30 Juni 2018

RUU KUHP, Adakah Pasal yang Mengatur Sanksi Pidana bagi Suami yang Menularkan HIV/AIDS ke Istrinya?

Ilustrasi (Sumber: vikramhospital.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Seorang suami yang menularkan HIV/AIDS kepada istrinya selama ini selalu ada di pihak yang tidak bersalah. Mumpung masih dalam pembahasan, tampaknya perlu juga ada pasal yang mengatur hal ini sebagai perbuatan yang melawan hukum dengan sanksi pidana.
Dalam Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tertanggal 24 Mei 2017 tentang kasus HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan dari tahun 1987 sampai Maret 2017 jumlah kasus AIDS pada ibu rumah tangga (IRT) sebanyak 12.302. Kemungkinan pertama mereka tertular HIV dari suami karena suami mereka melakukan hubungan seksual yang berisiko dengan perempuan, waria atau laki-laki (ini dikenal sebagai LSL/Lelaki Suka Seks Lelaki).
Sedangkan kasus AIDS pada kelompok umur usia <1 tahun dari tahun 1987 sampai Maret 2017 jumlahnya 307 dan 1-4 tahun sebanyak 1.650, serta 5-14 tahun tercatat 1.042.
Jumlah yang dilaporkan hanyalah yang terdeteksi ketika hamil atau saat persalinan di rumah sakit. Sedangkan ibu rumah tangga yang hamil yang tidak menjalani tes HIV ketika hamil atau tidak melahirkan di rumah sakit tidak bisa diketahui status HIV mereka.
Perilaku seksual yang berisiko tertular HIV yang dilakukan oleh suami-suami, yaitu:
(1). Pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti. Hal ini berisiko karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb. juga punya laki-laki sebagai pasangan seksual yang mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan kepada perempuan tsb.
(2). Pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom di luar ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti. Hal ini berisiko karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb. juga punya laki-laki sebagai pasangan seksual yang mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan kepada perempuan tsb.
(3). Pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:
(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(b). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat plus-plus, 'artis', 'spg', cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu rumah tangga, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.
(4). Pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan waria atau waria tidak pakai kondom. Dalam sebuah studi di Surabaya, tahun 1990-an, menunjukkan pelanggan waria umumnya laki-laki beristri dan mereka justru jadi 'perempuan' (dikenal dengan istilah ditempong) dan waria jadi 'laki-laki' (menempong). Kondisi ini menempatkan laki-laki beristri mudah tertular HIV dan IMS [infeksi menular seksual yang lebih dikenal sebagai 'penyakit kelamin', yaitu kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), herpes genitalis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, virus kanker serviks, dll.].
(5). Pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan lelaki yaitu LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki) yang dikenal sebagai biseksual (tertarik secara seksual dengan perempuan sekaligus juga dengan laki-laki). Suami yang biseksual jadi jembatan penyebaran HIV dan IMS ke istri.
Persoalan besar adalah yang dites pertama justru ibu hamil. Sedangkan suami sering menolak tes HIV. Untuk mengatasi hal ini yang menjalani tes HIV pertama adalah suami dari ibu rumah tangga yang hamil sehingga tida bisa mengelak.
Dalam kaitan seorang suami menularkan HIV ke istri tidak bisa lolos dari jerat hukum karena suami-suami itu tertular HIV akibat perilaku mereka. Tidak ada lagi alasan suami mengatakan tidak mengetahui kalau dia sudah tertular HIV karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan seorang suami ada di sisi yang tidak bersalah. Dalih ini tidak bisa diterima karena informasi HIV/AIDS yang akurat sudah disebarluaskan melalui berbagai cara, seperti media massa, media online, blog, ceramah, diskusi, dll.
Ganjalan lain yang bisa meloloskan seorang suami yang diduga menularkan HIV ke istrinya adalah mereka mempunyai surat keterangan 'bebas AIDS' ketika menjalani tes HIV sebelum menikah. Surat keterangan itulah yang mereka jadikan alasan untuk menuduh istrinya selingkuh sebagai perilaku yang memungkinkan si istri tertular HIV.
Dengan melihat angka 12.302 yang akan berimbas kepada bayi yang akan mereka lahirkan sudah waktunya Pemerintah dan DPR mengatur sanksi hukum bagi suami yang menularkan HIV dan IMS kepada istrinya. * [kompasiana.com/infokespro] *

AIDS di Kota Sukabumi Meningkat Karena "Seks Menyimpang"?

