02 April 2018

Raperda AIDS Jawa Timur Mengusung Mitos

Ilustrasi (Sumber: indianexpress.com)

Oleh: Syaiful W HARAHAP


"Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur (Jatim) Hartoyo mengatakan, pihaknya menggagas pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) HIV/AIDS karena di Indonesia yang terbesar penderita HIV berada di Jatim." Ini lead berita "Jatim Fokus pada Penanganan HIV/AIDS" (rilis.id, 23/3-2018).

Pertama, Jawa Timur sudah mempunyai Perda AIDS yaitu Perda No 5 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Timur. Memang, perda ini tidak jalan, seperti juga puluhan perda di tingkat provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia karena tidak ada pasal yang konkret untuk mencegah penularan HIV baru (Baca juga: Menyibak KiprahPerda AIDS Jatim).

Perilaku Berisiko

Kedua, dari jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS per 31 Maret 2017 (Kemenkes baru mengeluarkan data HIV/AIDS sampai tanggal 31 Maret 2017 berdasarkan Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 24 Mei 2017) Jatim ada di peringkat kedua secara nasional dengan jumlah 50.057 yang terdiri atas 33.043 HIV dan 17.014 AIDS.

Ketiga, jika berdasarkan jumlah kasus AIDS (pengidap HIV/AIDS yang sudah masuk masa AIDS al. ditandai dengan infeksi oportunistik, secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV), Jatim ada di peringkat pertama dengan jumlah kasus 17.014.

Di Jawa Timur sendiri ada 7 daerah, kabupaten dan kota, yang sudah menerbitkan Perda Penanggulangan HIV/AIDS. Tapi, semua hanya 'macam kertas' karena pasal-pasal penanggulangan dan pencegahan tidak menukik ke akar persoalan.

Lagi pula, perda-perda AIDS di Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand sehingga tidak berguna (Baca juga: Perda AIDS diIndonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand).

Maka, kalau Raperda AIDS Jatim hanya berbicara di tataran moral dan agama maka hasilnya tetap saja dengan perda yang sudah ada. Sinyalemen ini tidak mengada-ada karena dalam berita disebutkan bahwa Hartoyo mengatakan, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), HIV/AIDS menjadi salah satu poin yang dibahas yakni mewajibkan pemeriksaan intensif bagi orang asing atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang baru pulang dari luar negeri untuk menjalani pemeriksaan AIDS.

Astaga. Ini benar-benar tidak masuk akal karena kembali ke 'abad purba' penanggulangan HIV/AIDS yaitu mitos (anggapan yang salah) tentang pengidap HIV/AIDS. Ketika kasus HIV/AIDS pertama diakui pemerintah pada seorang wisatawan Belanda, seorang laki-laki gay, di RS Sanglah, Denpasar, Bali (1987), pemerintah pun menjadikan kasus ini sebagai 'tonggak' informasi HIV/AIDS yaitu: AIDS adalah penyakit homoseksual, dan AIDS adalah penyakit bule (orang asing, orang Barat).

Disebutkan "mewajibkan pemeriksaan intensif bagi orang asing". Ini perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran terhadap HAM karena orang asing tidak otomatis sebagai pengidap HIV/AIDS. Tidak semua orang asing perilaku seksnya berisiko tertular HIV.
Hasil tes HIV bisa positif palsu (HIV tidak ada dalam darah tapi hasil tes reaktif) atau negatif palsu (HIV ada dalam darah tapi hasil tes nonreaktif). Bayangkan kalau ‘orang asing’ itu banyak yang hasil tes HIV-nya negatif palsu. Apa tidak berabe? Karena disebut negatif mereka melakukan perilaku berisiko dengan warga Jatim padahal mereka mengidap HIV/AIDS.

Begitu juga dengan "mewajibkan pemeriksaan intensif bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang baru pulang dari luar negeri". Tidak semua TKI melakukan perilaku berisiko tertular HIV selama bekerja di luar negeri. Sebaliknya, warga Jatim yang melawat ke luar negeri untuk berbagai keperluan bisa saja melakukan perilaku berisiko di luar negeri, misalnya, melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan atau laki-laki selama di luar negeri.

Kalau konteksnya luar negeri, maka bukan hanya TKI tapi semua warga Jatim yang baru pulang dari luar negeri diwajibkan tes HIV agar tidak diskriminatif, melawan hukum dan melanggar HAM.

Di bagian lain Hartoyo mengatakan: "Penyelesaian Perda tersebut, ditargetkan selama dua bulan. Ini mengingat, arus tenaga kerja asing yang masuk ke Jatim semakin meningkat." Ini benar-benar tidak masuk akal karena HIV tidak bisa ditularkan melalui kegiatan sehari-hari, secara sosial dan di tempat kerja.

Pernyataan Hartoyo ini bisa diartikan bahwa warga Jatim akan melakukan perilaku seksual yang berisiko dengan tenaga kerja asing sehingga perlu diantisipasi dengan 'pemeriksaan intensif' terhadap tenaga kerja asing.

Apakah ini langkah yang arif dan bijaksana?

Tidak! Adalah hal yang mustahil melakukan tes HIV terhadap semua pekerja asing setiap saat karena hasil tes HIV hanya berlaku sampai pengambilan contoh darah untuk dites. Setelah tes HIV, biar pun hasilnya negatif, bisa saja terjadi penularan HIV kalau ybs. melakukan perilaku berisiko tertular HIV.

Mengusung Mitos

Itu artinya tes HIV bari pekerja asing tidak ada manfaatnya karena bak 'menggantang asap' yang buang-buang tenaga dan dana. Soalnya, risiko tertular HIV terjadi kapan saja sehingga tes HIV harus dilakukan juga setiap saat.

Jatim merupakan satu daerah yang getol menutup lokalisasi pelacuran.  Menurut Soekarwo (Gubernur Jatim-pen.), di Jawa Timur terdapat 47 lokalisasi yang tersebar di sejumlah kabupaten dan kota. Itu sebabnya dia mengatakan Balong Cangkring merupakan lokalisasi prostitusi terakhir yang ditutup. (nasional.tempo.co, 22/5-2016). Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, pun menutup lokalisasi pelacuran terkenal di Kota Surabaya, Dolly, 19/6-2014.

Kalau penutupan lokasi dan lokalisasi pelacuran itu terkait dengan HIV/AIDS tentu saja penyebaran HIV/AIDS di Kota Surabaya khususnya dan Jatim umumnya bisa dikendalikan. Tapi, fakta menunjukkan Maret 2018 terdeteksi 80 bayi yang lahir di RS Dr Soetomo, Surabaya, mengidap HIV/AIDS.

Kemungkinan pertama ibu bayi-bayi itu mengidap HIV karena tertular dari suami. Sedangkan suami mereka tertular HIV karena melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). PSK sendiri dikenal ada dua macam, yaitu:

(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(b). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.

Persoalan baru muncul karena praktek PSK langsung tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dijalankan program penanggulangan berupa intervensi agar laki-laki memakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK.

Sedangkan dengan PSK tidak langsung tidak bisa dijangkau karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu melalui komunikasi ponsel dan media sosial.
Maka, Raperda AIDS yang diusulkan DPRD Jatim itu hanya mengusung mitos dan bekerja di hilir. Yang diperlukan adalah langkah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui pemakaian kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung.

Lagi-lagi rancangan perda yang tidak menyentuh akar persoalan penanggulangan HIV/AIDS. Maka, sudah bisa dipastikan insiden infeksi HIV baru di Jatim akan terus terjadi yang pada gilirannya terjadi penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ini akan bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *

AIDS pada LSL Tidak Perlu Dirisaukan

Ilustrasi (Sumber: indianexpress.com)

Oleh: Syaiful W HARAHAP


*4,9 juta laki-laki beristri di Indonesia jadi pelanggan tetap PSK

Entah apa yang mendorong banyak pihak, terutama Dinas-dinas Kesehatan (Dinkes) dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), aktivis dan LSM di banyak daerah yang terkait langsung dengan HIV/AIDS belakangan ini selalu mengatakan bahwa kasus HIV/AIDS terbanyak pada LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki).

Bahkan, mereka sampai pada kesimpulan bahwa pola penyebaran HIV sekarang sudah bergeser ke LSL. Yang anek bin ajaib dan sama sekali tidak masuk akal sehar adalah mengapa kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada LSL justru bikin heboh?

Judul-judul berita pun sensasional dan bombastis yang hanya mengumbar opini dengan data yang centang-perenang dan penafsiran yang kacau-balau (Baca juga: AIDS di KotaBogor, yang Berkeliaran Sebarkan AIDS bukan Gay, tapi Laki-laki Heteroseksual  dan Menyoal TrenPenularan HIV/AIDS di Kabupaten Bogor).

Soalnya, kalau benar penyebaran HIV/AIDS sekarang beralih ke LSL, maka tidak ada yang perlu dirisaukan lagi karena HIV/AIDS pada LSL ada di terminal terakhi karena mereka tidak punya istri. HIVAIDS 'berkecamuk' di komunitas LSL yang tidak bersentuhan langsung dengan populasi umum. Hanya sebagian kecil dari LSL itu yaitu kalangan biseksual yang jadi mata rantai penyebaran HIV sebagai jembatan dari komunitas LSL ke masyarakat, dalam hal ini pasangan seks biseksual seperti istri, pacar atau selingkuhan.

HIV/AIDS pada LSL, khususnya gay, ada di terminal terkahir epidemi HIV karena gay tidak punya perempuan sebagai istri sehingga kalau pun ada penularan hanya terjadi di komunitas gay.

Sedangkan HIV/AIDS pada waria terjadi karena ada laki-laki heteroseksual yang menularkan HIV, selanjutnya ada pula laki-laki heteroseksual pelanggan waria yang tertular HIV melalui seks anal yang tidak memakai kondom.

Kerja keras kalangan-kalangan tadi membuat hati lega karena bayi-bayi yang akan lahir terbebas dari risiko dengan HIV/AIDS. Ini terjadi karena pola penyebaran HIV tidak lagi pada kalangan heteroseksual melalui laki-laki ke istri yang akan berakhir pada anak yang dikandung istri.

Dan, pernyataan itu pun menambah kisruh epidemi HIV karena yang jadi perhatian hanya kalangan LSL. Yang lebih tidak masuk akal banyak pula yang menyebut penyebaran HIV bergeser LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender). Sampai detik ini belum ada kasus HIV/AIDS yang dilaporkan dengan faktor risiko lesbian. Pada lesbian (perempuan yang secara seksual tertarik kepada perempuan) tidak terjadi seks penetrasi sehingga risiko tidak ada penularan melalui aktivitas seks.

Benar-benar membingungkan mengapa kalangan-kalangan tadi terus-menerus menyerang LSL, bahkan mereka menyebut LGBT, sebagai tempat pergeseran penyebaran HIV. Ini yang tidak masuk akal kalau penanggulangan HIV/AIDS berpijak pada HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Soalnya, survei Kemenkes RI sampai akhir tahun 2012 ada 6,7 juta laki-laki di Indonesia yang menjadi pelanggan 230.000 pekerja seks komersial (PSK), Dari 6,7 juta laki-laki itu 4,9 juta di antaranya beristri (antarabali.com, 9/4-2013), 

Agaknya, penggiat terkait dengan HIV/AIDS tadi melupakan data ini. Atau mereka menganggap tidak ada lagi praktek pelacuran karena semua lokalisasi pelacuran sudah dibumihanguskan.

Perosalannya adalah: Apakah benar tidak ada lagi laki-laki beristri yang melakukan perilaku berisiko, al. melakukan hubungan seksual tanpa memaka kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK)?

Jawaban dari pertanyaan ini akan muncul ketika tes HIV diberlakukan terhadap perempuan-perempuan hamil dan suaminya.

Kalau kasus-kasus baru HIV terus terdeteksi pada ibu hamil dan bayi yang dilahirkan ibu yang tidak menjalani tes HIV, maka pernyataan kalangan-kalangan yang mengklaim bahwa penyebaran HIV sudah bergeser ke LSL adalah khayalan semata yang didorong oleh pemikiran homofobia. * [kompasiana.com/infokespro] *