10 Mei 2018

Mustahil, Kota Solo Bebas Penularan HIV/AIDS Tahun 2020

Ilustrasi (Sumber: cdnaids.ca)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

“Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Surakarta serius untuk mewujudkan kota Solo terbebas dari penularan HIV/AIDS di 2020.” Ini lead pada berita “Kejar Target 2020 Bebas Penularan HIV AIDS, Kota Solo Optimalkan Warga Peduli AIDS” (solo.tribunnews.com, 9/5-2018).

Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Solo tahun 2015 sampai September 2017 tercatat 953 (jateng.tribunnews.com, 30/11-2017). Sejak 2005 sampai September 2011 di Kota Solo, Jawa Tengah, ditemukan 163 kasus HIV/AIDS pada kelompok ibu rumah tangga (kompas.com, 26/10-2011).

Pernyataan di atas adalah utopia (khayalan yang tidak mungkin terwujud). Mustahil. Paling tidak ada 17 pintu masuk HIV/AIDS ke Kota Solo (Baca juga:
17 'Pintu Masuk' HIV/AIDS Luput dari Raperda HIV/AIDS Prov Lampung).

Bagaimana KPA Kota Solo ‘menutup’ 17 keran tsb.? Tidak bisa. Mustahil.

Berikut ini beberapa ‘pintu masuk’ HIV/AIDS ke Kota Solo.

‘Pintu masuk’ pertama, melalui laki-laki dewasa heteroseks (laki-laki dengan perempuan dan sebaliknya) penduduk Kota Solo pengidap HIV/AIDS yang tertular HIV, di dalam dan di luar nikah, di wilayah Kota Solo, di luar Kota Solo atau di luar negeri. Laki-laki ini akan menularkan HIV ke istri ke pasangan seks lain. Selanjutnya istri yang tertular HIV berisiko pula menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya kelak. Bagaimana KPA Kota Solo menutup ‘pintu masuk’ ini?

‘Pintu masuk’ kedua, melalui perempuan dewasa heteroseks (laki-laki dengan perempuan dan sebaliknya) penduduk Kota Solo pengidap HIV/AIDS yang tertular HIV, di dalam dan di luar nikah, di wilayah Kota Solo, di luar Kota Solo atau di luar negeri. Perempuan ini akan menularkan HIV ke suami   pasangan seks lain. Selanjutnya jika dia hamil ada pula risiko penularan HIV ke bayi yang dikandungnya kelak. Bagaimana KPA Kota Solo menutup ‘pintu masuk’ ini?

‘Pintu masuk’ ketiga, melalui laki-laki biseksual (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki) penduduk Kota Solo pengidap HIV/AIDS yang tertular HIV di wilayah Kota Solo, di luar wilayah Kota Solo atau di luar negeri. Laki-laki ini akan menularkan HIV ke istri atau ke pasangan seks lain. Selanjuta istri yang tertular HIV berisiko pula menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya kelak. Bagaimana KPA Kota Solo menutup ‘pintu masuk’ ini?

‘Pintu masuk’ keempat, melalui laki-laki dewasa heteroseks penduduk Kota Solo pengidap HIV/AIDS yang tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung di wilayah Kota Solo, di luar wilayah Kota Solo atau di luar negeri. Laki-laki ini akan menularkan HIV ke istri atau ke pasangan seks lain. Selanjuta istri yang tertular berisiko pula menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya kelak. Bagaimana KPA Kota Solo menutup ‘pintu masuk’ ini?

‘Pintu masuk’ kelima, melalui perempuan dewasa penduduk Kota Solo pengidap HIV/AIDS yang bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri yang tertular melalui hubungan seksual sebagai ‘istri’ atau karena korban perkosaan, terutama di negara dengan prevalensi HIV/AIDS yang besar. TKW ini akan menularkan HIV ke suami atau pasangan seksnya ketika kembali ke Kota Solo. Jika dia hamil ada pula riisiko penularan HIV ke bayi yang dikandungnya.  Bagaimana KPA Kota Solo menutup ‘pintu masuk’ ini?

‘Pintu masuk’ keenam, melalui perempuan dewasa penduduk Kota Solo pengidap HIV/AIDS yang bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) di Kota Solo atau di luar Kota Solo.  Perempuan ini akan menularkan HIV ke suami atau pasangan seksnya ketika kembali ke Kota Solo. Jika dia hamil ada pula riisiko penularan HIV ke bayi yang dikandungnya.  Bagaimana KPA Kota Solo menutup ‘pintu masuk’ ini?

Bertolak dari data 163 kasus HIV/AIDS pada kelompok ibu rumah tangga, maka itu terjadi malalui ‘pintu masuk’ pertama, ketiga dan keempat.

Lalu, apa, sih, yang dilakukan KPA Kota Solo agar Kota Solo Bebas Penularan HIV/AIDS Tahun 2020?

Disebutkan dalam berita “Salah satunya dengan mengoptimalkan WPA (Warga Peduli AIDS).”

WPA ini jadi ‘wabah’ di banyak daerah karena dianggap sebagai ‘senjata pamungkas’ dalam menanggulangi HIV/AIDS.

Tentu saja salah besar karena penularan HIV melalui hubungan seksual terkait dengan perilaku seksual orang per orang.

Apakah seorang istri anggota WPA berani bertanya kepada suaminya tentang perilaku seksual suami di luar rumah? Bisa saja ‘bogem mentah’ yang akan melayang.

Yang bisa dilakukan secara faktual bukan ‘bebas penularan HIV’, tapi menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui ‘pintu masuk’ ke empat. ‘Pintu masuk’ lain tidak bisa diintervensi karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Sedangkan pada ‘pintu masuk’ keempat bisa dilakukan intervensi dengan catatan transaksi seks dilokalisir. Intervensi adalah dengan memaksa laki-laki selalu memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung. Sedangkan dengan PSK tidak langsung tidak bisa dilakukan intervensi karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Disebutkan pula “WPA terus memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait penularan virus berbahaya itu.” Selama proses pemahaman bisa saja terjadi perilaku berisiko sehingga ada warga yang tertular HIV. Celakanya, banyak informasi HIV/AIDS di media dan ceramah yang dibalut dengan norma, moral dan agama seningga masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Adalah hal yang mustahil tahub 2020 Kota Solo bebas penularan HIV/AIDS. Bisa jadi yang terjadi justru ‘ledakan AIDS’. * [komasiana.com/infokespro] *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.