07 Juni 2018

57 Persen Pengidap HIV/AIDS di Sumedang adalah Ibu Rumah Tangga

Ilustrasi (Sumber: outinsa.com)
Oleh: Syaiful W HARAHAP

"Data yang ditemukan oleh KPA Sumedang, fenomena yang baru ditemukan adalah penularan HIV/AIDS lebih banyak terdapat pada ibu-ibu rumah tangga, sebesar 57 persen." Ini disebutkan oleh Wakil Ketua KPA Sumedang, Hilman Taufik (jabar.tribunnews.com, 15/5-2018).
Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah suami ibu-ibu rumah tangga tsb. sudah menjalani tes HIV?
Kalau jawabannya belum, itu artinya suami ibu-ibu yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tsb. jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Ibu-ibu pengidap HIV/AIDS itu pun ketika hamil diikutkan dalam program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Data KPA Sumedang jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Sumedang sejak tahun 2003 tercatat 548. Dari jumah ini 264 penduduk Sumedang yang mengidap HIV/AIDS tidak terjangkau.
Itu artinya, 264 pengidap HIV/AIDS itu lolos dari pemantauan KPA Sumedang sehingga ada risiko mereka menularkan HIV ke orang lain. Celakanya, orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisik mereka. Biar pun tidak ada gejala-gejala khas AIDS pada fisik dan kesehatan, mereka bisa menularkan HIV ke orang lain terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Pengidap HIV/AIDS yang dijangkau Dinkes dan KPA menerima konseling setelah tes HIV dan mendapatkan obat antiretroviral (ARV) secara gratis. Obat ARV berguna menahan laju penggandaan HIV di dalam darah sehingga kondisi fisik dan kesehatan mereka tetap terjaga.
Dengan pemantauan dokter pengidap HIV/AIDS yang secara rutin meminum obat ARV pada saatnya HIV di dalam darah mereka tidak terdeteksi. Tapi, bukan berarti tidak ada hanya saja virusnya tidak aktif. Pada kondisi ini tidak terjadi penularan HIV melalui hubungan seksual.
Karena pengidap HIV/AIDS yang tidak terjangkau mencapai 264, angka ini sangat besar, Pemkab Sumedang perlu membuat regulasi yang konkret untuk mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS.
Yang bisa dilakukan Pemkab Sumedang adalah menjalankan program ril dengan regulasi yaitu mewajibkan suami perempuan yang hamil menjalani konseling tes HIV. Jika hasil konseling menunjukkan perilaku seks suami berisiko tertular HIV, maka dilanjutkan dengan tes HIV.
Istri yang hamil pun menjalani tes HIV. Jika hasilnya positif, wajib mengikuti program pencegahan HIV/AIDS dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Langkah ini efektif, yaitu: memutus mata rantai penyebaran HIV melalui suami dan istri serta menyelamatkan bayi dari risiko tertular HIV.
Pilihan ada di tangan Pemkab Sumedang. Membata regulasi atau membiarkan penularan terus terjadi di masyarakat sebagai 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

