih dari 35 tahun lalu, 78 juta penduduk Bumi terinfeksi HIV. Dari jumlah ini 35 juta meninggal karena penyakit terkait AIDS. Di Indonesia sampai Maret 2017 dilaporkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI, 24 Mei 2017, jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS mencapai 330.152 yang terdiri atas 242.699 HIV dan 87.453 AIDS dengan 14.754 kematian.
Kalau pun kemudian Michel Sidibe, Direktur Eksekutif Program Bersama PBB untuk HIV/AIDS (UNAIDS), mengatakan bahwa stigma menghambat pemberantasan HIV/AIDS itu terjadi pada orang-orang yang sudah tertular HIV tapi tidak menyadarinya. Ini terjadi justru karena selama ini HIV/AIDS, yang sebenarnya adalah fakta medis, dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga terjadi misleading (menyesatkan) berupa mitos (anggapan yang salah). (Baca juga: Kampanye AIDS yang Mengukuhkan Mitos dan Mitos AIDS Menkominfo Tifatul Sembiring).
Stigma terjadi karena mitos dan informasi tentang orang-orang yang mengidap HIV/AIDS dipublikasikan secara luas, baik melalui media massa maupun dengan cara-cara yang memberikan indikasi HIV/AIDS. Misalnya, menempatkan pengidap HIV/AIDS, dikenal luas sebagai Odha (Orang dengan HIV/AIDS), di ruang perawatan khusus, memberikan tanda-tanda khas pada medical record, dll.
Masyarakat melakukan stigma karena HIV/AIDS selalu dikaitkan dengan perilaku amoral, perilaku menyimpang, dll. Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual tidak ada kaitannya dengan sifat hubungan seksual (amoral, zina, melacur, seks pranikah, seks menyimpang, seks bebas, dll.), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom). Ini fakta dan bukan fakta baru.
Untuk itulah diperlukan sosialisasi HIV/AIDS yang komprehensif ke masyarakat melalui berbagai saluran dan media secara konsisten dengan materi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.
Dok Pribadi
Dok Pribadi
Laporan terkait dengan stigma dan diskriminasi terhadap Odha justru banyak terjadi di fasilitas kesehatan. Ini 'kan konyol dan ironis. Justru pasien yang tidak jelas status HIV-nya yang jadi masalah besar. Untuk itulah diperlukan advokasi terhadap tenaga medis tentang HIV/AIDS dengan pemberian sanksi yang keras jika tetap melakukan stigma dan diskriminasi terhadap Odha.
Di wilayah Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, misalnya, identitas NN (27), seorang perempuan pengidap HIV/AIDS dari sebuah desa terpencil di wilayah Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, dibocorkan oleh salah seorang perawat. Puskesmas Tengaran menolak NN dengan alasan tidak ada surat rujukan dokter. Sedangkan dokter yang melayani NN berteriak: 'Oh, Andreas bukan dokter, tapi yang ngurusi orang kena AIDS' sehingga didengar banyak orang (Andreas konselor yang mendampingi NN dan membawa NN ke puskesmas tsb.) (kompas.com, 7/7-2016).
Sedangkan di Ciamis, Jawa Barat, RSUD Ciamis menolak menangani persalinan seorang perempuan pengidap HIV/AIDS dengan alasan tidak memilik fasilitas dan tenaga yang lengkap (pikiran-rakyat.com, 4/12-2015).
Temuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat dalam pelayanan kesehatan terhadap Odha pada kurun waktu Oktober 2016 sampai Oktober 2017 pada 184 kasus di 14 kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Malang, Manado, Bandung, Jayawijaya, dan kota-kota besar lainnya, menunjukkan tak sedikit yang mengalami perlakuan tak ramah dari tenaga kesehatan, seperti penolakan dengan alasan takut tertular, serta mendapat lontaran ejekan seperti menghakimi atau menceramahi (rona.metrotvnews.com, 1/12-2017).
Hal yang tidak masuk akal di fasilitas kesehatan di Indonesia adalah status pasien (medical record) bisa dibaca oleh perawat dan tenaga administrasi. Ini jelas perbuatan melawan hukum karena medical record adalah rahasia jabatan dokter.
