Ilustrasi (Sumber: indianexpress.com)
Oleh: Syaiful W HARAHAP
"Ketua Komisi E
DPRD Jawa Timur (Jatim) Hartoyo mengatakan, pihaknya menggagas pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) HIV/AIDS karena di Indonesia yang terbesar
penderita HIV berada di Jatim." Ini lead berita "Jatim Fokus pada
Penanganan HIV/AIDS" (rilis.id, 23/3-2018).
Pertama, Jawa Timur sudah mempunyai Perda AIDS yaitu Perda
No 5 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Timur.
Memang, perda ini tidak jalan, seperti juga puluhan perda di tingkat provinsi,
kabupaten dan kota di seluruh Indonesia karena tidak ada pasal yang konkret
untuk mencegah penularan HIV baru (Baca juga: Menyibak KiprahPerda AIDS Jatim).
Perilaku Berisiko
Kedua, dari jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS per 31 Maret
2017 (Kemenkes baru mengeluarkan data HIV/AIDS sampai tanggal 31 Maret 2017
berdasarkan Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 24 Mei 2017) Jatim ada di
peringkat kedua secara nasional dengan jumlah 50.057 yang terdiri atas 33.043
HIV dan 17.014 AIDS.
Ketiga, jika berdasarkan jumlah kasus AIDS (pengidap
HIV/AIDS yang sudah masuk masa AIDS al. ditandai dengan infeksi oportunistik,
secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV), Jatim ada di
peringkat pertama dengan jumlah kasus 17.014.
Di
Jawa Timur sendiri ada 7 daerah, kabupaten dan kota, yang sudah menerbitkan
Perda Penanggulangan HIV/AIDS. Tapi, semua hanya 'macam kertas' karena
pasal-pasal penanggulangan dan pencegahan tidak menukik ke akar persoalan.
Lagi
pula, perda-perda AIDS di Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan
HIV/AIDS di Thailand sehingga tidak berguna (Baca juga: Perda AIDS diIndonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand).
Maka,
kalau Raperda AIDS Jatim hanya berbicara di tataran moral dan agama maka
hasilnya tetap saja dengan perda yang sudah ada. Sinyalemen ini tidak
mengada-ada karena dalam berita disebutkan bahwa Hartoyo mengatakan, Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda), HIV/AIDS menjadi salah satu poin yang dibahas yakni
mewajibkan pemeriksaan intensif bagi orang asing atau Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) yang baru pulang dari luar negeri untuk menjalani pemeriksaan AIDS.
Astaga.
Ini benar-benar tidak masuk akal karena kembali ke 'abad purba' penanggulangan
HIV/AIDS yaitu mitos (anggapan yang salah) tentang pengidap HIV/AIDS. Ketika
kasus HIV/AIDS pertama diakui pemerintah pada seorang wisatawan Belanda,
seorang laki-laki gay, di RS Sanglah, Denpasar, Bali (1987), pemerintah pun
menjadikan kasus ini sebagai 'tonggak' informasi HIV/AIDS yaitu: AIDS adalah
penyakit homoseksual, dan AIDS adalah penyakit bule (orang asing, orang Barat).
Disebutkan
"mewajibkan pemeriksaan intensif bagi orang asing". Ini perbuatan
yang melawan hukum dan pelanggaran terhadap HAM karena orang asing tidak
otomatis sebagai pengidap HIV/AIDS. Tidak semua orang asing perilaku seksnya
berisiko tertular HIV.
Hasil
tes HIV bisa positif palsu (HIV tidak ada dalam darah tapi hasil tes reaktif)
atau negatif palsu (HIV ada dalam darah tapi hasil tes nonreaktif). Bayangkan
kalau ‘orang asing’ itu banyak yang hasil tes HIV-nya negatif palsu. Apa tidak
berabe? Karena disebut negatif mereka melakukan perilaku berisiko dengan warga
Jatim padahal mereka mengidap HIV/AIDS.
Begitu
juga dengan "mewajibkan pemeriksaan intensif bagi Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) yang baru pulang dari luar negeri". Tidak semua TKI melakukan
perilaku berisiko tertular HIV selama bekerja di luar negeri. Sebaliknya, warga
Jatim yang melawat ke luar negeri untuk berbagai keperluan bisa saja melakukan
perilaku berisiko di luar negeri, misalnya, melakukan hubungan seksual tanpa
kondom dengan perempuan atau laki-laki selama di luar negeri.
Kalau
konteksnya luar negeri, maka bukan hanya TKI tapi semua warga Jatim yang baru
pulang dari luar negeri diwajibkan tes HIV agar tidak diskriminatif, melawan
hukum dan melanggar HAM.
Di
bagian lain Hartoyo mengatakan: "Penyelesaian Perda tersebut, ditargetkan
selama dua bulan. Ini mengingat, arus tenaga kerja asing yang masuk ke Jatim
semakin meningkat." Ini benar-benar tidak masuk akal karena HIV tidak bisa
ditularkan melalui kegiatan sehari-hari, secara sosial dan di tempat kerja.
Pernyataan
Hartoyo ini bisa diartikan bahwa warga Jatim akan melakukan perilaku seksual
yang berisiko dengan tenaga kerja asing sehingga perlu diantisipasi dengan
'pemeriksaan intensif' terhadap tenaga kerja asing.
Apakah
ini langkah yang arif dan bijaksana?
Tidak!
Adalah hal yang mustahil melakukan tes HIV terhadap semua pekerja asing setiap
saat karena hasil tes HIV hanya berlaku sampai pengambilan contoh darah untuk
dites. Setelah tes HIV, biar pun hasilnya negatif, bisa saja terjadi penularan
HIV kalau ybs. melakukan perilaku berisiko tertular HIV.
Mengusung Mitos
Itu
artinya tes HIV bari pekerja asing tidak ada manfaatnya karena bak 'menggantang
asap' yang buang-buang tenaga dan dana. Soalnya, risiko tertular HIV terjadi
kapan saja sehingga tes HIV harus dilakukan juga setiap saat.
Jatim
merupakan satu daerah yang getol menutup lokalisasi pelacuran. Menurut
Soekarwo (Gubernur Jatim-pen.), di Jawa Timur terdapat 47 lokalisasi yang
tersebar di sejumlah kabupaten dan kota. Itu sebabnya dia mengatakan Balong
Cangkring merupakan lokalisasi prostitusi terakhir yang ditutup. (nasional.tempo.co,
22/5-2016). Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, pun menutup lokalisasi
pelacuran terkenal di Kota Surabaya, Dolly, 19/6-2014.
Kalau
penutupan lokasi dan lokalisasi pelacuran itu terkait dengan HIV/AIDS tentu
saja penyebaran HIV/AIDS di Kota Surabaya khususnya dan Jatim umumnya bisa
dikendalikan. Tapi, fakta menunjukkan Maret 2018 terdeteksi 80 bayi yang lahir
di RS Dr Soetomo, Surabaya, mengidap HIV/AIDS.
Kemungkinan
pertama ibu bayi-bayi itu mengidap HIV karena tertular dari suami. Sedangkan
suami mereka tertular HIV karena melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di
dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan
perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial
(PSK). PSK sendiri dikenal ada dua macam, yaitu:
(a).
PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau
lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(b).
PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru
sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam
kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau
pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Persoalan
baru muncul karena praktek PSK langsung tidak dilokalisir sehingga tidak bisa
dijalankan program penanggulangan berupa intervensi agar laki-laki memakai
kondom setiap kali ngeseks dengan PSK.
Sedangkan
dengan PSK tidak langsung tidak bisa dijangkau karena transaksi seks terjadi di
sembarang tempat dan sembarang waktu melalui komunikasi ponsel dan media
sosial.
Maka,
Raperda AIDS yang diusulkan DPRD Jatim itu hanya mengusung mitos dan bekerja di
hilir. Yang diperlukan adalah langkah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan
insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui pemakaian kondom setiap kali
melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung.
Lagi-lagi
rancangan perda yang tidak menyentuh akar persoalan penanggulangan HIV/AIDS.
Maka, sudah bisa dipastikan insiden infeksi HIV baru di Jatim akan terus
terjadi yang pada gilirannya terjadi penyebaran HIV secara horizontal antar
penduduk terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah. Ini akan bermuara pada 'ledakan AIDS'. * [kompasiana.com/infokespro] *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.