Berita AIDS di Jembrana Berkutat Soal Angka, Abaikan Epidemi di Masyarakat

Ilustrasi (Sumber: tht.org.uk)
Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Diberitakan oleh bali.tribunnews.com (1/5-2018) Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Jembrana, Bali, mendeteksi 3 pekerja kafe remang-remang di wilayah Jembrana tertular HIV/AIDS.
Fakta itu tidak dibawa oleh KPA Jembrana dan wartawan ke ranah publik atau masyarakat. Terkesan dengan menemukan 3 pekerja kafe remang-remang itu sebagai pengidap HIV/AIDS persoalan sudah selesai.
Itulah salah satu masalah besar dalam pemberitaan HIV/AIDS. Banyak yang berhenti pada angka. Masyarakat akhirnya tidak menangkap informasi yang bisa membuat mereka mengubah perilaku agar tidak tertular HIV/AIDS.
Disebutkan oleh Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Jembrana, dr I Putu Suasta, pekerja-pekerja kafe remang-remang itu berasal dari luar daerah dan mereka nyambi jadi pekerja seks komersial (PSK) tidak langsung.
Kalau saja dr Putu dan wartawan menangkap realitas di balik fakta itu tentulah berita akan lebih menukik ke epidemi HIV. Tidak sebatas 'pembelaan' diri bahwa pekerja-pekerja kafe itu bukan orang Bali,  karena ada dua hal terkait dengan temuan HIV/AIDS dan sifilis (ini salah satu jenis penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual dikenal sebagai IMS/infeksi menular seksual). Gambar membantu pemahaman terkait dengan penyebaran HIV/AIDS, khususnya, di Jembarana.
Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kabupaten Jembrana tercatat 895. Sampai Maret 2017 dari jumlah itu 290 meminum obat antiretroviral (ARV) yaitu obat yang bisa menahan laju replikasi (penggandaan) HIV di darah sehingga mereka tetap hidup layak.
Pertama, ada kemungkinan yang menularkan HIV ke 3 pekerja kafe itu adalah laki-laki dewasa pengidap HIV/AIDS penduduk Jembrana. Soalnya, 3 pekerja kafe itu tidak menjalani tes HIV ketika tiba di Jembrana.
Kalau hal itu yang terjadi, maka ada 3 laki-laki dewasa di Jembrana yang jadi mata rantai penyebaran HIV, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan luar nikah. Jika 3 laki-laki tsb. punya istri, maka ada risiko istri tertular HIV. Jika istri tertular HIV ada pula risiko penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Kedua, 3 pekerja kafe itu minimal sudah tertular HIV tiba bula sebelumnya. Itu artinya selama tiga bulan, bahkan bisa beberapa bulan atau beberapa tahun sebelum ditemukan, mereka sudah berisiko menularkan HIV ke laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan mereka. Laki-laki tsb. ada kemingkinan penduduk Jembrana. Kalau 1 pekerja kafe melayani 3 laki-laki setiap malam, maka dalam tiga bulan sudah ada 540 (3 pekerka kafe x 3 laki-laki x 20 hari/bulan x 3 bulan) laki-laki warga Jembrana yang berisiko tertular HIV.
Jika 10 persen saja dari 540 laki-laki itu yang tertular HIV itu artinya ada 54 laki-laki yang menyebarkan HIV di Jembrana tanpa mereka sadari. Sedangkan laki-laki yang berisiko tertular sifilis lebih tinggi daripada risiko tertular HIV karena sifilis lebih mudah menular. Celakanya, banyak laki-laki yang tertular sifilis membeli obat di kaki lima sehingga penyakit tidak hilang. Yang hilang hanya simptom yaitu tidak sakit ketika kencing. Ini membuat istri mereka berisiko tertular sifilis. Bayi lahir dari ibu yang mengidap sifilis bisa mengalami berbagai macam cacat, misalnya, buta.
Terkait dengan temuan HIV/AIDS dan sifilis pada pekerja kafe yang dilakukan KPA Jembrana ada di hilir. Tidak ada intervensi terhadap laki-laki yang seks dengan pekerja kafe agar melakukan seks aman (pakai kondom).
Begitu juga dengan risiko penularan dari laki-laki warga Jembrana yang tertular HIV perlu intervensi agar suami-suami yang perilaku seksualnya berisiko tertular HIV supaya pakai kondom ketika seks dengan istrinya. Selain itu perlu pula program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Seperti diketahui epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang terdeteksi (895) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Maka, yang perlu dilakukan Pemkab Jembrana adalah membuat regulasi yang bisa mendeteksi warga Jembrana yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi.
Biar pun Pemkab Jembarana sudah menerbitkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS yaitu Perda No 1 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS tanggal 10 Oktober 2008, tapi karena perda ini tidak aplikatif maka tidak bisa diandalkan (Baca juga: Menyibak Sepak Terjang Perda AIDS Kabupaten Jembrana, Bali).
Tanpa program yang konkret, maka warga yang mengidap HIV/AIDS tsb. akan terus menularkan HIV kepada orang lain lagi-lagi tanpa mereka sadari karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan kesehatan mereka sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Penyebaran HIV/AIDS yang terjadi secara diam-diam itu ibarat 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. Pilihan ada di tangan Pemkab Jembrana, mendeteksi warga pengidap HIV/AIDS atau membiarkan penyebaran HIV di masyarakat terus terjadi. * [kompasiana.com/infokespro] *

Ilustrasi (Sumber: healthline.com)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

Berita-berita tentang desakan banyak kalangan agar Pemkab Pangadaran dan DPRD Pangandaran, Jawa Barat, segera menerbitkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS sama sekali tidak ada gambaran tentang isi perda itu kelak.
Hal itu jadi penting karena di wilayah Provinsi Jawa Barat sudah ada 14 peraturan terkait HIV/AIDS yaitu: 1 peraturan gubernur dan 13 perda kabupaten dan kota.  
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 24 Mei 2017, menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Jawa Barat 29.939 yang terdiri atas 24.650 HIV dan 5.289 AIDS. Jumlah ini menempatkan Jabar pada peringkat ke-4 secara nasional dalam jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS.
"Salah satu instrumen penanganan kasus HIV/AIDS berbentuk Peraturan Daerah (Perda) terus diupayakan supaya sinergitas antar stakeholder, pemerintah atau swasta bisa terjalin dengan baik," ungkap Ketua Yayasan Matahati Agus Abdullah (radartasikmalaya.com, 19/5-2018).
Celakanya, dalam berita-berita tsb. tidak ada gambaran riil berupa jumlah kasus HIV/AIDS, kematian pengidap HIV/AIDS, penyakit penyebab kematian pengidap HIV/AIDS, faktor risiko, dll. Data ini perlu untuk memberikan gambaran seberapa penting Perda AIDS diterbitkan.
Kalau saja Agus mau belajar dari daerah-daerah yang sudah mempunyai Perda AIDS tentulah pernyataannya tidak hanya sebatas mengenai sinergitas karena yang jadi masalah besar adalah program riil yang bisa menurunkan, sekali lagi hanya menurunkan, insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di wilayah Pangandaran.
Adalah hal yang mustahil menghentikan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK. Kalau pun Pemkab Pangandaran dan DPRD Pangandaran mengatakan bahwa di Pangandaran tidak ada PSK karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang diatur dengan regulasi, tapi transaksi seks yang melibatkan PSK tidak langsung tentu saja ada.
Secara empiris ada dua tipe PSK, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Kalau pun di Pangandaran tidak ada PSK tipe nomor (1), tapi apakah Pemkab Pangandara dan DRPD Pangandaran bisa menjamin bahwa PSK tipe nomor (2) tidak ada di Pangandaran?
Ya, kalau jawabannya bisa, maka tidak perlulah gaduh untuk menerbitkan Perda AIDS karena 'pintu masuk' AIDS tidak ada di Pangandaran.
'Pintu masuk' HIV/AIDS ke wilayah Pangandaran terutama melalui laki-laki dewasa:
Pertama, melalui laki-laki dewasa heteroseks (laki-laki dengan perempuan dan sebaliknya) penduduk Kab Pangandaran pengidap HIV/AIDS yang tertular HIV, di dalam dan di luar nikah, di wilayah Kab Pangandaran, di luar Kab Pangandaran atau di luar negeri. Laki-laki ini akan menularkan HIV ke istri atau ke pasangan seks lain di Kab Pangandaran. Selanjutnya istri yang tertular HIV berisiko pula menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya kelak.
Ini yang perlu diatur dalam perda kelak. Seperti apa cara menangkal HIV/AIDS melalui 'pintu masuk' pertama itu? Ini yang perlu dibahas agar dalam perda kelak bukan hanya normatif seperti yang ada dalam puluhan belasan Perda AIDS di Jabar.
Kedua, melalui laki-laki dewasa heteroseks penduduk Kab Pangandaran pengidap HIV/AIDS yang tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung di wilayah Kab Pangandaran, di luar wilayah Kab Pangandaran atau di luar negeri. Laki-laki ini akan menularkan HIV ke istri atau ke pasangan seks lain di Kab Pangandaran. Selanjutnya istri yang tertular berisiko pula menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya kelak.  
Ini juga perlu diatur dalam perda kelak. Seperti apa cara menangkal HIV/AIDS melalui 'pintu masuk' kedua itu? Ini yang perlu dibahas agar dalam perda kelak bukan hanya normatif seperti yang ada dalam puluhan belasan Perda AIDS di Jabar.
Begitu juga dengan upaya mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya, apa yang akan dilakukan Pemkab Pangandaran? Ini perlu diatur dalam perda.
Perda-perda AIDS di Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan AIDS di Thailand sehingga tidak menyasar akar persoalan (Baca juga: Perda AIDS di Indonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand).
Kalau Perda AIDS hanya untuk memastikan anggaran, ini juga tidak menjawab persoalan karena daerah-daerah yang sudah mempunyai Perda AIDS yang memuat anggaran rutin tetap saja tidak mempunyai program yang konkret.
Dalam sebuah kegiatan pelatihan penulisan HIV/AIDS melalui kegiatan Temu Media dengan tema "Melihat Isu AIDS Sebagai Realitas" yang diselenggarakan oleh AHF Indonesia dan Yayasan Mata Hati di Kab. Pangandaran, Pangandaran, Jawa Barat (11/2-2017) penulis sebagai narasumber sudah dibahas tentang penanggulangan yang konkret, tapi ketika itu hanya segelintir wartawan yang mau meluangkan waktu. Maka, berita HIV/AIDS, salah satu tentang desakan Perda AIDS ini, sama sekali tidak menyentuh akar persoalan.
Yang dikhawatirkan Perda AIDS Pangandaran itu kelak hanya copy-paste dari perda-perda yang sudah ada dengan pasal-pasal yang normatif. Itu artinya kasus HIV/AIDS di Pangandaran akan terus bertambah sebagai 'bom wakut' yang kelak jadi 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *