27 Februari 2018

Homoseksual dan AIDS di Kota Payakumbuh

Ilustrasi (Sumber: istockphoto.com)

Oleh: Syaiful W HARAHAP


Dari 15 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat, pada tahun 2017 disebutkan 5 di antaranya terdeteksi pada kalangan LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki) yaitu laki-laki homoseksual (gay). Disebutkan “LSL dianggap menjadi faktor yang cukup signifikan terhadap penularan HIV/Aids di Kota Payakumbuh.” (harianhaluan.com, 8/2-2018).

Jika LSL yang dimaksud adalah gay, maka penyebaran HIV/AIDS hanya terjadi pada komunitas gay. Akan lain halnya kalau di antara 5 LSL itu ada laki-laki biseksual. Soalnya, laki-laki biseksual adalah laki-laki dengan orientasi heteroseksual, bisa yang punya istri, tapi juga melakukan hubungan seksual, dalam hal ini seks anal, dengan laki-laki.

Yang dikhawatirkan yang disebut 5 LSL itu ada waria (transgender). Pelanggan waria adalah laki-laki heteroseksual yang beristri. Akibatnya, laki-laki beristri akan jadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari masyarakat ke komunitas waria dan sebaliknya, terutama kepada istri atau pasangan seksual lain.

“LSL 44 Kali lebih gampang tertular HIV/AIDS. Oleh karena itu, penanganan terhadap LSL ini menjadi salah satu fokus bagi kami sebagai petugas kesehatan dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.” Ini disebutkan oleh Kepala Puskesmas Lampasi, dr Harika Putra, dalam satu seminar di Payakumbuh (7/2).

Ada beberapa hal terkait dengan pernyataan dr Harika ini, yaitu:

Pertama, risiko tertular HIV bukan karena orientasi seksual, dalam hal ini homoseksual yaitu LSL, tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual, baik seks vaginal, seks oral dan seks anal (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom).

Kedua, disebutkan bahwa 44 kali lebih gampang tertular HIV/AIDS itu terjadi kalau salah satu dari pasangan LSL itu mengidap HIV/AIDS dan melakukan seks anal dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom.

Ketiga, kalau LSL yang dimaksud hanya gay (homoseksual) maka kasus HIV/AIDS pada mereka ada di terminal terakhir. Artinya, gay yang tertular HIV tidak jadi mata rantai penyebaran HIV karena tidak mempunyai pasangan perempuan. Bandingkan dengan laki-laki heteroseksual yang beristri akan jadi mata rantai penyebarna HIV jika laki-laki ini tertular HIV. Menularkan HIV ke istri atau pasangan seks lain.

Maka, penanggulangan HIV/AIDS bukan berfokus pada LSL yang gay, tapi pada LSL yang biseksual dan laki-laki heteroseksual.

Seorang LSL, dalam hal ini gay, yang mengidap HIV/AIDS hanya punya 1 pasangan tetap. Sedangkan seorang laki-laki biseksual yang mengidap HIV/AIDS akan menyebarkan HIV ke istri, laki-laki pasangannya dan perempuan lain, bisa sebagai isteri atau pekerja seks komersial (PSK).

Sedangkan seorang PSK setiap malam melayani 3 - 5 laki-laki heteroseksual. Kalau PSK tsb. mengidap HIV/AIDS, maka puluhan bahkan ratusan laki-laki setiap bulan yang berisiko tertular HIV.

Celakanya, di Kota Payakumbuh perhatian lebih tertuju kepada LSL dengan mengabaikan potensi penyebaran yang dilakukan oleh laki-laki heteroseksual.

Dikatakan oleh dr Harika: untuk menanggulangi HIV/AIDS, Payakumbuh saat ini sudah memiliki pelayanan terhadap pengidap HIV/AIDS yakni di RSUD Adnaan WD termasuk di lima Puskemas yang tersebar di Payakumbuh.

Penanggulangan yang disebutkan dr Harika itu adalah langkah di hilir. Artinya, dibiarkan dulu warga tertular HIV baru ditangani di rumah sakit atau puskesmas. Yang diperlukan adalah langkah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki heteroseksual yakni memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Namun, hal di atas tidak bisa dilakukan karena praktek PSK tidak dilokalisir sehingga transaksi seks terjdi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Jika penanggulangan HIV/AIDS di Kota Payakumbuh hanya fokus pada LSL, maka sudah bisa dipastikan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki heterseksual akan terus terjadi. Pada gilirannya laki-laki heterseksual yang mengidap HIV/AIDS jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terjadi secara diam-diam karena yang menularkan tidak mengetahui kalau dia   mengidap HIV/AIDS (tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang mengidap HIV/AIDS sebelum masa AIDS). Celakanya, yang ditulari pun tidak merasakan secara fisik ada penularan HIV pada dirinya.

Penyebaran HIV/AIDS yang terjadi secara diam-diam di masyarakat merupakan ‘bom waktu’ menuju ‘ledakan AIDS’ kelak. * [kompasiana.com/infokespro] *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.