Ilustrasi (Sumber: en.fotolia.com)
Oleh:
Syaiful W HARAHAP
Ketika dunia memerangi homofobia (KBBI: ketakutan yang sangat berlebihan terhadap benda atau
keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya, dalam hal ini
terhadap kalangan homoseksual), Pemerintah Kota Depok,
Jawa Barat, justru akan menjalankan program untuk mendorong warganya agar jadi homofobia.
Padahal, dunia pun sudah mencanangkan ‘Day Against Homofobia’ yang diperingati
setiap tanggal 17 Mei. Ini dijalankan karena homoseksual bukan penyakit tapi
pergeseran atau deviasi orientasi seksual.
Homofobia adalah
Penyakit
Penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena orientasi
seksual (heteroseksual, biseksual dan homoseksual) dan sifat hubungan seksual
(zina, melacur, selingkuh, seks pranikah, dll.), tapi karena kondisi (saat
terjadi) hubungan seksual yaitu salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki
tidak memakai kondom.
Disebutkan
dalam berita “Bagaimana Depok Ingin Cegah
AIDS Dengan Memperkuat Homofobia” (dw.com, 21/2-2018): “
.... buat Ketua Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) Kota Depok,
Wulandari Eka Sari, penyakit mematikan itu hanya bisa dicegah dengan
memberangus perilaku seksual 'menyimpang' ala kaum LGBT.”
Pertama, homofobia
justru ‘penyakit’ yang bisa merusak kehidupan seseorang. Itu artinya Pemkot
Depok mendorong warganya jadi homofobia. Kondisi ini sangat mengganggu
sendi-sendi kehidupan manusia yang mengidap fobia, dalam hal ini homofobia.
Soalnya, ketakutan yang luar biasa terhadap sesuatu yang tidak nyata karena
kalangan homoseksual (gay dan lesbian) dan biseksual tidak kasat mata.
Sedangkan transgender (waria) berbaur dengan kehidupan keseharian keluarga di
masyarakat.
Kedua, homofobia yang
didengung-dengungkan hanya terkait dengan homoseksual yaitu gay (laki-laki)
karena persepsi yang keliru di masyarakat yaitu selalu dikaitkan dengan seks
anal dan sodomi. Padahal, sodomi bukan hanya dilakukan oleh gay tapi juga oleh
kalangan heteroseksual sebagai kejahatan seksual. Sedangkan seks anal juga
banyak dilakukan suami, sebagai dengan paksaan, terhadap istri yang mereka
sebut sebagai variasi hubungan seksual (Baca juga: Perkosaan dalam Perkawinan dan Biseksual Jauh Lebih Serius daripada Zinadan Homoseks).
Ketiga, HIV adalah virus dan AIDS
adalah kondisi setelah seseorang tertular HIV antara 5-15 tahun sehingga
HIV/AIDS bukan penyakit.
Keempat, HIV/AIDS bukan
penyakit yang mematikan karena kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi karena
infeksi oportunistik pada masa AIDS, seperti diare, TB, dll.
Kelima, mencegah penularan HIV bukan
dengan memberangus perilaku seksual menyimpang ala kaum LBGT karena penularan
HIV bukan karena orientasi seksual, tapi karena kondisi hubungan seksual.
Keenam, sebagai penyaluran dorongan
libido seks tidak ada cara-cara penyaluran yang menyimpang karena penyimpangan
hanya dari aspek norma, moral dan agama.
Kasus AIDS
Dengan
program yang diskriminatif itu yang paling tidak masuk akal adalah bayi,
anak-anak dan perempuan yang tertular bukan karena ulah mereka tapi tetap tidak
dapat santunan.
Terkait
dengan terminologi ‘penyimpangan seksual’, perlu dipertanyakan kepada Wulandari:
Apakah laki-laki heteroseksual yang
beristri yang melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain di luar nikah
tidak termasuk penyimpangan seksual?
Kalau Wulandari mengatakan tidak, itu artinya insiden
infeksi HIV baru pada laki-laki beristri melalui hubungan seksual dengan
perempuan lain di luar nikah akan terus terjadi yang pada gilirannya laki-laki
tsb. jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Bagi yang beristri
menularkan HIV ke istri (horizontal). Jumlah perempuan berisiko terular HIV kain
banyak kalau laki-laki pengidap HIV mempunyai isteri lebih dari satu. Kalau
istrinya tertular, maka ada pula risiko penularan HIV ke anak yang dikandungnya
kelak (vertikal).
Wulandari
menjadikan data jumlah kasus HIV/AIDS yang disampaikan Komisi Penanggulangan
AIDS (KPA) Kota Depok yang berjumlah 988 tahun 2017. Disebutkan 353 di
antaranya berasal dari komunitas gay, transgender dan lesbian. Dalam hal
pelaporan kasus HIV/AIDS yang dijadikan Kemenkes RI jadi patokan adalan kasus
AIDS bukan HIV karena data kasus HIV tidak semua akurat.
Laporan
kasus HIV ada dari survailans tes HIV (tanpa konfirmasi), hasil skirining darah
donor di PMI, dan tes cepat (rapid test) yang tidak dikonfirmasi. Panduan Badan
Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan setiap tes HIV wajib dikonfirmasi dengan tes
lain. Pada Tabel berikut berupa laporan Kemenkes RI jelas bahwa kasus AIDS
secara nasional pada priode 1987-2017 pada homoseksual 4,23 persen, biseksual
0,58 persen. Bandingkan dengan heteroseksual yang mencapai 67,8 persen.
Lagi
pula kasus HIV dengan embel-embel LGBT patut dipertanyakan: (a) apakah data
tsb. dari sumber pertama (yang bersangkutan), (b) sumber sekunder (dari teman
ybs.), dan (c) dari sumber tidak langsung (katanya).
Selain
itu di dunia belum ada kasus penularan HIV/AIDS dengan faktor risiko lesbian.
Itu artinya Kota Depok memecahkan rekor karena disebutkan ada kasus HIV/AIDS
pada lesbian. Dari paparan KPA Kota Depok itu tidak ada data HIV/AIDS pada
biseksual, padahal laki-laki biseksual adalah jembatan penyebaran HIV dari
komunitas gay dan transgender ke masyarakat dan sebaliknya.
Pemerintah
Kota Depok rupanya tetap ngotot menjadikan isu LGBT sebagai langkah
penanggulangan HIV/AIDS. Seperti yang disebutkan dalam berita “Namun buat
pemerintah kota Depok memerangi AIDS harus diawali dengan mencegah munculnya
perilaku LGBT. Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) Depok bahkan
melakukan sosialisasi tentang bagaimana orangtua bisa mengubah pola asuh untuk
mencegah timbulnya perilaku seksual menyimpang pada anak-anak.”
Bom Waktu
Kita
berhitung luar kepala saja. Berapa, sih, gay dan transgender di Kota Depok?
Bandingkan dengan jumlah dan frekuensi hubungan seksual yang dilakukan oleh
laki-laki beristri yang menjadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK) langsung
dan PSK tidak langsung, serta yang sering berzina dengan perempuan lain. Ada
dua tipe PSK, yaitu:
-
PSK
langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau
lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
-
PSK
tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai
cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus,
cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang
kekuasaan), dll.
Mungkin
Pemkot Depok membusungkan dada dengan mengatakan: Di Kota Depok tidak ada
pelacuran!
Kalau
yang dimaksud lokasi atau lokalisasi pelacuran pernyataan itu benar adanya.
Tapi:
(1).
Apakah Pemkot Depok bisa menjamin tidak ada perzinaan dalam bentuk transaksi
seksual yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung di Kota Depok?
(2)
Apakah Pemkot Depok bisa menjami tidak ada laki-laki dewasa warga Kota Depok
yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang
berganti-ganti, di dalam dan di luar nikah, di Kota Depok dan di luar Kota
Depok?
Kalau
Pemkot Depok tetap ngotot hanya memusatkan perhatian pada LGBT dalam
penanggulangan HIV/AIDS, maka penyebaran HIV, terutama melalui laki-laki
heteroseksual, akan terus terjadi di masyarakat melalui hubungan seksual tanpa
kondom di dalam dan di luar nikah.
Penyebaran
HIV terjadi secara diam-diam sebagai the silent disaster (pembunuh terselubung)
yang merupakan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokepro] *