12 Januari 2018

Sumbar “Memberantas” LGBT, Mengabaikan Laki-laki Heteroseksual Sebagai Penyebar HIV/AIDS


Ilustrasi (diolah dari: youthjamaica.com)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

“Gay di Sumatra Barat: 'Memberantas' LGBT untuk mencegah HIV/AIDS.” Ini judul berita di “BBC Indonesia” (11/1-2018). Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 24 Mei 2017 menyebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Sumbar adalah 3.306 yang terdiri atas 1.935 HIV dan 1.371 AIDS.

Ada beberapa hal yang tidak masuk akal di judul berita ini, yaitu:

Pertama, kasus penyebaran HIV yang paling potensial dilakukan oleh laki-laki biseksual (secara seksual tertarik pada lawan jenis dan sejenis) disusul laki-laki heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) karena mereka mempunyai pasangan seksual yaitu istri.

Alam Pikiran

Kedua, lesbian tidak bisa dikenal secara fisik dan dalam epidemi HIV/AIDS, penulsan HIV melalui perilaku seksual di kalangan ini merupakan risiko yang sangat rendah bahkan nol persen karena tidak ada ada seks penetrasi.

Ketiga, gay tidak bisa dikenali secara fisik dan HIV/AIDS pada gay ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai perempuan sebagai pasangan tetap.

Keempat, transgender akan jadi sasaran empuk karena bisa dikenal secara fisik yaitu waria. Padahal, tidak semua waria melalukan perilaku yang berisiko tertular dan menularkan HIV/ADS.

Kelima, LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) sebagai orientasi seksual ada di alam pikiran sehingga mustahil diberantas (Baca juga: OrientasiSeksual Ada di Alam Pikiran).

Keenam, kasihan amat saudara-saudara kita yang terlahir sebagai transgender (waria) yang akan jadi sasaran Pemprov Sumbar dalam pemberantasan LGBT karena mereka tidak bisa menyembunyikan identitas LGBT-nya.

Ketujuh, bagaimana cara Pemprov Sumbar mengetahui identitas LGBT, khususnya lesbian, gay dan biseksual? Pakai ‘intel’? Atau Dinas Kesehatan Sumbar punya alat tes LGBT?

Di lead berita disebutkan: Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit, mengatakan pihaknya tengah menyiapkan upaya "memberantas" yang disebutnya "seks menyimpang" di kalangan kelompok gay guna mencegah HIV/AIDS.

Kalau yang dimaksud oleh wakil gubernur sebagai ‘seks menyimpang’ adalah seks anal, maka pertanyaan yang sangat mendasar untuk Wagub Sumbar, Nasrul Abit: Apakah seks oral dan seks anal yang dilakukan suami, bahkan ada dengan cara-cara paksaan dan kekerasan, terhadap istri dalam ikatan pernikahan yang sah secara agama dan hukum tidak termasuk ‘seks menyimpang’?



Seks anal yang dilakukan suami terhadap istri merupakan aktivitas yang sangat berisiko sebagai media penularan IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, virus kanker serviks, dll.) dan HIV atau kedua-duanya sekaligus karena ada suami yang jadi pelanggan waria.

Studi di Surabaya, Jatim, menunjukkan pelanggan waria adalah laki-laki heteroseksual yang mempunyai istri. Celakanya, laki-laki heteroseks justru dianal oleh waria (istilah di komunitas waria ditempong dan waria menganal atau menempong).

Kalaupun ada risiko penularan HIV melalui seks oral dan seks anal pada gay epidemi HIV berputar di komunitas mereka. Sedangkan laki-laki heteroseksual jadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV di masyarakat secara horizontal, terutama kepada istri bagi laki-laki yang beristri atau perempuan pasangan lain.

Dikatakan pula: Data jumlah LGBT yang tercatat di provinsi ini "ribuan" namun belum ada angka yang valid, kata Nasrul, yang menambahkan bahwa jumlah LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) "makin hari makin banyak," dan dapat meningkatkan jumlah kasus HIV.

Laki-laki Heteroseksual

Pertambahan jumlah LGBT jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan frekuensi laki-laki heteroseksual yang melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV, seperti:

(1). Sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di Sumbar, di luar Sumbar dan di luar negeri, dan

(2) Sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Dalam prakteknya PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:

(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(b). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

Intervensi terhadap laki-laki yang melakukan perilaku berisiko dengan PSK langsung tidak bisa dilakukan karena transaski seks yang melibatkan PSK langsung tidak dilokalisir. Jauh lebih sulit lagi intervensi terhadap laki-laki yang melakukan perilaku berisiko dengan PSK tidak langsung karena PSK tidak langsung tidak bisa dikenali secara fisik dan transaksi seks juga terjadi melalui cara-cara yang memakai telepon, Internet dan media sosial.

Disebutkan lagi oleh Nasrul: "Tiap malam di Padang berkeliaran 100 orang, satu orang melayani tiga orang, jadi 300 yang dilayani, 150 pakai (memiliki) istri, ini sudah menularkan penyakit. Mereka tak sakit sekarang, baru 10 tahun ke depan, ini akibat perbuatan mereka saat ini.”

Nasrul tidak objektif karena tidak membandingkan dengan jumlah laki-laki heteroseksual yang melakukan hubungan seksual berisiko dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.  

Wagub boleh-boleh saja menepuk dada sambil mengatakan: Di Sumbar tidak ada pelacuran!

Secara de jure itu benar karena sejak reformasi ada euforia menutup lokalisasi pelacuran. Tapi, secara de facto:

Apakah Wagub bisa menjamin tidak ada transaksi seks yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung di Sumbar?

Apakah Wagub bisa menjamin tidak laki-laki dewasa penduduk Sumbar yang melakukan perilaku seksual yang berisiko (poin 1 dan 2) dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung di luar Sumbar dan di luar negeri?

Ada juga pernyataan Direktur Badan AIDS PBB, UNAIDS, untuk Indonesia, Krittayawan Boonto:  “ .... istri para pria gay.” Selama ini disebutkan gay adalah laki-laki yang hanya tertarik secara seksual dengan laki-laki. Kalau beristri bukan gay, dong, tapi biseksual.

Ini juga pernyataan Krittayawan yang tidak akurat: “ .... Thailand yang mencatat angka HIV baru sebesar 100.000 per tahun pada 1990-an namun berhasil ditekan di bawah 10.000 dalam waktu beberapa tahun kemudian lewat kampanye penggunaan kondom.”



Bukan sekedar kampanye Krittayawan, tapi program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung di tempat-tempat pelacuran. Nah, program ini mustahil dilakukan di Indonesia karena transaksi seks yang melibatkan PSK langsung tidak dilokalisir. Ini fakta, Krittayawan.

Nasrul juga mengatakan: "Jadi kalau (HIV/AIDS pada) generasi muda tak kita berantas saat ini, 10 tahun mereka akan menderita akibat itu. Itu keterangan dari rumah sakit yang merawat mereka.”

Nasrul rupanya mengabaikan ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suami (horizontal) dan bayi serta anak-anak yang tertular dari ibu mereka (vertikal). Apakah mereka ini tidak menderita 10 tahun kemudian, Pak Nasrul?

Ini juga dikatakan oleh Nasrul: .... "seks menyimpang" oleh kelompok gay di balik kasus HIV/AIDS ini akan terasa dampaknya pada 10 tahun mendatang.

Tidak perlu menunggu 10 tahun mendatang karena sekarang pun sudah banyak ibu-ibu rumah tangga dan bayi serta anak-anak yang terdampak langsung HIV/AIDS karena ulah suami dan ayah mereka.

Apakah di Sumbar tidak ada ibu rumah tangga, bayi dan anak-anak yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS?

Kalau tidak ada itu artinya fantastis dan perlu diacungi jempol karena satu-satunya daerah di dunia yang tidak ada ibu rumah tangga, bayi dan anak-anak yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Itu artinya tidak ada suami-suami di Sumbar yang pernah atau sering melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV, maka wajarlah kalau yang dijadikan sasaran adalah LGBT, lebih khusus lagi gay.

"Kita tidak ada tindakan represif, memberi penyadaran saja bahwa jangan melakukan seks menyimpang yang bisa berakibat kesehatan mereka terganggu dan menularkan HIV/Aids." Ini pernyataan Nasrul lagi,



Ledakan AIDS

Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena orientasi seksual (LGBT) dan sifat hubungan seksual (di luar nikah), tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali terjadi hubungan seksual.

Kalau kedua-duanya HIV-negatif maka tidak akan terjadi penularan HIV biar pun mereka melakukan hubungan yang menyimpang dan tidak pakai kondom. Bahkan, kalau pun salah satu mengidap HIV/AIDS kalau laki-laki pakai kondom maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun dilakukan dengan seks menyimpang.

Narsul menambahkan: "Kami mengajak masyarakat seluruh Sumbar agar bisa memahami bahwa perilaku seks yang menyimpang, gay bisa berakibat penyakit, ini yang akan kami lakukan yaitu sosialisasi kepada masyarakat.”

Seperti dikatakan di atas bahwa risiko penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena orientasi seksual (LGBT) dan sifat hubungan seksual (di luar nikah), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual. Dalam perkawinan pun bisa terjadi penularan HIV kalau salah satu mengidap HIV/AIDS dan suami tidak memakai kondom.



Dikatakan lagi oleh Krittayawan: komitmen pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan dalam meredam HIV/AIDS sudah tinggi dengan menyediakan prasarana termasuk adanya ribuan Puskesmas untuk pemeriksaan dan pengobatan HIV/AIDS.

Nah, ini program di hilir. Artinya, Kementerian Kesehatan membiarkan warga tertular HIV dulu (di hulu) baru diperiksan dan diberikan oleh di Puskesmas.

Maka, yang perlu dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI dan Pemprov Sumbar bukan mengurusi pertambahan LGBT, tapi melakukan intervensi di hulu terhadap laki-laki dewasa agar selalu memakai kondom jika melakukan perilaku seksual berisiko yaitu poin (1) dan (2) dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.

Jika tidak ada intervensi di hulu untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, itu artinya penyebaran HIV di masyarakat akan terus terjadi yang merupakan ‘bom waktu’ untuk kelak sampai pada ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *

AIDS di Kudus, Jateng: Kerawanan Penularan HIV Bukan Karena Orientasi Seksual

Ilustrasi (Sumber: apa.org)


Oleh: Syaiful W HARAHAP

“Ditemukan 132 Kasus HIV/AIDS di Kudus, Lelaki Suka Lelaki Disebut Paling Rawan.” Ini judul berita di tribunjateng.com (1/11-2017). Judul berita ini sensasional dan menyesatkan.

Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena orientasi seksual. Di judul disebut LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki). Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.

Suami-istri yang melakukan seks anal pun berisiko terjadi penularan HIV kalau salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan suami tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Sebaliknya pada LSL tidak ada risiko penularan HIV kalau kedua-duanya tidak mengidap HIV/AIDS.

           Kabupaten Kudus di Jawa Tengah (Sumber: bbc.com)

Kasus HIV/AIDS di Kudus disebutkan 244 sejak tahun 2016 sampai Oktober 2017. Tapi, angka ini tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannhya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (244) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang ada di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Disebutkan oleh Ketua Kaukus Masyarakat Anti Narkoba dan Kelompok Pendampingan Sebaya (Kauman dan KPS) Kudus, Eny Mardiyanti, bahwa kelompok yang paling rentan terkena penyebaran HIV/AIDS yaitu lelaki suka lelaki (LSL). Pasalnya, para penyuka sesama jenis tersebut acap kali berganti pasangan untuk melakukan kontak fisik berupa hubungan seksual.

Erry mengabaikan ‘laki-laki hidung belang’ bahkan yang beristri yang sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK). Risiko tertular HIV justru jauh lebih besar pada ‘laki-laki hidung belang’ karena hubungan seksual mereka lakukan dengan PSK yang berganti-ganti di lokasi yang berbeda. Sedangkan gay hanya punya satu pasangan dan HIV/AIDS pada gay adalah terminal terakhir karena mereka tidak punya perempuan sebagai pasangan tetap.

Disebutkan pula oleh Erry, kenaikan angka kasus HIV/AIDS tersebut dipengaruhi faktor lingkungan. Selain itu, pengawasan dan perhatian orang tua kian memudar. Pernyataan itu jelas ngawur karena risiko penularan HIV ada para perilaku orang per orang. Kasus pada kalangan dewasa sama sekali tidak terkait dengan pengawasan dan perhatian orang tua (mereka).

Yang jadi persoalan besar adalah perilaku laki-laki dewasa warga Kudus yang perilaku seksualnya berisiko tertular HIV baik di Kudus, di luar Kudus dan di luar negeri. Perilaku ini ada di hulu pada epidemi HIV/AIDS.

Salah satu risiko terbesar terjadi adalah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa adalah melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Program penanggulangan yang konkret yaitu intervensi terhadap laki-laki supaya memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Sayang, program ini tidak bisa dijalalankan karena transaksi seks laki-laki dengan.PSK tidak dilokalisir sehingga terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di masyarakat akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *

Markas Daerah BaraJP NTT, Kupang, 10/1-2017

10 Januari 2018

AIDS di Pasaman Barat, Sumbar: HIV Tidak Akan Pernah Menyerang Masyarakat


Ilustrasi (Sumber: The Indian Express

Oleh: Syaiful W HARAHAP

"Penyakit ini sudah mulai menyerang masyarakat kita terutama masyarakat yang ada di daerah Ujung Gading, Kecamatan Lembah Melintang.” Ini pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat, Haryunidra (Lima Kasus HIV/AIDS Terjadi di Pasbar, harianhaluan.com, 31/10-2017).

Pernyataan Haryunidra di atas benar-benar tidak masuk akal karena secara medis sebagai virus HIV tidak bisa menyerang manusia atau masyarakat karena HIV hanya ada dalam beberapa cairan tubuh pengidap HIV/AIDS. Dalam jumlah yang bisa ditularkan oleh pengidap HIV/AIDS ke orang lain, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah hanya terdapat dalam darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu (ASI).

Maka, apakah ada orang yang menyebarkan darah, air mani, cairan vagina atau ASI di masyarakat? Lagi pula HIV akan mati ketika darah, air mani, cairan vagina dan ASI yang mengandung HIV di udara terbuka.

Pernyataan Haryunidra yang dijadikan judul jelas menyesatkan dan menjadi kontra produktif dalam program penanggulangan HIV/AIDS. Soalnya, yang bisa menyebarkan HIV adalah orang-orang yang mengidap HIV/AIDS terutama melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.

Jadi, yang jadi persoalan besar adalah (terutama) laki-laki dewasa penduduk Pasaman Barat yang perilaku seksualnya berisiko tertular HIV. Jika ada di antara mereka yang tertular HIV baik di Pasaman Barat, di luar Pasaman Barat atau di luar negeri mereka itulah yang jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Sumber: pusdalopspbsumbar.blogspot.co.id

Disebutkan kasus HIV/AIDS di Pasaman Barat ada lima. Tapi, angka ini tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannhya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (5) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang ada di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Pada lead berita disebutkan: “Mengantisipasi penularan penyakit mematikan HIV/AIDS .... “ Sampai detik ini tidak ada laporan kematian pengidap HIV/AIDS karena HIV atau AIDS. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi karena penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS (secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV), disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.

Lalu, bagaimana penanggulangan HIV/AIDS di Pasaman Barat? Ini penjelasan Haryunidra: “ .... Kita akan terus lakukan sosialisasi dan imbauan kepada masyarakat agar menghindari dan menjauhi segala macam penyakit tersebut.”

Celakanya, dalam berita tidak disebutkan bagaimana cara yang konkret melindungi diri agar tidak tertular HIV.  Itu artinya masyarakat tidak paham dan insiden infeksi HIV baru pun, terutama pada laki-laki dewasa, akan terus terjadi yang pada gilirannya mereka akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat al. melalui hubungan seksual tanpa kondom d dalam dan di luar nikah. Kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *

AIDS di Dompu NTB, Penularan HIV Bukan Karena Sifat Hubungan Seksual

Ilustrasi (Sumber: fenwayfocus.org )


Oleh: Syaiful W HARAHAP

Kasus HIV/AIDS di Indonesia sudah dikenal sejak April 1987, itu artinya 30 tahun yang lalu, tapi pemahaman terkait dengan cara-cara penularan dan pencegahan HIV tetap saja sangat rendah.

Judul berita ini salah satu di antaranya: “Seks Bebas Diduga Jadi Pemicu, Penderita HIV/AIDS Meningkat di Dompu” (Suara NTB, 7/1-2018). Dompu adalah sebuah kabupaten di Provinsi NTB.

Pertama, seks bebas yang merupakan terjemahan bebas dari ‘free sex’ adalah istilah yang ngawur bin ngaco. Dalam kamus-kamus Bahasa Inggris tidak ada entry (lema) ‘free sex’. Maka istilah itu tidak dikenal dalam kosa kata Bahasa Inggris.

Lagi pula, apa, sih, yang dimaksud dengan ‘seks bebas’? Kalau zina atau hubungan seksual di luar nikah dengan pekerja seks komersial (PSK) disebut sebagai ‘seks bebas’, mengapa zina melalui perselingkuhan dan hubungan seksual dengan perempuan yang bukan PSK tidak disebut ‘seks bebas’? Itu artinya pemakaian terminologi ‘seks bebas’ tidak tepat dan bias.

Selain itu risiko penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika gubungan seksual dilakukan dengan pengidap HIV/AIDS dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.

Sebaliknya jika hubungan seksual dilakukan oleh pasangan yang kedua-duanya tidak mengidap HIV/AIDS maka tidak akan ada penularan HIV biar pun hubungan seksual dilakukan di luar nikah.

Kedua, yang jadi pemicu insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, adalah perilaku seksual yang berisiko tertular HIV yaitu:

(a) Hubungan seksual yang dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom di wilayah Dompun, di luar Dompu dan di luar negeri, dan

(b) Hubungan seksual yang dilakukan dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK di wilayah Dompu, di luar Dompu dan di luar negeri dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.

Maka, judul berita tsb. tidak akurat sehingga termasuk sebagai pernyataan yang mengandung mitos (anggapan yang salah) terkait dengan HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Ketiga, pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah dengan kasus baru sehingga jumlah kasus akan bertambah biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal.

Ilustrasi (Sumber: kambalidompumantoi.wordpress.com)

Ada pernyataan: Kepala Ruang Instalasi Fisioterapi RSUD Dompu, Syafrudin, ST, MT., menyebutkan, periode Januari-Desember 2017 kemarin tercatat 10 orang positif AIDS.

Yang positif adalah HIV bukan AIDS. HIV adalah virus yang bisa dideteksi di dalam darah melalui teknologi kedokteran di laboratorium. Sedangkan AIDS bukan penyakit tapi kondisi orang-orang yang tertular HIV setelah tertular antara 5-15 tahun.

Disebutkan dalam berita: “ .... Sembilan di ataranya laki-laki termasuk waria dan satu lainya ibu rumah tangga.”  

Pernyataan ini seolah-olah tidak ada artinya karena tidak dijabarkan oleh wartawan. Laki-laki beristri adalah pelanggan waria sehingga risiko tertular HIV melalui seks anal dengan waria. Seks anal adalah hubungan seksual dengan risiko penularan HIV yang sangat tinggi. Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga menunjukkan suami mereka melakukan hubungan seksual yang berisiko, al. dengan waria.

Ada lagi pernyataan: Selain sulit memutus mata rantai HIV/AIDS juga untuk mempengaruhi orang yang sudah menjadikan aktifitas menyimpang itu sebuah kebiasaan menjadi kendala.
Apa yang dimaksud dengan aktifitas menyimpang? Lagi-lagi tidak jelas.

Kalau yang dimaksud dengan aktifitas menyimpang adalah ‘seks bebas’, maka lagi-lagi hanya merupakan mitos. Penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual tapi terkait dengan kondisi hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, yaitu: salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali terjadi hubungan seksual.

Selama informasi HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral dan agama maka selama itu pula fakta-fakta medis tentang HIV/AIDS tidak jelas karena yang muncul hanya mitos. Itu artinya penyebaran HIV di masyarakat akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *

Ba’a, Pulau Rote, NTT, 9/1-2018