20 Januari 2018

Raperda AIDS Tangsel, Apakah Kelak Ada Pasal-pasal Konkret Pencegahan HIV/AIDS?

Ilustrasi (Sumber: impatientoptimists.org)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

“Acquired Immuno Deficieny Syndrome (AIDS), saat ini menjadi momok yang paling menakutkan masyarakat di berbagai penjuru dunia. Penyakit yang menyerang sistim kekebalan tubuh manusia ini, diketahui hingga kini belum ditemukan penawarnya.” Ini lead pada berita “Perda Penanggulangan HIV-AIDS untuk Jaminan Hak Konstitusional Masyarakat” (tangerangonline.id, 16/1-2018).

Lead berita ini menunjukkan tingkat pengetahuan wartawan atau redaktur terkait dengan HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Pertama, kalau pun disebut jadi momok bukan AIDS tapi HIV karena HIV adalah virus yang menular melalui cara-cara yang sangat khas, seperti hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom dengan seseorang yang mengidap HIV/AIDS.

Kedua, AIDS adalah kondisi seseorang yang tertular HIV setelah 5-15 tahun kemudian yang ditandai dengan berbagai penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.

Ketiga, AIDS bukan penyakit atau virus sehingga tidak bisa menyerang sistem kekebalan manusia. Yang merusak sistem kekebalan manusia adalah HIV tapi bukan menyerang. Sebagai retrovirus HIV menggandakan diri pada sel-sel darah putih manusia. Sel-sel darah putih, yang juga disebut sistem imun manusia, yang dijadikan HIV sebagai ‘pabrik’ rusak. Virus-virus baru, jumlahnya mancapi miliran copy per hari, juga mengandakan diri lagi dengan memakai sel darah putih sebagai ‘pabrik’. Begitu seteresnya sampai pada satu masa, disebut masa AIDS, dengan kondis sistem imnu manusia jadi sangat rendah.

Keempat, ada obat HIV/AIDS yaitu obat antiretroviral (ARV) yang menurunkan penggandaan HIV di darah. Obat ARV bukan menyembuhkan. Penyakit lain, seperti darah tinggi dan diabetes juga belum ada obat yang menyembukan, tapi ada obat untuk mengatasi penyakit ini.

Kelima, vaksin HIV juga belum ditemukan. Kalau kelak vaksin HIV ditemukan, maka banyak orang yang perilakunya seperti binatang karena tidak takut lagi tertular HIV (Baca juga: AIDS: Obat dan Vaksin Akan Membuat (Perilaku) sebagian Orang SepertiBinatang).

Selain itu harapan untuk vaksin juga paradoks karena kondom yang juga mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual ditolak banyak kalangan (Baca juga: Ironis: Kondom Ditolak, Vaksin AIDS Ditunggu-tunggu).

Dalam berita disebutkan Anggota Komisi ll DPRD Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Shinta W Chairuddin, mengatakan bahwa masyarakat harus mengetahui dan mengenali tanda-tanda penularan penyakit mematikan tersebut agar terhindar AIDS.

Bukan tanda-tanda tapi cara-cara penularan. Masyarakat termakan mitos (anggapan yang salah) karena informasi tentang HIV/AIDS selalu bibalut dengan moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS hilang. Misalnya, disebutkan bahwa HIV/AIDS merupakan penyakit pekerja seks komersial (PSK), laki-laki gay, pelaku seks menyimpang, dll.

Padahal, penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, zina, melacur, seks anal, dll.), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual).

Ada juga pernyataan ‘penyakit mematikan’. Ini salah karena belum ada kasus kematian pengidap HIV/AIDS karena HIV atau AIDS. Kematian pengidap HIV/AIDS terjadi di masa AIDS karena penyakit infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.

Disebut juga ‘agar terhindar AIDS’. AIDS tidak menular karena bukan penyakit dan tidak pula virus.

Disebutkan: “ .... penularan dan penyebaran HIV/AIDS sangat rentan dan berisiko bagi sejumlah kelompok seperti LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender), pemakai Narkoba, dan penjaja seks.” Ini pernyataan Anggota Komisi ll DPRD Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Shinta W Chairuddin.

Kerentanan dan risiko tertular HIV bukan karena orientasi seksual dan kelompok, dalam hal ini LGBT, tapi karena perilaku seksual orang per orang. Seorang heteroseksual bisa rentan dan berisiko tinggi tertular HIV kalau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti PSK.

Fakta menunjukkan kasus HIV/AIDS terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Itu artinya suami mereka melakukan perilaku seksual yang berisiko. Jika dikaitkan dengan rencana Pemkot Tangel membuat peraturan daerah (Perda) tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS: Bagaimana dengan istri yang tertular HIV dari suami? Apakah ada sanksi hukum bagi suami?

Soalnya, Shinta berharap program-program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS ke depan dapat mempertimbangkan aspek hukum dan hak asasi manusia dengan tetap mengedepankan pemberdayaan, kemitraan, dan kesetaraan.

Yang terjadi sekarang adalah ibu-ibu hamil dianjurkan tes HIV, sementara suami mereka ada yang menolak tes HIV. Itu artinya suami ibu-ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.

Risiko penularan HIV pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) hanya terjadi jika narkoba dipakai dengan cara menyuntik dan alat suntik dipakai secara bersama-sama dengan bergiliran.

Pemakaian kata ‘penjaja seks’ tidak tepat karena PSK tidak menjajakan, maaf, vaginanya. Yang mencari PSK untuk berzina justru laki-laki, bahkan ada yang beristri. Lagi pula pemakain terminologi itu merendahkan harkat dan martabat manusia (Baca juga: Pemakaian Kata dalam Materi KIE AIDS yang MerendahkanHarkat dan Martabat Manusia).

Provinsi Banten sendiri sudah punya Perda AIDS yang diikuti oleh Kab Tangerang. Tapi, perda-perda itu tidak jalan karena pasal-pasal penanggulangan tidak menukik ke akar masalah yaitu cara-cara yang realistis dalam mencegah penularan HIV (Baca juga: Perda AIDS Prov Banten: Menanggulangi AIDS denganPasal-pasal Normatif).

Saat ini sudah ada 110 perda AIDS mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonsia, tapi semuanya hanya pada ranah moral yang tida bisa diaplikasikan sebagai bagian yang ril dari pencegahan HIV/AIDS di masyarakat. Celakanya, perda-perda itu hanya copy-paste sehingga nasib semua perda sama, termasuk kelak Perda AIDS Tangsel. * [kompasiana.com/infokespro] *

16 Januari 2018

Di Kalimantan Utara (Kaltara) 12 Suami Tularkan HIV ke Istrinya

Ilustasi (Sumber: thebody.com) 

Oleh: Syaiful W HARAHAP

Mirisnya, dari 173 kasus itu, 12 di antaranya yang positif HIV merupakan ibu hamil.” Pernyataan ini ada alam berita “12 Ibu Hamil Positif HIV” (kaltara.prokal.co, 12/1-2018). Data menunjukkan di Kaltara sepanjang tahun 2017 terdeteksi 173 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 108 HIV dan 65 AIDS. Dari 173 kasus itu ada 12 ibu hamil.

Pernyataan di atas terjadi karena wartawan atau redaktur memakai kacamata kuda sehingga hanya melihat dengan angle perempuan bukan perspektif epidemi HIV/AIDS sebagai fakta medis. Kalau saja wartawan atau redaktur pakai perspektif, maka judul atau pernyataan yang faktual adalah 12 suami tularkan HIV ke istrinya.

Soalnya, yang miris bukan 12 itu hamil terdeteksi sudah tertular HIV, tapi ada 12 suami yang menularkan HIV ke istrinya. Suami-suami itu tertular HIV akibat ulah mereka yaitu perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV. Salah satu kemungkinan mereka tertular melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan kondisi suami-suami itu tidak memakai kondom dengan:

(a) perempuan yang berganti-ganti di Kaltara, di luar Kaltara atau di luar negeri, dan

(b) perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

PSK sendiri dikenal ada dua tipe yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

Pemprov Kaltara boleh-boleh saja menepuk dada sambil mengatakan: Di wilayah kami tidak ada pelacuran!

Sedara de jure itu benar karena sejak reformasi ada euforia menutup tempat-tempat pelacuran yang sebelumnya dijalankan sebagai tempat rehabilitasi dan resosialisasi PSK. Tapi, secara de facto, apakah Pemprov Kaltara bisa menjamin di wilayahnya sama sekali tidak ada transaksi seks dalam bentuk zina atau pelacuran?

Tentu saja tidak bisa.

Selain itu, apakah Pemprov Kaltara bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa warga Kaltara yang melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV di luar Kaltara atau di luar negeri?

Ini pun pastilah tidak bisa.

Maka, ada laki-laki dewasa warga Kaltara yang berisiko tertular HIV. Yang tertular HIV akan menularkan HIV ke istri atau pasangan seksual lain. Itu artinya penyebaran HIV secara horizontal terus terjadi di Kaltara.
Lalu, apa yang dilakukan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Kaltara dalam upaya menanggulangi penyebaran HIV/AIDS?

Yang dijalankan al. penjaringan ke kelompok berisiko. Selain itu berdasarkan amanat Perda No 7/2017 tentang Pencegahan HIV/AIDS ada mobile vct itu untuk melakukan pemeriksaan secara berkala terhadap kelompok berisiko pekerja perusahaan, serta tempat hiburan malam.

Langkah-langkah di atas adalah penanggulangan di hilir yaitu menjalankan tes HIV kepada warga yang sudah tertular HIV. Ini sama saja dengan membiarkan warga tertular HIV (di hulu).

Dalam beita tidak ada penjelasan apakah suami-suami ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu menjalani tes HIV. Kalau suami-suami itu tidak menjalani tes HIV, itu artinya 12 laki-laki itu jadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, di masyarakat.

Maka, yang diperlukan adalah langkah konkret di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, yaitu melakukan intervensi yang mewajibkan laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Intervensi hanya bisa dilakukan jika praktek PSK, dalam hal ini PSK langsung, dilokalisir.

Karena praktek PSK langsung yang tidak dilokalisir maka intervensi tidak bisa dijalankan, sedangkan intervensi untuk PSK tidak langsung jelas tidak bisa dilakukan karena mereka tidak kasat mata.

Karena tidak ada langkah konkret di hulu, maka penyebaran HIV/AIDS di masyarakat Kaltara terus terjadi yang merupakan ‘bom waktu’ yang kelak akan jadi ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *


15 Januari 2018

AIDS di Brebes Bukan Penderita Baru, tapi Kasus yang Baru Terdeteksi

Ilustrasi (Sumber: Depositphotos) 

Oleh: Syaiful W HARAHAP

Hasil tes HIV akurat jika darah diambil minimal tiga bulan setelah tertular HIV atau tiga bulan sejak hubungan seksual atau perilaku seksual yang berisiko tertular HIV. Itu karena tes HIV bukan mencari virus (HIV) di darah tapi mendeteksi antibody HIV yang baru terbentuk setelah tiga bulan virus (HIV) ada di dalam tubuh.

Perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV, al.:

(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, dan

(2). Laki-laki dewasa yang sering melakukan hubungan seksual seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.

Maka, orang-orang yang terdeteksi HIV bukan kasus penularan baru karena bisa saja mereka sudah tertular beberapa bulan atau beberapa tahun sebelum tes HIV. Itulah sebabnya pernyataan dalam berita (Jumlah Penderita HIV/AIDS di Brebes Tiap Tahun Meningkat, detiknews, 22/11-2017): “Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, mencatat, jumlah penderita baru HIV/AIDS tahun 2017 mengalami peningkatan di banding tahun sebelumnya” tidak pas.

Mereka yaitu orang-orang yang yang terdeteksi HIV melalui tes HIV bukan penderita baru karena bisa saja mereka sudah tertular jauh sebelum tes HIV. Mereka itu adalah pengidap HIV yang baru terdeteksi melalui tes HIV.

Selain itu pemakaian kata ‘penderita’ tidak tepat karena orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tidak otomatis menderita karena banyak di antaranya yang belum mengidap penyakit-penyakit lain, disebut infeksi oportunistik.

Penyebutan yang lebih pas adalah HIV-positif. Kalau sudah masuk masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) disebut pengidap HIV/AIDS. Agar lebih mudah pakailah Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang jauh lebih netral dan dinamis (Pers Meliput AIDS, Syaiful W Harahap, The Ford Foundation/Pusrtaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000).

Catatan Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes menunjukkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Brebes sejah tahun 2006 mencapai 162 dengan 125 kematian. Yang perlu diingat adalah angka yang dilaporkan (162) hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena epdemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Yang sangat disayangkan adalah informasi HIV/AIDS selalu mengedepankan sensasi. Lihat saja pernyataan ini: Kasi Pencegahan, Pengendalian Penyakit Menular dan Tidak Menular, Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, Ismawan Nur Laksono, menyatakan, dari hasil pendataan diketahui juga jumlah penderita terbesar berasal dari kaum Lelaki Suka Lelaki (LSL) atau gay. Prosentasenya mencapai 30 persen dari total jumlah penderita yang ada. Diurutan kedua, berasal dari ibu rumah tangga sebesar 20 persen. 

Kalau saja informasi akurat, maka heteroseksual tentu lebih banyak daripada LSL karena ada 20 persen ibu rumah tangga dan suami ibu-ibu rumah tangga tsb. juga heteroseksual.

Lagi pula dalam epidemi HIV/AIDS kasus HIV/AIDS pada kalangan LSL atau laki-laki gay adalah terminal terakahir karena mereka tidak punya perempuan sebagai pasangan tetap sehingga HIV tidak akan menyebar ke masyarakat. HIV hanya berputar di komunitas LSL.

Ini pernyataan Ismawan: "Jumlahnya penderita baru tiap tahunnya meningkat dan kami terus berupaya meningkatkan penemuan penderita melalui screening kelompok risiko." Yang lebih pasti yang meningkat adalah jumlah kasus yang baru terdeteksi, sedangkan penderita baru atau yang baru tertular tidak bisa diketahui.

Ada lagi pernyataan: Golongan LSL ini menurutnya memang paling rentan, dan kini kecenderungannya sudah mulai menjalar di kalangan remaja. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kaum LSL remaja dan sudah ada yang positif HIV/AIDS. 

Pernyataan ini tidak akurat karena kerentanan tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena orientasi seksual, tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Kalau yang dimaksud rencan karena cara melakukan hubungan seksual yaitu seks anal, maka suami istri pun ada yang melakkan seks anal. Laki-laki heteroseksual pun melakukan seks anal dengan waria. Itulah sebabnya banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi pada ibu rumah tangga karena suami mereka selain melacur juga ada yang melakukan seks anal dengan waria.

Disebutkan lagi: Sejauh ini, penanganan dan pencegahan penderita HIV/AIDS menghadapi banyak kendala, antara lain masih minimnya kesadaran penderita untuk berobat. Padahal selama ini pemerintah daerah memberikan fasilitas gratis dalam pengobatan penderita HIV/AIDS. 

Penanggulangan HIV/AIDS yaitu mencegah penularan baru bukan karena ‘masih minimnya kesadaran penderita untuk berobat’ tapi karena tidak ada program yang ril di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK melalui intervensi yang memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksal dengan PSK. Secara ril PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:

(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(b). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

Penanganan pada poin 1 tidak bisa dilakukan intervensi karena praktek PSK langsung tidak dilokalisir. Sedangkan pada poin 2 jelas tidak tidak bisa diintervensi karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Ketika epidemi HIV/AIDS sudah ada di masyarakat langkah konkret penanggulangan bukan lagi hanya sekedar sosialisasi dan kampanye bahaya HIV/AIDS karena hal itu sudah dilakukan sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia yaitu tahun 1987. Lagi pula ada rentang waktu yang panjang antara menerima sosialisasi dan kampanye dengan kesadaran sehingga bisa saja di rentang waktu itu terjadi penularan HIV melalui perilaku berisiko.

Anjuran tes HIV yang dilanjutkan dengan pengobatan dengan obat antiretroviral (ARV) adalah kegiatan di hilir. Artinya, warga dibiarkan dulu tertular HIV baru menjalani tes HIV dan mengkuti program ART (pengobatan dengan ARV).

Tanpa program yang ril di hulu, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang pada gilirannya disebarkan di masyarakat dan kelak akan berbuara sebagai ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *

Markas Daerah BaraJP NTT, Kupang, 10/1-2018