27 Februari 2018

Apa Penyebab Pengidap HIV/AIDS AIDS di Toraja Utara Dirujuk ke RS?

Ilustrasi: Pusat Tes HIV Anonim di Moskow, Rusia, 1/9-1987 (Sumber: rbth.com/Vladimir Velengurin/TASS)

Oleh: Syaiful W HARAHAP


“Akibat berjangkit HIV/AIDS, tiga warga asal Kabupaten Toraja Utara (Sulawesi Selatan-pen.) dirujuk di Rumah Sakit Elim Rantepao.” Ini pernyataan pada lead berita “Terjangkit HIV/AIDS, Dua Warga Torut Meninggal” (beritalima.com, 21/2-2018).

Judul dan lead berita ini menunjukkan pemahaman wartawan dan redaktur media online itu yang sangat rendah terkait dengan HIV/AIDS. Orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tidak otomatis menderita (sakit) sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).

Jika ada pengidap HIV/AIDS yang dirujuk ke rumah sakit, itu menunjukkan mereka mengidap penyakit infeksi oportunistik yang muncul pada masa AIDS. Celakanya, dalam berita tidak disebutkan apa penyakit yang diderita tiga warga pengidap HIV/AIDS itu sehingga mereka dirujuk ke rumah sakit. Bisa saja penyakit yang menyebabkan mereka dirujuk ke rumah sakit sama sekali tidak terkait dengan HIV/AIDS, seperti luka-luka karena kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja.

Disebutkan dalam berita “Setelah mendapat perawatan intensif medis pihak RS Elim Rantepao, selang beberapa hari, dua dari tiga pasien HIV/AIDS menyatakan meninggal dunia.”

Pernyataan di atas mengesakan dua pengidap HIV/AIDS itu meninggal karena HIV/AIDS. Ini keliru karena kematian pengidap HIV/AIDS bukan karena HIV atau AIDS tapi karena penyakit lain yang muncul pada masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll. Dalam berita tidak disebutkan penyakit penyebab kematian dua pengidap HIV/AIDS itu.

Di bagian lain berita disebutkan: Maraknya penyakit HIV/AIDS masuk di Toraja, dikarenakan banyaknya perantau dari luar seperti, dari Malaysia, Papua, dan Kalimantan yang membawa keberadaan penyakit hingga saat ini belum ditemukan obatnya.

Sedangkan Kepala RS Elim Rantepao, Dokter Hendrik Sarangnga, mengatakan: “Pasien HIV/AIDS yang berobat di RS Elim kebanyakan setelah mereka tertular baru berobat di Toraja. Pasien HIV/AIDS kebanyakan setelah tertular baru pulang ke Toraja,”

Pernyataan di atas bisa mendorong stigma (cap buruk) terhadap perantau. Lagi pula mereka tidak menjalani tes HIV sebelum merantau sehingga tidak bisa dikatakan bahwa mereka tertular HIV di perantauan.

Ketika penanganan HIV/AIDS sudah berjalan dengan baik di banyak negara dengan indikator jumlah kasus baru yang turun drastis, di Indonesia justru sebaliknya: debat kusir terus terjadi terkait dengan kondom, pelacuran, dll. yang akhirnya meningkatkan jumlah insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki heteroseksual dewasa.

Thailand, misalnya, dengan kasus450.000 pada tahun 2016 mencacat 6.400 kasus baru per tahun. Bandingkan dengan Indonesia dengan 620.000 kasus setiap tahun bertamban 48.000 (aidsdatahub.org).

Apakah kita tetap memilih debat kusir dengan risiko kasus baru terus bertambah atau menerapkan penanggulangan yang konkret. Pilihan ada di tangan kita. *[kompasiana.com/infokespro] *

Homoseksual dan AIDS di Kota Payakumbuh

Ilustrasi (Sumber: istockphoto.com)

Oleh: Syaiful W HARAHAP


Dari 15 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat, pada tahun 2017 disebutkan 5 di antaranya terdeteksi pada kalangan LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki) yaitu laki-laki homoseksual (gay). Disebutkan “LSL dianggap menjadi faktor yang cukup signifikan terhadap penularan HIV/Aids di Kota Payakumbuh.” (harianhaluan.com, 8/2-2018).

Jika LSL yang dimaksud adalah gay, maka penyebaran HIV/AIDS hanya terjadi pada komunitas gay. Akan lain halnya kalau di antara 5 LSL itu ada laki-laki biseksual. Soalnya, laki-laki biseksual adalah laki-laki dengan orientasi heteroseksual, bisa yang punya istri, tapi juga melakukan hubungan seksual, dalam hal ini seks anal, dengan laki-laki.

Yang dikhawatirkan yang disebut 5 LSL itu ada waria (transgender). Pelanggan waria adalah laki-laki heteroseksual yang beristri. Akibatnya, laki-laki beristri akan jadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari masyarakat ke komunitas waria dan sebaliknya, terutama kepada istri atau pasangan seksual lain.

“LSL 44 Kali lebih gampang tertular HIV/AIDS. Oleh karena itu, penanganan terhadap LSL ini menjadi salah satu fokus bagi kami sebagai petugas kesehatan dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.” Ini disebutkan oleh Kepala Puskesmas Lampasi, dr Harika Putra, dalam satu seminar di Payakumbuh (7/2).

Ada beberapa hal terkait dengan pernyataan dr Harika ini, yaitu:

Pertama, risiko tertular HIV bukan karena orientasi seksual, dalam hal ini homoseksual yaitu LSL, tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual, baik seks vaginal, seks oral dan seks anal (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom).

Kedua, disebutkan bahwa 44 kali lebih gampang tertular HIV/AIDS itu terjadi kalau salah satu dari pasangan LSL itu mengidap HIV/AIDS dan melakukan seks anal dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom.

Ketiga, kalau LSL yang dimaksud hanya gay (homoseksual) maka kasus HIV/AIDS pada mereka ada di terminal terakhir. Artinya, gay yang tertular HIV tidak jadi mata rantai penyebaran HIV karena tidak mempunyai pasangan perempuan. Bandingkan dengan laki-laki heteroseksual yang beristri akan jadi mata rantai penyebarna HIV jika laki-laki ini tertular HIV. Menularkan HIV ke istri atau pasangan seks lain.

Maka, penanggulangan HIV/AIDS bukan berfokus pada LSL yang gay, tapi pada LSL yang biseksual dan laki-laki heteroseksual.

Seorang LSL, dalam hal ini gay, yang mengidap HIV/AIDS hanya punya 1 pasangan tetap. Sedangkan seorang laki-laki biseksual yang mengidap HIV/AIDS akan menyebarkan HIV ke istri, laki-laki pasangannya dan perempuan lain, bisa sebagai isteri atau pekerja seks komersial (PSK).

Sedangkan seorang PSK setiap malam melayani 3 - 5 laki-laki heteroseksual. Kalau PSK tsb. mengidap HIV/AIDS, maka puluhan bahkan ratusan laki-laki setiap bulan yang berisiko tertular HIV.

Celakanya, di Kota Payakumbuh perhatian lebih tertuju kepada LSL dengan mengabaikan potensi penyebaran yang dilakukan oleh laki-laki heteroseksual.

Dikatakan oleh dr Harika: untuk menanggulangi HIV/AIDS, Payakumbuh saat ini sudah memiliki pelayanan terhadap pengidap HIV/AIDS yakni di RSUD Adnaan WD termasuk di lima Puskemas yang tersebar di Payakumbuh.

Penanggulangan yang disebutkan dr Harika itu adalah langkah di hilir. Artinya, dibiarkan dulu warga tertular HIV baru ditangani di rumah sakit atau puskesmas. Yang diperlukan adalah langkah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki heteroseksual yakni memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Namun, hal di atas tidak bisa dilakukan karena praktek PSK tidak dilokalisir sehingga transaksi seks terjdi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Jika penanggulangan HIV/AIDS di Kota Payakumbuh hanya fokus pada LSL, maka sudah bisa dipastikan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki heterseksual akan terus terjadi. Pada gilirannya laki-laki heterseksual yang mengidap HIV/AIDS jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terjadi secara diam-diam karena yang menularkan tidak mengetahui kalau dia   mengidap HIV/AIDS (tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang mengidap HIV/AIDS sebelum masa AIDS). Celakanya, yang ditulari pun tidak merasakan secara fisik ada penularan HIV pada dirinya.

Penyebaran HIV/AIDS yang terjadi secara diam-diam di masyarakat merupakan ‘bom waktu’ menuju ‘ledakan AIDS’ kelak. * [kompasiana.com/infokespro] *

Ngawur, Kota Depok Cegah AIDS dengan Memperkuat “Homofobia” di Kalangan Warga

Ilustrasi (Sumber: en.fotolia.com)

Oleh: Syaiful W HARAHAP


Ketika dunia memerangi homofobia (KBBI: ketakutan yang sangat berlebihan terhadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya, dalam hal ini terhadap kalangan homoseksual), Pemerintah Kota Depok, Jawa Barat, justru akan menjalankan program untuk mendorong warganya agar jadi homofobia.

Padahal, dunia pun sudah mencanangkan ‘Day Against Homofobia’ yang diperingati setiap tanggal 17 Mei. Ini dijalankan karena homoseksual bukan penyakit tapi pergeseran atau deviasi orientasi seksual.

Homofobia adalah Penyakit

Penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena orientasi seksual (heteroseksual, biseksual dan homoseksual) dan sifat hubungan seksual (zina, melacur, selingkuh, seks pranikah, dll.), tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual yaitu salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.

Disebutkan dalam berita “Bagaimana Depok Ingin Cegah AIDS Dengan Memperkuat Homofobia” (dw.com, 21/2-2018): “ .... buat Ketua Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) Kota Depok, Wulandari Eka Sari, penyakit mematikan itu hanya bisa dicegah dengan memberangus perilaku seksual 'menyimpang' ala kaum LGBT.”

Pertama, homofobia justru ‘penyakit’ yang bisa merusak kehidupan seseorang. Itu artinya Pemkot Depok mendorong warganya jadi homofobia. Kondisi ini sangat mengganggu sendi-sendi kehidupan manusia yang mengidap fobia, dalam hal ini homofobia. Soalnya, ketakutan yang luar biasa terhadap sesuatu yang tidak nyata karena kalangan homoseksual (gay dan lesbian) dan biseksual tidak kasat mata. Sedangkan transgender (waria) berbaur dengan kehidupan keseharian keluarga di masyarakat.

Kedua, homofobia yang didengung-dengungkan hanya terkait dengan homoseksual yaitu gay (laki-laki) karena persepsi yang keliru di masyarakat yaitu selalu dikaitkan dengan seks anal dan sodomi. Padahal, sodomi bukan hanya dilakukan oleh gay tapi juga oleh kalangan heteroseksual sebagai kejahatan seksual. Sedangkan seks anal juga banyak dilakukan suami, sebagai dengan paksaan, terhadap istri yang mereka sebut sebagai variasi hubungan seksual (Baca juga: Perkosaan dalam Perkawinan dan Biseksual Jauh Lebih Serius daripada Zinadan Homoseks).

Ketiga, HIV adalah virus dan AIDS adalah kondisi setelah seseorang tertular HIV antara 5-15 tahun sehingga HIV/AIDS bukan penyakit.

Keempat, HIV/AIDS bukan penyakit yang mematikan karena kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi karena infeksi oportunistik pada masa AIDS, seperti diare, TB, dll.

Kelima, mencegah penularan HIV bukan dengan memberangus perilaku seksual menyimpang ala kaum LBGT karena penularan HIV bukan karena orientasi seksual, tapi karena kondisi hubungan seksual.

Keenam, sebagai penyaluran dorongan libido seks tidak ada cara-cara penyaluran yang menyimpang karena penyimpangan hanya dari aspek norma, moral dan agama.

Kota Depok sendiri menjalankan program sosial yang diskriminatif yaitu tidak memberikan santunan kematian kepada warga yang meninggal karena penyakit terkait AIDS (Baca juga: Santunan Kematian yang Diskriminatif di Kota Depok, Jawa Barat). Padahal, kematian pada pengidap HIV/AIDS bukan karena HIV atau AIDS (Baca juga: Kematian Pengidap HIV/AIDS di Kota Depok Bukan Karena HIV atau AIDS).

Kasus AIDS

Dengan program yang diskriminatif itu yang paling tidak masuk akal adalah bayi, anak-anak dan perempuan yang tertular bukan karena ulah mereka tapi tetap tidak dapat santunan.

Terkait dengan terminologi ‘penyimpangan seksual’, perlu dipertanyakan kepada Wulandari: Apakah  laki-laki heteroseksual yang beristri yang melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain di luar nikah tidak termasuk penyimpangan seksual?

Kalau Wulandari mengatakan tidak, itu artinya insiden infeksi HIV baru pada laki-laki beristri melalui hubungan seksual dengan perempuan lain di luar nikah akan terus terjadi yang pada gilirannya laki-laki tsb. jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Bagi yang beristri menularkan HIV ke istri (horizontal). Jumlah perempuan berisiko terular HIV kain banyak kalau laki-laki pengidap HIV mempunyai isteri lebih dari satu. Kalau istrinya tertular, maka ada pula risiko penularan HIV ke anak yang dikandungnya kelak (vertikal).

Wulandari menjadikan data jumlah kasus HIV/AIDS yang disampaikan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Depok yang berjumlah 988 tahun 2017. Disebutkan 353 di antaranya berasal dari komunitas gay, transgender dan lesbian. Dalam hal pelaporan kasus HIV/AIDS yang dijadikan Kemenkes RI jadi patokan adalan kasus AIDS bukan HIV karena data kasus HIV tidak semua akurat.

Laporan kasus HIV ada dari survailans tes HIV (tanpa konfirmasi), hasil skirining darah donor di PMI, dan tes cepat (rapid test) yang tidak dikonfirmasi. Panduan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan setiap tes HIV wajib dikonfirmasi dengan tes lain. Pada Tabel berikut berupa laporan Kemenkes RI jelas bahwa kasus AIDS secara nasional pada priode 1987-2017 pada homoseksual 4,23 persen, biseksual 0,58 persen. Bandingkan dengan heteroseksual yang mencapai 67,8 persen.

Lagi pula kasus HIV dengan embel-embel LGBT patut dipertanyakan: (a) apakah data tsb. dari sumber pertama (yang bersangkutan), (b) sumber sekunder (dari teman ybs.), dan (c) dari sumber tidak langsung (katanya).

Selain itu di dunia belum ada kasus penularan HIV/AIDS dengan faktor risiko lesbian. Itu artinya Kota Depok memecahkan rekor karena disebutkan ada kasus HIV/AIDS pada lesbian. Dari paparan KPA Kota Depok itu tidak ada data HIV/AIDS pada biseksual, padahal laki-laki biseksual adalah jembatan penyebaran HIV dari komunitas gay dan transgender ke masyarakat dan sebaliknya.

Pemerintah Kota Depok rupanya tetap ngotot menjadikan isu LGBT sebagai langkah penanggulangan HIV/AIDS. Seperti yang disebutkan dalam berita “Namun buat pemerintah kota Depok memerangi AIDS harus diawali dengan mencegah munculnya perilaku LGBT. Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) Depok bahkan melakukan sosialisasi tentang bagaimana orangtua bisa mengubah pola asuh untuk mencegah timbulnya perilaku seksual menyimpang pada anak-anak.”

Bom Waktu

Kita berhitung luar kepala saja. Berapa, sih, gay dan transgender di Kota Depok? Bandingkan dengan jumlah dan frekuensi hubungan seksual yang dilakukan oleh laki-laki beristri yang menjadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, serta yang sering berzina dengan perempuan lain. Ada dua tipe PSK, yaitu:

-          PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

-          PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

Mungkin Pemkot Depok membusungkan dada dengan mengatakan: Di Kota Depok tidak ada pelacuran!

Kalau yang dimaksud lokasi atau lokalisasi pelacuran pernyataan itu benar adanya. Tapi:

(1). Apakah Pemkot Depok bisa menjamin tidak ada perzinaan dalam bentuk transaksi seksual yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung di Kota Depok?

(2) Apakah Pemkot Depok bisa menjami tidak ada laki-laki dewasa warga Kota Depok yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti, di dalam dan di luar nikah, di Kota Depok dan di luar Kota Depok?

Kalau Pemkot Depok tetap ngotot hanya memusatkan perhatian pada LGBT dalam penanggulangan HIV/AIDS, maka penyebaran HIV, terutama melalui laki-laki heteroseksual, akan terus terjadi di masyarakat melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. 

Penyebaran HIV terjadi secara diam-diam sebagai the silent disaster (pembunuh terselubung) yang merupakan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokepro] *

25 Februari 2018

Kematian 98 Pengidap HIV/AIDS di Lebak, Banten, Bukan Karena AIDS

Ilustrasi (Sumber: cnn.com)


Oleh: Syaiful W HARAHAP


Biar pun informasi HIV/AIDS yang benar sudah banjir, tapi tetap saja banyak orang, dalam hal ini wartawan dan redaktur media online, tetap saja tidak beranjak dari pengetahuan ‘kuno’ tentang HIV/AIDS.

Lihat saja judul berita di galamedianews.com (20/2-2018) ini: “98 Warga Lebak Meninggal Akibat HIV/AIDS.”

Dilaporkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, sejak tahun 2002 sampai 2017 sebanyak 240 dengan 98 kematian.

Pertama, tidak ada kasus kematian pengidap HIV/AIDS karena HIV atau AIDS di seluruh Dunia.

Kedua, kematian pengidap HIV/AIDS bukan karena HIV (virus) atau AIDS (kondisi), tapi karena penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll. Secara statistik masa AIDS terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.

Ketiga, judul berita itu menyesatkan dan sama sekali tidak memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang HIV/AIDS.

Keempat, apakah pasangan dari 98 pengidap HIV/AIDS yang meninggal itu sudah menjalani tes HIV sukarela? Kalau belum itu artinya ada risiko penyebaran HIV yang dilakukan pasangan pengidap HIV/AIDS yang meninggal itu.

Kekacauan informasi (dalam jurnalistik disebut misleading) kian besar melalui pernyataan di lead berita: DINKES Kabupaten Lebak mencatat 98 warga dilaporkan meninggal dunia akibat teridentifikasi positif penyakit Human Immuno Deficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).

Yang teridentifikasi pada pengidap HIV/AIDS melalui tes HIV dengan reagent ELISA adalah antybody HIV bukan penyakit HIV atau AIDS. Disebut positif HIV jika hasil tes reaktif.

Kepala Bidang Pencegahan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak, dr Firman Rahmatullah, mengatakan: "Kami minta masyarakat berperan aktif untuk pencegahan penyakit yang mematikan itu."

Pernyataan ini juga menyesatkan karena HIV dan AIDS bukan penyakit sehingga tidak mematikan.

Disebutkan dalam berita: Selama ini, penyebaran HIV/AIDS ditularkan melalui pergaulan seks bebas, penggunaan jarum suntik bekas narkoba, transfusi darah dari penderita positif, serta melalui air susu ibu.

Pernyataan ini tidak tepat karena penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas, zina, melacur, dll.), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom).

Pernyataan ‘penggunaan jarum suntik bekas narkoba’ juga ngawur karena risiko penularan HIV pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) bukan karena memakai jarum bekas narkoba.

Risiko penularan melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba terjadi karena jarum suntik dan pemompanya dipakai secara bersama-sama dengan bergiliran. Soalnya, ada kemungkinan salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS sehingga darah masuk ke jarum suntik yang berongga. Kerika jarum suntik tadi dipakai yang lain, maka darah yang mengandung HIV di jarum suntik akan masuk ke tubuh yang menyuntikkan jarum tsb.

 Dalam berita tidak ada penjelasan yang baik tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV. Selain itu tidak ada pula program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang realistis,

Itu artinya insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), akan terus terjadi yang pada gilirannya penyebaran ke isterinya. Kalau istrinya tertular HIV, maka ada pula risiko penularan terhadap bayi yang dikandungnya kelak.

Tanpa program penanggulangan yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Lebak akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *