Ilustrasi
(Sumber: dreamstime.com)
Oleh: Syaiful W HARAHAP
“ADUH GIMANA
NIH..!! Pengidap HIV/AIDS Terus Meningkat.” Ini judul berita di kaltim.prokal.co (6/5-2018) terkait dengan kasus
HIV//AIDS di Kota Samarinda, Kaltim. Dilaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS di
Kota Samarinda sampai Agustus 2017 sebanyak 1.662.
Pemkot
Samarinda sendiri sudah menelurkan Peraturan Daerah (Perda) No 3 Tahun 2009
tanggal 3 Juni 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Kota
Samarinda, tapi Perda ini tidak bisa bekerja karena hanya sarat dengan muatan
moral (Baca juga: Menguji Peran Perda AIDS Kota Samarinda dalamMenanggulangi AIDS).
Pertama, pelaporan
HIV/AIDS di Indonesia adalah dengan cara kumulatif. Kasus lama ditambah kasus
baru. Begitu seterusnya sehingga angka yang menunjukkan jumlah kasus tidak akan
pernah berkurang atau turun biar pun pengidap HIV/AIDS banyak yang meninggal
dunia.
Bukan Virus Mematikan
Kedua, tahun 1990-2000 Thailand
mencatat kasus yang mendekati angka 1 juta. Tapi, dengan lima program berskala
nasional yang dijalankan simultan kasus baru terus turun. Pada tahun 2016 kasus
HIV/AIDS di Thailand 450.000 dengan kasus baru 6.400 per tahun. Bandingkan
dengan Indonesia dengan kasus 620.000, setiap tahun bertambah 48.000 sebagai
kasus baru (aidsdatahub.org).
Penurunan kasus baru di Thailand terjadi melalui program ‘wajib kondom 100
persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks
komersial (PSK). Ini bisa dilakukan karena praktek PSK dilokalisir dan di
rumah-rumah bordil yang diawasi pemerintah.
Ketiga, di urutan pertama program
penanggulangan HIV/AIDS di Thailand adalah sosialiasi informasi HIV/AIDS yang
melibatkan media massa. Celakanya, di Indonesia media massa tidak terlibat
secara langsung. Berita HIV/AIDS sporadis kalau ada kegiatan saja.
Keempat, materi berita
HIV/AIDS di Thailand objektif sehingga taktual dan akurat dan bisa jadi
pegangan penduduk. Sedangkan di Indonesia berita HIV/AIDS banyak yang dibumbui
dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS hilang. Yang muncul
hanya mitos (anggapan yang salah) sehingga tidak bisa jadi pegangan penduduk.
Banyak media massa yang mengedepankan sensasi (Baca juga: Syaiful W Harahap,
Pers Meliput AIDS, Penerbit Sinar Harapan/The Ford Foundation, Jakarta, 2000).
Kelima, seperti berita ini. Sama sekali
tidak ada informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan
HIV/AIDS. Masyarakat yang membaca berita ini sama sekali tidak memperoleh
informasi yang akurat sebagai pegangan untuk melindungi diri agar tidak
tertular HIV/AIDS.
Bahkan
lead berita ini tidak benar.
Disebutkan “Virus mematikan human immunodeficiency virus (HIV)
kian masif di Kota Tepian (Kota Samarinda, Kaltim-pen.).” Sampai
hari ini tidak ada laporan kematian karena virus HIV. Kematian pengidap
HIV/AIDS, disebut Odha (Orang dengan HIV/AIDS), bukan karena HIV atau AIDS tapi
karena penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS (secara statistik antara
5-15 tahun setelah tertular HIV), seperti diare, TB, dll.
Disebutkan
dalam berita ‘Bahkan tujuh orang meninggal dunia.’ Celakanya, tidak disebutkan
penyakit penyebab kematian tujuh pengidap HIV/AIDS ini sehingga terkesan
kematian mereka karena HIV/AIDS.
Pengelola
Program dan Monitoring Evaluasi, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Samarinda,
Muhammad Basuki, pun memberikan informasi yang ngawur dengan menebut ‘seks bebas’. Ini istilah yang sarat dengan
moral yang merupakan terjemahan bebas dari ‘free
sex’. Dalam kamus-kamus Bahasa Inggris tidak ada entry ‘free sex’. Istilah ini berkembang di
tahun 1970-an yang mengacu ke kalangan hippies
yang dipopulerkan dengan muatan moral sebagai sindiran.
Dalam
berita disebutkan: “Penyebabnya, ada dua faktor yang mendominasi. Yakni,
penggunaan jarum suntik dan seks bebas. Kedua faktor tersebut lebih besar
karena seks bebas atau gonta-ganti pasangan.”
Perilaku Berisiko
Dua
faktor yang disebut tidak akurat.
‘Penggunaan
jarum suntik’ tidak jelas. Terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS melalui
jarum suntik terjadi pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan
berbahaya) yang memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran. Ada
kemungkinan salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS sehingga darah yang
mengandung HIV masuk ke pompa jarum suntik melalui jarum. Selanjutnya yang
memakai jarum suntik tadi berisiko tertular HIV.
Disebutkan
‘seks bebas’ atau ‘gonta-ganti pasangan’. Ini jelas ngawur.
Apa
yang dimaksud dengan ‘seks bebas’? Tidak ada penjelasan. Maka, berita ini sama
sekali tidak mencerahkan.
Disebutkan
pula: Menurut data KPA, penderita terbesar yakni pelanggan yang menggunakan
jasa seks yang mencapai 70 persen.
Pernyataan
ini pun tidak jelas. Apa yang dimaksud dengan ‘pelanggan yang menggunakan jasa
seks yang mencapai 70 persen’?
Yang
jelas HIV/AIDS masuk ke Kota Samarinda al. adalah melalui perilaku seks yang
berisiko, yaitu:
(1)
Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai
kondom di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti
karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb. juga punya pasangan seks
yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(2)
Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di dalam ikatan
pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki
tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga
punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(3)
Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan
pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti dengan kondisi
laki-laki tidak memakai kondom, seperti perselingkuhan, WIL, dll. karena bisa
saja salah satu di antara prempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain
dengan perilaku seksual yang berisiko.
(4)
Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan
pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi
laki-laki tidak memakai kondom, , seperti perselingkuhan, PIL, dll. karena bisa
saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga punya pasangan seks yang lain
dengan perilaku seksual yang berisiko.
PSK Tidak Langsung
(5)
Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan
yang sering berganti-ganti pasangan, dengan kondisi laki-laki tidak memakai
kondom, seperti PSK dan waria. PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:
(a)
PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau
lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(b)
PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru
sebagai cewek pemijat plus-plus, ‘artis’, cewek spg, cewek kafe, cewek pub,
cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu rumah tangga, cewek gratifikasi
seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.
Dalam
keterangan Muhammad tidak dijelaskan kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi
dengan faktor risiko seks sebagai bentuk perilaku yang mana.
Di
Kota Samarinda tiga lokalisasi pelacuran (Bayur, Solong dan Loa Hui) sudah
ditutup. Dengan menutup lokalisasi pelacuran ini tidak akan menghentikan
transaksi seks dalam bentuk pelacuran yang terjdi di sembarang tempat dan
sembarang waktu dengan berbagai macam modus.
Maka,
kemungkinan besar perilaku seks berisiko yang dilakukan warga, khususnya
laki-laki dewasa, yang terdeteksi mengidap adalah perilaku nomor 5 (b). PSK
langsung juga akhirnya menyaru sebagai PSK tidak langsung karena transaksi seks
tidak dilokalisir Tentu saja Dinkes Kota Samarinda dan KPA Kota Samarinda tidak
bisa melakukan intervensi karena transaksi seks tidak terjadi di tempat yang
dilokalisir.
Itu
artinya insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa di Kota Tepian akan
terus terjadi yang kemudian menularkan ke istri atau pasangan seks lain yang
akan berakhir pada bayi yang dilahirkan istri-istri mereka kelak. (Catatan: pemakaian kata AIDS bukan HIV atau HIV/AIDS
adalah untuk memudahkan masyarakat menangkap isu). * [kompasiana.com/infokespro] *