16 Februari 2018

Ketika Zina Jadi Delik Umum, HIV/AIDS (Akan) Merebak di Kalangan Menengah-Atas

Ilustrasi (Sumber: The Telegraph)

Oleh: Syaiful W HARAHAP


Beberapa negara berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), seperti Thailand, karena program yang konkret yaitu ‘memaksa laki-laki dewasa memakai kondom’ setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Dengan program tsb. Thailand kini dengan 540.000 kasus membubukan 6.400 kasus baru setiap tahun. Bandingkan dengan Indonesia dengan 620.000 kasus mencatat 48.000 kasus baru setiap tahun (aidsdatahub.org).

Selama ini perzinaan, khususnya transaksi seks, dengan PSK terjadi di berbagai tempat, seperti penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang serta tempat-tempat lain. Ini membuat program seperti yang dijalankan Thailand tidak bisa dilakukan di Indonesia karena transaksi seks tidak bisa diintervensi. Di Thailand dan negara lain bisa dilakukan intervensi pemakaian kondom karena praktek transaksi seks dilokalisir atau di tempat-tempat yang memberoleh legalisasi, seperti rumah bordir, dll.

Praktek PSK Dikapling

Intervensi kian ruwet karena dalam prakteknya PSK ada dua tipe yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

Ketika zina jadi delik umum atau delik biasa, maka razia pun akan digencarkan tanpa mengunggu ada pengaduan. Yang jadi sasaran tentulah PSK langsung karena PSK tidak langsung tidak kasat mata.

Yang membeli seks ke PSK langsung adalah kalangan menengah ke bawah yang melakukan transaksi di tempat-tempat yang murah sesuai dengan isi kantong yaitu di penginapan, losmen dan hotel melati.

Selama ini razia Satpol PP dan polisi hanya menyasar penginapan, losmen dan hotel melati. Jika ini juga yang akan terjadi kalau kelak KUHP baru diundangkan dan zina jadi delik umum, maka razia akan kian gencar. Ini bisa saja menurunkan jumlah transaksi seks di kalangan menengah ke bawah.

Sedangkan praktek PSK tidak langsung terjadi di tempat-tempat yang jauh lebih aman dari razia ‘penyakit masyarakat’, seperti di apartemen dan hotel berbintang.

Di salah satu kota di Indonesia timur ada pengkaplingan praktek PSK. Bagi PSK yang berasal dari sebuah kota di bagian utara Indonesia tengah melayani laki-laki ‘hidung belang’ di hotel-hotel di kota, sedangkan PSK lain, terutama dari P Jawa dipaksa praktek di sebuah lokasi pelacuran di tengah hutan yang ditempuh 2-3 jam dari pusat kota.

Sepintas hal itu tidak bermakna. Tapi, realitas sosial menunjukkan lain. Kasus-kasus HIV/AIDS di daerah itu justru banyak terdeteksi di kalangan menengah ke atas. Ini terjadi karena praktek transaksi seks di hotel tidak diintervensi berupa anjuran kepada PSK untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual. Sedangkan di lokasi pelacuran ada aktivis yang mempromosikan ‘seks aman’ sehingga insiden infeksi HIV baru terjaga.



Seks Aman

“Pak, Pak ....,” teriak seorang perempuan di lokasi pelacuran tadi kepada penulis yang mengunjungi tempat itu sebagai studi lapangan untuk wartawan yang mengikuti pelatihan penulisan berita HIV/AIDS (2007).

“Bapak ‘kan wartawan. Tolong, dong, tulis perlakuan kepada kami,” kata perempuan setengah baya yang mengaku berasal dari ujung timur Pulau Jawa.

Perlakuan bagimana? “Ya, kami dipaksa di sini sedangkan cewek ... (menyebut nama kota di utara Indonesia tengah) boleh di hotel di kota,” kata perempuan itu dengan memelas.

Di satu sisi mereka dirugikan karena hanya melayani laki-laki berkantong tipis, tapi di sisi lain mereka lebih aman karena ada intervensi untuk menerapkan ‘seks aman’. Kasus infeksi menular seksual (IMS, seperti sifilis, GO, klamidia, dll.) serta HIV/AIDS bisa ditekan di lokasi ini yang tentu saja menguntungkan PSK dan laki-laki ‘hidung belang’ yang pada gilirannya menghambat penyebaran IMS dan HIV/AIDS ke masyarakat.

Sebaliknya, transaksi seks yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung di hotel-hotel dan apartemen yang bebas razia berjalan tanpa intervensi sehingga ada risiko penyebaran IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus dari laki-laki ke PSK dan sebaliknya dari PSK ke laki-laki.

Risiko bagi kalangan atas juga terjadi melalui transaksi seks dengan cewek gratifikasi seks karena ada anggapan cewek-cewek itu bukan PSK. Memang, mereka bukan PSK langsung tapi dalam prakteknya mereka termasuk PSK tidak langsung sehingga termaduk perempuan yang berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV.

Laki-laki yang menularkan HIV ke PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah sebagai ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. * [komasiana.com/infokespro] *

12 Februari 2018

Hasil Tes HIV Suami Positif, tapi Istri Belum Beritahu ke Suami

Ilustrasi (Sumber: saludmovil.com)

Tanya Jawab AIDS No 1/Februari 2018

Oleh: Syaiful W. HARAHAP – AIDS Watch Indonesia

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Tanya-Jawab AIDS ini dimuat di: “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) dan kompasiana.com/infokespro. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap, melalui: (1) Telepon (021) 8566755, (2) e-mail: aidsindonesia@gmail.com, (3) SMS 08129092017, dan (4) WhatsApp:  0811974977. Redaksi.

*****

Tanya: Kemarin suami saya sakit mirip tanda-tanda gejala AIDS. Karena curiga tes.  darah (maksudnya tes HIV-pen.). Hasilnya, positif. Suami belum tahu dan tidak dibertahu soal hasil tes HIV yang positif. Baru saya yang tahu. Saya takut kalau diberitahu suami saya stres dan memperberat penyakitnya. Mohon petunjuk.

Via SMS (31/1-2018)

Jawab: Langkah Anda tepat. Sesuai standar prosedur operasi tes HIV yang baku sebelum dan sesudah tes HIV ada konseling. Yang akan menjalani tes HIV secara sukarela, dalam hal ini suami Anda, sebelum pengambilan darah menerima konseling tentang HIV/AIDS, tes HIV, hasil tes, dll.  Dari pengalaman klinik-klinik tes HIV yang menjalankan prosedur baku tidak ada masalah dengan dengan yang menjalani tes HIV dan keluarganya.

Patut dipertanyakan langkah tempat tes HIV yang melakukan tes HIV terhadap suami Anda. Soalnya, hasil harus diambil oleh yang menjalani tes HIV, kalau belum dewasa ditemani oleh orang tua atau wali.

Tentang kekhawatiran Anda bahwa suami akan stres yang bisa membuat kondisinya drop tidak harus menghalangi suami mengetahui hasil tes. Yang perl dilakukan setelah tes HIV adalah tes CD4 untuk menentukan apakah sudah harus meminum obat antiretroviral (ARV). Nah, kalau kelak suami Anda harus minum obat ARV tentu bisa muncul masalah baru.

Maka, lebih baik hasil tes diberitahu ke suami. Anda bisa meminta bantuan konselor karena mereka sudah dilatih untuk menjelaskan hasil tes kepada orang-orang yang menjalani tes HIV.

Selanjutnya untuk Anda sendiri. Apakah Anda dan anak-anak, kalau ada, sudah menjalani tes HIV?

Hasil tes HIV yang positif bukan akhir dari segalanya karena sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahuns setelah tertular HIV) tidak ada keluhan kesehatan yang berarti, apalagi ditangani oleh dokter. Pengidap HIV/AIDS tetap bisa menjalankan kehidupan dengan baik dengan catatan ditangani oleh dokter.

Maka, kalau belum tes, sebaiknya Anda dan anak-anak segera tes HIV agar dokter bisa melakukan langkah medis untuk menjaga kesehatan suami, Anda dan anak-anak. Semoga hasil tes HIV Anda dan anak-anak negatif. * [kompasiana.com/infokespro] *


11 Februari 2018

Di Cianjur, “Gay” Lebih Berisiko Menularkan HIV daripada PSK?

Ilustrasi (Sumber: thehimalayantimes.com)

Oleh: Syaiful W HARAHAP


Belakangan ini kalangan yang langsung terkait dengan HIV/AIDS, seperti Dinas Kesehatan (Dinkes), Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), LSM dan aktivis lebih mengutamakan sensasi daripada disseminasi informasi HIV/AIDS yang akurat.

Seperti yang dilakukan oleh Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Cianjur, Jabar, Neneng Efa Fatimah, ini. Dalam berita “168 Penderita HIV/AIDS Baru di Cianjur, 86 Diantaranya Gay” (netralnews.com, 30/1-2018) Neneng mengatakan bahwa ODHA yang berasal dari kaum gay berisiko tinggi menularkan HIV/AIDS dibandingkan WPS ataupun kategori risiko tertular lain. 

Pertama, cara menulis ODHA salah karena Odha  bukan akronim atau singkatan tapi kata yang merujuk pada Orang dengan HIV/AIDS sebagai padanan People Living whit HIV/AIDS (PLWHA).

Kedua, di judul disebutkan penderita HIV/AIDS. Orang-orang yang tertular HIV tidak otomatis menderita karena sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) tidak ada gejala dan keluhan kesehatan yang khas AIDS.

Ketiga, penggunaan kata WPS (wanita penjaja seks) rancu bin ngawur karena perempuan atau wanita yang jadi pekerja seks tidak pernah menjajakan barang dagangannya. Penggunaan kata ini merendahkan harkat dan martabat manusia (Baca juga: Pemakaian Kata dalam Materi KIE AIDS yang Merendahkan Harkat dan MartabatManusia). Terminologi yang tepat adalah pekerja seks komersial (PSK) yang mengacu ke commercial sex work (CSW).

Keempat, HIV pada gay adalah di terminal terakhir karena gay tidak mempunyai istri sebagai pasangan tetap sehingga gay tidak menularkan HIV ke luar komunitas mereka.

Kelima, PSK (dalam berita disebut WPS) lebih potensial menularkan HIV daripada gay karena setiap malam seorang PSK melayani hubungan seksual dengan 3-5 laki-laki. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki ini bisa saja sebagai seorang suami yang kelak menularkan HIV ke istrinya. Kalau istrinya tertular maka ada pula risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya.

Kian hari informasi HIV/AIDS kian rancu. Ini membingungkan masyarakat sehingga tidak terjadi pencerahan yang diharapkan bisa jadi pemicu perubahan perilaku.

Ada lagi pernyataan: Pihaknya (maksudnya Dinkes Cianjur-pen.) akan mencoba memvalidasi data serta mendorong pelaku seks menyimpang untuk melakukan tes, agar dapat diketahui jumlah pasti penderita HIV/AIDS, sehingga dapat dilakukan penanganan maksimal.

Ini bahasa moral. Kalau gay disebut ‘pelaku seks menyimpang’, bagaimana dengan laki-laki beristri yang berzina? Suami-suami pezina jelas melawan hukum dan merupakan penyimpangan dari asas pernikahan.

Dikatakan oleh Sekretaris Komisi Penanggulangan Aids Cianjur, Hilman, pihaknya bersama instansi terkait mengupayakan penanganan terhadap LSL yang telah terdata dengan melakukan tes kesehatan, guna memastikan LSL tersebut tidak terjangkit HIV/AIDS.

LSL adalah Lelaki Suka Seks Lelaki sebagai padanan Men Having Sex With Men (MSM) yaitu kalangan laki-laki gay.

Mengapa gay yang diutamakan ditangani? Laki-laki heteroseksual, sebagian suami, pelanggan PSK justru lebih penting ditangani karena kalau tertular HIV mereka potensial jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Yang perlu diingat risiko penularan HIV bukan karena orientasi seksual (gay atau LSL) dan sifat hubungan seksual (menyimpang, zina, melacur, seks pranikah, seks anal, dll.), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom).

Disebutkan “Berdasarkan laporan dari LSM dan pihak lainnya, jumlah gay atau laki-laki seks laki-laki di Cianjur terus bertambah ....”

Disebutkan lagi bahwa Koordinator Lapangan komunitas Lensa Cianjur, Tedi Rustandi,  mencatat per Januari pihaknya telah mengumpulkan data LSL baru.

Yang jadi pertanyaan mendasar adalah: Apakah LSM itu mendapat data dari sumber primer, sekunder atau katanya-katanya. Soalnya, gay tidak semudah itu menyebutkan identitas seksual dirinya.

Di bagian lain Neneng mengatakan: Kami akan mengerakan penyuluhan untuk mencegah penularan penyakit mematikan itu. Namun yang terpenting mencegah terjadinya perilaku seks menyimpang, melalui penguatan keluarga dan lingkungan yang agamis.

Penyebutan HIV/AIDS sebagai ‘penyakit mematikan’ salah besar karena tidak ada kasus kematian karena HIV atau AIDS. Kematian pada Odha di masa AIDS terjadi karena penyakit-penyakit lain, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.

Lagi pula seperti dijelaskan di atas risiko penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (menyimpang), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom). Ini fakta.

Dalam berita tidak ada informasi tentang waria. Apaka di Cianjur tidak ada waria yang melayani hubungan seksual dengan laki-laki heteroseksual?

Berita ini mengesankan persoalan HIV/AIDS ada pada gay, padahal yang potensial tertular HIV dan kemudian menyebarkan HIV adalah laki-laki heteroseksual, sebagian besar adalah suami. Dalam berita tidak ada penjelasan kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga dan bayi yang justru jadi persoalan besar saat ini.

Jika Dinkes Cianjur, KPA Cianjur dan LSM hanya menangani gay, maka penyebaran HIV/AIDS melalui laki-laki heteroseksual akan jadi ‘bom waktu’ yang kelak sampai pada ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokesprohttps://www.kompasiana.com/infokespro/5a7e1b1fbde57571a76ec984/di-cianjur-gay-lebih-berisiko-menularkan-hiv-daripada-psk] *