Ilustrasi (Sumber: ir.voanews.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP


"Adapun, faktor penyebab meningkatnya kasus HIV/AIDS di Kota Sukabumi lanjut Fifi (Seketaris KPA Kota Sukabumi, Jabar, Fifi Kusumajaya-pen.), dikarenakan meningkatnya seks menyimpang di masyarakat, terlebih kemudahan akses transportasi menuju Kota Sukabumi." Ini ada dalam berita "Gawat! Kasus HIV/AIDS di Kota Sukabumi Semakin Mengkhawatirkan" (jabar.pojoksatu.id, 30/5-2018).
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Sukabumi tercatat 1.312 sejak tahun 2000 sampai Februari 2018.
Kondisi Hubungan Seksual
Jika disimakdari fakta yang disampaikan Fifi yaitu jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada priode Januari-Mei 2018 (lihat gambar) tidak jelas apa yang dimaksud dengan 'dikarenakan meningkatnya seks menyimpang di masyarakat' sebagai penyebab peningkatan kasus HIV/AIDS di Kota Sukabumi.
Lagi pula 'seks menyimpang' adalah jargon moral yang justru merusak sistem penanggulangan HIV/AIDS karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubnngan seksual (pranikah, di luar nikah, zina, seks menyimpang, free sex, melacur, dll.), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom).
Bagan tabel
Bagan tabel
Maka, yang pas bukan karena sifat hubungan seksual, dalam hal ini Fifi menyebut 'seks menyimpang', tapi karena salah satu dari pasangan yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak pakai kondom setiap kali lakukan seks.
Kalau diikuti jalan pikiran instansi dan institusi serta aktivis AIDS yang memakai pijakan moral dalam gambar mungkin 'seks menyimpang' adalah LSL dengan jumlah kasus 12 atau 21,82 persen.
Dikatakan Fifi juga penyebab jumlah kasus meningkat karena 'terlebih kemudahan akses transportasi menuju Kota Sukabumi'. Rupanya, menurut Fifi, orang di luar Kota Sukabumi yang mengidap HIV/AIDS dengan mudah melakukan aksinya. "Jadi banyak pelaku seks bebas yang berasal dari luar kota datang ke Kota Sukabumi." 
Ini adalah salah satu bentuk penyangkalan yang akhirnya mendorong insiden infeksi HIV/AIDS di kalangan warga Kota Sukabumi karena mereka merasa 'dibela' dengan penyangkalan tsb.
Penularan HIV hanya bisa terjadi al. melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, lalu bagaimana pengidap HIV/AIDS yang datang dari luar Kota Sukabumi menyebarkan HIV/AIDS kepada warga Kota Sukabumi?
Tentu warga Kota Sukabumi melakukan perilaku berisko, al. hubungan seksual tanpa kondom, dengan pendatang dari luar Kota Sukabumi. Dalam konteks ini, siapa yang salah dan siapa pula yang disalahkan?
Yang jelas terjadi seks yang tidak aman yaitu hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang tidak diketahui status HIV-nya.
Hanya saja, apakah pengidap HIV/AIDS di Kota Sukabumi sudah terdeteksi semuanya?
Kalau jawabannya tidak, maka itu artinya penyebaran HIV/AIDS juga terjadi antara penduduk secara horizontal al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Apakah suami ibu-ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS juga menjalani tes HIV?
Kalau jawabannya tidak, maka suami-suami itu jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarkat, terutama  melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
PSK Tidak Langsug
Disebutkan pula: Sambung Fifi, saat ini tugas KPA dinilai cukup berat, sebab saat ditemukan kasus baru, pihaknya harus mempertahankan para pengidap HIV/AIDS agar konsisten menjalani pengobatan.
Orang-orang yang terdeteksi HIV tidak otomatis menjalani pengobatan karena harus menjalani tes CD4. Jika hasilnya di bawah 350 baru minum obat antiretroviral (ARV). Obat ARV bukan untuk pengobatan agar sembuh tapi hanya sebatas menekan penggandaan HIV di dalam darah sehingga sistem kekebalan tubuh Odha tetap bisa dipertahankan. Dengan kondisi ini pengidap HIV/AIDS tetap menjalankan kegiatan sehari-hari.
Soal pencegahan HIV/AIDS yang jadi pertanyaan adalah: Apakah di Kota Sukabumi ada pratek pelacuran?
Kalau Fifi dan pejabat di sana mereka akan serentak mengatakan: Tidak ada!
Ya, secara de jure betul karena sejak reformasi semua lokres (lokalisasi dan resosialisasi) pelacuran ditutup. Tapi, apakah Fifi bisa menjamin di Kota Sukabumi tidak ada transaksi seks?
Tentu saja tidak bisa karena sedara de facto terjai transaksi seks dengan berbagai modus, bahkan mekakai media sosial, sembarang waktu dan sembarang tempat. Bisa di penginapan, losmen, hotel melati sampai hotel berbintang. Bahkan di tempat-tempat lain, seperti rumah dan tempat kos.
Karena transaski seks tsb. tidak bisa dijangkau, maka Pemkot Sukabumi tidak akan bisa menjalankan program penanggulangan berupa menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang berperan sebagai PSK langsung atau PSK tidak langsung, yaitu:
(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(b). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Intervensi berupa memaksa laki-laki pakai kondom pada hubungan seksual dengan PSK langsung jelas tidak bisa karena praktek mereka tidak dilokalisir. Sedangkan intervensi terhadap laki-laki yang seks dengan PSK tidak langsung juga jelas sekali tidak bisa karena transaksi seks terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat.
Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di Kota Sukabumi akan terus terjadi sebagai 'bom waktu' yang kelak akan bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

AIDS di Padang Pariaman, Sumbar, Infeksi HIV/AIDS Tidak Terjadi di Alat Kelamin

Ilustrasi (Sumber: steemit.com)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

"Penyebaran kasus HIV/AIDS semakin mengkuatirkan di Kabupaten Padang Pariaman. Betapa tidak, dalam rentang waktu Januari hingga April 2018 sudah ditemukan 12 kasus baru HIV/AIDS di Kabupaten Padang Pariaman (Sumatera Barat atau Sumber-pen.)." Ini lead pada berita "Hingga April, Ada 12 Kasus HIV/AIDS di Padang Pariaman" (kabarsumbar.com, 1/6-2018).
Kalau saja wartawan atau redaktur yang menulis lead berita ini memahami epidemi HIV/AIDS sebagai fakta medis mungkin judul dan lead akan lebih dahsyat lagi sehingga bombastis dan sensasional.
Kelamin
Soalnya, dalam epidemi HIV/AIDS dikenal fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi, dalam berita ini 12, hanyalah sebagai kecil (digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut) dari kasus yang ada di masyarakat (digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut).
Ada saja yang selalu menyebutkan 1 kasus terdeteksi ada 100 kasus yang tidak terdeteksi. Padahal, 'rumus' ini bukan untuk menghitung jumlah kasus jika satu kasus terdeteksi tapi untuk kepentingan perencanaan penanggulangan, misalnya, penyediaan tenaga, alat tes, obat-obatan, perawatan, dll. Namun, tetap saja masih ada media yang memakai rumus ini secara telanjang.
Yang jadi masalah bukan 12 kasus yang terdeteksi, tapi kasus-kasus yang tidak terdeteksi karena orang-orang tsb. akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat tanpa mereka sadari al. melalu hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Tidak mereka sadari karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan pada orang-orang yang sudah tertular HIV.
Di bagian lain ada pernyataan: "Setelah sampai di kampung, merasakan gejala tertentu di bagian kemaluannya. Kemudian mendatangi Puskesmas atau klinik kesehatan. Di sinilah terungkap bahwa dirinya sudah terkena HIV/AIDS," kata Sekretaris FKS Padang Pariaman, Armaidi Tanjung, yang juga penulis buku "Free Seks No, Nikah Yes" ini.
Infeksi HIV sama sekali tidak terjadi di alat reproduksi manusia, seperti penis atau vagina, tapi terjadi di darah. Sebagai virus HIV yang tergolong retrovirus (virus yang bisa menggandakan diri) mereplikasi diri di dalam darah dengan cara menjadikan sel darah putih sebagai 'pabrik'. Setiap hari HIV bisa menggandalan diri antarai miliaran sampai triliunan copy.
Celakanya, sel-sel darah putih yang dijadikan HIV sebagai 'pabrik' rusak. Dalam tubuh manusia sel darah putih berguna sebagai sistem kekebalan tubuh (kalau dalam negara disebut militer). Jika banyak sel darah putih yang rusak setelah dijadikan HIV sebagai 'pabrik' tubuh pun lemah inilah yang disebut kondisi AIDS. Akibatnya, penyakit mudah masuk yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll. Penyakit-penyakit inilah yang menjadi penyebab kematian pada pengidap HIV/AIDS.
Maka, keselahan besar kalau disebut HIV/AIDS terkait dengan infeksi di alat kelamin. Dan, pernyataan tsb. benar-benar menyesatkan.
Kalau yang dimaksud Armaidi 'Free Seks' (cara penulisan ini salah karena tidak konsistem memakai bahasa Inggris, seharunya Free Sex) adalah melakukan hubungan seksual di luar nikah, apakah ada jaminan orang-orang yang sudah menikah, terutama suami, otomatis tidak akan pernah lagi melalukan free sex?
Disebutkan pula: Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman Dr Jasneli Mars mengatakan, dari 12 kasus tersebut, sebanyak 8 kasus pelakunya merupakan pria penyuka pria alias homoseksual.
Belakangan ini isu soal HIV/AIDS digeser ke LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender). Padahal, tidak ada risiko penularan HIV melakui seks pada lesbian. Gay tidak punya istri sehingga mereka bukan mata rantai penyebaran HIV ke rumah tangga.
PSK
Yang jadi persoalan besar adalah laki-laki biseksual (tertarik pada perempuan dan laki-laki) karena mereka akan jadi jembatan penyebaran HIV dari komunitas LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki) dan waria ke istrinya.
Tidak dijelaskan siapa 'pelakunya merupakan pria penyuka pria alias homoseksual' tsb. Apakah mereka gay, biseksual atau waria?
Dalam pelaporan kasus AIDS yang dikeluarkan oleh Ditjem P2M, Kemenkes RI, hanya dikenal heteroseksual, homoseksual (gay dan waria) serta biseksual.
Ada lagi pernyataan: Dari hasil temuan tim medis, dua orang diantaranya terkena setelah merantau ke luar propinsi Sumatera Barat.
Pertanyaannya adalah: Apakah dua orang itu menjalani tes HIV sebelum ke luar dari Sumbar?
Dengan menyebutkan di luar Sumbar merupakan salah satu bentuk penyangkalan. Kecuali memang ketika ke luar dari Sumbar mereka sebagai pengidap HIV/AIDS. Penyangkalan adalah salah satu faktor utama yang mendorong penyebaran HIV/AIDS karena mengabaikan potensi penularan di Sumbar.
Dikatakan lagi oleh Armaidi, penyakit kelamin dan HIV/AIDS ini bukan lagi penyakit yang hanya ada di kota-kota besar saja. Tingginya mobilitas orang ke berbagai kota dan daerah lainnya di dunia ini, termasuk masuknya orang luar ke daerah ini, salah satu penyebab akan terus meningkatkan kasus HIV/AIDS di masa mendatang.
Tidak ada kaitan langsung antara mobilitas seseorang dengan penularan HIV karena penularan HIV hanya terjadi melalui cara-cara yang khas yang harus dilakukan, seperti hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah yang dilakukan oleh seseorang laki-laki dengan perempuan yang berganti-ganti atau hubungan seksual tanpa kondom yang dilakukan seorang laki-laki dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Perlu diketahui ada dua tipe PSK, yaitu:
Ada juga pernyataan 'perilaku seks menyimpang'. Ini adalah bahasa moral yang tidak membumi. Yang dikenal adalah orientasi seksual yaitu heteroseksual, homoseksual, dan biseksual. Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara orientasi seksual dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom), bukan karena sifat hubungan seksual (seks menyimpang, zina, selingkuh, free sex, dll.).
PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Selama informasi yang disampaikan media berdasarkan keterangan narasumber yang tidak di-cross check akan menyesatkan masyarakat karena tidak mendapatkan informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. Pada akhirnya informasi yang menyesatkan itu membawa mereka ke tepi jurang yang berakhir dengan tertular HIV. * [kompasiana.com/infokespro] *

Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Tomohon, Sulut, Tidak Riil

Ilustrasi (Sumber: all4women.co.za)
Oleh: Syaiful W. HARAHAP

" .... Sehingga, total pengidap virus mematikan ini sudah mencapai 145 penderita secara total. .... " Pernyataan ini ada dalam berita "12 Warga Tomohon Terjangkit HIV/AIDS" (manadopostonline.com, 24/5-2018).
Informasi HIV/AIDS yang akurat sudah merata, tapi tetap saja ada (wartawan) yang tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis. HIV adalah virus jenis retrovirus yaitu virus yang bisa menggandakan diri di sel-sel darah putih manusia. HIV menyebabkan (kondisi) AIDS yaitu sistem kekebalan tubuh yang lemah karena banyak sel darah putih yang rusak setelah dijadikan HIV sebagai 'pabrik'.
HIV bukan virus yang mematikan seperti yang disebut dalam berita tadi. Belum ada laporan kematian manusia karena HIV atau AIDS.
Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi di masa AIDS, secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV, karena penyakit-penyakit yang disebut infeksi oportunistik yang masuk pada masa AIDS seperti diare, TBC, dll.
Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Tomohon, Sulut, tercatat 145. Dikatakan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Tomohon dr Deesje Liuw melalui Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular dr Amanda Londok: " .... Namun, jumlah ini kemungkinan sudah berkurang karena ada yang sudah meninggal atau pindah ke daerah lain."
Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif yaitu kasus lama ditambah kasus baru sehingga jumlah kasus (angka) yang dilaporkan tidak akan pernah turun atau berkurang biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal.
Dikatakan pula oleh Londok, penyebaran virus ini sangat rentan bagi penderita penyakit TBC kronis dan pasangan sejenis.
Terkait dengan TBC ada dua kemungkinan yaitu: (a) Pengidap HIV/AIDS mudah tertular TBC karena sistem kekebalan tubuhnya yang rendah, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, dan (b) Pengidap TBC juga mudah tertular HIV, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Penularan HIV/AIDS bukan karena orientasi seksual, dalam berita disebut salah satu yaitu 'pasangan sejenis'. Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi pada saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom) bukan karena sifat hubungan seksual (homseksual, zina, melacur, dll.).
Disebutkan pula bahwa pihaknya bukan berarti tanpa upaya meminimalisir terjadinya lonjakan penderita. "Lewat penyuluhan ke sekolah, lingkungan masyarakat, komunitas pemuda. Bahkan ada pemeriksaan mobile ke kecamatan yang disinyalir, ibu hamil juga wajib diperiksa,"
Salah satu pintu masuk yang potensial sebagai penyebar HIV/AIDS adalah laki-laki dewasa yang tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan: (1) Perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, dan (2) Perempuan yang sering berganti-ganti pasangan yaitu pekerja seks komersial (PSK). PSK sendiri dikenal ada dua tipe yakni:
-PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
--PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Yang jadi masalah besar adala: Apa yang dilakukan Pemkot Tomohon untuk menurukan insiden infeksi HIV baru pada PSK langsung dan PSK tidak langsung?
Sedangkan Asisten Bidang Kesejahteraan Rakyat Pemkot Tomohon, Octavianus Mandagi, mengatakan menekan kasus HIV/AIDS dengan cara: "pembatasan akses tempat hiburan jadi salah satu upaya mencegah penyebaran masuknya virus HIV/AIDS,"
Transaksi seks tidak hanya di tempat hiburan karena sekarang sudah memakai jaringan komunikasi, seperti ponsel dan media sosial. Biar pun tempat hiburan ditutup akses untuk transaksi seks tetap terbuka lebar. Malah, ketika transaksi seks tidak dilokalisir intervensi untuk melakukan program pencegahan tidak bisa dilakukan.
Jika Pemkot Tomohon tidak mempunyai program yang ril untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui PSK langsung dan PSK tidak langsung, itu artinya penyebaran HIV di masyarakat akan terus terjadi. Penyebaran ini ibarat 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

HIV/AIDS Terdeteksi pada Ibu-ibu Rumah Tangga di Kabupaten Sabu Raijua, NTT

Ilustrasi (Sumber: jornaldaparaiba.com.br)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

"Pada umumnya penderita mengidap penyakit ini pernah tinggal di luar Sabu, setelah berada di Sabu baru diketahui mengidap HIV/AIDS melalui pemeriksaan darah." Ini dikatakan oleh Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Sabu Raijua, NTT, Raijua Jhon Haga, dalam berita "Penyakit HIV/AIDS Meningkat Pesat di Sabu Raijua dan Kabupaten Kupang NTT" (timor.id, 13/5-2018).
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kabupatan Sabu Raijua pada tahun 2017 tercatat 17, sedangkan tahun 2018 sampai Mei terdeteksi 15 warga yang mengidap HIV/AIDS.
Lokasi Kab Sabu di NTT (Sumber: tribunnews.com)
Lokasi Kab Sabu di NTT (Sumber: tribunnews.com)
Pernyataan Jhon Haga ini merupakan salah satu bentuk penyangkalan yang mengesankan tidak ada warga Sabu yang mengidap HIV/AIDS.
Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah semua warga menjalani tes HIV sebelum meninggalkan Sabu?
Kalau jawabannya tidak, maka bisa saja warga Sabu yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS yang pernah ke luar Sabu tertular HIV di Sabu sebelum ybs. keluar dari Sabu.
Jhon Haga bisa saja mengatakan di Sabu tidak ada pelacuran hanya karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang 'resmi'.
Tapi, apakah Jhon Haga bisa menjamin di Sabu tidak ada transaksi seks yang melibatkan pekerja seks komersial (PSK)?
Mungkin di Sabu tidak ada PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di satu tempat. Transaski seks yang terjadi bisa saja melibatkan PSK tidak langsung yaitu cewek-cewek yang bisa diajak melakukan hubungan seksal yang ada di warung remang-remang, kafe, panti pijat, kafe, dll.
Di bagian lain disebutkan pula: "Ironisnya, dari ketujuh belas korban penderita penyakt HIV/AIDS beberapa di antaranya merupakan ibu rumah tangga."
Yang ironis bukan ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, tapi suami-suami yang menularkan HIV ke istrinya. Ini menunjukkan ada kegiatan transaksi seks kalau tidak ada lokalisasi pelacuran, maka melibatkan PSK tidak langsung.
Yang perlu diingat adalah kasus yang terdeteksi yaitu 32 tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang terdeteksi (32) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Maka, Pemkab Sabu perlu membuat regulasi yang bisa mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS yang belum terdeteksi. Jika warga yang mengidap HIV/AIDS tidak terdeteksi, maka mereka jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Di sebutkan pula oleh Jhon Haga:"KPA bersama pemerintah Kabupaten Sabu Raijua sudah dan akan terus melakukan pembekalan melalui sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya HIV/AIDS."
Yang diperlukan bukan sekedar sosialisasi tapi program riil yang bisa menurunkan jumlah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK tidak langsung.
Jika tidak ada program riil itu artinya jumlah laki-laki yang tertular HIV akan terus bertambah yang pada gilirannya mereka akan menularkan HIV ke istri atau pasangannya. Kalau istrinya tertular HIV maka ada pula risiko penularan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Penularan HIV di masyarakat terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya. Penularan ini pun seperti 'bom waktu' yang akan bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

Di Wonogiri Penularan HIV/AIDS Terjadi pada Usia 10-19 Tahun

Ilustrasi (Sumber: onhealth.com)
Oleh: Syaiful W. HARAHAP

" .... yang perlu mendapat perhatian saat ini adalah dimana jumlah penderita AIDS lebih banyak daripada penderita HIV saat ditemukan sehingga terlambat dalam pengobatan." Ini pernyataan Kepala DKK (Dinas Kesehatan Kabupaten) Wonogiri, Jateng, Adhi Dharma (timlo.net, 8/5-2017).
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Wonogiri dari tahun 2001-2017 tercatat 388. Dari jumlah ini 215 laki-laki dan 173 perempuan. Jika ditambah dengan kasus yang terdeteksi tahun 2018, maka jumlahnya mencapai 418. Kasus-kasus ini terdeteksi pada usia 20-40 tahun. Disebutkan oleh Adhi: "Proporsi kasus AIDS terjadi pada kelompok penduduk usia 20-40 tahun. Ini mengimplikasikan bahwa terjadinya transmisi dan penularan AIDS terjadi dalan kurun waktu lima sampai sepuluh tahun sebelumnya atau pada usia 10-19 tahun."
Pernyataan Adhi tidak sepenuhnya tepata karena setiap orang yang terdeteksi mengidap HIV  tidak ototmatis (harus) minum obat antitretroviral (ARV). Setelah tes HIV dengan hasil positif dilanjutkan dengan tes CD4. Jika hasil tes CD4 menunjukkan angka di bawah 350 sesuai dengan anjuran Badan Kesehaan Dunia (WHO) segera diberikan obat ARV agar penggandaan HIV di dalam darah ditekan.
Sayang, Adhi tidak menyebutkan apakah warga yang terdeteksi HIV di masa AIDS (secara statistik masa AIDS terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) sudah dengan penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll. Soalnya, infeksi oportunistik inilah yang menyebabkan kematian pada pengidap HIV/AIDS di masa AIDS. Tidak disebutkan jumlah pengidap HIV/AIDS yang sudah meminum obat ARV.
Ktika seseorang terdeteksi HIV di masa AIDS itu artinya ybs. sudah tertular HIV antara 5-15 tahun sebelumnya. Dalam kurun waktu ini bisa saja ybs. sudah menularkan HIV kepada orang lain, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ini bisa terjadi karena orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisik mereka karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS.
Tapi, biar pun tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan, mereka bisa menularkan HIV ke orang lain.
Jika kasus HIV/AIDS di Wonogiri terdeteksi pada kelompok usia 20-40 tahun berarti ada penularan HIV uang terjadi pada pengidap pada umur 10-15 tahun. Mereka ini usia sekolah di SMP. Dalam berita tidak ada informasi tentang faktor risiko (cara penularan HIV/AIDS).
Adhi mengeluhkan tidak ada relawan dan LSM yang peduli HIV/AIDS sehingga penjangkauan, terutama ke kelompok-kelompok tertentu, tidak bisa dilakukan. Pihak DKK tentu saja tidak bisa masuk ke kelompok tertentu, seperti kalangan waria, pekerja seks komersial (PSK), dan homoseksual.
Di beberapa daerah banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi karena penjangkauan yang aktif ke kelompok-kelompok tsb. Dalam hal ini DKK bisa saja mementuk kelompok relawan, bukan WPA (warga peduli AIDS), yang menjangkau kelompok tertentu. Sedangkan untuk memberdayakan pengidap HIV/AIDS bisa dilakukan melalui kelompok dukungan sebaya (KDS).
Selain membentuk kelompok relawan dan KDS pihak Pemkab Wonogiri, dalam hal ini DKK, perlu merancang program penanggulangan yang riil yang langsung menyasar akar persoalan terkait dengan penularan HIV. Misalnya, kalau faktor risiko terbanyak memalui hubungan seksual dengan PSK, maka perlu intervensi terhadap laki-laki 'hidung belang' agar memakai kondom setiap kali seks dengan PSK.
Tanpa program yang riil insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, akan terus terjadi. Selanjutnya mereka ini sebagaijadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS tanpa mereka sadari sebagai 'bom waktu' yang kelak bemuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *