Ilustrasi (Sumber: cdnaids.ca)
Oleh: Syaiful W. HARAHAP
“Komisi Penanggulangan
AIDS (KPA) Kota Surakarta serius untuk mewujudkan kota Solo terbebas dari
penularan HIV/AIDS di 2020.” Ini lead pada berita “Kejar Target 2020 Bebas Penularan HIV AIDS, Kota Solo Optimalkan Warga
Peduli AIDS” (solo.tribunnews.com, 9/5-2018).
Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Solo tahun
2015 sampai September 2017 tercatat 953 (jateng.tribunnews.com,
30/11-2017). Sejak 2005 sampai September 2011 di Kota Solo, Jawa Tengah, ditemukan
163 kasus HIV/AIDS pada kelompok ibu rumah tangga (kompas.com, 26/10-2011).
Pernyataan di atas adalah utopia (khayalan yang tidak mungkin terwujud). Mustahil. Paling tidak ada 17 pintu masuk HIV/AIDS ke Kota Solo (Baca juga: 17 'Pintu Masuk' HIV/AIDS Luput dari Raperda HIV/AIDS Prov Lampung).
Pernyataan di atas adalah utopia (khayalan yang tidak mungkin terwujud). Mustahil. Paling tidak ada 17 pintu masuk HIV/AIDS ke Kota Solo (Baca juga: 17 'Pintu Masuk' HIV/AIDS Luput dari Raperda HIV/AIDS Prov Lampung).
Bagaimana KPA Kota Solo ‘menutup’ 17 keran tsb.? Tidak
bisa. Mustahil.
Berikut ini beberapa ‘pintu masuk’ HIV/AIDS ke Kota
Solo.
‘Pintu masuk’
pertama, melalui laki-laki dewasa heteroseks (laki-laki
dengan perempuan dan sebaliknya) penduduk Kota Solo pengidap HIV/AIDS yang
tertular HIV, di dalam dan di luar nikah, di wilayah Kota Solo, di luar Kota
Solo atau di luar negeri. Laki-laki ini akan menularkan HIV ke istri ke
pasangan seks lain. Selanjutnya istri yang tertular HIV berisiko pula
menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya kelak. Bagaimana KPA Kota Solo menutup
‘pintu masuk’ ini?
‘Pintu masuk’ kedua, melalui perempuan dewasa heteroseks (laki-laki dengan perempuan dan
sebaliknya) penduduk Kota Solo pengidap HIV/AIDS yang tertular HIV, di dalam
dan di luar nikah, di wilayah Kota Solo, di luar Kota Solo atau di luar negeri.
Perempuan ini akan menularkan HIV ke suami
pasangan seks lain. Selanjutnya jika dia hamil ada pula risiko penularan
HIV ke bayi yang dikandungnya kelak. Bagaimana KPA Kota Solo menutup ‘pintu
masuk’ ini?
‘Pintu masuk’ ketiga, melalui
laki-laki biseksual (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki) penduduk
Kota Solo pengidap HIV/AIDS yang tertular HIV di wilayah Kota Solo, di luar
wilayah Kota Solo atau di luar negeri. Laki-laki ini akan menularkan HIV
ke istri atau ke pasangan seks lain. Selanjuta istri yang tertular HIV berisiko
pula menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya kelak. Bagaimana KPA Kota Solo
menutup ‘pintu masuk’ ini?
‘Pintu masuk’ keempat, melalui
laki-laki dewasa heteroseks penduduk Kota Solo pengidap HIV/AIDS yang tertular
HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK
tidak langsung di wilayah Kota Solo, di luar wilayah Kota Solo atau di luar
negeri. Laki-laki ini akan menularkan HIV ke istri atau ke
pasangan seks lain. Selanjuta istri yang tertular berisiko pula menularkan HIV
ke bayi yang dikandungnya kelak. Bagaimana KPA Kota Solo menutup ‘pintu masuk’
ini?
‘Pintu masuk’ kelima, melalui
perempuan dewasa penduduk Kota Solo pengidap HIV/AIDS yang bekerja sebagai
tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri yang tertular melalui hubungan seksual
sebagai ‘istri’ atau karena korban perkosaan, terutama di negara dengan
prevalensi HIV/AIDS yang besar. TKW ini akan menularkan HIV ke suami atau
pasangan seksnya ketika kembali ke Kota Solo. Jika dia hamil ada pula riisiko
penularan HIV ke bayi yang dikandungnya.
Bagaimana KPA Kota Solo menutup ‘pintu masuk’ ini?
‘Pintu masuk’ keenam, melalui
perempuan dewasa penduduk Kota Solo pengidap HIV/AIDS yang bekerja sebagai
pekerja seks komersial (PSK) di Kota Solo atau di luar Kota Solo. Perempuan ini akan
menularkan HIV ke suami atau pasangan seksnya ketika kembali ke Kota Solo. Jika
dia hamil ada pula riisiko penularan HIV ke bayi yang dikandungnya. Bagaimana KPA Kota Solo
menutup ‘pintu masuk’ ini?
Bertolak
dari data 163 kasus HIV/AIDS pada kelompok ibu
rumah tangga, maka itu terjadi malalui ‘pintu masuk’ pertama, ketiga dan
keempat.
Lalu,
apa, sih, yang dilakukan KPA Kota Solo agar Kota Solo Bebas
Penularan HIV/AIDS Tahun 2020?
Disebutkan
dalam berita “Salah satunya dengan mengoptimalkan WPA (Warga Peduli AIDS).”
WPA
ini jadi ‘wabah’ di banyak daerah karena dianggap sebagai ‘senjata pamungkas’
dalam menanggulangi HIV/AIDS.
Tentu
saja salah besar karena penularan HIV melalui hubungan seksual terkait dengan
perilaku seksual orang per orang.
Apakah
seorang istri anggota WPA berani bertanya kepada suaminya tentang perilaku
seksual suami di luar rumah? Bisa saja ‘bogem mentah’ yang akan melayang.
Yang
bisa dilakukan secara faktual bukan ‘bebas penularan HIV’, tapi menurunkan
insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui ‘pintu masuk’
ke empat. ‘Pintu masuk’ lain tidak bisa diintervensi karena transaksi seks
terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Sedangkan
pada ‘pintu masuk’ keempat bisa dilakukan intervensi dengan catatan transaksi
seks dilokalisir. Intervensi adalah dengan memaksa laki-laki selalu memakai
kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung. Sedangkan
dengan PSK tidak langsung tidak bisa dilakukan intervensi karena transaksi seks
terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Disebutkan pula “WPA terus memberikan pemahaman kepada
masyarakat terkait penularan virus berbahaya itu.” Selama proses pemahaman bisa
saja terjadi perilaku berisiko sehingga ada warga yang tertular HIV. Celakanya,
banyak informasi HIV/AIDS di media dan ceramah yang dibalut dengan norma, moral
dan agama seningga masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah)
tentang HIV/AIDS.
Adalah
hal yang mustahil tahub 2020 Kota Solo bebas penularan HIV/AIDS. Bisa jadi yang
terjadi justru ‘ledakan AIDS’. * [komasiana.com/infokespro] *