08 Februari 2018

Menggugat Peran Pers Nasional dalam Penanggulangan AIDS di Indonesia

Ilustrasi (Sumber: antiaids.org)


Oleh: Syaiful W HARAHAP


Dengan kasus HIV/AIDS mendekati angka 1 juta di awal tahun 1990-an Thailand berhasil memangkas jumlah insiden infeksi HIV baru sehingga kasus sekarang 450.000 dengan infeksi HIV baru 6.400/tahun. Yang mendapat pengobatan dengan obat antiretroviral (ARV) 69 persen.
                                       
Bandingkan dengan Indonesia dengan jumlah kasus kumulatif yang terdeteksi per 31 Maret 2017 sebanyak 330.152 dengan infeksi HIV baru 48.000/tahun dan kematian 48.000. Estimasi ahli-ahli epidemiologi menyebutkan kasus HIV/AIDS di Indonesia ada pada kisaran angka 620.000. Yang menerima pengobatan dengan obat ARV hanya 13 persen.

Peran Media Massa

Mengapa Thailand bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru?

Pemerintah Negeri Gajah Putih itu menjalankan 5 program penanggulangan yang realistis secara serentak dengan skala nasonal. Di uturan pertama adalah memanfaatkan media massa sebagai media pembalajaran masyarakat, pendidikan sebaya (peer educator), pendidikan HIV/AIDS  di sekolah, pendidikan HIV/AIDS di tempat kerja di sektor pemerintah dan swasta, pemberian keterampilan, promosi kondom, dan program kondom 100 persen di lingkungan industri seks (Integration of AIDS into National Development Planning, The Case of Thailand, Thamarak Karnpisit, UNAIDS, Desember 2000).

Celakanya, di Indonesia sebagian besar media massa juga media online menjadikan isu HIV/AIDS sebagai berita yang sensasional, terutama yang menyangkut aspek norma, moral dan agama. Tanggal 9 Februari diperingati sebagai ‘Hari Pers Nasional’ yang bisa dijadikan sebagai tolok ukur peran pers nasional dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Soalnya, sejak pemerintah mengakui kasus HIV/AIDS pertama pada April 1987 cara-cara pemberitaan sebagian besar media massa nasional hanya berkutat di seputar moral. Pengakuan kasus pertama itu pun dinilai banyak kalangan tidak objektif karena didorong oleh aspek moral yang menguatkan anggapan, ketika itu bahkan sampai sekarang, bahwa HIV/AIDS adalah penyakit homoseksual, penyakit orang bule, dll. [Baca juga: Menyoal (Kapan) ‘Kasus AIDS Pertama’ di Indonesia].

Lihat saja judul berita di Harian “RADAR BOGOR” (18/12-2017) ini: 1.330 Gay Berkeliaran di Bogor. Judul ini sensasional dan sama sekali tidak memberikan pencerahan kepada pembaca (masyarakat). Yang terjadi justru mendorong masyarakat melakukan stigma (cap buruk) dan diskriminasi terhadap gay.

Yang lebih konyol lagi jumlah 1.330 itu ternyata hasil penjumlahan gay dan waria. Padahal, gay bukan waria atau sebaliknya. Dalam kaitan ini wartawan dan redaktur media itu memakai ‘baju moral’ mereka dalam memahami orientasi seksual sehingga hasilnya hanya mitos (anggapan yang salah). Dalam konteks penanggulangan HIV/AIDS cara-cara itu jadi kontra produktif.

Judul lain: LGBT Gaya Hidup yang Potensial Menyebarkan Penyakit HIV/AIDS (tribunnews.com, 23/1-2018). Ini mendorong masyarakat benci terhadap kalangan LGBT, padahal fakta menunjukkan jumlah pengidap AIDS di Indonesia 67,8 persen ada pada kalangan heteroseksual. Bandingkan dengan homoseksual 4,23 persen dan biseksual 0,58 persen (Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 24 Mei 2017).

Lagi pula dalam konteks LGBT sendiri belum ada kasus penularan HIV dengan faktor risiko lesbian. Selain itu yang justru lebih potensial menyebarkan HIV adalah biseksual karena secara seksual tertarik dengan perempuan sekaligus dengan laki-laki juga (Baca juga: Perkosaan dalam Perkawinan dan Biseksual Jauh LebihSerius daripada Zina dan Homoseks).

Stigma

Pernyataan-pernyataan yang mengait-ngaitkan penularan HIV dengan LGBT akhirnya jadi ledakan kemarahan masyarakat bahkan sudah dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar LGBT dipidana. Sekarang isu itu bergulir di DPR terkait dengan revisi KUHP (Kita Undang-undang Hukum Pidana). Masyarakat digiring media massa dan media online, belakangan media sosial juga ikut-ikutan, untuk membenci LGBT. Padahal, sebagai orientasi seksual LGBT adalah di alam pikiran sehingga tidak bisa dipidana (Baca juga: Orientasi Seksual Ada di Alam Pikiran).

Hiruk-pikuk tentang LGBT yang jadi korban adalah kaum waria karena dalam konteks LGBT hanya transgender (waria) yang kasat mata, sedangkan lesbian, gay dan biseksual tidak bisa dikenali dari fisik mereka (Baca juga: LGBT, Hanya Waria yang Kasat Mata).

Stigma terhadap pengidap HIV/AIDS terus didorong melalui pernyataan-pernyataan yang tidak akurat. Seperti ini: Dokter Inong: Agar Tak Tertular HIV/AIDS, Jangan Berzina (hidayatullah.com, 14/1-2018). Padahal, risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, seks pranikah, selingkuh, melacur, seks anal, dll.), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.

Beban fisik dan psikologis Odha (Orang dengan HIV/AIDS) pun kian berat karena di sarana kesehatan sendiri terjadi perlakuan yang diskriminatif yang justru dilakukan oleh kalangan medis. Ini tidak masuk akal karena mereka tahu persis cara-cara penularan dan pencegahan HIV.

Berita-berita yang mengandung mitos tidak mencerahkan masyarakat karena cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang realistis tenggelam karena berita dibumbui dengan norma, moral dan agama. Penulis melakukan content analysis berita-berita di media massa nasional dari tahun 1987-2000. Hasilnya, banyak berita yang hanya berisi mitos sehingga menggelapkan fakta medis tentang HIV/AIDS (Pers Meliput AIDS, Syaiful W. Harahap, Penerbit Sinar Harapan/The Ford Foundation, Jakarta, 2000).

“2017, 5 Kasus HIV di Payakumbuh Berasal dari LSL.” Ini judul berita di harianhaluan.com (8/2-2018). Celakanya, dalam berita tidak dijelaskan siapa saja LSL itu sehingga membingungkan. Dalam berita LSL disebutkan Lelaki Seks dengan Lelaki yang akhirnya menggiring opini ke kalangan gay padahal di sana ada biseksual dan waria.

Penanggulangan di Hilir

Penanggulangan HIV/AIDS yang bergulir di hilir yaitu tes HIV terhadap ibu-ibu hamil dan orang-orang dengan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV. Ada suami ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS menolak tes HIV. Akibatnya, suami-suami itu jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penanggulangan dengan program tes HIV itu artinya ada pembiaran sehingga warga tertular HIV [Baca juga: Penanggulangan AIDS di Indonesia (Hanya) Dilakukan di Hilir dan ProgramPenanggulangan AIDS di Indonesia Mengekor ke Ekor Program Thailand].

Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu, al. menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksal tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK). Program yang dilakukan, seperti di Thailand dengan hasil yang memuaskan, adalah memaksa laki-laki selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Celakanya intervensi tidak bisa dilakukan karena praktek PSK tidak dilokalisir.

Yang tidak masuk akal penanggulangan didukung dengan peraturan daerah (Perda), tapi perda-perda itu justru hanya mencangkok ekor program Thailand dengan cara yang tidak komprehensif (Baca juga: Perda AIDS di Indonesia: Mengekor ke EkorProgram Penanggulangan AIDS Thailand). Paling tidak sudah ada 111 Perda AIDS di tingkat provinsi, kabupaten dan kota.

Program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK hanya bisa dijalankan dengan efektif kalau praktek PSK dilokalisir. Sedangkan di Indonesia praktek PSK terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat sehingga tidak bisa dilakukan intervensi.

Lagi pula di Thailand sanksi hukum bagi yang tidak menjalankan ‘wajib kondom 100 persen’ diterapkan terhadap germo, tapi di Indonesia yang dihukum justru PSK. Ini sama saja dengan ‘menggantang asap’ karena 1 PSK dihukum nun di luar sana ada puluhan bahkan ratusan PSK pengganti. Selain itu PSK tidak bisa menolak laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak mau memakai kondom karena dipaksa germo, tapi kalau yang kena sanksi germo tentulah germo akan berpihak pada PSK dalam menghadapi laki-laki yang tidak mau pakai kondom.

Tanpa program yang menukik ke akar persoalan, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang merupakan ‘bom waktu’ pada epidemi HIV yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokesprohttps://www.kompasiana.com/infokespro/5a7cc171dcad5b4b4a4ac7e4/menggugat-peran-pers-nasional-dalam-penanggulangan-aids-di-indonesia] *

07 Februari 2018

Berita tentang 22 Ibu Hamil di Babel Positif HIV/AIDS Tidak Mencerahkan Pembaca

Ilustrasi (Sumber: mymedicalmantra.com)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

Lagi-lagi berita HIV/AIDS ini sama sekali tidak mencerahkan pembaca (baca: masyarakat) karena tidak membawa data yaitu 22 ibu hamil terdeteksi HIV-positif ke realitas sosial. Dengan judul “22 Ibu Hamil di Babel Positif Terjangkit HIV/AIDS” (bangka.tribunnews.com, 6/2-2018 yang bersumber dari bangkapos.com) sama sekali tidak ada informasi yang bermanfaat dalam berita ini.

Wartawan yang menulis berita itu lebih tertarik mengurai angka-angka terkait dengan kasus HIV/AIDS. Alm Gus Dur pernah mengatakan bahwa angka (statistik) ibarat bra (BH). Yang jauh lebih menarik bukan bra, tapi yang ada di balik bra. Artinya, bukan angka-angka kasus yang layak dikembangkan, tapi fakta di balik angka-angka tsb.

Judul berita itu pun tidak berbicara banyak. Tapi, kalau disebut “22 Suami di Babel Tularkan HIV ke Istri” memberikan gambaran ril ada 22 laki-laki dewasa, dalam hal ini suami, di Babel yang mengidap HIV/AIDS. Jika ditarik ke epidemi HIV/AIDS 22 laki-laki itu jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Yang sudah terbukti ke istri mereka.

Andaikan ada di antara 22 laki-laki pengidap HIV/AIDS yang mempunyai istri lebih dari 1, tentulah ibu rumah tangga yang berisiko tertular HIV lebih banyak lagi. Jumlah yang berisiko tertular HIV akan bertambah kalau di antara 22 laki-laki itu ada biseksual (laki-laki yang tertarik secara seksual kepada perempuan dan kepada laki-laki), pelanggan pekerja seks komersial (PSK) dan pelanggan waria.

Realitas sosial inilah yang perlu diuraikan dalam berita agar masyarakat memehami penyebaran HIV. Dengan 22 ibu hamil mengidap HIV/AIDS berarti ada 22 bayi yang berisiko lahir dengan HIV/AIDS jika tidak segera ditangani oleh dokter.

Memang, baik sekali anjuran agar ibu hamil menjalani tes HIV. Tapi, jauh lebih arif dan baik lagi kalau yang tes duluan adalah suami jika hasil konseling pasangan menunjukkan perilaku seksual suami berisiko. Artinya, suami sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.

Pengalaman di Klinik VCT RSUS dr Adjidarmo, Rangkasbitung, Lebak, Banten, menunjukkan jika ada ibu hamil terdeteksi mengidap HIV/AIDS ketika suam diberitahu maka suami pun lari dengan meninggalkan istri serta anak-anaknya. Itu artinya suami-suami yang kabur itu jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Nah, kita ke Babel. Apakah suami dari 22 ibu hamil itu sudah menjalani tes HIV?

Kalau sudah tidak ada masalah. Tapi, kalau belum atau tidak mau tes HIV baru masalah besar karena suami-suami itu jadi mata rantai penyebaran HIV di Babel.

Disebutkan bahwa Dinas Kesehatan Babel melakukan gerakan mobile VCT (Voluntary Counselling and Testing) yaitu tes HIV dengan sukarela setelah menerima konseling. Tapi, perlu diingat bahwa tes HIV adalah langkah di hilir. Artinya, warga sudah tertular HIV. Yang diperlukan adalah pencegahan di hulu agar tidak ada lagi warga Babel yang tertular HIV. Sayang, tidak ada penjelasan dalam berita apa langkah Pemprov Babel untuk mencegah infeksi HIV baru di hulu.

Di bagian lain wartawan mewawancarai Kepala Kementrian Agama Provinsi Bangka Belitung,  Muhammad Ridwan. Dalam kaidah jurnalistik narasumber ini tidak kompeten karena HIV/AIDS bukan bidang keahlian narasumber tsb. Ini disebut salah nalar.

Terbukti penjelasan Muhammad tidak akurat. Dia mengatakan bahwa HIV menyebar melalui hubungan seks bebas apalagi di kalangan Lesbian, Gay, Bisexsual dan Transgenser (LGBT).

Judul berita ini saja jelas menyebutkan ibu hamil tentulah ada suaminya yaitu laki-laki heteroseksual. Ada juga kemungkinan laki-laki biseksual. Tapi, gay jelas tidak menyebarkan HIV ke masyarakat umum di luar komunitas gay. Sedangkan lesbian belum ada laporan kasus penularan HIV melalui aktivitas seksual lesbian.

Sebaliknya pada transgender (waria) pelanggan mereka justru laki-laki heterosekual yang mempunyai istri. Sebuah studi di Surabaya menunjukkan suami-suami yang melakukan hubungan seksual dengan waria justru ada pada posisi sebagai ‘perempuan’. Itu artinya suami-suami itu dianal (di kalangan waria disebut ditempong) oleh waria sehingga risiko tertular HIV dan penyakit-penyakit menular seksual, seperti sifilis, kencing nanah, dll. lebih besar.

Risiko penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas, zina, melacur, dll.), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.

Tanpa penanggulangan yang realistis, penyebaran HIV/AIDS di masyarakat akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *

05 Februari 2018

5 PSK di Tretes Idap HIV/AIDS, Pelanggan Berisiko Tertular HIV

Ilustrasi: Salah satu sudut Puncak, Tretes, Jawa Timur (Sumber: wartaonline.co.id)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

Informasi tentang PSK yang idap AIDS itu sangat baik untuk diberitakan karena memenuhi unsur layak berita yang kuat dan menyentuh kehidupan masyarakat. Sayang, wartawan yang menulis infomasi itu dalam “Lima PSK di Puncak Tretes Kab.Pasuruan Positif Menderita HIV/AIDS” (harianbhirawa.com, 1 Februari 2018) sama sekali tidak mengolah informasi tsb. sebagai berita yang bisa mencerdasarkan masyarakat.

Wartawan hanya berkutat di seputar aksi penangkapan pekerja seks komersial (PSK) melalui razia yang dilakukan oleh tim gabungan yang terdiri atas petugas Satpol PP Kab Pasuruan, polisi dan TNI. Padahal, informasi itu sangat berguna bagi masyarakat, khususnya laki-laki ‘hidung belang’, yang pernah atau sering ngeseks di Tretes.

Yang tidak masuk akal lagi wartawan memilih menulis inisial nama 16 PSK yang terjaring razia. Tidak dijelaskan apakah inisial itu nama di KTP atau nama sebagai PSK. Soalnya, PSK biasanya tidak memakai nama asli sebagai nama untuk kerja sebagai PSK. Kalau inisial itu berdasarkan nama panggilan sebagai PSK, maka ketika mereka pindah tempat ‘praktek’ nama pun akan berganti. Maka, tidak ada manfaat menulis nama inisial PSK itu dalam berita karena tidak bisa jadi patokan.

Selain itu tes HIV yang dilakukan saat razia itu bersifat survailans tes HIV yang tidak akurat karena tidak dikonfirmas dengan tes lain. Sesuai dengan standar tes HIV setiap tes HIV apa pun hasilnya harus dikonfirmasi dengan tes lain.

Persoalan lain yang luput dari perhatian tim gabungan dan wartawan adalah bisa jadi ada di antara 16 PSK ketika menjalani tes HIV sedang dalam masa jendela yaitu tertular di bawah 3 bulan. Itu artinya hasil tes bisa negatif palsu (HIV sudah ada di darah tapi reagent tidak bisa mendeteksi antibody HIV karena belum terbentuk) atau positif palsu (HIV tidak ada di darah tapi reagent mendeteksi virus lain sehingga hasil tes reaktif).

Terlepas dari masalah-masalah itu yang jelas ada 5 laki-laki pengidap HIV yang menularkan HIV ke 5 PSK. Dalam kehidupan sehari-hari 5 laki-laki pengidap HIV itu bisa sebagai suami, pacar, selingkuhan, lajang, dll. 5 laki-laki ini jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Yang beristri menularkan HIV ke istri (horizontal) atau pasangan seks lain bisa perempuan ada pula kemungkinan laki-laki dan waria. Kalau istrinya tertular HIV ada pula risiko penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya (vertikal) terutama ketika persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).



Di sisi lain 5 PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tsb. sudah meladeni ratusan bahkan ribuan laki-laki yang tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual. Rata-rata seorang PSK melayani 3-5 laki-laki setiap malam. Ketika mereka terdeteksi mengidap HIV/AIDS pada razia tim gabungan itu berarti mereka sudah tertular lebih dari 3 bulan.

Dengan kondisi itu jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS dari 5 PSK itu adalah: 5 PSK x 3-5 laki-laki x 20 hari/bulan x 3 bulan = 900 – 1.500.

Dalam kehidupan sehari-hari 900 – 1.500 laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan 5 PSK pengidap HIV/AIDS itu bisa sebagai suami, pacar, selingkuhan, lajang, dll. 5 laki-laki ini jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Yang beristri menularkan HIV ke istri (horizontal) atau pasangan seks lain bisa perempuan ada pula kemungkinan dengan laki-laki (LSL-Lelaki Suka Seks Lelaki) dan waria. Kalau istrinya tertular HIV ada pula risiko penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya (vertikal) terutama ketika persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Thailand yang di awal tahun 1990-an mendeteksi hampir 1 juta warga yang mengidap HIV/AIDS bisa menurunkan kasus baru hanya 6.400/tahun. Bandingkan dengan Indonesia yang setiap tahun bertambah 48.000 kasus HIV/AIDS baru. Keberhasilan Thailand berkat dukungan media massa yang menyebarkan informasi HIV/AIDS yang akurat sehingga warga paham cara-cara penularan dan pencegahan yang realistis.

Sedangkan di Indonesia hampir 90 persen berita mengedepankan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS karena informasi dibalut dengan opini yang berpijak pada moral. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis.

Berita “Lima PSK di Puncak Tretes Kab.Pasuruan Positif Menderita HIV/AIDS” ini contohnya. Sama sekali tidak memberikan informasi yang bisa menggugah kepedulian masyarakat agar melindungi diri dari risiko tertular HIV/AIDS.

Salah satu informasi yang penting adalah anjuran kepada laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK di Tretes segera menjalani tes HIV agar bisa diketahui apakah sudah tertular HIV atau belum. Langkah selanjutnya akan diberikan oleh tim medis berdasarkan hasil tes HIV. * [kompasiana.com/infokespro] *