18 Mei 2018

AIDS Kota Samarinda, Lokalisasi Pelacuran Ditutup Kasus AIDS Terus Bertambah

Ilustrasi (Sumber: dreamstime.com)

Oleh: Syaiful W HARAHAP


“ADUH GIMANA NIH..!! Pengidap HIV/AIDS Terus Meningkat.” Ini judul berita di kaltim.prokal.co (6/5-2018) terkait dengan kasus HIV//AIDS di Kota Samarinda, Kaltim. Dilaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Samarinda sampai Agustus 2017 sebanyak 1.662.

Pemkot Samarinda sendiri sudah menelurkan Peraturan Daerah (Perda) No 3 Tahun 2009 tanggal 3 Juni 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Samarinda, tapi Perda ini tidak bisa bekerja karena hanya sarat dengan muatan moral (Baca juga: Menguji Peran Perda AIDS Kota Samarinda dalamMenanggulangi AIDS).

Pertama, pelaporan HIV/AIDS di Indonesia adalah dengan cara kumulatif. Kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka yang menunjukkan jumlah kasus tidak akan pernah berkurang atau turun biar pun pengidap HIV/AIDS banyak yang meninggal dunia.

Bukan Virus Mematikan

Kedua, tahun 1990-2000 Thailand mencatat kasus yang mendekati angka 1 juta. Tapi, dengan lima program berskala nasional yang dijalankan simultan kasus baru terus turun. Pada tahun 2016 kasus HIV/AIDS di Thailand 450.000 dengan kasus baru 6.400 per tahun. Bandingkan dengan Indonesia dengan kasus 620.000, setiap tahun bertambah 48.000 sebagai kasus baru (aidsdatahub.org). Penurunan kasus baru di Thailand terjadi melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Ini bisa dilakukan karena praktek PSK dilokalisir dan di rumah-rumah bordil yang diawasi pemerintah.

Ketiga, di urutan pertama program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand adalah sosialiasi informasi HIV/AIDS yang melibatkan media massa. Celakanya, di Indonesia media massa tidak terlibat secara langsung. Berita HIV/AIDS sporadis kalau ada kegiatan saja.

Keempat, materi berita HIV/AIDS di Thailand objektif sehingga taktual dan akurat dan bisa jadi pegangan penduduk. Sedangkan di Indonesia berita HIV/AIDS banyak yang dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS hilang. Yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) sehingga tidak bisa jadi pegangan penduduk. Banyak media massa yang mengedepankan sensasi (Baca juga: Syaiful W Harahap, Pers Meliput AIDS, Penerbit Sinar Harapan/The Ford Foundation, Jakarta, 2000).

Kelima, seperti berita ini. Sama sekali tidak ada informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS. Masyarakat yang membaca berita ini sama sekali tidak memperoleh informasi yang akurat sebagai pegangan untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV/AIDS.

Bahkan lead berita ini tidak benar. Disebutkan “Virus mematikan human immunodeficiency virus (HIV) kian masif di Kota Tepian (Kota Samarinda, Kaltim-pen.).” Sampai hari ini tidak ada laporan kematian karena virus HIV. Kematian pengidap HIV/AIDS, disebut Odha (Orang dengan HIV/AIDS), bukan karena HIV atau AIDS tapi karena penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV), seperti diare, TB, dll.

Disebutkan dalam berita ‘Bahkan tujuh orang meninggal dunia.’ Celakanya, tidak disebutkan penyakit penyebab kematian tujuh pengidap HIV/AIDS ini sehingga terkesan kematian mereka karena HIV/AIDS.

Pengelola Program dan Monitoring Evaluasi, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Samarinda, Muhammad Basuki, pun memberikan informasi yang ngawur dengan menebut ‘seks bebas’. Ini istilah yang sarat dengan moral yang merupakan terjemahan bebas dari ‘free sex’. Dalam kamus-kamus Bahasa Inggris tidak ada entry ‘free sex’. Istilah ini berkembang di tahun 1970-an yang mengacu ke kalangan hippies yang dipopulerkan dengan muatan moral sebagai sindiran.

Dalam berita disebutkan: “Penyebabnya, ada dua faktor yang mendominasi. Yakni, penggunaan jarum suntik dan seks bebas. Kedua faktor tersebut lebih besar karena seks bebas atau gonta-ganti pasangan.”

Perilaku Berisiko

Dua faktor yang disebut tidak akurat.

‘Penggunaan jarum suntik’ tidak jelas. Terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik terjadi pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) yang memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran. Ada kemungkinan salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS sehingga darah yang mengandung HIV masuk ke pompa jarum suntik melalui jarum. Selanjutnya yang memakai jarum suntik tadi berisiko tertular HIV.

Disebutkan ‘seks bebas’ atau ‘gonta-ganti pasangan’. Ini jelas ngawur.

Apa yang dimaksud dengan ‘seks bebas’? Tidak ada penjelasan. Maka, berita ini sama sekali tidak mencerahkan.

Disebutkan pula: Menurut data KPA, penderita terbesar yakni pelanggan yang menggunakan jasa seks yang mencapai 70 persen.

Pernyataan ini pun tidak jelas. Apa yang dimaksud dengan ‘pelanggan yang menggunakan jasa seks yang mencapai 70 persen’?

Yang jelas HIV/AIDS masuk ke Kota Samarinda al. adalah melalui perilaku seks yang berisiko, yaitu:

(1) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.

(2) Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.

(3) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti perselingkuhan, WIL, dll. karena bisa saja salah satu di antara prempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.

(4) Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, , seperti perselingkuhan, PIL, dll. karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.

PSK Tidak Langsung

(5) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti PSK dan waria. PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:

(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat plus-plus, ‘artis’, cewek spg, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu rumah tangga, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

Dalam keterangan Muhammad tidak dijelaskan kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi dengan faktor risiko seks sebagai bentuk perilaku yang mana.

Di Kota Samarinda tiga lokalisasi pelacuran (Bayur, Solong dan Loa Hui) sudah ditutup. Dengan menutup lokalisasi pelacuran ini tidak akan menghentikan transaksi seks dalam bentuk pelacuran yang terjdi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai macam modus.

Maka, kemungkinan besar perilaku seks berisiko yang dilakukan warga, khususnya laki-laki dewasa, yang terdeteksi mengidap adalah perilaku nomor 5 (b). PSK langsung juga akhirnya menyaru sebagai PSK tidak langsung karena transaksi seks tidak dilokalisir Tentu saja Dinkes Kota Samarinda dan KPA Kota Samarinda tidak bisa melakukan intervensi karena transaksi seks tidak terjadi di tempat yang dilokalisir.

Itu artinya insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa di Kota Tepian akan terus terjadi yang kemudian menularkan ke istri atau pasangan seks lain yang akan berakhir pada bayi yang dilahirkan istri-istri mereka kelak. (Catatan: pemakaian kata AIDS bukan HIV atau HIV/AIDS adalah untuk memudahkan masyarakat menangkap isu). * [kompasiana.com/infokespro] *

17 Mei 2018

Di Cilacap, Belasan Guru Terdeteksi Mengidap HIV/AIDS

Ilustrasi (Sumber: gettyimages.com)

Oleh: Syaiful W HARAHAP


“Belasan Guru di Cilacap Mengidap HIV/AIDS.” Ini judul berita di nasional.republika.co.id (4/5-2018). Tidak ada yang aneh atau sensasional terkait dengan fakta tsb. karena secara empiris guru berpenghasilan tetap sehingga mereka mempunyai uang untuk membeli seks.

Sampai Maret 2018 tercatat ada 1.124 kasus kumulatif HIV/AIDS di Kabupaten Cilacap. Dari Januari-Mei 2018 terdeteksi 44 kasus HIV/AIDS. Dari jumlah ini disebutkan ada 14 guru.

Penjelasan Manajer Kasus Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Kabupaten Cilacap, Rubino Sriadji, memberikan gambaran ril tentang faktor risiko atau cara penularan HIV/AIDS: "Sebanyak 95 persen penularan penyakit HIV didominasi oleh hubungan seks dengan orang yang terinfeksi HIV.”

Yang jadi masalah besar adalah orang-orang yang mengidap atau terinfeksi HIV/AIDS tidak bisa dikenal dari fisiknya karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS. Karena tidak ada tanda-tanda itulah kemudian laki-laki ‘hidung belang’ yang membeli seks tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.

Sayang, dalam berita Rubino tidak menjelaskan atau wartawan tidak bertanya ‘siapa orang yang terinfeksi HIV’ yang menularkan HIV ke guru-guru tsb.

Adalah kenyataan banyak daerah yang menganggap tidak ada pelacuran. Dari aspek de jure itu benar adanya karena sejak reformasi semua lokalisasi pelacuran, kecuali di beberapa kota, sudah ditutup. Tapi, secara de facto transaksi seks dalam bentuk pelacuran terselubung terus terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai modus. Mulai dari melalui kurir sampai dengan memakai media sosial.

Seperti pelacuran Gang Dolly di Surabaya yang ditutup, apakah ada jaminan Kota Surabaya (sudah) bebas pelacuran? Ternyata tidak karena sudah beberapa kali polisi membongkar jaringan prostitusi online.

Begitu juga dengan wilayah Kabupaten Cilacap, Jateng. Biar pun tidak ada lokalisasi pelacuran, apakah Pemkab Cilacap bisa menjamin tidak ada transkasi seks dalam bentuk pelacuran di Kab Cilacap?

Kalau Pemkab Cilacap tetap ngotot mengatakan tidak ada (praktek) pelacuran di Cilacap, maka kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi dengan faktor risiko hubungan seksual menggugurkan anggapan bahwa di Cilacap tidak ada praktek pelacuran.

Salah satu cara yang efektif menurunkan jumlah kasus baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan perempuan yang praktek sebagai pekerja seks komersial (PSK) adalah dengan melakukan intervensi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melalukan hubungan seksual dengan PSK. Program ini tidak bisa dijalankan karena praktek transkasi seks yang melibatkan PSK langsung tidak dilokalisir.

PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.

Sedangkan intervensi untuk PSK tidak langsung jelas tidak bisa dilakukan karena mereka tidak kasat mata dan modus operandinya pun beragama dan memakai peralatan telekomunikasi dan media sosial. Ada kemungkinan banyak laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak langsung dengan menganggap tida ada risiko karena perempuan itu tidak kasat mata sebagai PSK.

Dikatakan oleh Rubino: “ .... dengan jumlah penderita sebanyak itu, mestinya bisa menjadi peringatan semua pihak agar menjaga perilaku hidup sehat.”

Pernyataan Rubino ini tidak akurat karena bermuatan moral.

Apa yang dimaksud dengan ‘perilaku hidup sehat’?

Tidak jelas!

Maka, masyarakat pun hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) dari berita ini. Tidak ada pencerahan karena tidak disebutkan cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.

Kalau 14 guru itu laki-laki semua dan mempunyai istri, maka istri-istri mereka akan berisiko pula tertular HIV (horizontal). Jika istri mereka tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV (vertikal) kepada bayi yang dikandungnya kelak.

Maka, Pemkab Cilacap perlu menerbitkan peraturan bupati (Perbup) atau peraturan daerah (Perda) yang mewajibkan suami menjalani konseling tes HIV ketika istrinya hamil. Jika hasil konseling menunjukkan perilaku seksualnya berisiko, maka dirujuk untuk tes HIV. Istrinya pun menjalani tes HIV, Jika hasil tes positif, maka diwajibkan ikut program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi agar anak yang dilahirkan kelak tidak tertular HIV.

Soalnya, Ribuno mengatakan, temuan tersebut umumnya diketahui setelah penderita sedang jatuh sakit, melakukan skrining donor darah, dan saat melakukan tes HIV bagi calon pengantin

Jika tes HIV dilakukan karena ada indikasi HIV/AIDS ketika berobat, ini sudah terlambat karena ada kemungkinan sudah masuk masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV), Maka, perlu mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV di masyarakat.

Disebutkan ‘skrining donor darah’. Ini salah karena yang diskrining bukan donor tapi darah donor. Jika donor darah diskrining itu melawan aturan yang ditetapkan yaitu unlinked anonymous dan bisa membuat warga takut jadi donor darah.

Sedangkan tes HIV bagi calon pengantin bisa jadi bumerang karena kelak kalau si istri terdeteksi mengidap HIV/AIDS suami akan menuduh istrinya yang selingkuh karena hasil tes HIV sebelum menikah negatif. Selain itu tes HIV bukan vaksin. Biar pun hasil tes HIV negatif sebelum menikah itu bukan jaminan selamanya suami akan bebas HIV/AIDS karena bisa saja suami melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV. * [kompasiana.com/infokespro] *

16 Mei 2018

Cegah Penyebaran HIV/AIDS Melalui Cewek Penghibur yang Mudik

Ilustrasi (Sumber: bc.ctvnews.ca)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP


Memasuki bulan puasa dan menjelang lebaran biasanya cewek-cewek yang bekerja di tempat-tempat hiburan di kota-kota besar akan pulang kampung. Ini bisa dimanfaatkan dalam penanggulangan HIV/AIDS.

Dengan menjalin kerja sama antara daerah-daerah asal cewek-cewek penghibur dengan daerah tempat mereka bekerja bisa dilakukan survailans tes HIV yang dilanjutkan dengan tes HIV. Atau langsung dilakukan tes HIV tapi harus taat asas yaitu menjalankan standar prosedur tes HIV yang baku, yaitu: konseling sebelum dan sesudah tes HIV, persetujuan (informed consent), hasil tes hanya diberikan kepada ybs.

Jika hasil tes positif petugas dari daerah asal cewek penghibur mendampingi mereka dengan memberikan berbagai informasi tambahan agar mereka tidak melakukan perilaku yang bisa menularkan HIV di daerahnya. Bagi yang mempunyai suami diberikan bimbingan agar tidak menularkan ke suami. Tentu saja suami cewek itu pun harus diadvokasi juga agar siap menerima istrinya dengan kondisi mengidap HIV/AIDS (Baca juga: PSK Mudik Lebaran:Ada yang Bawa AIDS sebagai Oleh-oleh).

Yang perlu diperhatikan adalah informasi tentang status HIV cewek tidak boleh bocor agar tidak menimblkan kegaduhan di kampung halaman cewek-cewek itu. Hanya konselor atau petugas dari daerah asal cewek itu saja yang mengetahui status HIV cewek penghibur yang mereka dampingi.

Pemprov Riau pernah membuat gaduh Karawang, Jawa Barat, ketika mengirimkan hasil survailans tes HIV terhadap pekerja seks komersial (PSK) adal Karawang di beberapa lokasi pelacuran di sana (tahun 1990-an).

Entah bagaimana informasi tentang 4 (empat) PSK asal Karawang yang dipulangkan bocor ke wartawan. Maka, rumah 4 PSK itu pun diserbu wartawan dan petugas dari berbagai instansi Pemkab Karawang dan Pemprov Jabar.

Yang tidak masuk akal berita tentang 4 PSK itu tersebar luas dengan bumbu-bumbu moral, tapi 4 PSK itu justru belum sampai ke rumahnya. “Saya bingung, Pak. Anak saya ditulis di koran macam-macam padahal dia masih di Riau,” kata seorang penduduk Cibuaya, Karawang. Begitu juga dengan salah satu dari 4 PSK itu. “Saya tidak pernah diwawancarai wartawan, kok bisa-bisanya berita tentang saya ditulis,” kata perempuan warga Tempuran, Karawang.

Keluarga dua perempuan itu benar-benar jadi objek banyak kalangan sehingga mereka menderita lahir dan batin. Keluarga perempuan Cibuaya berpindah-pindah karena terus-menerus jadi sasaran amukan warga dan kejaran wartawan. (Baca juga: MediaMassa Menceraiberaikan Keluarga Kartam*).

Sedangkan perempuan di Tempuran jadi sapi perahan banyak kalangan. Ketika dia meninggal pun keluarga menghadapi masalah (Baca juga: Sudah TerinfeksiHIV Disakiti Pula* dan DeritaPanjang Seorang Odha).

Maka, kalau ada daerah asal cewek-cewek penghibur yang menjalin kerja sama untuk melakukan tes survailans HIV atau tes HIV dengan daerah tempat cewek-cewek itu bekerja  kerahasiaan harus dijamin agar tidak menimbulkan dampak buruk.

Mumpung masih ada rentang waktu sebelum terjadi eksodus  pulang kampung, masih ada kesempatan menjalin kerja sama antara daerah asal cewek-cewek penghibur dan daerah tempat cewek-cewek itu bekerja.

Keuntungan dalam hal penanggulangan HIV/AIDS bukan hanya untuk daerah adal cewek-cewek penghibur, tapi juga tempat mereka bekerja. Pemerintah di daerah tempat cewek-cewek itu bekerja mempunyai data tentang jumlah cewek pengibur yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS sehingga bisa dijalankan langkah-langkah konkret untuk penanggulangan.

Pemerintah daerah tempat cewek-cewek penghibur itu bekerja bisa melakukan penyuluhan secara luas dengan materi data cewek penghibur yang mengidap HIV/AIDS. Masyarakat luas diingatkan bagi yang pernah melakukan hubungan seksual dengan cewek penghibur untuk menjalani tes HIV secara sukarela.

Sedangkan di daerah asal cewek-cewek penghibur itu bisa ‘direm’ melalui pendampingan agar tidak melakukan perilaku berisiko yang bisa menularkan HIV.

Dengan kondisi penyebaran HIV yang sudah terjadi di seluruh Nusantara dengan estimasi kasus kumulatif 620.000 (aidsdatahub.org), maka diperlukan langkah-langkah konkret yang luar biasa untuk menanggulangi penyebaran HIV agar tidak jadi ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *

15 Mei 2018

Tingkat Kematian Pengidap HIV/AIDS di Kabupaten Aceh Utara Sangat Tinggi

Ilustrasi (Sumber: mountainx.com)

Oleh: Syaiful W HARAHAP


36 Pengidap HIV/AIDS Meninggal.” Ini judul berita di aceh.tribunnews.com (26/4-2018) tentang kasus HIV/AIDS di Kabupaten Aceh Utara, Aceh. Sekilas judul berita ini tidak bermakna karena memberitakan kejadian rutin.

Tapi, kalau disimak dari aspek epidemiologi HIV/AIDS ada persoalan besar di balik data tsb., yaitu sebelum meninggal ada kemungkinan 36 pengidap HIV/AIDS itu sudah menularkan HIV ke orang lain. Pengidap HIV/AIDS yang meninggal ini merupakan bagian dari 83 pengidap HIV/AIDS yang terdeteksi di Aceh Utara.

Dalam berita tidak dijelaskan latar belakang 36 pengidap HIV/AIDS di Aceh Utara yang meninggal serta penyakit penyebab kematian mereka. Dengan 36 kematian dari 83 pengidap HIV/AIDS itu artinya tingkat kematian yang mencapai 43,4 persen sangat tinggi (Baca juga: Siapa yang Bawa HIV/AIDS ke Aceh?).

Yang jelas kalau yang meninggal laki-laki beristri, maka ada kemungkinan terjadi penularan kepada istrinya. Kalau yang meninggal seorang perempuan, itu artinya ada kemungkinan penularan terhadap suami atau laki-laki pasangan seksualnya.

Dalam berita disebutkan: “ .... 36 orang di antaranya sudah meninggal dunia, yang diduga karena tidak rutin mengonsumsi obat sesuai anjuran petugas.”

Pernyataan ini tidak akurat karena kematian pada pengidap HIV/AIDS bukan karena HIV atau AIDS, tapi karena penyakit-penyakit yang muncul di masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.

Kalau yang dimaksud “ .... tidak rutin mengonsumsi obat .... “ adalah obat antiretroviral (ARV), maka yang teradi adalah penuruan kekebalan tubuh sehingga mudah kena penyakit.

Ini data yang disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Aceh Utara, dr Makhrozal: “Jumlah wanita yang terkena HIV/AIDS 38 orang, diduga karena terjangkit dari suaminya. Sedangkan laki-laki yang terjangkit sudah mencapai 48 orang.”

Jika 38 wanita pengidap HIV/AIDS itu hamil, maka ada risiko penularan (vertikal) ke bayi yan dikandungnya kelak. Penularan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya bisa terjadi selama dalam kandungan, saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI). Kalau 38 wanita ini tidak ditangani secara medis, maka risiko penularan ke bayi yang dikandung mencapai 30 persen, tapi kalau ditangani dokter sejak sebelum hamil dan saat persalinan dan mengganti ASI, maka penularan bisa ditekan sampai nol persen.

Dengan 48 laki-laki pengidap HIV/AIDS ada 38 wanita yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan tentang 38 wanita pengidap HIV/AIDS apakah suami mereka sudah menjalani tes HIV. Kalau suami 38 wanita itu tidak menjalani tes HIV, maka mereka akan jadi mata rantai penularan HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Kalau ada di antara laki-laki itu yang beristri lebih dari satu, itu artinya jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS pun kian banyak.

Dengan kondisi di atas yang perlu dilakukan oleh Pemkab Aceh Utara adalah membuat regulasi, bisa dalam bentuk peraturan bupati (Perbup) atau peraturan daerah (Perda) yang mewajibkan suami perempuan yang hamil untuk menjalani konseling HIV/AIDS. Jika hasil konseling menunjukkan perilaku seksual suami berisiko, maka dirujuk untuk menjalani tes HIV. Istrinya pun menjalani tes HIV dan mengikuti program pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Perilaku seksual laki-laki yang berisiko tertular HIV adalah: (a) melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti di Aceh atau di luar Aceh, dan (b) melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

PSK sendiri dikenal dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.

Menanggulangi HIV/AIDS di Aceh Utara dalah dengan menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalai perilaku berisiko.

Kalau hanya sebatas Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB), seperti dikatakan oleh Sri Mulyati Mukhtar MKM, yaitu meningkatkan akses dan cakupan terhadap upaya promosi, pencegahan, dan pengobatan, serta rehabilitasi yang berkualitas dengan memperluas jejaring pelayanan, hingga sampai ke tingkat puskesmas. Ini langkah yang tidak efektif untuk menanggulangi HIV/AIDS. * [kompasiana.com/infokespro] *

13 Mei 2018

AIDS di Kabupaten Banjar, Kalsel: Penularan HIV/AIDS Bukan Akibat Hubungan Seks

Ilustrasi (Sumber: avert.org)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Judul berita ini benar-benar menjungkirbalikkan akal sehat. Coba simak ini: "80 Persen Penularan HIV/AIDS di Kabupaten Banjar (Prov Kalsel-pen.) Akibat Hubungan Seks" Ini ada di banjarmasin.tribunnews.com, 7/5-2018.
Padahal, dalam berita disebutkan 'penularan melalui hubungan seskual' bukan akibat hubungan seks.
Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kab Banjar dilaporkan 121. Sedangkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Prov Kalimantan Selatan (Kalsel) mencapai  2.056.
Jika mengikuti pernyataan seperti judul berita itu, maka semua orang yang pernah melakukan hubungan seks sudah tertular HIV/AIDS dan disebut sebagai Odha (Orang dengan HIV/AIDS).
Tentu saja kesimpulan yang konyol karena seseorang tertular HIV/AIDS bukan akibat (melakukan) hubungan seksual. Hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, adalah faktor risiko yaitu media penularan. Itu pun dengan catatan salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom selama hubungan seksual. Kalau kedua-duanya tidak mengidap HIV/AIDS, maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun dilakukan di luar nikah (zina, melacur, selingkuh, dll.).
Judul berita ini benar-benar menyesatkan. Celakanya, banyak orang yang hanya membaca judul berita. Celakanya, ada judul berita yang sama sekali tidak menggambarkan isi berita.
Tampaknya, wartawan atau redaktur yang menulis judul berita itu melakukan interpretasi dengan memakai moralitas dirinya sendiri. Dalam berita disebutkan "Sebesar 80 persen, penularan HIV/AIDS DItularkan melalui hubungan seksual beresiko baik pekerja seks komersial maupun waria."
Jelas disebutkan ditularkan melalui hubungan seksual berisiko. Yang dimaksud dengan hubungan seksual berisiko bukan dengan pekerja seks komersial (PSK) dan waria (saja), tapi dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah serta dengan yang sering berganti-ganti pasangan yaitu PSK.
PSK sendiri dikenal dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Dikatakan oleh Sekretaris Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Provinsi Kalsel, Mursalin: "Maka dari itu penggunaan kondom bagi pelaku seks berisiko ini sangat diperlukan."
Persoalannya adalah laki-laki 'hidung belang' justru tidak mau memakai kondom dengan 1.001 alasan. Itulah sebabnya Thailand menjalankan program 'wajib kondom 100 persen' bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Dalam hal ini PSK langsung karena mereka kasat mata dan transaksi seks dilokalisir.
Program 'wajib kondom 100 persen' menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa di Thailand. Tahun 2016 kasus kumulatif HIV/AIDS di Thailand dilaporkan 450.000 dengan 6.400 kasus baru setiap tahun. Bandingkan dengan Indonesia dengan 620.000 setiap tahun bertambah 48.000 kasus baru (aidsdatahub.org).
Celakanya, program tsb. tidak bisa dijalankan di Kab Banjar dan Kalsel serta Indonesia karena transaksi seks yang melibatkan PSK langsung tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dilakukan intervensi berupa program 'wajib kondom 100 persen'. Sedangkan untuk PSK tidak langsung jelas tidak bisa dilakukan intervensi karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai macam modus.
Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi di Kab Banjar yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *