27 Mei 2018

AIDS di Badung, Klinik VCT dan Obat ARV Penanggulangan di Hilir

Ilustrasi (Sumber: telegrafi.com)

Oleh: Syaiful W HARAHAP


"Mirisnya, 90,5 persen kasus ditemukan pada usia 20-49 tahun, yang merupakan usia produktif." Ini ada dalam berita "90,5 Persen Kasus HIV/AIDS di Badung (Bali-pen.) Diderita Usia Produktir" (balipost.com, 2/5-2018).
Ketua Pelaksana Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Badung, Bali, Ketut Suiasa, mengatakan kasus HIV tercatat 1.738, AIDS 1.164. Dari kasus tersebut sebanyak 2.440 orang terjadi pada usia 20-49 tahun.
Pemkab Badung sendiri sudah menelurkan Peraturan Daerah (Perda) No 1 Tahun 2008 tanggal19 Mei 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Tapi, karena tidak aplikatif, maka tidak mendukung penanggulangan HIV/AIDS (Baca juga: Perda AIDS Kab Badung, Bali: Tidak Ada Mekanisme Pemantauan Pemakaian Kondom).
Mitos                                                                                         
Fakta itu tidak seharusnya bikin miris karena itu adalah sesuatu yang alamiah. Jika faktor risiko (cara penularan) 90,5 persen itu adalah hubungan seksual, maka itu masuk akal karena pada usia itulah libido seks memuncak.
Yang miris kalau 90,5 persen kasus HIV/AIDS ditemukan pada bayi dan anak-anak. Itu artinya banyak ibu rumah tangga di Badung yang tertular HIV/AIDS dengan kemungkinan pertama ibu-ibu itu tertular HIV dari suaminya. Maka, begitu banyak laki-laki dewasa di Badung yang perilaku seksualnya berisiko tertular HIV/AIDS.
Pernyataan di atas menunjukkan pehaman terhadap epidemi HIV/AIDS di kalangan banyak wartawan dan redaktur media massa dan media online yang rendah. Ini semua terjadi al. karena pelatihan tentang penulisan berita HIV/AIDS yang komprehensif lima tahun belakangan ini mandeg.
Padahal, salah satu keberhasilan penanggulangan HIV/AIDS adalah melalui diseminasi informasi tentang HIV/AIDS melalui media massa dan media online. Ini sudah dibuktikan Thailand yang berhasil menekan insiden infeksi HIV baru. Ada lima program penanggulangan HIV/AIDS yang dijalankan Thailand secara simultan dengan skala nasional yang menempatkan diseminasi informasi HIV/AIDS di urutan pertama.
Pada lead berita ini pun ada informasi yang tidak akurat: Penemuan kasus HIV dan AIDS di Badung semakin menjadi-jadi. Bahkan, jumlah kasus pengidap penyakit mematikan ini mencapai sebanyak 2.902 kasus.
Belum ada kasus kematian pengidap HIV/AIDS karena (virus) HIV atau (masa) AIDS. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi pada masa AIDS, secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV, karena penyakit-penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll.
Jika dibicarakan dari aspek epidemilogi, maka makin banyak kasus yang ditemukan kian banyak mata rantai yang diputus. Jadi, penemuan kasus yang banyak bukan 'semakin menjadi-jadi', tapi semakin baik dari aspek penanggulangan.
Ketua Pelaksana KPA Badung, yang juga Wakil Bupati Badung, Ketut Suiasa, mengatakan, jalur penularan terbesar pada usia muda adalah dari hubungan seksual dan penyalahgunaan napza. Ini tidak terlepas dari kurangnya pengetahuan yang komprehensif tentang HIV dan AIDS baru yang baru mencapai 21,3 persen. "Hasil ini perlu mendapat perhatian khusus, bagaimana kaum muda dapat mencegah penularan HIV-AIDS," terangnya.
Bukan soal pengetahuan tentang HIV/AIDS, tapi informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV. Soalnya, sudah jamak terjadi informasi HIV/AIDS selali dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).
Misalnya, mengait-ngaitkan zina, 'seks bebas', seks pranikah, homoseksual, pelacuran, dll. dengan penularan HIV. Padahal, fakta medis HIV/AIDS menunjukkan penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, 'seks bebas', seks pranikah, homoseksual, pelacuran, dll.), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom).
Program di Hilir
Nah, bagaimana masyarakat bisa melindungi diri kalau yang disampaikan hanya mitos.
Kondisi berupa kasus HIV/AIDS di Badung yang disebut menjadi-jadi itu ditanggapi dengan penyediaan fasilitas tes HIV (Klinik VCT) di semua Puskesmas dan pemberian obat antiretroviral (ARV). Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kabupaten Badung, dr Gede Putra Suteja, juga mengatakan pihaknya juga menyediakan tenaga di masing-masing desa.
Langkah yang disebut Kadinkes itu ada di hilir. Artinya, Pemkab Badung membiarkan warga tertular HIV dulu baru menjalani tes HIV dan meminum obat ARV.
Untuk menanggulangai HIV/AIDS agar tidak menjadi-jadi, yang diperlukan adalah:
(1). Merancang program penanggulangan di hulu, al. menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Perlu diingat ada dua tipe PKS, yaitu:
(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(b). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Penanggulangan pada poin 1 (a) hanya bisa dilakukan jika praktek PSK dilokasir sehingga bisa dijalankan program berupa inervensi untuk memaksa laki-laki pakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Sedangkan untuk poin 1 (b) tidak bisa dilakukan intervensi karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai macam modus.
(2). Mendeteksi kasus HIV/AIDS yang tidak tedeteksi di masyarakat melalui program yang konkret. Seperti diketahui epidemi HIV/AIDS erat kaitannnya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Yang bisa dilakukan Pemkab Badung untuk menemukan warga pengidap HIV/AIDS yang belum terdeteksi di masyarakat adalah menjalankan program ril dengan regulasi yaitu mewajibkan suami perempuan yang hamil menjalani konseling tes HIV.
Jika hasil konseling menunjukkan perilaku seks suami berisiko tertular HIV, maka dilanjutkan dengan tes HIV.
Istri yang hamil pun menjalani tes HIV. Jika hasilnya positif, wajib mengikuti program pencegahan HIV/AIDS dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Langkah ini efektif, yaitu: memutus mata rantai penyebaran HIV melalui suami dan istri serta menyelamatkan bayi dari risiko tertular HIV.
Tanpa program penanggulangan yang riil, itu artinya insiden infeksi HIV baru terus terjadi. Yang tertular dan tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ini merupakan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

AIDS di Tegal, Adakah Program Untuk Mendeteksi Kasus HIV/AIDS di Masyarakat?

Ilustrasi (Sumber: eaete.gr)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

"Sedikitnya 633 penderita HIV/AIDS yang menjadi target nasional di Kota Tegal, hingga kini belum terdeteksi. Dikhawatirkan, mereka berpotensi menularkan penyakit mematikan itu kepada warga lainnya." Ini lead pada berita "Duh, 633 Penderita HIV/AIDS di Kota Tegal Belum Terdeteksi" di radartegal.com (3/5-2018).
Lead berita yang merupakan kesimpulan ini jelas tidak akurat.
Pertama, orang-orang yang tertular HIV tidak otomatis menderita sehingga bukan 'penderita HIV/AIDS' tapi 'pengidap HIV/AIDS'.
Kedua, angka 633 itu bukan target nasional tapi estimasi kasus di Kota Tegal, Jateng, yang diperkirakan berdasarkan faktor-faktor terkait, seperti jumlah pekerja seks komersial (PSK), tingkat pemakaian kondom, dll.
Ketiga, disebutkan: Dikhawatirkan, mereka berpotensi menularkan penyakit mematikan itu kepada warga lainnya. Bukan dikhawatirkan tapi sudah terjadi karena orang-orang yang mengidap HIV/AIDS, dalam kasus ini 633, tidak menyadari diri mereka sudah mengidap HIV/AIDS. Ini terjadi karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Keempat, disebutkan 'penyakit mematikan'. Belum ada kasus di dunia ini pengidap HIV/AIDS mati karena HIV atau AIDS. Kematian pengidap HIV/AIDS terjadi di masa AIDS karena penyakit-penyakit yang masuk ke tubuh mereka, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll.
Estimasi Kemenkes RI jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Tegal sebanyak 845. Sampai akhir 2017 baru 212 kasus yang terdeteksi. Itu artinya ada 633 warga Kota Tegal yang mengidap HIV/AIDS jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Kota Tegal, Yuli Prasetya, mengatakan: "Artinya masih banyak kasus yang belum ditemukan. Kalau belum ditemukan, diobati dan dicegah maka akan menulatkan kesana kemari."
Pertanyaannya adalah: Apa langkah Pemkot Tegal untuk menemukan atau mendeteksi 733 warga pengidap HIV/AIDS tsb.?
Yuli mengatakan: Karenanya, butuh peran dari semua stakeholder tidak hanya pada temuan saja. Sebab kasus HIV/AIDS memiliki prinsip temukan obati, pertahankan.
Peran seperti apa?
Tidak jelas!
Yang bisa dilakukan secara akurat untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat adalah dengan cara membuat regulasi, seperti peraturan walikota atau peraturan daerah, yang mewajibkan suami perempuan yang hamil menjalani konseling tes HIV.
Jika hasil konseling menunjukkan perilaku seksual suami berisiko tertular HIV, maka dilanjutkan dengan tes HIV. Selanjutnya istri yang hamil pun tes HIV. Jika hasilnya positif dilanjutkan dengan program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Program ini memutus dua mata rantai penyebaran HIV (suami dan istri) serta menyelamatkan bayi agar tidak lahir dengan HIV/AIDS.
Tanpa program yang konkret penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Kota Tegal yang merupakan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'.* [kompasiana.com/infokespro] *

AIDS di Lebak, Buatlah Regulasi Penanggulangan HIV/AIDS yang Riil

Ilustrasi (Sumber: kstp.com)

Oleh: Suaiful W HARAHAP

"Duh, 100 Warga Kabupaten Lebak Tewas Karena Aids." Ini judul berita di titiknol.co.id (23/5-2018). Judul berita ini tidak akurat karena tidak ada kasus kematian karena AIDS. Kematian pengidap HIV/AIDS terjadi di masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular) karena penyakit-penyakit yang disebut infeksi oportunistik, al. diare, TBC, dll.
Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS dari tahun 2000 sampai 2018 berjumlah 270, dari jumlah ini 100 meninggal dunia. Pengidap HIV/AIDS terdiri atas 157 laki-laki dan 113 perempuan. Data ini berdasarkan temuan di Klinik VCT Seroja, RSUD dr Adjidarmo, Rangkasbitung. Tidak ada penjelasan jenis kelamin pengidap HIV/AIDS yang meninggal. Tidak ada pula informasi tentang faktor risiko penularan HIV terhadap 270 pengidap HIV/AIDS tsb.
Dalam jurnalistik judul ini termasuk kategori 'misleading' (menyesatkan) karena tidak sesuai dengan fakta (medis) tentang HIV/AIDS. Dalam berita juga tidak ada penjelasan tentang penyebab kematian 100 warga Lebak pengidap HIV/AIDS tsb. Dengan demikian harapan agar berita bisa mencerdasarkan dan membawa perubahan perilaku tidak tercapai.
Lead berita juga disebutkan " .... sebanyak 100 dari 270 warga di Kabupaten Lebak meninggal dunia akibat terjangkit HIV/AIDS." Lagi-lagi keterangan yang ngawur. Kematian 100 pengidap HIV/AIDS itu bukan karena 'terjangkit HIV/AIDS', tapi karena penyakit-penyakit yang muncul di masa AIDS.
Tingkat kematian yang mencapa 37 persen termasuk tinggi. Bisa jadi ini karena terlambat diagnosis dan tidak meminum obat antiretroviral (ARV). Obat ini bukan untuk menyembuhkan HIV/AIDS tapi untuk menekan laju penggandaan (replikasi) virus (HIV) di dalam darah.
Ketika HIV masuk ke aliran darah akan terjadi penggandaan virus yang memakai sel-sel darah putih sebagai 'pabrik'. Selanjutnya virus yang digandakan mencari sel darah putih lagi untuk menggandakan diri. Begitu seterusnya. Sedangkan sel-sel darah putih, dalam tubuh berfungsi sebagai sistem kekebalan semacam tentara di satu negara, yang dijadikan 'pabrik' rusak.
Ketika sel darah putih banyak yang rusak karena dijadikan 'pabik' oleh HIV sistem kekebalan tubuh pun rendah. Inilah masa AIDS. Akibatnya, penyakit-penyakit lain mudah masuk ke tubuh yang akhirnya menyebabkan kematian jika tidak ditangani oleh dokter.
Dalam berita disebutkan: "Untuk meminimalisir semakin menyebarnya warga terjangkit virus berbahaya tersebut, pihaknya (Dinas Kesehatan Kabuparen Lebak, Banten-pen,) akan melakukan survei lanjutan di wilayah Kabupaten Lebak secara menyeluruh."  
Persoalan utama bukan mencari warga yang mengidap HIV/AIDS, tapi menurunkan insiden infeks HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa. Mereka ini tertular HIV melalui perilaku seksual berisiko, yaitu:
(1) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Kab Lebak atau di luar Lebak, karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb mengidap HIV/AIDS.
(2) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan waria di wilayah Kab Lebak atau di luar Lebak. PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:
(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat plus-plus, 'artis', 'spg', cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu rumah tangga, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.
Inilah sebagian pintu masuk HIV/AIDS ke Lebak. Nah, bagaimana Pemkab Lebak, dalam hal ini Dinkes Lebak, mengatasi perilaku di atas?
Yang jelas perilaku nomor 1 dan 2 b tidak bisa diintervensi karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai modus bahkan memakai media sosial.
Sedangkan perilaku 2 a juga tidak bisa diintervensi karena praktek PSK langsung tidak dilokalisir.
Lalu, apa yang bisa dilakukan Pemkab Lebak? Kepala Dinas Kesehatan Lebak, Maman Sukirman, mengatakan: "Supaya tidak terjadi gunung es, kita akan lakukan mensurvei di wilayah Kabupaten Lebak. Karena mungkin bisa lebih dari 270 orang. Untuk menyatakan hal tersebut kita harus ada survei, ...."
Sedangkan Pj Bupati Lebak, Ino S Rawita, mengatakan: "Mencoba mengurangi, syukur bisa menghilangkan. Kabupaten Lebak akan gelar rapat lintas sektoral sehingga apa yang dibutuhkan termasuk mungkin pertama membuat Perbup Penanggulangan Aids. ...."
Untuk mewujudkan rencana Maman, maka langkah yang ditawarkan Ino yaitu membuat regulasi, seperti peraturan bupati (Perbu) atau peraturan daerah (Perda), sudah tepat.
Persoalannya adalah: Bagaimana mencari warga Lebak yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi? Soalnya, epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang terdeteksi (270) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Maka, yang bisa dilakukan Pemkab Lebak adalah menjalankan program ril dengan regulasi yaitu mewajibkan suami perempuan yang hamil menjalani konseling tes HIV. Jika hasil konseling menunjukkan perilaku seks suami berisiko tertular HIV, maka dilanjutkan dengan tes HIV.
Istri yang hamil pun menjalani tes HIV. Jika hasilnya positif, wajib mengikuti program pencegahan HIV/AIDS dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Langkah ini efektif, yaitu: memutus mata rantai penyebaran HIV melalui suami dan istri serta menyelamatkan bayi dari risiko tertular HIV.
Itu artinya Perbub atau Perda tidak perlu berisi puluhan pasal, cukup satu atau tiga pasal saja tapi terarah ke pencegahan secara ril. Perda-perda AIDS yang ada sekarang, bahkan Perda AIDS Provinsi Banten hanya berisi pasal-pasal normatif yang tidak menukik ke akar persoalan (Baca juga: Perda AIDS Prov Banten: Menanggulangi AIDS dengan Pasal-pasal Normatif).
Tanpa langkan konkret, penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Lebak yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

AIDS di Banjar, yang Justru Mengerikan Pengidap AIDS yang Tidak Terdeteksi

ilustrasi: Mengajak Warga Menjauhi Stigma HIV/AIDS (foto: kompas.com\)

Oleh: Syaiful W HARAHAP


"Mengerikan, Penderita HIV/AIDS di Kabupaten Banjar (Kalsel-pen.) Capai 121 Orang." Ini judul berita di banjarmasin.tribunnews.com (7/5-2018).
Kalau saja wartawan atau redaktur yang menulis judul berita ini memahami epidemi HIV/AIDS dengan benar, maka judul berita ini sangat-sangat memalukan.
Hak itu terjadi al. karena pelatihan cara penulisan berita AIDS yang berempati sudah tidak ada lagi. Tahun 1990-an sampai awal 2000-an masih ada donor yang memberikan 'sedekah' (baca: hibah atau grant) untuk pelatihan wartawan. Misalnya, LP3Y Yogyakarta yang didukung oleh The Ford Foundation. Ada lagi dana dari AusAID. Tapi, sejak Indonesia jadi anggota G-20 di masa kepemimpinan Presiden SBY, Indonesia 'haram' menerima 'sedekah' yang membuat donor mengalihkan bantuan ke Afrika.
Celakanya, dana pemerintah tidak ada alokasi untuk meningkatkan kemampuan wartawan dalam menulis berita HIV/AIDS agar jadi sumber informasi yang akurat sebagai pencerahan bagi masyarakat.
Pemerintah boleh-boleh saja mengabaikan peran media dalam penanggulangan HIV/AIDS. Tapi, perlu diingat salah satu faktor yang mendorong keberhasilan Thailand menanggulangi HIV/AIDS sampai kasusnya lebih kecil dari Indonesia justru karena sosialisasi informasi melalui media massa. Ada lima program yang dijalankan Thailand dengan menempatkan media massa di urutan pertama dan kondom di urutan ke lima (Integration of AIDS into National Development Planning, The Case of Thailand, Thamarak Karnpisit, UNAIDS, Desember 2000).
Terbalik dengan Indonesia yang menjadikan kondom di urutan pertama sehingga timbul penolakan besar-besaran karena disseminasi informasi yang komprehensif melalui media massa tidak jalan.
Kasihan melihat pemahaman wartawan atau redaktur yang bikin judul berita ini. Bisa jadi pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS ada di titik nadir.
Dok. Syaiful W Harahap
Dok. Syaiful W Harahap
Soalnya, dalam epidemi HIV kian banyak kasus yang terdeteksi semakin bagus dalam konteks penanggulangan HIV/AIDS karena satu kasus yang terdeteksi itu artinya satu mata rantai penyebaran diputus. Sebaliknya, warga yang idap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi di masyarakat jadi mata rantai penyebaran HIV, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kok bisa? Ya, bisalah karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es (Lihat gambar utama): Jumlah kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Kalau saja wartawan dan redaktur yang menulis judul berita itu memahami fenomena gunugn es pada epdemi HIV, tentulah judul berita bukan seperti itu, tapi seperti ini (sebagai contoh): Mengerikan, Warga Pengidap AIDS yang Tidak Terdeteksi Jadi Penyebar HIV/AIDS.
Epidemi HIV/AIDS sudah ada di Indonesia sejak April 1987 seperti yang diakui pemerintah (Baca juga: Kapan, Sih, Awal Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia?). Tapi, informasi HIV/AIDS tetap 'jalan di tempat' bahkan kian mundur. Banyak kalangan yang menyampaikan informasi HIV/AIDS dengan balutan moral. 
Belakangan ini instansi dan institusi terkait AIDS, seperti Dinkes (Dinas Kesehatan) dan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) mengedepankan isu LGBT. Ini bermuatan moral yang justru kontra produktif dalam penanggulangan HIV/AIDS (Baca juga: Pers Meliput AIDSSyaiful W Harahap, Penerbit Sinar Harapan/The Ford Foundation, Jakarta, 2000).
Soalnya, yang potensial menyebarkan HIV di masyarakat adalah laki-laki heteroseksual karena mereka ini punya pasangan tetap (istri), bahkan ada yang beristri lebih dari satu. Ini terbukti dari jumlah ibu rumah tangga dan bayi yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Dengan mengumbar LGBT beralut moral yang juga didukung oleh media massa dan media online, isu utama dalam epidemi HIV/AIDS jadi hilang yaitu laki-laki heteroseksual.
Survei Kemenkes tahun 2012 di beberapa kota (pelabuhan dan perbatasan) di Indonesia ada 6,7 juta laki-laki pelanggan tetap 230.000 pekerja seks komersial (PSK) langsung yaitu PSK yang kasat mata. Dari jumlah ini 4,9 juta mempunyai istri (antarabali.com, 9/4-2013). Sedangkan jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dari 1987-September 2015 berjumlah 9.096 (BBC Indonesia, 1/12-2015).
Terkait dengan LGBT, belum ada kasus HIV/AIDS dilaporkan dengan faktor risiko lesbian. Gay dan biseksual tidak kasat mata sehingga tidak semudah yang dibayangkan menyebutkan orientasi seksual seseorang berdasarkan fisiknya. Yang kasat mata hanya transgender (waria) yang dalam pelaporan kasus HIV/AIDS masuk kategori homoseksual.
Sangatlah sulit mengharapkan perubahan perilaku seksual seseorang melalui informasi yang disebarkan media massa dan media online selama informasi HIV/AIDS tetap dibalut dengan moral karena yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). * [kompasiana.com/infokespro] *