24 Januari 2018

Lagi-lagi Soal LGBT, Hanya Soal Kekhawatiran Akan Terjadi Perkawinan Sejenis

Ilustrasi (Sumber: kitodiaries.com)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

Hiruk-pikuk pembicaraan, talkshow di televisi, wawancara di radio, perdebatan, diskusi, dll. tentang LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) melebar ke sana ke mari. Yang muncul kemudian adalah bentuk-bentuk penolakan yang mengarah ke fobia berupa rasa takut berlebihan.

Padahal, persoalan ‘kan hanya kekhawatiran LGBT jadi sah melalui organisasi sehingga punya kekuatan hukum untuk menggolkan kepeintingan mereka, al. perkawinan sejenis. Soalnya, selain di Eropa dan Amerika di Asia pun sudah ada negara yang melegalkan perkawinan sejenis.

Ada usulan agar hubungan seksual yang dilakukan LGBT masuk ranah pidana. Cuma, ada soal di sini. Biseksual juga melakukan hubungan seks vaginal dengan lawan jenis. Sedangkan lesbian tidak melakukan seks penetrasi sehingga tidak memenuhi unsur kejahatan seksual.

Waria pun sebenarnya menyalurkan dorongan seksual dengan lawan jenis, tapi yang melakukan seks anal dan seks oral kepada mereka justru laki-laki heteroseksual. Sebuah studi di Surbaya di awal tahun 1990-an menunjukkan laki-laki beristri justru jadi ‘perempuan’ ketika melakukan seks anal dengan waria. Dalam bahasa waria laki-laki beristri itu ditempong (dianal) dan waria sebagai penempong (penganal).

Salah satu alasan suami-suami yang melakukan seks anal dengan waria adalah mereka tidak mengingkari cinta karena tidak memakai penisnya ketika berzina (Baca juga: Lebih Tuntas denganWaria).

LGBT adalah orientasi seksual yaitu kecenderungan seseorang tertarik secara seksual. Ada heteroseksual (laki-laki tertarik ke perempuan dan sebaliknya), homoseksual (laki-laki tertari kepada laki-laki disebut gay dan perempuan tertarik kepada perempuan disebut lesbian), serta biseksual (laki-laki tertarik ke perempuan dan laki-laki dan sebaliknya).

Orientasi seksual ada di alam pikiran. Adalah naif memidanakan alam pikiran karena tidak kasat mata. Kalau ada wacana ‘basmi’ LGBT, maka korban hanya yang kasat mata yaitu waria (transgender). Apa salah waria sebagai manusia? LGBT bisa dijerat dengan hukum jika ketertarikan seksual mereka lakukan dengan sesama jenis (Baca juga: Orientasi Seksual Ada di AlamPikiran).

Keribuatan yang jadi kegaduhan tentang LGBT terjadi karena tidak jelas apa yang ditakutkan. Tapi, belakangan mulai ada pemikiran yang jernih sehingga jelas tujuannya yaitu melarang perkawinan sejenis dengan implikasi hubungan seksual sesama jenis jadi perbuatan yang melawan hukum. Ini baru masuk akal.

Dalam sebuah tulisan di detiknews (Kolom: Kriminalisasi LGBT, 24/1-2018) disebutkan: “Alasan lain yaitu LGBT menjadi salah satu kelompok yang rentan terkena HIV/AIDS.” Ini jelas tidak akurat karena risiko penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena orientasi seksual dan sifat hubungan seksual (zina, di luar nikah, pra nikah, melacur, selingkuh, dll.), tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom setiap kali hubungan seksual.

Hubungan sesama jenis merupakan perbuatan yang melawan hukum karena ada larangan perkawinan sejenis. Hubungan seksual, seks vaginal, oral dan anal ‘kan ada penetrasi. Bagaimana dengan hubungan seksual pada lesbian yang tidak ada penetrasi?

Yang kacau lagi adalah ketidakpahaman banyak kalangan, bahkan polisi dan aktivis juga wartawan dan redaktur tentang perbedaan gay dan waria serta seks anal dan sodomi.

Harian "Radar Bogor" (18/12-2017)

 Sebuah koran di Kota Bogor, Jabar, misalnya, menambahkan jumlah LSL (Laki-laki Suka Seks Laki-laki) dengan waria jadi jumlah gay. Ini jelas menyesatkan. LSL sendiri tidak semua gay karena di sana ada biseksual. Ada kesan gay adalah pelalu seks anal sehingga pelaku sodomi pun disebut gay.

Padahal, sodomi adalah istilah yang terkait dengan hukum yang mengacu ke hubungan seksual yang dilakukan ke bagian-bagian tubuh yang bukan alat reproduksi, seperti anus, mulut, dll. 

Sepeti pernyataan Kapolresta Tangerang Komisaris Besar Sabilul Alif ini:”Anak-anak itu kemudian meminta ajian semar mesem kepada tersangka. Atas permintaan itu, tersangka bersedia memberikan ajian semar mesem asalkan ada mahar (semacam kompensasi) uang. Namun, untuk mahar uang, anak-anak mengaku tidak memilikinya. Tersangka kemudian mengatakan, mahar uang bisa diganti asalkan anak-anak bersedia disodomi.” (Kekerasan Seksual, Polresta Tangerang Ungkap Kasus Paedofilia dengan Korban 25 Anak, Harian “KOMPAS”, 4/1-2018).

Dari kasus itu tersangka yaitu WS alias Babeh adalah pelaku paedofilia yaitu laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual dengan anak-anak umur 7-12 tahun tanpa kekerasan, sehingga penyebutan ‘ .... bersedia disosomi’ .... bertolak belakang dengan fakta. Kalau sodomi dilakukan dengan paksaan atau dalam bentuk pelacuran anak, sedangkan paedofilia melakukan seks anal atau seks vaginal dengan cara-cara yang bukan kekerasan, memberikan hadiah, memberikan uang, menjanjikan sesuatu, menjadikan sebagai anak angkat, anak asuh bahkan sebagai pasangan hidup.

Yang jadi persoalan bukan hanya soal seks anal dalam hubungan sejenis, tapi tidak sedikit pacar dan istri yang dipaksa melakukan seks anal dan seks oral bahkan posisi “69” (Baca juga: Perkosaan dalam Perkawinan danBiseksual Jauh Lebih Serius daripada Zina dan Homoseks). Ada yang menyebutkan ini ranah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tapi tidak pas karena di sini ada relasi kekuasaan yang tidak seimbang dalam ikatan pernikahan. Istri berada pada posisi powerless dan voiceless sedangkan suami pegang kendali dengan powerfull dan voicefull (Baca juga: "NakedPower" Alat untuk Lakukan Pelecehan dan Kekerasan Seksual terhadapPerempuan).

Ketika hiruk-pikuk soal LGBT, yang pada intinya tengan ‘seks sejenis’, ada kesan seks oral (cunnilingus lida ke vagina dan fellatio mulut ke penis), seks anal dan posisi “69” pada pasangan suami-istri tidak jadi masalah. Masalahnya adalah ada istri yang tidak siap melakukan posisi-posisi itu dengan hati terbuka. Jangankan menikmati mendengar istilah-istilah itu saja banyak perempuan yang mual-mual.

Jika bicara dari aspek hukum positif, maka seks oral dan seks anal serta posisi “69” adalah perbuatan yang melawan hukum, tapi celakanya hanya ditujukan kepada LGBT. Sedangkan istri-istri yang dipaksa suami melakukan seks oral, seks anal dan posisi “69” hanya bisa pasrah melakoni sesuatu yang membuat mereka mual. * [kompasiana.com/infokeespro[ *

22 Januari 2018

Catatan Kecil untuk Raperda AIDS Kota Tangerang Selatan

Ilustrasi (Sumber: hopkinsmedicine.org)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

Dengan menyebut (rancangan) peraturan daerah (Raperda) pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS tentulah ada pasal yang aplikatif secara konkret untuk mencegah dan menanggulangi epidemi HIV/AIDS.

Sayang, yang terjadi pada 110 Perda AIDS pada tingkat provinsi, kabuparen dan kota di Indonesia justru sebaliknya. Judul perda sama sekali tidak tercermin secara konkret dalam pasal-pasal di perda (Baca juga: Perda AIDS di Indonesia:Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand). Pemprov Banten sendiri sudah menelurkan Perda AIDS, tapi sama saja dengan perda-perda lain hanya sebatas peraturan pada tataran moral (Baca juga: Perda AIDS Prov Banten:Menanggulangi AIDS dengan Pasal-pasal Normatif).

Pintu Masuk AIDS

Perda AIDS Provinsi Riau, misalnya, menyebutkan mencegah penularan HIV/AIDS adalah dengan ‘meningkatkan iman dan taqwa’.

Yang jadi masalah adalah: (a) apa alat ukur dan takaran iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV/AIDS, dan (b) siapa yang berhak mengukur dan menakar iman dan taqwa seseorang agar masuk ketegori tidak tertular HIV (Baca juga: MenyibakPeran Perda AIDS Riau dalam Penanggulangan AIDS Riau).

Begitu pula dengan Raperda AIDS Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Prov Banten, yang juga tidak mempunyai pasal yang aplikatif dalam mencegah penularan HIV dan menanggulangi epidemi HIV/AIDS (Baca juga: Raperda AIDS Tangsel, Apakah KelakAda Pasal-pasal Konkret Pencegahan HIV/AIDS?).

Dari aspek epidemi HIV/AIDS ada belasan ‘pintu masuk’ HIV ke warga Tangsel (Baca juga: 17 'Pintu Masuk' HIV/AIDS Luput dari Raperda HIV/AIDSProv Lampung). Dari belasan ‘pintu masuk’ itu yang potensial al. melalui:

(1). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan perempuan) penduduk Tangsel, asli atau pendatang, yang tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Kota Tangsel, Prov Banten, di luar wilayah Provinsi Banten atau di luar negeri. Jika laki-laki ini beristri, maka dia akan menularkan HIV ke istrinya (horizontal). Kalau istrinya tertular HIV kelak ada pula risiko penularan ke bayi yang dikandung istrinya (vertikal). Bisa juga terjadi laki-laki ini punya istri lebih dari satu, ada pula pasangan seks lain, bisa juga dengan pekerja seks komersial (PSK).

(2). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan laki-laki) penduduk Tangsel, asli atau pendatang, yang tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti di wilayah Kota Tangsel, Prov Banten, di luar wilayah Provinsi Banten atau di luar negeri. Jika perempuan ini bersuami, maka dia akan menularkan HIV ke suaminya. Ada pula risiko penularan HIV ke bayi yang dikandungnya. Bisa juga terjadi laki-laki ini punya istri lebih dari satu, ada pula pasangan seks lain, bisa juga dengan PSK.

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik kepada perempuan) penduduk Kota Tangel, asli atau pendatang, yang tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung dan PSK tidak langsung, waria, atau perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Kota Tangsel, Provinsi Banten, di luar wilayah Provinsi Banten atau di luar negeri. Jika laki-laki ini beristri, maka dia akan menularkan HIV ke istrinya. Kalau istrinya tertular HIV kelak ada pula risiko penularan ke bayi yang dikandung istrinya. Bisa juga terjadi laki-laki ini punya istri lebih dari satu, ada pula pasangan seks lain, bisa juga dengan PSK.

Tipe PSK

Yang perlu diketahui adalah PSK dikenal dua tipe, yaitu:

(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(b). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

(4). Laki-laki dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan perempuan dan laki-laki) penduduk Tangsel, asli atau pendatang, yang tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki dan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Kota Tangsel, Prov Banten, di luar wilayah Provinsi Banten atau di luar negeri. Jika laki-laki ini beristri, maka dia akan menularkan HIV ke istrinya (horizontal). Kalau istrinya tertular HIV kelak ada pula risiko penularan ke bayi yang dikandung istrinya. Bisa juga terjadi laki-laki ini punya istri lebih dari satu, ada pula pasangan seks lain, bisa juga dengan pekerja seks komersial (PSK).

(5). Laki-laki dan perempuan yang tertular HIV melalui penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik yang dipakai secara bersama-sama dengan bergiliran di wilayah Kota Tangsel, Prov Banten, di luar wilayah Provinsi Banten atau di luar negeri. Jika punya pasangan (istri atau suami), maka dia akan menularkan HIV ke pasangannya. Kalau istrinya tertular HIV kelak ada pula risiko penularan ke bayi yang dikandung istrinya. Bisa juga terjadi laki-laki ini punya istri lebih dari satu, ada pula pasangan seks lain, bisa juga dengan pekerja seks komersial (PSK).

Lalu, dalam Raperda AIDS Tangsel itu apa langkah-langkan konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS, al. melalui lima ‘pintu masuk’ di atas?

Pencegahan diatur di Pasal 16 ayat (2) Pencegahan penularan melalui hubungan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui upaya:

a. tidak melakukan hubungan seksual bagi orang yang belum menikah;

b. setia kepada satu pasangan seksual;

Langkah huruf a sama sekali tidak bersinggungan langsung dengan salah satu atau kelima ‘pintu masuk’ HIV/AIDS di atas. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (belum menikah, di luar nikah, zina, melacur, selingkuh, dll.), tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak pakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.

Sedangkan langkah pada huruf b juga tidak tepat karena bisa saja setia pada kurun waktu tertentu kemudian pisah, selanjutnya setia dengan pasangan lain, pisah lagi, dst. Artinya, kesetiaan terjadi di antara orang-orang yang sering berganti-ganti pasangan di dalam nikah.

Transaksi Seks

Kasus HIV/AIDS pada keluarga guru agama di Kota Medan, Sumut, awal tahun 2000-an ini menunjukkan kesetiaan yang juga rentan. Ketika anak guru agama itu lahir terdeteksi mengidap HIV/AIDS yang tertular dari ibunya. Guru agama tadi tes HIV, hasilnya positif. Istri pertamanya juga positif HIV dan anak yang dilahirkan istri pertama yang berjarak dekat dengan kelahiran anak dari istri kedua juga positif HIV. Sedangkan anak pertama dari istri pertama HIV-negatif yang lahir sebelum guru agama itu menikahi istri kedua. Nah, guru agama ini tertular dari istri kedua, yang kemudian guru agama ini menularkan HIV ke istri pertama. Istri kedua guru agama ini tertular HIV dari suaminya.

Pasal 16 ayat (1) disebutkan: Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a (pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual) merupakan upaya untuk mencegah seseorang yang terinfeksi HIV dan/atau penyakit IMS menularkan melalui hubungan seksual. Ayat (2) menyebutkan:  Pencegahan penularan melalui hubungan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui upaya: f. peningkatan penggunaan kondom 100% (seratus persen) pada setiap hubungan seks berisiko

Pasal itu benar-benar lelucon karena program tsb. hanya bisa dilakukan terhadap PSK langsung di lokalisasi pelacuran. Di Banten sendiri penulis selalu diingatkan agar hati-hati bicara jika menyebut kondom. Sejak reformasi ada euforia menutup lokalisasi pelacuran yang akhirnya menyebarkan transaksi seks ke berbagai penjuru dan berbagai macam tempat serta sembarang waktu.

Tak satu pun pasal yang menukik langsing ke empat ‘pintu masuk’ HIV/AIDS di atas. Hanya pintu masuk nomor 5 yang diatur dalam Raperda AIDS Tangsel yaitu di Pasal 16. Itu artinya penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat di Kota Tangerang Selatan akan terus terjadi melalui 4 pintu sebagai ‘bon waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *