Ilustrasi (Sumber: huffingtonpost.ca)
Oleh: Syaiful W HARAHAP
“Tren penularan HIV/AIDS di Kabupaten Bogor kini lebih disebabkan oleh hubungan
sesama jenis atau akrab disebut LGBT.” Ini ada di lead berita “Tren Penularan
HIV/Aids Bergeser ke LGBT” di inilahkoran.com, 7/3-2018.
Ini
disebutkan terjadi di wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Seperti disebutkan
dalam berita dari tahun 2003-2017 kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Bogor yang
mempunyai semboyan “Bumi Tegar Beriman” itu mencapai 1.511.
Pernyataan
di lead berita ini benar-benar salah
nalar. Ada beberapa hal yang ngawur
pada lead berita ini, yaitu:
Pertama, penularan HIV
melalui hubungan seksual bukan karena hubungan sesama jenis tapi karena salah
satu atau kedua-dua pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki, pada hubungan
seksual homoseksual yang menganal, tidak memakai kondom.
Kedua, pernyataan ‘hubungan sesama jenis atau akrab disebut LGBT’ jelas ngawur bin ngaco karena
biseksual dan transgender melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis.
Biseksual adalah laki-laki dan perempuan yang secara
seksual tertarik ke lawan jenis dan sesama jenis. Sedangkan waria ada yang
homoseksual dan ada pula yang heteroseksual (menikah dengan perempuan dan punya
anak).
Yang jadi pertanyaan besar adalah identifikasi gay,
biseksual dan waria melalui penjangkauan. Ada sumber primer yaitu yang
bersangkutan, tapi ada juga sumber sekunder melalui orang lain yang mengtahui
seseorang gay, biseksual atau waria. Yang celaka adalah kalau sumber tidak
langsung yaitu ‘kata orang’, dll.
Dikatakan oleh Kepala Seksi Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular (P3M), Dinkes Kabupaten Bogor, dr Intan
Widayati:Trennya sekarang lebih ke LGBT dengan usia produktif dan ibu rumah
tangga. Bukan Wanita Tuna Susila (WTS).
Yang menularkan HIV ke ibu rumah tangga siapa? Ya,
mereka adalah laki-laki heteroseksual yang jadi suami ibu-ibu rumah tangga yang
terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Sangata jelas yang banyak terpapar adalah ibu
rumah tangga karena 1 PSK melayani 3-5 laki-laki setiap malam. Kalau ada 100
PSK yang mengidap HIV/AIDS jumlah itu tidak akan bertambah, tapi jumlah ibu
rumah tangga yang berisiko tertular HIV terus bertambah seiring dengan jumlah
suami-suami yang ngeseks tanpa kondom dengan PSK.
Coba kita bandingkan jumlah gay, biseksual, waria dan
laki-laki heteroseksual yang berisiko tertular HIV melalui hubungan seksual
tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti
atau dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks
komersial (PSK).
Gay ada dalam komunitas tersendiri. Biseksual punya
istri sehingga jadi jembatan penyebaran HIV dari komunitas LSL (Lelaki Suka
Seks Lelaki) ke masyarakat, dalam hal ini istri dan pasangan seks lain.
Waria berkencan dengan laki-laki heteroseksual yang
beristri sehingga laki-laki beristri jadi jembatan penyebaran HIV dari
masyarakat ke komunitas waria dan sebaliknya.
Yang paling banyak adalah laki-laki heteroseksual yang
melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK. Seorang PSK rata-rata
melayani 3-5 laki-laki setiap malam. Nah, tinggal dikalikan dengan jumlah PSK
yang beroperasi di Kab Bogor sudah kelihatan jumlah laki-laki yang berisiko
tertular HIV. Ini hanya dari PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata. Sedangkan
PSK tidak langsung tidak bisa dilacak karena transaksi seks terjadi di
sembarang tempat dan sembarang waktu serta memakai sarana telekomunikasi,
seperti ponsel dan media sosial.
Dengan fakta di atas apakah benar penularan HIV
bergeser?
Kalangan gay, biseksual dan waria ada program penjangkauan.
Sedangkan laki-laki heteroseksual yang melakukan transaksi seks dengan PSK
tidak langsung tidak ada penjangkauan. Penjangkauan ke PSK langsung pun tentu
sangat terbatas karena mereka tidak dilokalisir.
Dikatakan lagi oleh dr Intan: "Tahun 2018 ini, kita genjot seluruh
puskesmas melakukan tes HIV/AIDS. Karena tidak bisa dipungkiri jika masih
banyak masyarakat malu untuk memeriksakan HIV. ....”
Tes HIV adalah penanggulangan di hilir. Artinya,
Dinkes Kab Bogor membiarkan warga tertular HIV dulu baru tes HIV. Yang
diperlukan adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV
baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.
Tidak semua orang berisiko tertular HIV, maka yang
dianjurkan tes HIV secara sukarela bukan masyarakat tapi orang-orang yang
sering melakukan perilaku berisiko, al. sering melakukan hubungan seksual tanpa
kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau
dengan PSK di wilayah Kab Bogor, di luar wilaya Kab Bogor atau di luar negeri.
Pernyataan Ketua DPC Gerakan Anti Narkoba (Granat)
Kabupaten Bogor, Prastyo, ini juga menunjukkan pengetahuan tentang cara-cara
penularan HIV yang tidak akurat: Penyebaran HIV/AIDS tidak bisa dilepaskan dari
penggunaan narkoba. peredaran narkoba di
Kabupaten Bogor sangat memprihatinka karena semakin banyak pelajar terjerembab
dalam dunia narkoba.
Risiko penularan HIV melalui narkoba (narkotika dan
bahan-bahan berbahaya) hanya bisa terjadi kalau narkoba dipakai dengan cara
disuntikkan dan dilakukan secara bersama-sama dengan pemakaian jarum suntik
yang bergantian dengan bergiliran.
Selama Pemkab Bogor, dalam hal ini Dinkes Kab Bogor,
tidak menjalankan program penanggulagan di hulu insiden infeksi HIV baru akan
terus terjadi yang selanjutnya terjadi penyebaran HIV di masyarakat yang
merupakan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS.’. * [kompasiana.com/infokespro] *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.