Ilustrasi
(Sumber: istockphoto.com)
Oleh: Syaiful W HARAHAP
Anggota Komisi A DPRD
Manado, Sulutk Roy Maramis, meminta instansi teknis rutin melakukan sosialisasi
untuk kegiatan pencegahan HIV AIDS di sekolah-sekolah maupun masyarakat. “Agar
masyarakat tahu bahaya HIV/AIDS. Dengan begitu akan menekan peningkatan penyakit
HIV AIDS di masyarakat.” Ini ada dalam berita “400 Penderita Lost Control. 800 Warga Manado Terjangkit HIV/AIDS” (manadopostonline.com, 30/4-2018).
Masyarakat tahu bahaya HIV/AIDS, tapi
masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang
konkret. Ini terjadi karena informasi HIV/AIDS yang disampaikan dalam ceramah,
diskusi dan berita hanya sebatas mitos (anggapan yang salah) karena dibalut
dengan norma, moral dan agama.
HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga
cara-cara penularan dan pencegahannya diketahui dengan pasti. Tapi, karena jadi
mitos penularan dan pencegahan HIV/AIDS pun hanya sebatas jargon-jargon moral.
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, ‘seks bebas’, dll. Ini
menyesatkan karena penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di
dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu atau keduanya
mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali
melakukan hubungan seksual.
Maka, yang perlu disampaikan adalah
cara-cara mencegah penularan HIV bukan bahaya HIV/AIDS. Yang perlu diingat
informasi harus akurat sebagai fakta medis bukan sebagai mitos.
Kepala
Dinas Kesehatan (Dinkes) Manado, dr Robby Mottoh, mengatakan: dari 800 yang
terjangkit HIV/AIDS, sebanyak 200-an sudah meninggal dunia dan 200-an orang
sedang menjalani pengobatan rutin di Dinas Kesehatan.
Dengan
jumlah kematian 200 itu artinya tingkat kematian pada pengidap HIV/AIDS di Kota
Manado sangat tinggi yaitu 25 persen. Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan
tentang penyakit penyebab kematian 200 pengidap HIV/AIDS tsb.
Terkait
dengan kematian 200 pengidap HIV/AIDS itu ada fakta yang dilupakan yaitu ada
kemungkinan sebelum meninggal mereka sudah menularkan HIV ke pasangan
seksualnya.
Apakah
pasangan 200 pengidap HIV/AIDS yang meninggal itu sudah menjalani tes HIV?
Kalau
jawabannya tidak, maka jika pasangan 200 pengidap HIV/AIDS itu tertular HIV itu
artinya ada 200 warga Kota Manado yang jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS.
Mereka menyebarkan HIV/AIDS tanpa mereka sadari karena tidak ada tanda-tanda
yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan.
Penyebaran
HIV/AIDS di Kota Manado kian runyam karena disebutkan ada 400 pengidap HIV/AIDS
yang ‘lost control’. Itu artnya 400 pengidap HIV/AIDS ini jadi mata rantai
penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah.
Disebutkan:
“ .... 200-an orang sedang menjalani pengobatan rutin di Dinas Kesehatan.”
Pernyataan ini tidak akurat karena ada kesan pengidap HIV/AIDS sakit. Tidak
semua pengidap HIV/AIDS menjalani pengobatan rutin. Yang terjadi adalah
pengidap HIV/AIDS dengan CD4 di bawah 350 meminum obat antiretroviral (ARV)
yang diperoleh gratis dari Dinkes. Obat ARV bukan menyembuhkan HIV/AIDS tapi
menghambat replikasi HIV di dalam darah sehingga pengidap HIV/AIDS tetap hidup
sehat.
Untuk
menghindari HIV AIDS, dia (Mottoh-pen.) mengimbau setia kepada pasangan atau
tidak melakukan seks bebas.
Setia
kepada pasangan tidak objektif karena bisa saja sebelum berpasangan
masing-masing sudah pernah pula melakukan hubungan seksual dengan pasangan
lain, misalnya pada pasangan yang sering kawin-cerai (Baca juga: Guru Agama Ini Kebingungan Anak Keduanya Lahir dengan AIDS).
Artinya, kalau salah satu dari pasangan itu mengidap
HIV/AIDS biar pun mereka saling setia tetap saja ada risiko penularan HIV kalau
suami tidak pakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.
Sedangkan seks bebas adalah istilah yang ngawur karena
tidak jelas artinya. Lagi pula biar pun seks bebas kalau keduanya tidak
mengidap HIV/AIDS tidak ada risiko penularan HIV (Baca juga: ‘Seks Bebas’Jargon Moral yang Menyesatkan dan Menyudutkan Remaja).
Untuk mendeteksi pengidap HIV/AIDS di masyarakat
Pemkot Manado perlu membuat regulasi yang mewajibkan suami perempuan yang hamil
menjalani konseling HIV/AIDS. Jika hasil konseling menunjukkan perilaku
seksualnya berisiko tertular HIV maka dirujuk untuk tes HIV. Selanjutnya jika
hasil tes HIV istri positif, maka istri yang hamil wajib mengikuti program
pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. * [kompasiana.com/infokespro] *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.