Ilustrasi
(Sumber: gettyimages.com)
Oleh: Syaiful W HARAHAP
“Belasan Guru di Cilacap Mengidap HIV/AIDS.” Ini judul berita di nasional.republika.co.id (4/5-2018).
Tidak ada yang aneh atau sensasional terkait dengan fakta tsb. karena secara
empiris guru berpenghasilan tetap sehingga mereka mempunyai uang untuk membeli
seks.
Sampai
Maret 2018 tercatat ada 1.124 kasus kumulatif HIV/AIDS di Kabupaten Cilacap.
Dari Januari-Mei 2018 terdeteksi 44 kasus HIV/AIDS. Dari jumlah ini disebutkan
ada 14 guru.
Penjelasan Manajer Kasus Komisi Penanggulangan
HIV/AIDS Kabupaten Cilacap, Rubino Sriadji, memberikan gambaran ril tentang
faktor risiko atau cara penularan HIV/AIDS: "Sebanyak 95 persen penularan
penyakit HIV didominasi oleh hubungan seks dengan orang yang terinfeksi HIV.”
Yang jadi masalah besar adalah orang-orang yang
mengidap atau terinfeksi HIV/AIDS tidak bisa dikenal dari fisiknya karena tidak
ada tanda-tanda yang khas AIDS. Karena tidak ada tanda-tanda itulah kemudian
laki-laki ‘hidung belang’ yang membeli seks tidak memakai kondom setiap kali
melakukan hubungan seksual.
Sayang, dalam berita Rubino tidak menjelaskan atau
wartawan tidak bertanya ‘siapa orang yang terinfeksi HIV’ yang menularkan HIV
ke guru-guru tsb.
Adalah kenyataan banyak daerah yang menganggap tidak
ada pelacuran. Dari aspek de jure itu
benar adanya karena sejak reformasi semua lokalisasi pelacuran, kecuali di
beberapa kota, sudah ditutup. Tapi, secara de
facto transaksi seks dalam bentuk pelacuran terselubung terus terjadi di
sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai modus. Mulai dari melalui
kurir sampai dengan memakai media sosial.
Seperti pelacuran Gang Dolly di Surabaya yang ditutup,
apakah ada jaminan Kota Surabaya (sudah) bebas pelacuran? Ternyata tidak karena
sudah beberapa kali polisi membongkar jaringan prostitusi online.
Begitu juga dengan wilayah Kabupaten Cilacap, Jateng.
Biar pun tidak ada lokalisasi pelacuran, apakah Pemkab Cilacap bisa menjamin
tidak ada transkasi seks dalam bentuk pelacuran di Kab Cilacap?
Kalau Pemkab Cilacap tetap ngotot mengatakan tidak ada
(praktek) pelacuran di Cilacap, maka kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi
dengan faktor risiko hubungan seksual menggugurkan anggapan bahwa di Cilacap
tidak ada praktek pelacuran.
Salah satu cara yang efektif menurunkan jumlah kasus
baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan perempuan yang
praktek sebagai pekerja seks komersial (PSK) adalah dengan melakukan intervensi
yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melalukan hubungan seksual dengan
PSK. Program ini tidak bisa dijalankan karena praktek transkasi seks yang
melibatkan PSK langsung tidak dilokalisir.
PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:
(1).
PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau
lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2).
PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru
sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam
kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau
pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Sedangkan intervensi untuk PSK tidak langsung jelas
tidak bisa dilakukan karena mereka tidak kasat mata dan modus operandinya pun
beragama dan memakai peralatan telekomunikasi dan media sosial. Ada kemungkinan
banyak laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak langsung
dengan menganggap tida ada risiko karena perempuan itu tidak kasat mata sebagai
PSK.
Dikatakan
oleh Rubino: “ .... dengan jumlah penderita sebanyak itu, mestinya bisa menjadi
peringatan semua pihak agar menjaga perilaku hidup sehat.”
Pernyataan
Rubino ini tidak akurat karena bermuatan moral.
Apa
yang dimaksud dengan ‘perilaku hidup sehat’?
Tidak jelas!
Maka, masyarakat pun hanya menangkap mitos (anggapan
yang salah) dari berita ini. Tidak ada pencerahan karena tidak disebutkan
cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.
Kalau 14 guru itu laki-laki semua dan mempunyai istri,
maka istri-istri mereka akan berisiko pula tertular HIV (horizontal). Jika
istri mereka tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV (vertikal) kepada
bayi yang dikandungnya kelak.
Maka, Pemkab Cilacap perlu menerbitkan peraturan
bupati (Perbup) atau peraturan daerah (Perda) yang mewajibkan suami menjalani
konseling tes HIV ketika istrinya hamil. Jika hasil konseling menunjukkan
perilaku seksualnya berisiko, maka dirujuk untuk tes HIV. Istrinya pun
menjalani tes HIV, Jika hasil tes positif, maka diwajibkan ikut program
pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi agar anak yang dilahirkan kelak tidak tertular
HIV.
Soalnya, Ribuno mengatakan, temuan
tersebut umumnya diketahui setelah penderita sedang jatuh sakit, melakukan
skrining donor darah, dan saat melakukan tes HIV bagi calon pengantin
Jika
tes HIV dilakukan karena ada indikasi HIV/AIDS ketika berobat, ini sudah
terlambat karena ada kemungkinan sudah masuk masa AIDS (secara statistik antara
5-15 tahun setelah tertular HIV), Maka, perlu mekanisme yang konkret untuk
mendeteksi HIV di masyarakat.
Disebutkan
‘skrining donor darah’. Ini salah karena yang diskrining bukan donor tapi darah
donor. Jika donor darah diskrining itu melawan aturan yang ditetapkan yaitu unlinked anonymous dan bisa membuat
warga takut jadi donor darah.
Sedangkan
tes HIV bagi calon pengantin bisa jadi bumerang karena kelak kalau si istri
terdeteksi mengidap HIV/AIDS suami akan menuduh istrinya yang selingkuh karena
hasil tes HIV sebelum menikah negatif. Selain itu tes HIV bukan vaksin. Biar
pun hasil tes HIV negatif sebelum menikah itu bukan jaminan selamanya suami
akan bebas HIV/AIDS karena bisa saja suami melakukan perilaku seksual yang
berisiko tertular HIV. * [kompasiana.com/infokespro] *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.