Disebutkan pula oleh Sidibe: "Pendekatan yang berpusat pada keluarga dan juga pendekatan berbasis masyarakat akan menjadi upaya utama kita di masa depan, jika kita ingin benar-benar menjangkau jutaan orang yang belum tahu status mereka dan masih terus menulari orang lain."   
Seperti disebutkan di atas HIV/AIDS yang sampai ke masyarakat bukan fakta medis, tapi mitos. Banyak orang yang sering melalukan perilaku berisiko tertular HIV, seperti hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti, tapi tidak menyadari ada risiko tertular HIV karena yang beredar di masyarakat HIV memular melalui zina dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokasi atau lokalisasi pelacuran.
Banyak orang yang melakukan perilaku berisiko bukan dengan PSK tidak di lokasi pelacuran sehingga mereka menganggap hal itu tidak berisiko tertular HIV [Baca juga: Media (Masih) Menyuburkan Mitos].
Maka, yang diperlukan adalah penyebaran informasi HIV/AIDS, cara-cara penularan dan pencegahan, yang akurat berdasarkan fakta medis bukan infomasi yang dibumbui dengan norma, moral dan agama. * [kompasiana.com/infokespro] *

Penanggulangan HIV/AIDS, Strategi Moralistis Bermuara pada "Ledakan AIDS"

Ilustrasi (Sumber: stophiv.org)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Beda Persepsi, Penyebab Kasus HIV/AIDS Sulit Ditekan. Ini judul berita di balipost.com (23/6-2018). Sayang, dalam berita tidak jelas persepsi soal apa yang berbeda. Soalnya, cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS di seluruh dunia sama. Strategi boleh berbeda tapi tetap harus mengacu ke cara-cara yang realistis bukan moralistis.
Disebutkan dalam berita: Permasalahan yang dihadapi justru masih belum adanya persepsi yang sama di tingkat SKPD. Antara dinas kesehatan, instansi penegakan hukum, LSM, masyarakat adat belum memiliki persepsi sama dalam penanganan kasus HIV/AIDS. Sehingga dalam pengambilan keputusan pun tidak mendapat restu dari semua stakeholder.
Apa pun strategi atau persepsi yang ada di instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) yang jelas penanggulangan epidemi HIV/AIDS harus berpijak pada fakta medis yaitu cara-cara pencegehan yang konkret.
Terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS, tulisan ini menitikberatkan pembahasan pada faktor risiko hubungan seksual. Seperti dikatakan oleh aktivis HIV/AIDS di Bali, Surya Anaya, penyebab nomor satu adalah perilaku seksual berganti-ganti pasangan lawan jenis (heteroseksual), penggunaan jarum suntik, dll.
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 24 Mei 2017, juga menunjukkan faktor risiko (cara penularan) HIV dari tahun 1987- Maret 2017 paling banyak melalui hubungan seksual, yaitu: heteroseksual 67,8 persen, homoseksual 4,23 persen dan biseksual 0,58 persen.
Yang dijadikan patokan adalah kasus AIDS karena kasus HIV ada hasil tes HIV yang tidak dikonfirmasi (standar WHO semua hasil tes HIV harus dikonfirmasi dengan tes lain). Sedangkan pada kasus AIDS sudah jelas ybs. tertular HIV).
Jika ada persepsi yang tidak sama antar instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama), maka persoalan di bawa ke ranah realitas sosial tentang perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Langkah dan strategi instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) adalah upaya untuk menangkal insiden infeksi HIV baru melalui perilaku-perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV.
Perilaku-perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV, yaitu:
(1) Laki-laki heteroseksual (secara seksual tertarik kepada perempuan) yang melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb. ada yang mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko laki-laki tertular HIV/AIDS.  Apakah ada cara-cara yang konkret yang bisa dilakukan oleh instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ini?
(2) Perempuan heteroseksual (secara seksual tertarik kepada laki-laki)  yang melakukan hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko tertular HIV/AIDS. Apakah ada cara-cara yang konkret yang bisa dilakukan oleh instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada perempuan ini?
(3) Laki-laki heteroseksual (secara seksual tertarik kepada perempuan) yang  melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara prempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko tertular HIV/AIDS. Apakah ada cara-cara yang konkret yang bisa dilakukan oleh instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ini?
(4) Perempuan heteroseksual (secara seksual tertarik kepada laki-laki) yang melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko tertular HIV/AIDS. Apakah ada cara-cara yang konkret yang bisa dilakukan oleh instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada perempuan ini?
(5) Laki-laki heteroseksual (secara seksual tertarik kepada perempuan) yang  melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti pekerja seks komersial (PSK), kaena bisa saja ada di antara PSK itu yang mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko tertular HIV/AIDS.
PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:
(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
Apakah ada cara-cara yang konkret yang bisa dilakukan oleh instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ini melalui hubungan seksual dengan PSK langsung?
Ada. Caranya adalah dengan melakukan intervensi terhadap laki-laki agar selalu memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung. Cara ini, dikenal sebagai program 'wajib kondom 100 persen', tapi praktek PSK harus dilokalisir. Program ini sudah dijalankan Thailand dengan hasil penurunan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa.
Ini perbandingan kasus HIV/AIDS (2016) di Indonesia dengan Thailand (setelah menerapkan program 'wajib kondom 100 persen' bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung). Indonesia: estimasi jumlah kasus kumulatif 620.000, infeksi HIV baru 48.000, cakupan obat ARV 13 persen, kematian terkait AIDS 38.000. Thailand: estimasi jumlah kasus kumulatif  450.000, infeksi HIV baru 6.400, cakupan obat ARV 69 persen, kematian terkait AIDS 16.000 (adisdatahub.org).
Celakanya, program tsb. tidak bisa dijalankan di Indonesia karena transaksi yang melibatkan PSK langsung tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dilakukan intervensi dengan regulasi.
(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat plus-plus, 'artis', 'spg', cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu rumah tangga, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.  Apakah ada cara-cara yang konkret yang bisa dilakukan oleh instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ini?
(6) Laki-laki biseksual (tertarik secara seksual kepada perempuan dan laki-laki) yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki dan perempuan yang berganti-ganti, disebut LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki), karena bisa saja salah satu dari di antara mereka mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko tertular HIV/AIDS. Apakah ada cara-cara yang konkret yang bisa dilakukan oleh instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ini?
(7) Laki-laki heteroseksual (secara seksual tertarik kepada perempuan) yang melakukan seks anal dan seks oral dengan waria yang berganti-ganti karena bisa saja salah di antara waria tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko tertular HIV/AIDS. Apakah ada cara-cara yang konkret yang bisa dilakukan oleh instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ini?
Nah, seperti apa pun perbedaan persepsi antara instansi, institusi, LSM, toma (tokoh masyarakat) dan toga (tokoh agama) yang jelas strategi harus menyasar poin-poin di atas. Prof Dr dr Dewa N. Wirawan, misalnya, sudah menjankan program 'jemput bola' yaitu membawa PSK langsung dari salah satu lokasi pelacuran di Denpasar untuk menjalani pemeriksaan kesehatan dan mengikuti pelatihan untuk 'memaksa' laki-laki memakai kondom ketika terjadi hubungan seksual.
Celakanya, Prof Wirawan dihujat wartawan (Baca juga: 'Menjemput' PSK di Denpasar, Bali). Lebih celaka lagi lokasi pelacuran sudah dibongkar sehingga praktek PSK langsung pun tidak bisa lagi dijangkau. Itu artinya penyebaran IMS dan HIV/AIDS terjadi melalui laki-laki pelanggan PSK ke masyarakat melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Maka, penyebaran HIV/AIDS di masyarakat di Denpasar khususnya dan di Indonesia umumnya akan terus terjadi terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ini merupakan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada ledakan AIDS. * [kompasiana.com/infokespro] *