08 Maret 2018

AIDS di Aceh, Sebatas Penyangkalan dan Cari Kambing Hitam

Ilustrasi (Sumber: verywell.com)

Oleh: Syaiful W HARAHAP


"Selama ini kasus tersebut sering dan banyak ditemui di pesisir Timur dan Utara Aceh yang notabene berdekatan dengan Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut)." Ini pernyataan Kasie Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit (P2P), Dinas Kesehatan Aceh, Iman Murahman (jawapos.com, 6/3-2018),

Estimasi kasus kumulatif HIV/AIDS di Provinsi Aceh sebanyak 1.300, sedangkan kasus yang sudah terdeteksi pada kurun waktu tahun 2004-2017 berjumlah 632. Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 24 Mei 2017, menyebutkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Aceh sampai tanggal 31 Maret 2017 adalah 684 yang terdiri atas 346 HIV dan 338 AIDS. Dengan jumlah ini Aceh ada para peringkat ke-31 secara nasional dalam jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS.

Penyangkalan

Itu artinya banyak kasus yang belum terdeksi di masyarakat sehingga potensial sebagai mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Pernyataan Iman di atas merupakan salah satu bentuk penyangkalan dan mencari kambing hitam. Apa kaitan langsung antara Kota Medan dengan kasus HIV/AIDS di Aceh? (Baca juga: AIDS di Papua: Penyangkalan TerhadapPerilaku Seksual Laki-laki Papua dan AIDS di ‘Kota Hujan’ Bogor: Penyangkalandengan ’Kambing Hitam’ Penduduk Luar Kota).

Sama juga halnya dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa indisen penularan HIV/AIDS di Aceh terjadi pasca tsunami. Ini jelas menyesatkan (Baca juga: Menyesatkan, Informasi Tentang Insiden HIV/AIDS di AcehTerjadi Pasca Tsunami).

Sebagai virus HIV ada di dalam darah pengidap HIV/AIDS sehingga tidak mungkin menular melalui pergaulan sosial sehari-hari. Biar pun berdekatan, bagaimana HIV yang ada dalam tubuh warga Kota Medan yang mengidap HIV/AIDS berpindah ke warga Aceh?

Tentu saja perpindahan virus (HIV) terjadi al. melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan kondisi tanpa memakai kondom dengan pengidap HIV/AIDS. Yang jadi persoalan besar adalah orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya.

Maka, perpindahan HIV dari warga Kota Medan yang mengidap HIV/AIDS ke warga Aceh terjadi melalui hubungan seksual berisiko. Itu artinya ada warga Aceh, khususnya laki-laki dewasa, yang perilaku seksualnya berisiko.

Di bagian lain Iman mengatakan: “Sudah bergeser (kasus HIV/AIDS-pen.). Pergeserannya karena Banda Aceh sebagai salah satu kota besar di Aceh. Banyak orang-orang dari luar masuk ke Banda Aceh. Sehingga di sini menjadi pusat pertemuan banyak orang.”

Lagi-lagi terjadi penyangkalan terkait dengan perilaku seksual berisiko dan menjadikan pendatang sebagai kambing hitam.

Biar pun banyak orang-orang dari luar masuk ke Banda Aceh sehingga Kota Banda Aceh jadi pusat pertemuan banyak orang tidak akan pernah terjadi penularan HIV melalui pergaulan sehari-hari biar pun pendatang banyak yang mengidap HIV/AIDS.

Virus (HIV) yang ada di dalam tubuh pendatang yang berkumpul di Kota Banda Aceh tidak akan bisa berpindah ke warga Aceh jika tidak ada kontak fisik berupa hubungan seksual penetrasi (vaginal, oral dan anal) di dalam dan di luar nikah (Baca juga: Siapa yang Bawa HIV/AIDS ke Aceh?).

Dengan status daerah syariah secara de jure tentulah tidak ada pelacuran, tapi apakah ada jaminan di Aceh tidak ada transaksi seks? Atau apakah ada jaminan tidak ada laki-laki dewasa warga Aceh yang melakukan perilaku berisiko di Aceh, di luar Aceh atau di luar negeri?

Perilaku Seksual

Maka, semua terpulang kepada perilaku orang per orang karena perilaku seksual yang berisiko tertular HIV bisa terjadi pada hubungan seksual di dalam dan di luar nikah. Maka, pernyataan Iman yang menyebutkan: “Hindari berhubungan bebas atau seks bebas. Jagalah anak-anak kita, karena banyak komunitas-komunitas terindikasi penyakit ini. Mudah-mudah kita dapat menjaga anak-anak kita terhadap pergaulan-pergaulan bebas” tidak akurat.

Tidak ada komunitas yang terindikasi langsung dengan HIV/AIDS karena yang membuat ada risiko bukan komunitas tapi perilaku (seksual dan penyalahguna narkoba) orang per orang di komunitas tsb. Risiko penularan HIV melalui penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) bisa terjadi kalau narkoba disuntikkan dan jarum suntik dipakai bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas, pergaulan bebas, zina, melacur, selingkun, dll.), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom).



Jika ditelurusi ke belakang ternyata sebelum tahun 2004 kegiatan terkait HIV/AIDS hanya sekali dilakukan dan satu kasus HIV/AIDS terdeteksi. Tapi, setelah tahun 2004 kegiatan penjangkauan mulai aktif dan fasilitas untuk konseling dan tes HIV diperbanyak mulailah kasus baru terdeteksi satu demi satu (Lihat gambar).

Disebutan Dinkes Aceh menjalankan program tes HIV terhadap ibu-ibu hamil. Ini adalah langkah di hilir karena membiarkan warga tertular HIV. Selain itu yang patut dipertanyakan adalah apakah suami ibu-ibu hamil tsb. menjalan tes HIV?

Kalau tidak itu artinya suami-suami ibu hamil yang terdeteksi HIV akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Yang diperlukan adalah program di hulu yaitu menurunkan jumlah infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa, terutama melalui hubungan seksual dengan perempuan yang bergani-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

Tanpa langkah yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Aceh akan terus terjadi dengan kondisi senyap yang kelak muncul sebagai ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *

AIDS di Sleman, yang Mendominasi Penyebaran HIV/AIDS bukan Ibu Rumah Tangga

Ilustrasi (Sumber: betablog.org)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

“Ibu Rumah Tangga Dominasi Kasus HIV-AIDS Di Sleman.” Ini judul berita di krjogja.com (6/3-2018), Tentu saja pemakaian kata ‘dominasi’ salah nalar. Di KBBI disebutkan dominasi adalah penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah (dalam bidang politik, militer, ekonomi, perdagangan, olahraga, dan sebagainya).

Bagaimana bisa ibu rumah tangga mendominasi (penyebaran) HIV/AIDS di Sleman, DI Yogyakarta, karena mereka justru korban dari dominasi laki-laki (baca: suami). Mereka tertular HIV dari suami yang tertular HIV karena melakukan perilaku seksual yang berisiko, yaitu sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan yaitu pekerja seks komersial (PSK).

Ibu-ibu rumah tangga ditempatkan sebagai sub-ordinat laki-laki sehingga mereka dibungkam dan tidak punya hak untuk bertanya tentang perilaku seksual suami di luar rumah. Celakanya, dalam banyak kasus kalau seorang istri terdeteksi mengidap HIV/AIDS suam malah menuduh istrinya selingkuh. Persoalan kian rumit karena suami dari ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS menolak menjalani tes HIV. Bahkan, ada yang langsung meninggalkan istri dan anak-anaknya.

Pernyataan pada lead berita ini juga tidak masuk akal: Dalam dua tahun terakhir, kasus HIV-AIDS di Kabupaten Sleman didominasi dari kalangan Ibu Rumah Tangga (IRT) karena transmisi seksual seperti seperti LGBT. 

Tidak jelas apa yang dimaksud wartawan atau redaktur dengan ‘ .... karena transmisi seksual seperti seperti LGBT.’

Pada lesbian tidak terjadi seks penetrasi. Belum ada laporan kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko lesbian.

Sedangkan laki-laki gay tidak punya istri, lalu bagaimana laki-laki gay menularkan HIV ke ibu-ibu rumah tangga.

Yang jadi persoalan adalah biseksual. Laki-laki biseksual mempunyai istri tapi juga melakukan seks dengan laki-laki disebut LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki). Laki-laki biseksual jadi jembatan penyebaran HIV dari komunitas LSL ke masyarakat, dalam hal ini istri dan pasangan seksual lain.

Disebutkan kasus HIV/AIDS paling banyak ada pada kalangan wiraswasta, tapi tidak menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi. Padahal, secara empiri bisa dijelaskan yaitu kalangan wiraswasta punya uang sehingga bisa beli seks di luar lokasi pelacuran. Masalahnya adalah PSK di lokasi pelacuran ada pendampingan berupa advokasi agar memaksa laki-laki memekai kondom setiap kali terjadi hubungan seksual.  Sedangkan transaksi seks di luar tempat pelacuran tidak ada pendamping sehingga hubungan seksual dilakukan tanpa kondom yang berisiko terjadi penularan HIV jika PSK idap HIV/AIDS atau sebeliknya.

Ini pernyataan Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Sleman, Mulyanto: "Salah satu program utama kami adalah menyelamatkan generasi muda agar terhindar dari kasus HIV-AIDS.”  Padahal, kasus HIV/AIDS terbanyak ada pada ibu rumah tangga. Nah, kalau tidak ditangani dokter kelak akan lahir anak-anak dengan  HIV/AIDS. Generasi muda  tidak bisa lagi diselamatkan kalau sudah lahir dengan HIV/AIDS.

Berita ini sama sekali tidak memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV/AIDS. * [kompasiana.com/infokespro] *

07 Maret 2018

AIDS di Jakarta, Bukan karena Praktik Lesbian dan Homoseksual

Ilustrasi (Sumber: fakt.pl)

Oleh: Syaiful W HARAHAP


“Penderita HIV/AIDS di Jakarta ditengarai semakin banyak. Bila praktik lesbian dan homoseksual  tidak diberantas kemungkinan Jakarta bisa darurat penyebaran penyakit berbahaya itu.” Ini lead pada berita “Ada 45.758 Penderita. Jakarta Peringkat Tertinggi Warganya Menderita HIV/AIDS di Indonesia” (poskotanews.com, 2/3-2018),

Dalam berita disebutkan data yang dimiliki Dinas Kesehatan DKI Jakarta, sejak tahun 2009 hinggat saat ini ada sekitar 45.758 warta DKI Jakarta yang mengidap HIV/AIDS. Sedangkan Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 24 Mei 2017, menyebutkan sampai tanggal 31 Maret 2017 kasus kumulatif HIV/AIDS di Jakarta adalah 55.527 yang terdiri atas 46758 HIV dan 8769 AIDS. Jumlah ini menempatkan DKI Jakarta pada peringkat pertama jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional.

Wartawan atau redaktur yang membuat lead berita ini sudah memakai moralitas dirinya sendiri dalam membuat pernyataan.

Pertama, kasus HIV/AIDS di Jakarta tidak semua terdeteksi pada warga DKI Jakarta terutama di awal-awal epidemi karena di daerah tidak ada fasilitas tes, perawatan dan dukungan (LSM). Akibatnya, banyak warga dari daerah, bahkan dari luar negeri yang tes di Jakarta dan memilih gabung dengan LSM peduli AIDS.

Kedua, yang bisa dijadikan patokan adalah kasus AIDS karena ini sudah terbukti sebagai pengidap HIV. Sedangkan kasus HIV-positif tidak semua akurata karena ada kasus dari survailans tes HIV dan skirining darah donor di PMI yang tidak dikonfirmasi dengan tes lain.

Ketiga, sampai hari ini belum ada kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko lesbian (perempuan homoseksual yaitu hanya tertarik secara seksual kepada perempuan juga). Maka, pernyataan pada lead berita ini jelas ngawur bin ngaco karena menyebut praktik lesbian sebagai penyebab kasus HIV/AIDS di Jakarta bertambah.

Keempat, kalau homoseksual yang dimaksud di lead berita itu adalah laki-laki gay (laki-laki yang secara seksual tertarik kepada laki-laki), maka kasus HIV/AIDS pada gay ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai pasangan perempuan.

Kelima, penyebaran HIV di masyarakat Jakarta justru dilakukan oleh laki-laki heteroseksual (laki-laki yang secara seksual tertarik kepada perempuan) dan biseksual (laki-laki yang tertarik secara seksual kepada perempuan dan laki-laki).

Laki-laki heteroseksual dan biseksual berisiko tertular HIV jika sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, disebut perilaku berisko, yakni:

(a). dengan perempuan yang berganti-ganti di Jakarta, di luar Jakarta dan di luar negeri, dan

(b) dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, yaitu pekerja seks komersial (PSK). PSK sendiri dikenal ada dua jenis, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.

Pada lead berita disebut: Bila praktik lesbian dan homoseksual  tidak diberantas kemungkinan Jakarta bisa darurat penyebaran penyakit berbahaya itu.

Lesbian jelas bukan penyebar HIV dan homoseksual (gay) juga ada di komunitas gay bukan di masyarakat umum. Maka, yang perlu diberantas agar penyebaran HIV di Jakarta tidak darurat adalah perilaku berisiko laki-laki heteroseksual dan laki-laki biseksual.

Disebutkan pula: Menurut H Triwitjaksana (Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta ), dari data di Kementeian Sosial, Jakarta termasuk salah satu kota yang memiliki peringkat tertingi di Indonesia setelah Papua, Papua Barat dan Jawa Timur. Ini tidak sesuai dengan laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tertanggal 24 Mei 2017, yang menyebutkan peringkat 1-10 kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional adalah: DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Sumatera Uara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kepuluan Riau. Itu artinya data Kementerian Kesehatan tidak akurat karena data kasus HIV/AIDS yang diakui adalah yang dipublikasikan oleh Kemenkes, dalam hal ini Ditjen P2P.

Triwitjaksana menduga penyebaran narkoba  menjadi salah satu penyebab penyebaran virus itu.Tentu saja tempat hiburan turut andil dalam penyebaran virus tersebut.

Dugaan itu jelas salah karena risiko tertular HIV yang terkait narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) hanya pada penyalahguna narkoba yang memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan memakai jarum secara bergantian.

Kasus penularan baru pada penyalahguna narkoba suntik sudah turun, sebaliknya insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung bertambah terus. Indikasinya dapat dilihat dari jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS yang menjalani tes HIV ketika hamil (Baca juga: 324 Ibu Rumah Tangga di Jakarta TerdeteksiMengidap HIV/AIDS).

Terkait dengan sinyalemen anggota DPRD Jakarta itu muncullah pernyataan ini: Untuk itu DPRD DKI Jakarta mendesak agar pemprov memberantas mencegah mewabahnya penyakit tersebut.

HIV/AIDS bukan wabah karena tidak mudah menular dan tidak bisa menular melalui udara dan air. HIV/AIDS adalah pandemi yang menular melalui cara-cara yang sangat spesifik, yaitu: hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, transfusi darah yang tidak diskirining, transplantasi organ tubuh, dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan tentang cara Pemprov DKI ‘memberantas mencegah mewabahnya penyakit tersebut’. Memang, Pemprov DKI Jakarta sudah menerbitkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS. Sayang, perda ini hanya mengedepankan aspek moral sedangkan HIV/AIDS adalah fakta medis (Baca juga: Perda AIDS DKI Jakarta).

Jika tidak ada program berupa intervensi pemakaian kondom pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.

Laki-laki dewasa yang tertular HIV jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui  hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Penyebaran HIV terjadi secara diam-diam (silent epidemic) yang merupakan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *

06 Maret 2018

AIDS di Sulut, yang Menyebarkan HIV bukan PSK tapi Laki-laki Pelanggan PSK

Ilustrasi (Sumber: netdoctor.co.uk)

Oleh: Syaiful W HARAHAP


Dinas Kesehatan Sulut (Sulawesi Utara-pen.) mencatat ada 445 Pekerja Seks Komersil (PSK) yang terdata sebagai kelompok rentan menyebar HIV/AIDS di Sulut. Ini lead pada berita “445 PSK di Sulut Mengidap HIV/AIDS, Tapi yang Paling Banyak Kelompok Pekerja Ini” (tribunnews.com, 23/2-2018).

Pernyataan pada lead berita yang menyebutkan: “ .... (PSK) yang terdata sebagai kelompok rentan menyebar HIV/AIDS di Sulut” merupakan stigma (cap buruk) terhadap PSK dan mengabaikan potensi dan peran laki-laki ‘hidung belang’ sebagai penular ke PSK dan sebagai jembatan menyebarkan HIV dari PSK ke masyarakat, dalam hal ini pasangan mereka.

Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 24 Mei 2017, menyebutkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Sulut sampai dengan tanggal 31 Maret 2017 adalah 4.609 yang terdiri atas 3269 HIV dan 1340 AIDS. Dengan jumlah ini Sulut ada di peringkat ke-17 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional.

Data ini sangat menarik jika dibawa ke realitas sosial. Sayang, wartawan yang menulis berita itu sama sekali tidak mengulas data itu sebagai bagian dari epidemi HIV/AIDS. Wartawan berkutat pada angka dan kalangan yang disebut-sebut banyak terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Jika disimak dari aspek kesehatan masyarakat, maka 445 PSK pengidap HIV/AIDS itu merupakan masalah besar karena mereka akan menularkan HIV kepada ratusan bahkan ribuan laki-laki.

Secara medis seseorang terdeteksi mengidap HIV melalui tes HIV minimal sudah tertular 3 bulan sebelum tes HIV. Nah, kalau seorang PSK melayani 3-5 laki-laki setiap malam, maka sebelum tes HIV seorang PSK berisiko menularkan HIV kepada 180 – 300 laki-laki (1 PSK x 3-5 laki-laki x 20 hari x 3 bulan).

Nah, catatan Dinkes menyebut ada 445 PSK yang mengidap HIV/AIDS di Sulut. Maka, jumlah laki-laki warga Sulut yang berisiko tertular HIV dari PSK pada rentang waktu sebelum tes HIV adalah: 80.100 – 133.500 laki-laki (445 PSK x 180 – 300 laki-laki).

Kalau ada di antara PSK itu yang tertular HIV lebih dari 3 bulan sebelum tes HIV itu artinya jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV lebih banyak lagi.

Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK itu bisa sebagai remaja, lajang, suami, atau duda. Bagi yang punya isteri akan menularkan HIV ke isterinya (horizontal). Jika isterinya terular HIV maka ada pula risiko penularan ke bayi yang dikandungnya kelak (vertikal).

Sebaliknya, jika 445 PSK itu tertular HIV di Sulut berarti ada 445 laki-laki yang mengidap HIV di Sulut yang menularkan HIV ke 445 PSK. Laki-laki yang menularkan HIV ke PSK ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai remaja, lajang, suami, atau duda. Bagi yang punya isteri akan menularkan HIV ke isterinya (horizontal). Jika isterinya terular HIV maka ada pula risiko penularan ke bayi yang dikandungnya kelak (vertikal).

Seperti disebutkah oleh Daisy Waworuntu, Pengelola Kantor Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Sulut, 445 PSK itu adalah PSK langsung yang bisa dijangkau oleh mitra kerja KPA yaitu lembaga swadaya masyarakat (LSM). Padahal, dalam prakteknya PSK ada dua macam, yaitu;

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), cewek online, dll.

Bertolak dari fakta yang disampaikan Daisy, maka jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV akan lebih banyak lagi dari hitung-hitungan di atas. Transaksi seks yang terjadi dengan PSK tidak langsung bisa terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak bisa dijangkau.

Maka, yang harus segera dilakukan oleh Pemprov Sulut, dalam hal ini Dinas Kesehatan dan KPA, adalah menjalankan program berupa intervensi terhadap laki-laki pelanggan PSK langsung agar memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Atau sebaliknya, tidak pakai kondom dengan PSK tapi pakai kondom ketika sanggama dengan isteri.

Tes HIV pada kalangan berisiko dan ibu rumah tangga yang hamil adalah penanggulangan di hilir. Yang diperlukan adalah langkah penanggulangan di hulu karena sangat menentukan penyebaran HIV di Sulut. Sedangkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS Sulut sama sekali tidak bisa diandalkan (Baca juga: Menguji Peran Perda HIV/AIDS Prov Sulawesi Utara*).

Jika langkan penanggulangan di hulu tidak segera dilakukan, maka penyebaran HIV di masyarakat Sulut merupakan ‘bom waktu’ menuju ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *

05 Maret 2018

Cewek Ingusan Ini Merasa Sudah Kena HIV/AIDS

Ilustrasi (Sumber: curejoy.com)


Tanya Jawab AIDS No 2/Maret 2018

Oleh: Syaiful W. HARAHAP – AIDS Watch Indonesia

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Tanya-Jawab AIDS ini dimuat di: “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) dan kompasiana.com/infokespro. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap, melalui: (1) Telepon (021) 8566755, (2) e-mail: aidsindonesia@gmail.com, (3) SMS 08129092017, dan (4) WhatsApp:  0811974977. Redaksi.

*****

Tanya: Kawan saya ada terkena penyakit HIV jadi dia ingin tau apakah ada obatnya. Anak itu baru berumur 15 tahun, Saya sebut terkena penyakit HIV karena veginanya mengeluarkan cairan. Dia juga pernah melakukan seks bersama pacarnya, jadi sepertinya dia tertular virus HIV. Kalau ingin tes HIV,  di mana ya pak? Masalahnya kawan saya itu takut kepada orang tuanya jika ketahuan dia terkena HIV. Emangnya ada obat HIV dijual di apotek? Penyakit HIV bisa sembuh gak? Jadi jika terkena HIV dia tidak akan sembuh selamanya? Gak ada jalan keluar gitu? Mohon tolong kami.

Nn “Y”, Kalbar (via WA, 8/1-2018)

Jawab: Tidak ada gejala-gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada orang-orang yang sudah tertular HIV. Kalau pun kelak ada gejala itu terjadi pada masa AIDS (setelah tertular antara 5-15 tahun dan hasil tes HIV positif).

Cairan yang keluar dari vagina tidak otomatis sebagai tanda seseorang sudah tertular HIV. Silakan berobat ke dokter.

Salah satu penularan HIV adalah melalui hubungan seksual, di dalam dann di luar nikah, penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dari seseorang yang mengidap HIV ke orang lain dengan kondisi laki-lak tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.

Risiko tertular HIV pada temanmu itu ada kalau pacarnya mengidap HIV/AIDS. Yang jadi persoalan tidak bisa diketahui dari fisik apakah pacar temanmu itu mengidap HIV/AIDS atau tidak.

Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan yang mengidap HIV/AIDS dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual ada 1 kali risiko terjadi penularan. Persoalannya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seksual yang keberapa terjadi penularan. Bisa yang pertama, kedua, kelima, kedua puluh, kesembilan puluh dan bisa saja penularan terjadi pada hubungan seksual yang ke-100. Itu artinya setiap hubungan seksual yang berisiko (dilakukan dengan pengidap HIV/AIDS tanpa memakai kondom) selalu ada risiko tertular HIV.

Tes HIV bisa dilakukan di Puskesmas dan rumah sakit umur daerah di tempatmu. Di sana ada klinik VCT yang khusus menangani masalah HIV/AIDS.

HIV/AIDS bukan penyakit. HIV adalah virus dan AIDS adalah kondisi ketika seseorang sudah tertular HIV setelah 5-15 tahun kemudian.

Obat antiretroviral (ARV) bukan untuk menyembuhkan HIV/AIDS tapi hanya untuk menekan laju pertambakan virus (HIV) di dalam darah.

Obat ARV tidak otomatis diberikan kepada orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Pemberian obat ARV harus berdasarkan hasil tes CD4 yang ditangani oleh dokter.

Jalan keluarnya adalah silakan berobat ke dokter untuk mengetahui penyebab vagina temanmu mengeluarkan cairan. Hasil pemeriksaan dokter akan menentukan apakah dirujuk untuk tes HIV atau tidak. * [kompasiana.com/infokespro] *



04 Maret 2018

Cewek Ini Ketakutan Kena AIDS karena Lakukan Seks dengan Banyak Laki-laki

Ilustrasi (Sumber: depositphotos.com)


Tanya Jawab AIDS No 1/Maret 2018

Oleh: Syaiful W. HARAHAP – AIDS Watch Indonesia

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Tanya-Jawab AIDS ini dimuat di: “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) dan kompasiana.com/infokespro. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap, melalui: (1) Telepon (021) 8566755, (2) e-mail: aidsindonesia@gmail.com, (3) SMS 08129092017, dan (4) WhatsApp:  0811974977. Redaksi.

*****

Tanya:  Saya masih unur 21 tahun.  Saya belum menikah.  Saya pernah lakuin ml (hubungan seksual-pengasuh). Saya udah nglakuin itu berkali-kali bahkan dengan banyak pria. Saya lakukan itu tanpa memakai pengaman (laki-laki tidak pakai kondom-pengasuh). Tapi, air mani selalu dikeluarkan di luar.

(1) Apa itu saya beresiko terkena AIDS? Sebelumnya teman kerja saya cewek pernah ada yang sakit begitu.  Saya sekarang kayak dihantui rasa ketakutan.  

(2) Jadi apakah saya sekarang sudah terkena AIDS? Tapi, saya tidak pernah menjamah tempat-tempat orang nakal (tempat pelacuran-pengasuh). Itu semua saya lakukan karena sakit hati.  Mantan saya dulu renggut keperawananku dan langsung meninggalkan aku untuk perempuan lain. Setelah itu saya ketagihan akan hal itu tanpa harus memikir dampak. 1 tahun lalu teman kerja saya ada yang meninggal karena hal itu (HIV/AIDS-pengasuh). Saya terakhir lakukan itu 3 bulan yang lalu. Saya benar-benar bingung sekarang harus lakukan apa.

(3) Untuk tes HIV kan butuh biaya bnyak sekali. Dan saya takut untuk hasil yang buruk. Tapi kalo hasilnya positif. Bayangan saya sudah yang enggak-enggak. Apalagi teman saya meninggal dengan cara mengenaskan.. Sampai tubuhnya kering.  Kayak tulang dibalut kulit saja, Temenku dulu sebelum menikah untuk kedua kalinya.  Dia pernah bekerja  di kompleks Surabaya (maksudnya Dolly-pengasuh). Saya takut banget.  Maka dari itu kenapa sekarang saya biarkan tubuh saya gendutan.  Karena saya takut kalo kurusan kayak teman saya. Yang kurus karena penyakit itu.  Saya sekarang benar-benar nyesel. Dengan semua perbuatan saya.

(4) Jangka berapa tahun penyakit itu terlihat tanda-tandanya? Saya beneran bingung.  Saya takut kalo harus ada yang tau soal penyakit itu. Kasian keluarga saya. Terutama adik saya yang masiih kecil.  Bisa jadi beban mental kalo tau kakaknya sakit kelamin.

(5) Bagaimana penularan HIV itu? Air mani tidak keluar di dalam. Bantu saya .... Saya mohon. Saya pasrah sekarang.  Jika memang aku kudu punya penyakit itu.  Mungkin emang itu karma akan semua perbuatanku. Jika tanda tanda itu sudah terlihat di tubuhku. Cukup aku pergi dan ninggalin keluargaku. Karena aku gak mau keluargaku harus nanggung perbuatanku,


Nn “X” di Kota “B”, Jatim (via WA, 17/10-2017)

Jawab: Nn “X” ingat pepatah ini? Pikir dahulu pendapatan sesal kemudian tidak berguna. Ya, penyesalan selalu datang belakangan (setelah kejadian buruk terjadi). Tapi, terkait dengan kasusmu bukan akhir dari segalanya karena biar pun kelak hasil tes HIV-mu positif itu bukan berarti kematian. Orang-orang yang terdeteksi HIV tidak otomatis menderita. Apalagi sekarang ada obat antiretroviral (ARV) yang bisa menghambat laju penggandaan (virus) HIV di darah sehingga kondisi tetap biasa asalkan kesehatan dijaga dengan baik.

(1), Perilaku seksual yang kau lakukan memang termasuk sebagai perilaku berisiko tinggi tertular HIV karena hubungan seksual dilakukan dengan banyak laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom. Bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV ketika terjadi hubungan seksual. Biar pun air mani dikeluarkan di luar vagina risiko tetap ada, yaitu:

(a). Melalui semen yaitu cairan yang keluar dari penis sebelum ejakulasi (sebelum air mani keluar) karena di semen ini ada virus HIV yang bisa ditularkan kalau laki-laki mengidap HIV/AIDS, dan

(b). .Melalui gesekan penis dan vagina selama hubungan seksual. Kalau laki-laki mengidap HIV/AIDS maka ada risiko penularna karena gesekan penis dan vagina bisa menimbulkan luka-luka mikroskopis (luka-luka yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang). Ini jadi pintu masuk HIV.

(2) dan (3). Untuk mengetahui apakah sudah tertular HIV atau belum hanya bisa dilakukan melalui tes HIV di tempat-tempat yang sudah ditentukan oleh pemerintah, dalam hal ini Kemenkes RI. Tes HIV ini akurat hasilnya kalau dilakukan minimal tiga bulan setelah hubungan seksual terakhir dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom. Biaya tes HIV tergantung dari daerah masing-masing. Ada yang gratis. Kalau pun bayar bianya sekitar Rp 270.000.

Biaya tes itu tidak seberapa kalau dibandingkan dengan manfaatnya. Jika hasil tes negatif akan dilakukan konseling agar tidak lagi terjadi perilaku yang berisiko terular HIV. Kalau hasil tes positif akan dilanjutkan dengan tes CD4 untuk menentukan apakah sudah harus meminum obat ARV atau belum. Juga akan menerima konseling berkelanjutan dan ditangani oleh dokter agar kesehatan selalu terjamin.

Penularan HIV tidak tergantung kepada tempat, seperti yang kau sebutkan ‘tempat-tempat orang nakal’, seperti pelacuran. HIV tidak ada di tempat pelacuran, tapi pada orang-orang yang mengidap HIV/AIDS. Maka, penularan HIV terjadi di mana saja bila hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dilakukan dengan pengidap HIV/AIDS dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom.

(4) dan (5). Yang jadi masalah besar pada epidemi HIV/AIDS adalah tidak ada tanda-tanga yang khas HIV/AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan pada orang yang mengidap HIV/AIDS. Kalau pun kelak ada gejala itu baru terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.

Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu atau kedua-dua pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.

Rencanamu meninggalkan keluarga kalau ada tanda-tanda AIDS atau hasil tes positif bukan langkah yang benar karena akan menimbulkan masalah baru bagi keluargamu. Saya akan kirimkan nomor telepon konselor yang dekat dengan kotamu sebagai teman untuk ‘curhat’. Mulai sekarang hentikan perilaku seksualmu itu karena balas dendam justru merugikan dirimu. * [kompasiana.com/infokespro] *