Ilustrasi (Sumber: verywell.com)
Oleh: Syaiful W HARAHAP
"Selama ini kasus tersebut sering dan banyak ditemui di pesisir Timur dan Utara
Aceh yang notabene berdekatan dengan Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut)."
Ini pernyataan Kasie Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit (P2P), Dinas
Kesehatan Aceh, Iman Murahman (jawapos.com, 6/3-2018),
Estimasi kasus kumulatif HIV/AIDS di Provinsi Aceh
sebanyak 1.300, sedangkan kasus yang sudah terdeteksi pada kurun waktu tahun
2004-2017 berjumlah 632. Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 24 Mei 2017,
menyebutkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Aceh sampai tanggal 31 Maret
2017 adalah 684 yang terdiri atas 346 HIV dan 338 AIDS. Dengan jumlah ini Aceh
ada para peringkat ke-31 secara nasional dalam jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS.
Penyangkalan
Itu artinya banyak kasus yang belum terdeksi di
masyarakat sehingga potensial sebagai mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara
horizontal di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah.
Pernyataan Iman di atas merupakan salah satu bentuk
penyangkalan dan mencari kambing hitam. Apa kaitan langsung antara Kota Medan
dengan kasus HIV/AIDS di Aceh? (Baca juga: AIDS di Papua: Penyangkalan TerhadapPerilaku Seksual Laki-laki Papua dan AIDS di ‘Kota Hujan’ Bogor: Penyangkalandengan ’Kambing Hitam’ Penduduk Luar Kota).
Sama juga halnya dengan pernyataan yang menyebutkan
bahwa indisen penularan HIV/AIDS di Aceh terjadi pasca tsunami. Ini jelas
menyesatkan (Baca juga: Menyesatkan, Informasi Tentang Insiden HIV/AIDS di AcehTerjadi Pasca Tsunami).
Sebagai virus HIV ada di dalam darah pengidap HIV/AIDS
sehingga tidak mungkin menular melalui pergaulan sosial sehari-hari. Biar pun
berdekatan, bagaimana HIV yang ada dalam tubuh warga Kota Medan yang mengidap
HIV/AIDS berpindah ke warga Aceh?
Tentu saja perpindahan virus (HIV) terjadi al. melalui
hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan kondisi tanpa memakai
kondom dengan pengidap HIV/AIDS. Yang jadi persoalan besar adalah orang-orang
yang mengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya.
Maka, perpindahan HIV dari warga Kota Medan yang
mengidap HIV/AIDS ke warga Aceh terjadi melalui hubungan seksual berisiko. Itu
artinya ada warga Aceh, khususnya laki-laki dewasa, yang perilaku seksualnya
berisiko.
Di bagian lain Iman mengatakan: “Sudah bergeser (kasus
HIV/AIDS-pen.). Pergeserannya karena Banda Aceh sebagai salah satu kota besar
di Aceh. Banyak orang-orang dari luar masuk ke Banda Aceh. Sehingga di sini
menjadi pusat pertemuan banyak orang.”
Lagi-lagi terjadi penyangkalan terkait dengan perilaku
seksual berisiko dan menjadikan pendatang sebagai kambing hitam.
Biar pun banyak orang-orang dari luar masuk ke Banda
Aceh sehingga Kota Banda Aceh jadi pusat pertemuan banyak orang tidak akan
pernah terjadi penularan HIV melalui pergaulan sehari-hari biar pun pendatang
banyak yang mengidap HIV/AIDS.
Virus (HIV) yang ada di dalam tubuh pendatang yang berkumpul
di Kota Banda Aceh tidak akan bisa berpindah ke warga Aceh jika tidak ada
kontak fisik berupa hubungan seksual penetrasi (vaginal, oral dan anal) di
dalam dan di luar nikah (Baca juga: Siapa yang Bawa HIV/AIDS ke Aceh?).
Dengan status daerah syariah secara de jure tentulah
tidak ada pelacuran, tapi apakah ada jaminan di Aceh tidak ada transaksi seks?
Atau apakah ada jaminan tidak ada laki-laki dewasa warga Aceh yang melakukan
perilaku berisiko di Aceh, di luar Aceh atau di luar negeri?
Perilaku Seksual
Maka, semua terpulang kepada perilaku orang per orang
karena perilaku seksual yang berisiko tertular HIV bisa terjadi pada hubungan
seksual di dalam dan di luar nikah. Maka, pernyataan Iman yang menyebutkan:
“Hindari berhubungan bebas atau seks bebas. Jagalah anak-anak kita, karena
banyak komunitas-komunitas terindikasi penyakit ini. Mudah-mudah kita dapat
menjaga anak-anak kita terhadap pergaulan-pergaulan bebas” tidak akurat.
Tidak ada komunitas yang terindikasi langsung dengan
HIV/AIDS karena yang membuat ada risiko bukan komunitas tapi perilaku (seksual
dan penyalahguna narkoba) orang per orang di komunitas tsb. Risiko penularan
HIV melalui penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) bisa
terjadi kalau narkoba disuntikkan dan jarum suntik dipakai bersama-sama dengan
bergiliran dan bergantian.
Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi
bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas, pergaulan bebas, zina, melacur,
selingkun, dll.), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu
mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom).
Jika ditelurusi ke belakang ternyata sebelum tahun
2004 kegiatan terkait HIV/AIDS hanya sekali dilakukan dan satu kasus HIV/AIDS
terdeteksi. Tapi, setelah tahun 2004 kegiatan penjangkauan mulai aktif dan
fasilitas untuk konseling dan tes HIV diperbanyak mulailah kasus baru
terdeteksi satu demi satu (Lihat gambar).
Disebutan Dinkes Aceh menjalankan program tes HIV terhadap
ibu-ibu hamil. Ini adalah langkah di hilir karena membiarkan warga tertular
HIV. Selain itu yang patut dipertanyakan adalah apakah suami ibu-ibu hamil tsb.
menjalan tes HIV?
Kalau tidak itu artinya suami-suami ibu hamil yang
terdeteksi HIV akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama
melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Yang diperlukan adalah program di hulu yaitu
menurunkan jumlah infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa, terutama melalui
hubungan seksual dengan perempuan yang bergani-ganti atau dengan perempuan yang
sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
Tanpa langkah yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS
di Aceh akan terus terjadi dengan kondisi senyap yang kelak muncul sebagai
‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *
Selamat pagi pak.
BalasHapusSaya membaca tulisan bapak di blog ini yang mengatakan kalau chek hiv yang baku itu adalah chek nya harus di konfirmasi dengan western bolt.
Pertanyaan saya adalah apakah test hiv tetap harus di konfirmasi dengan western bolt walaupun test pertama yaitu rapid test atau ELISA test hasilnya non reaktif(negatif).