Ilustrasi (Sumber: ibtimes.com)
Oleh: Syaiful W HARAHAP
“Mayoritas penderita
HIV/AIDS itu adalah ibu rumah tangga yang tertular karena suami-suaminya sering
'jajan' di luar.” Ini pernyataan dalam berita “Ibu-Ibu
Tertular HIV karena Suami Sering 'Jajan' di Luar” di republika.co.id (21/5-2018) tentang kasus
HIV/AIDS di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Pertanyaannya
adalah: Dengan siapa suami-suami itu ‘jajan’ (baca: melakukan hubungan seksual
tanpa kondom)? Tidak dijelaskan.
Kalau
disebutkan dengan pekerja seks komersial (PSK) juga tidak karena di Bandung
Barat jelas secara de jure tidak ada lokalisasi pelacuran.
Kalau
begitu dengan siapa?
Ada kemungkinan dengan cewek-cewek penghibur yang juga
bisa dibayar untuk melakukan hubungan seksual. Mereka itu dikenal sebagai PSK
tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek di panti pijat
plus-plus, cewek kafe, cewek pub, anak sekolah, mahasiswi, dll.
Transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan
sembarang waktu dengan berbagai modus, bahkan melalui media sosial.
Jika suami-suami itu ‘jajan’ dengan PSK tidak
langsung, maka tidak ada program penanggulangan yang bisa dijalankan. Itu
artinya jumlah ibu rumah tangga yang (akan) tertular HIV/AIDS akan terus
bertambah karena suami-suami yang ‘jajan’ tidak memakai kondom.
Kalau hanya mengandalkan sosialisasi itu sama saja
dengan ‘menggantang asap’. Sia-sia. Soalnya, mengubah perilaku tidak semudah
membalik telapak tangan. Dari mulai sosialisasi sampai menyadari perilaku
membutuhkan waktu dan pada rentang waktu itu mereka sudah melakukan perilaku
berisiko tertular HIV.
Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan
karena ‘jajan’ (sifat hubungan seksual), tapi karena cewek yang jadi pasangan
seks suami-suami itu mengidap HIV/AIDS dan suami-suami itu tidak memakai kondom
setiap kali melakukan hubungan seksual (kondisi hubungan seksua).
Perilaku suami yang berisiko tertular HIV, yaitu:
(a) sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti karena ada
kemungkinan salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS, dan
(b) sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom
dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung dan
PSK tidak langsung, karena ada kemungkinan salah satu dari PSK tsb. mengidap
HIV/AIDS
Perilaku (a) jelas tidak bisa diintervensi (memaksa
laki-laki pakai kondom). Sedangkan pada perilaku (b) intervensi hanya bisa
dilakukan jika praktek PSK langsung dilokalisir.
Ada pula pernyataan: Kemudian, sebanyak 10 persen
didominasi oleh pelaku yang berasal dari kalangan Lesbian, Gay, Biseksual
dan Transgender (LGBT). Belum ada kasus HIV/AIDS terdeteksi pada perempuan
dengan faktor risiko atau cara penularan melalui hubungan seksual lesbian.
Hubungan seksual pada lesbian tidak ada penetrasi.
Dikatakan oleh Kepala KPA Bandung Barat, Lili Koemadi
Antoro: .... berdasarkan pengakuan komunitas LGBT di
Bandung Barat, total komunitas tersebut mencapai 2.000 kelompok.
Ini
benar-benar fantastis. Soalnya, pada LGBT yang kasat mata hanya waria.
Sedangkan lesbian, gay dan biseksual tidak bisa dikenali dari fisik mereka.
Kalau disebut pengakuan, pertanyaannya: apakah dari sumber primer (yang
bersangkutan), sumber sekunder (teman) atau sumber-sumber lain yang hanya
mendengar kabar burung.
Lagi
pula yang jadi persoalan pada LGBT hanya biseksual karena laki-laki ini jika
beristri akan jadi jembatan penularan HIV dari komunitas gay, waria dan
biseksual ke masyarakat, dalam hal ini istri atau pasangan seks lain.
Apa yang dilakukan Pemkab Bandung Barat untuk
menanggulangi insiden infeksi HIV baru dan penyebaran HIV?
Menurut Lili, dengan cara melakukan sosialisasi ke
tiap desa serta membentuk desa peduli AIDS. Sudah ada 22 desa dari 165 desa
yang membentuk ‘desa peduli AIDS’.
Ini
jelas tidak menyentuh akar persoalan, seperti suami-suami yang suka ‘jajan’.
Kalau hanya dengan sosialisasi mustahil bisa mencegah suami-suami ‘jajan’.
Karena
intervensi tidak bisa dilakukan terhadap pelaku transaski seks yang melibatkan
PSK tidak langsung, maka yang bisa dilakukan Pemkab Bandung Barat adalah
membuat regulasi yang memaksa suami-suami yang istrinya hamil untuk menjalani
konseling tes HIV.
Jika
hasil konseling menunjukkan perilaku seksual suami berisiko tertular HIV, maka
dirujuk agar menjalani tes HIV. Kalau hasil tes positif, istri menjalani tes
HIV pula. Kalau hasilnya positif, maka ibu hamil tsb. wajib mengikuti program
pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Ini
langkah yang konkret untuk mendeteksi HIV di masyarakat dan menyelamatkan
bayi-bayi yang akan lahir agar tidak lahir dengan HIV/AIDS. * [kompasiana.com/infokespro] *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.