Ilustrasi (Sumber: fakt.pl)
Oleh: Syaiful W HARAHAP
“Penderita HIV/AIDS di
Jakarta ditengarai semakin banyak. Bila praktik lesbian dan
homoseksual tidak diberantas kemungkinan Jakarta bisa darurat
penyebaran penyakit berbahaya itu.” Ini lead
pada berita “Ada 45.758 Penderita. Jakarta Peringkat Tertinggi Warganya Menderita HIV/AIDS di Indonesia” (poskotanews.com, 2/3-2018),
Dalam
berita disebutkan data yang dimiliki Dinas Kesehatan DKI Jakarta, sejak tahun
2009 hinggat saat ini ada sekitar 45.758 warta DKI Jakarta yang mengidap
HIV/AIDS. Sedangkan Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 24 Mei 2017, menyebutkan
sampai tanggal 31 Maret 2017 kasus kumulatif HIV/AIDS di Jakarta adalah 55.527
yang terdiri atas 46758 HIV dan 8769 AIDS. Jumlah ini menempatkan DKI Jakarta
pada peringkat pertama jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional.
Wartawan
atau redaktur yang membuat lead
berita ini sudah memakai moralitas dirinya sendiri dalam membuat pernyataan.
Pertama, kasus HIV/AIDS
di Jakarta tidak semua terdeteksi pada warga DKI Jakarta terutama di awal-awal
epidemi karena di daerah tidak ada fasilitas tes, perawatan dan dukungan (LSM).
Akibatnya, banyak warga dari daerah, bahkan dari luar negeri yang tes di
Jakarta dan memilih gabung dengan LSM peduli AIDS.
Kedua, yang bisa dijadikan patokan
adalah kasus AIDS karena ini sudah terbukti sebagai pengidap HIV. Sedangkan
kasus HIV-positif tidak semua akurata karena ada kasus dari survailans tes HIV
dan skirining darah donor di PMI yang tidak dikonfirmasi dengan tes lain.
Ketiga, sampai hari ini belum ada kasus
HIV/AIDS dengan faktor risiko lesbian (perempuan homoseksual yaitu hanya
tertarik secara seksual kepada perempuan juga). Maka, pernyataan pada lead berita ini jelas ngawur bin ngaco
karena menyebut praktik lesbian sebagai penyebab kasus HIV/AIDS di Jakarta
bertambah.
Keempat, kalau
homoseksual yang dimaksud di lead
berita itu adalah laki-laki gay (laki-laki yang secara seksual tertarik kepada
laki-laki), maka kasus HIV/AIDS pada gay ada di terminal terakhir karena mereka
tidak mempunyai pasangan perempuan.
Kelima, penyebaran HIV di masyarakat
Jakarta justru dilakukan oleh laki-laki heteroseksual (laki-laki yang secara
seksual tertarik kepada perempuan) dan biseksual (laki-laki yang tertarik
secara seksual kepada perempuan dan laki-laki).
Laki-laki
heteroseksual dan biseksual berisiko tertular HIV jika sering melakukan
hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, disebut perilaku
berisko, yakni:
(a).
dengan perempuan yang berganti-ganti di Jakarta, di luar Jakarta dan di luar
negeri, dan
(b)
dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, yaitu pekerja seks
komersial (PSK). PSK sendiri dikenal ada dua jenis, yaitu:
(1).
PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau
lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2).
PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru
sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam
kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau
pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Pada lead berita disebut: Bila praktik lesbian dan
homoseksual tidak diberantas kemungkinan Jakarta bisa darurat
penyebaran penyakit berbahaya itu.
Lesbian
jelas bukan penyebar HIV dan homoseksual (gay) juga ada di komunitas gay bukan
di masyarakat umum. Maka, yang perlu diberantas agar penyebaran HIV di Jakarta
tidak darurat adalah perilaku berisiko laki-laki heteroseksual dan laki-laki
biseksual.
Disebutkan pula: Menurut H Triwitjaksana (Wakil Ketua
DPRD DKI Jakarta ), dari data di Kementeian Sosial, Jakarta termasuk salah satu
kota yang memiliki peringkat tertingi di Indonesia setelah Papua, Papua Barat
dan Jawa Timur. Ini tidak sesuai dengan laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI,
tertanggal 24 Mei 2017, yang menyebutkan peringkat 1-10 kasus kumulatif
HIV/AIDS secara nasional adalah: DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Bali, Sumatera Uara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan
Kepuluan Riau. Itu artinya data Kementerian Kesehatan tidak akurat karena data
kasus HIV/AIDS yang diakui adalah yang dipublikasikan oleh Kemenkes, dalam hal
ini Ditjen P2P.
Triwitjaksana
menduga penyebaran narkoba menjadi salah satu penyebab penyebaran
virus itu.Tentu saja tempat hiburan turut andil dalam penyebaran virus
tersebut.
Dugaan
itu jelas salah karena risiko tertular HIV yang terkait narkoba (narkotika dan
bahan-bahan berbahaya) hanya pada penyalahguna narkoba yang memakai jarum
suntik secara bersama-sama dengan memakai jarum secara bergantian.
Kasus
penularan baru pada penyalahguna narkoba suntik sudah turun, sebaliknya insiden
infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK
langsung dan PSK tidak langsung bertambah terus. Indikasinya dapat dilihat dari
jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS yang menjalani tes
HIV ketika hamil (Baca juga: 324 Ibu Rumah Tangga di Jakarta TerdeteksiMengidap HIV/AIDS).
Terkait dengan sinyalemen anggota DPRD Jakarta itu
muncullah pernyataan ini: Untuk itu DPRD DKI Jakarta mendesak agar pemprov
memberantas mencegah mewabahnya penyakit tersebut.
HIV/AIDS
bukan wabah karena tidak mudah menular dan tidak bisa menular melalui udara dan
air. HIV/AIDS adalah pandemi yang menular melalui cara-cara yang sangat
spesifik, yaitu: hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah,
transfusi darah yang tidak diskirining, transplantasi organ tubuh, dan menyusui
dengan air susu ibu (ASI).
Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan tentang cara
Pemprov DKI ‘memberantas
mencegah mewabahnya penyakit tersebut’. Memang, Pemprov DKI Jakarta sudah
menerbitkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS. Sayang, perda ini
hanya mengedepankan aspek moral sedangkan HIV/AIDS adalah fakta medis (Baca
juga: Perda AIDS DKI Jakarta).
Jika tidak ada program berupa intervensi pemakaian
kondom pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dan
PSK tidak langsung, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.
Laki-laki dewasa yang tertular HIV jadi mata rantai
penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui
hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Penyebaran HIV
terjadi secara diam-diam (silent epidemic) yang merupakan ‘bom waktu’ yang
kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.