Ilustrasi (Sumber: istockphoto.com)
Oleh: Syaiful W HARAHAP
Dari 15 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat, pada
tahun 2017 disebutkan 5 di antaranya terdeteksi pada kalangan LSL (Lelaki Suka
Seks Lelaki) yaitu laki-laki homoseksual (gay). Disebutkan “LSL dianggap
menjadi faktor yang cukup signifikan terhadap penularan HIV/Aids di Kota
Payakumbuh.” (harianhaluan.com,
8/2-2018).
Jika LSL yang dimaksud adalah gay, maka penyebaran
HIV/AIDS hanya terjadi pada komunitas gay. Akan lain halnya kalau di antara 5
LSL itu ada laki-laki biseksual. Soalnya, laki-laki biseksual adalah laki-laki
dengan orientasi heteroseksual, bisa yang punya istri, tapi juga melakukan
hubungan seksual, dalam hal ini seks anal, dengan laki-laki.
Yang dikhawatirkan yang disebut 5 LSL itu ada waria
(transgender). Pelanggan waria adalah laki-laki heteroseksual yang beristri.
Akibatnya, laki-laki beristri akan jadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari
masyarakat ke komunitas waria dan sebaliknya, terutama kepada istri atau
pasangan seksual lain.
“LSL
44 Kali lebih gampang tertular HIV/AIDS. Oleh karena itu, penanganan terhadap
LSL ini menjadi salah satu fokus bagi kami sebagai petugas kesehatan dalam
menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.” Ini disebutkan oleh Kepala Puskesmas
Lampasi, dr Harika Putra, dalam satu seminar di Payakumbuh (7/2).
Ada beberapa hal terkait dengan pernyataan dr Harika
ini, yaitu:
Pertama, risiko tertular HIV bukan karena orientasi seksual, dalam hal ini
homoseksual yaitu LSL, tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual, baik
seks vaginal, seks oral dan seks anal (salah satu mengidap HIV/AIDS dan
laki-laki tidak memakai kondom).
Kedua, disebutkan bahwa 44 kali lebih gampang tertular HIV/AIDS itu terjadi
kalau salah satu dari pasangan LSL itu mengidap HIV/AIDS dan melakukan seks
anal dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom.
Ketiga, kalau LSL yang dimaksud hanya gay (homoseksual) maka kasus HIV/AIDS pada
mereka ada di terminal terakhir. Artinya, gay yang tertular HIV tidak jadi mata
rantai penyebaran HIV karena tidak mempunyai pasangan perempuan. Bandingkan
dengan laki-laki heteroseksual yang beristri akan jadi mata rantai penyebarna
HIV jika laki-laki ini tertular HIV. Menularkan HIV ke istri atau pasangan seks
lain.
Maka, penanggulangan HIV/AIDS bukan berfokus pada LSL
yang gay, tapi pada LSL yang biseksual dan laki-laki heteroseksual.
Seorang LSL, dalam hal ini gay, yang mengidap HIV/AIDS
hanya punya 1 pasangan tetap. Sedangkan seorang laki-laki biseksual yang
mengidap HIV/AIDS akan menyebarkan HIV ke istri, laki-laki pasangannya dan
perempuan lain, bisa sebagai isteri atau pekerja seks komersial (PSK).
Sedangkan seorang PSK setiap malam melayani 3 - 5
laki-laki heteroseksual. Kalau PSK tsb. mengidap HIV/AIDS, maka puluhan bahkan
ratusan laki-laki setiap bulan yang berisiko tertular HIV.
Celakanya, di Kota Payakumbuh perhatian lebih tertuju kepada LSL dengan mengabaikan potensi penyebaran yang dilakukan oleh laki-laki heteroseksual.
Celakanya, di Kota Payakumbuh perhatian lebih tertuju kepada LSL dengan mengabaikan potensi penyebaran yang dilakukan oleh laki-laki heteroseksual.
Dikatakan oleh dr Harika: untuk menanggulangi HIV/AIDS,
Payakumbuh saat ini sudah memiliki pelayanan terhadap pengidap HIV/AIDS yakni
di RSUD Adnaan WD termasuk di lima Puskemas yang tersebar di Payakumbuh.
Penanggulangan
yang disebutkan dr Harika itu adalah langkah di hilir. Artinya, dibiarkan dulu
warga tertular HIV baru ditangani di rumah sakit atau puskesmas. Yang
diperlukan adalah langkah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan insiden
infeksi HIV baru pada laki-laki heteroseksual yakni memaksa laki-laki memakai
kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Namun,
hal di atas tidak bisa dilakukan karena praktek PSK tidak dilokalisir sehingga
transaksi seks terjdi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Jika penanggulangan HIV/AIDS di Kota Payakumbuh hanya
fokus pada LSL, maka sudah bisa dipastikan insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki heterseksual akan terus terjadi. Pada gilirannya laki-laki
heterseksual yang mengidap HIV/AIDS jadi mata rantai penyebaran HIV di
masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah.
Penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terjadi secara
diam-diam karena yang menularkan tidak mengetahui kalau dia mengidap HIV/AIDS (tidak ada tanda-tanda
yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang mengidap HIV/AIDS sebelum masa
AIDS). Celakanya, yang ditulari pun tidak merasakan secara fisik ada penularan
HIV pada dirinya.
Penyebaran HIV/AIDS yang terjadi secara diam-diam di
masyarakat merupakan ‘bom waktu’ menuju ‘ledakan AIDS’ kelak. * [kompasiana.com/infokespro] *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.